“Sudah ku duga,” jawabnya tersenyum sinis.
“Lalu kenapa, Tuan? Saya hanya berbicara pada Tuan Roy tidak lebih, dan hanya sebentar saja.” Jawabku kesal.
Tuan Rey mendekatiku. “Hey! Apa kamu lupa, hah? Apa perlu saya ingatkan lagi?”
Aku mundur beberapa langkah sambil menarik Daffa. “Sudah saya bilang, saya hanya berbicara saja! Lagian Tuan Roy sendiri yang mendatangi saya!” Bentakku dengan wajah geram.
“Sudah berani membentak saya, kamu? Wah, wah. Sangat hebat,” ucapnya sambil bertepuk tangan.
“Saya sudah tidak tahan lagi, dengan semua tuduhan yang, Tuan lontarkan kepada saya!”
“Saya tidak sedang menuduh, saya berkata apa adanya!”
“Tetapi tidak semua yang, Tuan katakan itu benar adanya!” Seruku hampir saja aku menangis.
“Jangan menangis kamu! Air mata buaya!” Bentaknya.
Mendengar perkataannya aku tidak jadi menangis,
Keesokan harinya, aku bangun lebih awal dari biasanya, aku mulai menyiapkan sarapan pagi sebelum berangkat pulang.Netraku sesekali menatap jam dinding yang terpasang tidak jauh dari dapur, sudah menunjukkan pukul lima subuh.“Untung aku sudah mempersiapkan segala sesuatu yang akan ku bawa nanti, jadi tidak terlalu terburu buru.” Gumamku.Setelah selesai mempersiapkan sarapan, aku kembali melihat jam. Masih jam 6 pagi, aku tidak lupa untuk membangunkan Tuan Rey, sesuai yang ia minta padaku kemarin namun, kali ini aku sengaja membangunkannya lebih awal dari yang ia minta. Itu karena aku takut lupa.“Tok,,,, tok,,,, tok,,,”“Tuan,,,,” panggilku namun, tidak ada jawaban sama sekali.Aku mencoba memanggilnya kembali. “Tuan,,,,”Tidak lama kemudian terdengar sahutan dari dalam kamar. “Iya,”“Tuan, Bangun Tuan.” Ucapku.Rey menatap jam ya
“Saya sudah bangun, bang.” Jawab Rey sambil mengucek matanya.“Alah, bohong kamu. Kenapa aku panggil kamu tidak menjawabnya?” Tanya Roy kesal.“Akh! Iya, iya. Aku tidur lagi tadi, lagian Yonna membangunkan aku jam enam, sedangkan aku meminta dia membangunkan aku jam tujuh.” Sahutnya.“Masih syukur dia mau membangunkanmu, Rey,”“Iya, Bang, iya.” Jawab Rey pasrah.“Yasudah, kamu siap-siap. Sebentar lagi kita berangkat.”Mata Rey membulat. “Hah! Aku belum siap-siap, Bang!” Serunya sambil berlari mengambil handuk untuk mandi.“Itu bukan urusanku, kalau kamu terlambat, aku akan meninggalkanmu.” Ancam Roy dan langsung pergi dari kamar Rey.“Bang! Bang!” Teriak Rey dari dalam kamar.Mendengar tidak ada jawaban, Rey sangat gelisah ia melihat jam dan bergegas mandi. Tidak sampai lima menit Rey sudah selesai mandi, ia langsu
Di sepanjang perjalanan, aku melihat wajah Tuan Rey yang dari kaca mobil, tampak jelas wajahnya yang sangat kesal melihat aku duduk bersebelahan dengan Tuan Roy.“Nanti setelah jalan ini, belok ke kiri ya, Tuan.” Ucapku ketika melewati jalan bebatuan, yang berarti berarti kampungku tidak jauh lagi dari sini.“Belok kiri di ujung jalan itu, Yon?” Tanya Tuan Roy sembari menunjuk jalan yang terdapat gardu listrik itu.“Iya, Tuan. Di Gardu listrik itu belok kiri,”“Oh, baiklah. Jalannya banyak yang rusak dan berlubang ya, apa tidak pernah di aspal, Yon?” Tanyanya heran.“Emm,,,, dulu sempat di perbaiki, Tuan namun, karena banyak mobil yang bermuatan melebihi kapasitas jadi jalan ini sangat cepat rusak Dan berlubang. Maka dari itu sampai sekarang tidak ada perbaikan lagi karena itu semua dianggap percuma.” Jelasku.Tuan Roy mengangguk. “Begitu, untung saja hari tidak hujan. Kalau t
“Apa kalian saling kenal?” Tanya Tuan Rey dengan wajah polos.Aku mengangguk, sambil menatap wanita itu. “Iya, Tuan. Saya sangat mengenal wanita baik ini,”Tuan Rey yang tak mengerti langsung menyerngitkan dahinya dan bertanya. “Wanita baik, maksudmu apa, Yon?”Aku menghela nafas, dan diam sejenak. Kembali aku membayangkan kejadian lebih dari setahun berlalu itu.“Wanita di depan saya ini pernah menolong saya, Tuan. Masih tergambar dengan jelas kebaikan yang ia lakukan di ingatan saya.”“Kebaikan?”Aku mengangguk. “Benar, Tuan. Waktu itu saya berjalan kehausan kebetulan air minum yang saya bawa habis, lalu tanpa sengaja saya lewat di depan warung ini dan meminta minum disini.” Jelasku sambil menunjukkan botol minum yang ada di tanganku.“Ohh,” tuan Rey mengangguk.“Bukan hanya itu, Tuan.”“Bukan hanya itu, la
“Apa rumahmu masih jauh dari sini, Yonna? Tadi kata kamu sebentar lagi akan sampai,” ujar Tuan Rey memotong pembicaraan kami.“Kenapa, Tuan? Sudah mulai bosan, ya.” Tanyaku mencoba menggodanya.“Akh, tidak. Hanya saja punggung saya terasa sakit.”Aku menghela nafas. “Iya saya tau, Tuan. Karena jalannya begini jadi terasa jauh, coba saja jika jalannya bagus seperti di kota pasti akan cepat sampai.”“Nah, itu kama tau, Yon.”“Iya, karena saya juga merasakan hal yang sama, Tuan. Punggung saya terasa sakit juga,” ujarku.“Punggungmu sakit, Yon?” Tanya Tuan Roy.Aku mengangguk.“Ini, ada bantal pakai saja,” suruh Tuan Roy sambil memberikan bantal bewarna coklat tua padaku.“Untuk saya, Tuan? Tapi,,,,”“Sudah pakai saja,”Rey melotot melihat Abangnya yang memperhatikan Yonna. Sedangk
“Rumahmu masih jauh dari sini?” Tanya Tuan Rey ketika melewati perkampungan itu.“Sebentar lagi, Tuan.”“Kira-kira berapa lama lagi, Yon.”“Sekitar lima menit lagi, Tuan.”“Hem... Untung saja pemandangan disini indah, jadi saya tidak terlalu bosan dengan perjalanan yang melelahkan ini.” Ujarnya sambil menguap karena mengantuk.Aku hanya tersenyum tipis mendengar perkataan Tuan Rey. Tak lama kemudian aku berusaha membangunkan Tuan Roy yang dari tadi tertidur.“Tuan, Tuan...”Tuan Roy langsung membuka matanya. “Iya, Yon. Ada apa?” Tanyanya gamblang karena masih mengantuk.“Kita sudah hampir sampai, Tuan. Di depan sana itu rumah, saya.” Ujarku.Tuan Roy dengan bersemangat langsung bangun dan melihat ke kiri dan ke kanan.“Wahhhh..... Ini kampungmu, Yon? Indah sekali!” Serunya terlambat karena baru bangun.
