Tiga hari lagi adalah hari yang ditentukan sebagai hari pertunangan Ramona dengan Alpan. Walaupun akan disandingkan dengan laki-laki pewaris harta kekayaan yang melimpah yang tidak akan habis dimakan tujuh keturunan, namun hal itu tidak membuat Ramona berbahagia.
Hampir semua orang tahu bagaimana keburukan sifat dan tabiat Alpan. Dirinya jauh dari laki-laki yang pantas dijadikan imam. Selain suka mempermainkan perempuan, ia juga sering terlibat kasus kriminal lainnya seperti menganiaya orang dan juga pecandu narkoba.Ramona merasa masa depannya sudah tidak bisa diharapkan lagi. Untuk melarikan diri dari nasib buruk ini juga tidak sanggup ia lakukan. Dirinya kini sudah dikurung bagaikan seekor ayam yang menunggu hari penyembelihan.Mengingat nasibnya yang malang, Ramona hanya bisa menangis. Sekali-kali ia membuka layar ponselnya dan menonton video-video Mohzan yang sudah banyak berseliweran di media sosial. Sekali lagi gadis itu hanya bisa menghela nafas panjang. PerasHari ini adalah hari yang dinantikan Alpan. Walaupun kesehatannya belum pulih namun ia sangat senang karena sebentar lagi ia akan bertunangan dengan Ramona gadis yang telah membuatnya dendam.Beribu rencana telah disiapkan Alpan setelah nanti Ramona menjadi tunangannya. Ia ingin menyiksa gadis itu dengan caranya sendiri.“Awas kamu Ramona, kamu pikir kamu sedang berurusan dengan siapa ? Hahhaa... Kamu lihat saja nanti setelah kamu menjadi tunanganku. Aku akan merusakmu dan mempermalukan kamu!” Alpan menghadap kaca besar nampak tertawa penuh dengan dendam kesumat.“Kamu lihat tanganku ini hah... Patah.. itu semua karena ulahmu.. hahhaa.. tapi tidak mengapa. Toh sebentar lagi tanganku akan pulih kembali. Tapi kamu... kamu akan membayar lunas semua ini Ramonaaa...! Hmm...yaa...kamu akan membayarnya semua.. hahhaa.. Setelah aku puas menyakitimu, aku akan meninggalkanmu.. perempuan bangsat..!” Rahang Alpan menggelembung dan giginya rapat
Alpan begitu senang melangkah dengan gagah menuju mobil mewah yang akan mengantarkannya ke gedung tempat acara pertunangannya dengan Ramona.Senyumnya mengambang sumringah. Ia menjawab dengan ramah semua pertanyaan wartawan yang mewawancarainya. Sebagai keluarga pemilik stasiun televisi, tentu semua momen dalam keluarga mereka akan diliput oleh media.“Hari ini adalah hari kebahagiaan kami, kami dengan senang hati membagi momen bahagia ini dengan kalian semua !” Ujar Alpan sambil melambaikan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya masih digantung dengan kain kasa yang menyerupai gendongan didepan dadanya.Kerlap-kerlip lampu kamera membanjiri wajah Alpan. Rombongan mereka segera meninggalkan wartawan yang berkumpul sambil melambaikan tangan.Santi dan Ramona menahan nafas sambil menatap ponsel mereka masing-masing. Disana mereka memantau setiap berita tentang acara pertunangan Alpan dengan Ramona. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi di
"Jelaskan kepada Abang apa sebenarnya yang telah terjadi ? Siapa kedua perempuan yang kamu tolong tadi siang Arya..?” Mohzan memberondong Arya dengan pertanyaan setelah mereka sampai di gedung tua.Arya sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.“Mereka adalah Ramona dan ibunya Bang.., mereka butuh pertolongan.”Mata Mohzan terbelalak mendengar pengakuan Mohzan yang tanpa tedeng aling-aling. Begitu tenang dan santai.“Tapi mengapa kita harus ikut campur dengan urusan orang lain Arya..??” Mohzan memotong penjelasan Arya. Dengan tajam ia tatap wajah adiknya itu.“Bukankah Abang yang mengajarkan kami bahwa menolong orang tidak harus memandang mereka siapa ? Saudara kita ataupun orang lain, sebagai manusia kita wajib menolong orang-orang yang sedang tertindas. Apapun itu resikonya..!” Ujar Arya membalikkan nasehat Mohzan yang sering ia ucapkan kepada dirinya dan anak-anak yang lain.Sejenak Mohzan nampak
Mata Satya dan Alpan beserta beberapa orang anak buahnya nanar memandang layar monitor laptop. Di laptop itu sedang diputar hasil rekaman pada cctv yang ada di gedung tempat penyelenggaraan acara pertunangan Mohzan dan Ramona yang gagal beberapa hari yang lalu.“Nah, itu sudah jelas... Ternyata si keparat itu biang keroknya..!!!” Alpan berteriak penuh emosi begitu menyaksikan dilayar monitor laptop, Ramona dan Santi melarikan diri dengan menumpang mobil box yang dikemudikan oleh Mohzan.Satya menyipitkan matanya. Ia terlihat benar-benar marah.“Tunggu apalagi...???! Hayoooo kalian berangkaaat...!! Jemput dia sekarang juga dan bawa menghadap kepadaku..!!” Satya membentak lantang.Lima orang anak buah Satya terbirit-birit berlari dan segera melompat kedalam mobil lalu tancap gas menuju ke tempat Mohzan berada.Tidak pakai lama, hanya butuh tiga puluh menit mereka sudah sampai di gedung tua markas Mohzan dan adik-adiknya berada.
