“Prangggg!!!!”
“Eh maaf, maaf Yonna. Saya tidak sengaja.” Ucap Tuan Rey ketika ia tidak sengaja menjatuhkan satu buah piring kaca.
“Akh, tidak apa-apa, Tuan. Ini tidak jadi masalah.” Jawabku sembari membersihkan pecahan piring itu.
“Biar saya bantu, Yon.”
“Tidak perlu, Tuan. Biarlah ini menjadi tugas saya,”
“Tidak, biar saya bantu.” Ucapnya sedikit memaksa.
Mendengar ucapan itu, aku tidak dapat mencegahnya.
“Terserah, Tuan saja. Tetapi ini perlu hati-hati, Tuan. Sebab ini pecahan kaca, saya takut tangan, Taun terluka.”
Tuan Rey tersenyum. “Tidak, tidak akan terluka,” jawabnya meyakinkanku.
Aku tidak menjawab, aku fokus membersihkan pecahan kaca yang sangat banyak Berserakan di lantai. Tidak begitu lama, aku terkejut.
“Ah, au! Sakit sekali,” rintih Tuan Rey, sambil memegangi tangannya.
Aku meliha
Roy seakan tak percaya dengan apa yang Rey katakan.Ia menyerngitkan dahinya. “Apa yang kau katakan itu benar, Rey? Kau tidak sedang mengancam Yonna kan,”Rey terkejut dan panik. “Tidak, Bang. Aku tidak berbohong, Abang dengar sendiri apa yang dikatakan Yonna kan?”Roy mengusap dagunya. “Aku tidak yakin,”“Apa yang membuatmu tidak yakin Bang?”“Berterima kasih tidak harus memegang kedua tangannya kan, Rey.” Ujar Roy.“Memangnya salah, Bang? Jika aku memegang tangan Yonna?”“Sudah kamu masuk ke kamar sekarang,” pinta Roy.“Tapi, Bang. Aku masih ingin berbicara pada Yonna,”“Rey, kau dengar aku kan,”Melihat wajah abangnya yang serius, Rey langsung pergi ke kamar.Sekarang tinggal aku dan Tuan Roy di dapur, Tuan Roy menatap wajahku sambil meletakkan tangannya di pinggang. Aku tidak berani membalas
“krieeetttt,,,,”Aku membuka pintu kamar, berniat untuk membersihkan bekas darah yang tertinggal kemarin namun, betapa terkejutnya aku, ketika melihat lantai sudah bersih. Tidak ku temui noda darah sedikitpun disana, dengan kaki yang terbalut perban, aku berjalan pelan-pelan menuju dapur.Netraku menatap sebuah jam tua yang tergantung pada dinding. “Masih jam lima subuh.” Gumamku.Namun, satu hal tidak aku ketahui bahwa, Tuan Rey berada di dapur ia terlihat sibuk wara wiri seperti sedang mengerjakan sesuatu.Ketika aku mendekatinya aku sangat terkejut.“Apa yang kamu lakukan, Tuan!” Teriakku, ketika melihat Tuan Rey telah menyiapkan makanan.Aku langsung bergegas mengambil alih pekerjaan yang sedang ia lakukan.“Yonna, sudah biar saya saja.”“Tidak! Mana mungkin, Tuan yang menyiapkan makanan, lalu apa gunanya saya disini.” Ucapku dengan wajah yang pan
“Saya tunggu jawaban kamu besok pagi, Yon.” Ucap tuan Rey.“Tuan, Saya,,,, saya tidak bisa menjawabnya.”“Kenapa? Pokoknya saya tunggu jawaban kamu besok.” Ujar Tuan Rey dan langsung berlalu begitu saja.“Tuan,,,, Tuan!” Aku mencoba memanggilnya namun, Tuan Rey tidak memperdulikan ku sama sekali.Dengan perasaan yang gelisah dan takut, aku kembali melanjutkan tugasku.Selesai memasak, aku langsung kembali ke kamar. Aku mencoba menenangkan diri dengan cara bermain dengan Daffa, yang kini ia sudah mulai bisa berbicara sepatah dua patah kata. Dengan cara ini aku sedikit melupakan kejadian tadi.“Daffa,” panggilku sambil memeluk tubuh mungil Daffa.Aku melepaskan pelukanku dan mulai mengajarinya berbicara. Daffa hanya menatap mataku sambil menyebutkan kata-kata yang tidak aku mengerti.Malam ini aku sangat gelisah, ku ambil buku catatan dan aku menuliskan sesuatu dis
“Tidak!”“Kamu kenapa, Yonna? Kamu mengejutkan saya saja,” ujar Tuan Roy dengan wajah yang bingung sekaligus panik.Aku langsung membuang wajah ke samping, Tuan Roy terlihat semakin penasaran.Tuan Roy memegang pundakku. “Hey,”Aku langsung menepis tangannya. “Jangan sentuh saya, Tuan.”Tuan Roy berdecak. “Ada apa, sih! Tiba-tiba kamu sangat aneh, bukankah barusan kamu baik-baik saja, Yonna? Mengapa sekarang berubah seperti ini. Katakan jika saya ada salah,”Aku tetap diam, ini aku lakukan karena mengingat kejadian semalam ketika Tuan Roy memelukku, dan yang paling menyakitkannya adalah ketika ia mengatakan bahwa, ia merindukan kekasihnya.“Yonna!” Bentaknya.Aku tidak tahan lagi, aku langsung mengatakan yang sebenarnya.“Tuan masih ingat kejadian semalam? Saya yakin Tuan tidak lupa bukan?”Terlihat Tuan Roy mencoba mengingat sesua
“Kakek pasti sangat senang, mendengar ini, nak!” Seruku pada Daffa.Aku sudah tidak sabar ingin pulang ke kampung untuk melihat keadaan ayahku, berharap ayah menerima aku kembali, terlebih lagi menerima dan mengakui Daffa sebagai cucunya.Harap-harap cemas mulai berdatangan silih berganti di dalam pikiranku, sejujurnya aku belum siap menerima kenyataan jika ayahku kembali mengusir kami seperti dulu, apalagi mendengar sindiran tetangga kanan dan kiri yang membuatku malu namun, rasa rindu yang ada di hati ini tidak dapat ku pendam lagi, kerinduan seorang anak akan ayah kandungnya.Disisi lain, Roy masuk ke dalam kamar dan kembali keluar menuju kamar adiknya Rey.“Krieeetttt,,,,”“Eh, Bang. Tumben siang-siang ke kamarku.”“Kenapa, tidak boleh?”“Bb,,,, bo,,,, boleh, Bang. Tapi aku hanya heran saja. Emmm,,,, pasti ini ada apa-apa.” Ujar Rey mencoba menerka nerka.
“Aku tidak marah, Bang. Aku hanya tidak habis pikir denganmu. Bagaimana mungkin Abang bisa mengizinkan Yonna cuti, tanpa memberi tau aku terlebih dahulu.” Ujar Rey mencoba membela diri.“Apa aku tidak salah dengar? Sejak kapan kamu membuat peraturan seperti ini, Rey. Sedangkan dulu banyak yang bekerja di rumah kita kamu bahkan tidak pernah perduli dengan cuti mereka.” Jawab Roy, netranya tak lepas dari wajah Rey yang terlihat aneh.“Tetapi Yonna itu berbeda, Bang!” Bentaknya, ternyata ia keceplosan.Roy membulatkan matanya. “Maksudmu berbeda, apanya yang berbeda, Rey.”Rey berusaha mencari alasan agar ia tidak ketahuan bahwa dirinya mencintai Yonna dan takut kehilangan dia.“Karena Yonna aku yang membawanya kesini, Bang. Jadi aku tidak mau dia seenaknya begitu saja cuti tanpa memberitahu ku terlebih dahulu.” Jelasnya beralasan.Roy mengangguk pelan. “Oke kalau begitu kamu beso
“Sudah ku duga,” jawabnya tersenyum sinis.“Lalu kenapa, Tuan? Saya hanya berbicara pada Tuan Roy tidak lebih, dan hanya sebentar saja.” Jawabku kesal.Tuan Rey mendekatiku. “Hey! Apa kamu lupa, hah? Apa perlu saya ingatkan lagi?”Aku mundur beberapa langkah sambil menarik Daffa. “Sudah saya bilang, saya hanya berbicara saja! Lagian Tuan Roy sendiri yang mendatangi saya!” Bentakku dengan wajah geram.“Sudah berani membentak saya, kamu? Wah, wah. Sangat hebat,” ucapnya sambil bertepuk tangan.“Saya sudah tidak tahan lagi, dengan semua tuduhan yang, Tuan lontarkan kepada saya!”“Saya tidak sedang menuduh, saya berkata apa adanya!”“Tetapi tidak semua yang, Tuan katakan itu benar adanya!” Seruku hampir saja aku menangis.“Jangan menangis kamu! Air mata buaya!” Bentaknya.Mendengar perkataannya aku tidak jadi menangis,
Keesokan harinya, aku bangun lebih awal dari biasanya, aku mulai menyiapkan sarapan pagi sebelum berangkat pulang.Netraku sesekali menatap jam dinding yang terpasang tidak jauh dari dapur, sudah menunjukkan pukul lima subuh.“Untung aku sudah mempersiapkan segala sesuatu yang akan ku bawa nanti, jadi tidak terlalu terburu buru.” Gumamku.Setelah selesai mempersiapkan sarapan, aku kembali melihat jam. Masih jam 6 pagi, aku tidak lupa untuk membangunkan Tuan Rey, sesuai yang ia minta padaku kemarin namun, kali ini aku sengaja membangunkannya lebih awal dari yang ia minta. Itu karena aku takut lupa.“Tok,,,, tok,,,, tok,,,”“Tuan,,,,” panggilku namun, tidak ada jawaban sama sekali.Aku mencoba memanggilnya kembali. “Tuan,,,,”Tidak lama kemudian terdengar sahutan dari dalam kamar. “Iya,”“Tuan, Bangun Tuan.” Ucapku.Rey menatap jam ya