Netraku menatap rumah tua milik ayahku dari kejauhan, tampak rumah itu masih sama seperti dulu, teringat kembali sewaktu aku kecil, aku sering berlarian mengelilingi rumah ini, tidak banyak perubahan yang ku lihat setelah meninggalkannya setahun lebih.Aku berhenti dan menunjuk rumah papan yang sudah terlihat sangat kumuh di depanku, terlihat pintunya tertutup rapat. “Ini rumah saya, Tuan.”Mata Tuan Rey membulat. “Ini?”“Benar, Tuan. Ini rumah saya, ya beginilah adanya, berharap Tuan Rey dan Tuan Roy memaklumi keadaan saya,” ujarku memberi pengertian.Tampak Tuan Roy mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Yonna. Yang terpenting kan bisa ditempati.” Ujarnya sambil tersenyum.Tuan Roy tampak biasa saja dan memaklumi keadaanku namun, berbeda halnya dengan Tuan Rey, ia terlihat sangat tidak menyukai tempat tinggalku ini.Melihat reaksi Tuan Rey yang tidak nyaman, aku langsung berkata. “Tuan Rey,
“Ya, mungkin saja, yasudah pergilah, Yon.”“Iya, Tuan.” Aku mengangguk pelan dan pergi.Sesampainya di kamar mandi, seketika ingatanku kembali ke masa dimana aku sedang dimandikan oleh ayah, saat itu aku tertawa lepas, saat gelembung sabun yang aku mainkan beterbangan.“Lagi, Yah, lagi,”“Sudah jangan lama-lama, nanti kamu masuk angin,”“Ahh,,,, Ayah! Aku masih ingin bermain sabun itu, Yah!” Teriakku waktu itu.Dengan sabar ayahku berkata. “Yonna, nanti kamu sakit jika, terlalu lama bermain air. Besok lagi ya, Nak, ya?”Dengan sedikit kecewa aku mengangguk. “Iya, ayah.”“Anak pintar,”Sambil membersihkan tubuh Daffa, tanpa terasa air mataku mengalir, sesekali aku menyeka air mata ini namun, tetap saja kenangan itu terus saja menghantui pikiran dan jiwaku.Bagaimana nanti jika ayah melihat kedatanganku, apakah ia akan se
“Keadaannya kritis.” Ujar dokter yang tiba-tiba keluar tanpa aba-aba itu.Rey yang tadinya terlihat emosi berubah sangat kecut dengan penyesalan yang tiada arti.“Ap-apa? Kritis, Dok?” Tanyanya dengan mata yang berkaca kaca.Dokter hanya mengangguk perlahan. “Kami sedang berusaha mencari darah A+ untuknya. Apa anda, suaminya?”“Da-darah? A+?” Rey terpaku beberapa saat setelah dokter mengatakan hal itu.“Iya, pasien benar-benar banyak kehilangan darah. Sekali lagi saya tanya, apa anda suaminya?”Rey menggeleng. “Bu-bukan, Dok. Saya temannya. Kalau begitu, coba periksa saya, Dok. Jika golongan darah saya cocok, ambil saja.”“Kecil kemungkinan, Pak. Tetapi tidak masalah, mari kita coba.”Rey mengikuti dokter yang berjalan sangat cepat. “Masuk ke dalam.” Pinta sang dokter.Rey tidak menjawab melainkan langsung masuk dan duduk di k
Karena merasa perkataannya benar, aku hanya diam dan terus berpikir bagaimana caranya agar tidak terjadi apa-apa pada anakku Daffa.“Terserah apa yang kau katakan, Rey. Aku tidak perduli.”Rey hanya tertawa puas. “Lebih baik kau tidur saja, Yonna. Kita bahas nanti setelah kau pulih.” Ujarnya dengan percaya diri seakan rencananya berhasil.Aku hanya diam dan diam.Malam telah tiba, Rey terlihat duduk di kursi luar menjaga jaga keadaan, mungkin takut aku akan kabur malam ini.Perlahan lahan aku membuka infus yang ada di tanganku dan berjalan mengintip melalui celah pintu.“Bagaimana cara agar aku bisa kabur malam, ini? Sedangkan dia berjaga diluar.” Ujarku pelan.Aku kembali ke tempat tidur dan berpura pura memasang pelekat infus di tanganku agar, terlihat tetap terpasang.“Cekreekk... “ Suara pintu terbuka dan aku berpur pura memejamkan mata.Rey masuk guna memastikan aku te
“Aku dimana,”“Yon, Yonna? Kau sudah sadar? Tenang-tenang. Aku tidak akan menyakitimu.” Ujar Rey berusaha menenangkan Yonna.“Aku dimana sekarang?”“Di rumah sakit, Yon.”“Aku kenapa?”“Kau... emm... kamu sakit, Yon. Kamu pingsan.”“Aku ingin pulang sekarang juga,” ucapku dengan suara parau hampir tidak terdengar jelas.“Kamu ingin pulang? Dokter mengatakan belum bisa untuk saat ini, jadi kita pulang besok.”“Aku tidak mau! Aku ingin pulang sekarang juga.” Dengan nekat aku berusaha membuka jarum infus yang terpasang di tanganku. “Arghhh... mengapa ini ada di tanganku!”“Tenang, Yon. Tenang! Jangan panik.”“Anakku mana! Mana anakku!”“Daffa baik-baik saja.”“Apa yang kamu lakukan pada anakku!”“Apa maksudmu, Yon? Aku tidak
“Waw! Pertunjukan yang sangat hebat. Saya yakin kau bisa melakukannya Yonna,”“Ini yang Tuan inginkan, bukan? Akan aku lakukan.”“Berapa banyak kau minum? Satu botol ini?” Tanya tuan Rey di tengah kesadaranku yang mulai tidak terkendali.“Lebih banyak dari itu.”“Apa kau sudah gila! Saya tidak menyuruhmu minum lebih dari yang aku minta!”Tuan Rey seketika bangkit dan menghampiriku dengan wajah yang memerah.“Hentikan! Duduk disitu!”Aku tidak memperdulikan apa yang ia katakan, aku menuang kembali bir ke dalam gelas dan mencoba meminumnya kembali.“Praaanggg... “Gelas yang berisi minuman bewarna merah keunguan itu tumpah dengan pecahan kaca berserakan di mana-mana.Wajahku tidak sedikitpun panik. “Mengapa? Berikan lagi minuman itu, aku sangat menikmati malam ini. Jangan hentikan aku, aku lelah.”“Hentikan!
“Apa maksudmu, Rey?” Tanyaku dengan wajah yang pasrah dan memerah menahan emosi.“Rey? Oh... Sudah berani kau memanggilku tanpa sebutan, Tuan?” Kata Tuan Rey mengakui keberanian ku“Aku bertanya apa maksudmu! Dengan mengajakku pergi ke tempat ini, kamu kira ini lucu? Lepaskan tanganku! Aku ingin pulang!”Tuan Rey hanya tertawa dengan raut wajah puas. “Hahaha... Jangan takut, Cantik. Kau akan baik-baik saja, kita hanya perlu bersenang senang disini.”“Saya bilang lepaskan saya! Atau perbuatanmu akan saya bongkar!” Ancamku sambil menghindari tatapan tajam mata Tuan Rey.“Ssttttt... Ah!”Sebuah tangan mencengkeram wajahku sangat teramat kuat, yang tidak lain tangan Tuan Rey.“Apa? Kau mengancamku? Coba lakukan! Kau akan melihat apa yang akan terjadi pada anak semata wayangmu Daffa!”Mataku membulat, pikiranku mulai kacau.“Daf-Daffa? A
Mentari tak begitu menampakkan sinarnya yang menyengat, ku buka jendela kamar dan kutatap wajah Daffa yang masih tertidur pulas memeluk guling. Wajahnya yang tampak sangat mirip dengan lelaki brengsek itu membuatku terdiam membeku.“Wajahnya sangat mirip denganmu, bagaimana aku bisa lupa dengan kejadian bertahun tahun lalu? Kau begitu dalam menggores luka pada diriku, dan kau juga telah menghancurkan masa depanku saat ini.” Aku berbisik lirih entah kepada siapa, bertahun tahun telah aku lalui begitu saja tanpa rasa yang berarti pada siapa pun.“Yonna... Cepat kemari.”“Suara itu lagi?” Batinku.Tatapan penuh masih tertuju pada wajah Daffa, sebelum aku meninggalkannya untuk beberapa saat kemudian.“Ada apa, Tuan?”Tuan Rey meletakkan bungkusan bewarna keemasan tepat di meja depanku. “Pakai ini.” Pintanya tanpa basa basi.“A-pa ini, Tuan?”“Jangan banya
Dikala mulut tidak mampu untuk berkata kata lagi, aku pergi begitu saja dari tuan Roy.“Hey, kita belum selesai bicara. Tidak sopan kamu pergi begitu saja,” ucap Tuan Roy dari melihat aku pergi begitu saja.Tatapanku hanya tertuju ke depan, tanpa melihat ke belakang lagi, kudengar Tuan Roy berbicara sendiri mungkin kesal melihat caraku meninggalkannya yang terkesan tidak sopan.Sampai di dalam kamar.“Daffa, ikut ibu.”“Kemana, Bu?” Tanya Daffa dengan wajah bingung namun tetap mengikutiku.“Ikut saja, Nak.”Aku membawa Daffa ke samping rumah, disitu ada tempat duduk yang jarang di datangi Tuan Roy dan Tuan Rey bagiku ini tempat aman untuk bercerita selain di kamar.“Nak, mulai sekarang jangan dekati Tuan Roy lagi, ya. Ibu tidak suka.” Ujarku memulai percakapan pahit ini.Daffa lantas memandangi wajahku yang seakan akan bercanda itu.“Kenapa, Bu? Daf
Tahun begitu cepat berganti, kini Daffa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pintar.“Bu, dimana ayah?”Pertanyaan Daffa mengingatkan aku kembali ke masa pahit itu.“Ayah kamu sudah mati, Nak.” Jawabku, singkat tanpa melihat wajahnya.“Foto ayah ada, Bu? Daffa ingin melihat wajahnya sekali saja,” pinta Daffa.“Tidak ada! Sudah, jangan tanyakan lagi dimana ayahmu itu.”“Ibu kenapa? Memangnya Daffa salah kalau ingin bertemu ayah?”Aku memandangi wajah Daffa dan memeluknya.“Sayang, maafkan ibu. Kamu tidak salah, Nak tetapi, ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya.”“Maksud, Ibu apa?”Aku hanya menggeleng dan pergi.“Bu! Kalau ibu tidak mau memberi tahu Daffa, nanti Daffa tanyakan saja pada om Roy,”Mataku melotot, segera aku palingkan wajahku dan menatap Daffa.”“Untuk apa? Me
“Bruukkkkk....”Suara badan Tuan Rey menghantam dinding cukup kuat, aku berhasil mendorongnya hingga ia terjatuh.Tidak ingin menyia nyiakan kesempatan, aku berlari menyelamatkan diri.“Jangan lari kau, Yonna!” Teriak Tuan Rey dari belakangku.Tanpa memperdulikan teriakan tersebut, aku terus berlari dan masuk ke dalam kamar.Setelah menutup pintu, nafasku terengah engah kusandarkan diri pada pintu dan tubuhku jatuh perlahan.Aku berteriak dalam hati, ingin rasanya pergi dari rumah ini namun, aku tidak tau harus melangkahkan kaki ke mana lagi.Lukaku belum sepenuhnya sembuh, kini mentalku di hancurkan habis habisan oleh Tuan Rey.“Buka pintunya, Yonna! Jika tidak akan aku dobrak!”Teriak Tuan Rey dari luar pintu kamarku.Aku diam membisu, hanya air mata yang terus saja mengalir deras di kedua pipiku. Saat ini aku pasrah apapun yang akan Tuan rey lakukan nantinya.