Gedung kosong...jauh dari keramaian..Beberapa puluh anak buah Satya terlihat bagaikan serdadu yang berjaga-jaga. Tiada lama kemudian seorang pemuda digiring masuk menghadap Tuan Satya yang didampingi Alpan yang masih menggendong sebelah tangannya didada.Mata Satya mendelik seakan ingin mencekik urat pernafasan Mohzan yang kini terlihat duduk tenang disebuah kursi yang memang dipersiapkan untuknya.Interogasi segera dimulai.“Aku harus mengakui keberanianmu untuk datang ketempat ini Mohzan..!! Hahahaha... “ Satya tertawa sambil bertepuk tangan dan mengelilingi Mohzan. Tapi tawa Satya jelas tidak menggambarkan keramahan yang biasa dilakukan orang kebanyakan. Dan suara tawa itu lebih menyerupai seringai sinis yang menakutkan.Mohzan terlihat tenang, ia membalas seringai Satya dengan senyum ala kadarnya.“Dimana kamu sembunyikan tunangan anakku..???!!! Cepaaaaat katakan dimanaaaa...???!!” Suara Satya menggelegar dengan menata
Dua pasang mata Satya dan Alpan terbelalak. Biji matanya hampir saja permisi melompak keluar saking kagetnya melihat apa yang terjadi.“Oooohhh...!!!” Gumam Alpan tertahan sambil menggeser posisi dia berdiri menjadi lebih dekat kepada Satya. Ia memilih berlindung dibelakang tubuh ayahnya yang sudah nampak gemetar. Keringat dingin berhamburan disekujur tubuh Satya. Kemejanya basah kuyup hingga lengket kebadannya. Nampaknya ia sedang kehilangan akal untuk menghadapi Mohzan.“ Hayoooo... Serang diaaaa... !! “ Perintah Alpan dibalik punggung ayahnya.Dua lelaki dari empat orang yang menyerang tadi terpaku berdiri dengan memandang tak percaya.Kedua temannya tergeletak tak ubahnya seperti barang rongsokan yang dibuang begitu saja. Hati keduanya kecut dan tubuhnya mulai gemetar. Wajah dan bibirnya pucat pasi walau tidak terlalu jelas terlihat dikeremangan cahaya diruangan itu.Sedangkan Mohzan kembali duduk dikursinya. Ia seperti tidak pedu
Khalista menggeliat diatas tempat tidur empuk disebuah hotel cukup mewah. Perutnya terasa lapar melilit namun Danar ayahnya belum juga datang membawakan makanan seperti biasa untuknya.Sudah dua minggu Khalista menginap disana bersama dengan Danar yang menempati sebuah kamar disebelah kamar putrinya itu.Sebenarnya Danar sudah berusaha membujuk Khalista untuk tinggal disebuah rumah sederhana yang bisa mereka sewa. Hal itu ia lakukan mengingat keuangannya yang tidak seberapa. Danar berharap bisa bertahan lebih lama dengan uang simpanannya itu sampai ia mendapat pekerjaan baru.Namun Khalista yang terbiasa tinggal dirumah mewah menolak ide Danar itu mentah-mentah. Khalista enggan diajak hidup didalam lingkungan sederhana. Dan Danarpun tidak bisa membantah keinginan putrinya itu.Sudah dua minggu ini Danar mondar-mandir mencari pekerjaan namun belum satupun yang berhasil. Sedangkan biaya hidup mereka sangat tinggi sehingga uang tabungan yang tidak seberapa itu
“Listaaa...!!! “ Danar menjerit berlari kencang kearah putrinya yang sudah tergeletak ditengah jalan. Kening Khalista mengucur darah segar, kaki dan tangannya juga banyak terdapat luka lecet.Klason mobil dan motor riuh bersahutan. Beberapa orang pengumudi turun dan memberikan pertolongan. Tubuh Khalista yang tiada berdaya diangkat ketrotoar. Banyak sekali orang-orang yang datang berkerumun. Danar tak hentinya berteriak menangis menyaksikan putrinya yang terluka parah dan pingsan.Keriuhan itu juga mengagetkan Desma yang sedang sibuk melayani pembeli diwarung makannya.“Ibuuuu...!!” Desma menjerit begitu menyadari Ibu Aisyah tidak ada diwarung itu. Dengan sangat khawatir Desma berlari ketempat orang-orang yang telah ramai berkerumun. Desma panik karena menyangka Ibu Aisyah telah menjadi korban tabrakan.“Ibuuuuu...!!!” Sambil berteriak histeris Desma menyibakkan tubuh-tubuh yang sedang berkerumun. Desma segera menarik naf
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.“What I can do for you.?” Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut “Help me and teach me to be a moslem.”“Are you sure..?” Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.“Yes.. very sure..!” Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. 😂Pada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..😀😀😀)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama