Netra Gianna menyipit. Ia meragukan penjelasan Dede, tetapi ia tidak bisa mendesak lelaki itu untuk berkata jujur. Ia tidak punya bukti yang dapat memojokkannya.
“Kalau tak ada lagi yang ingin Anda tanyakan, aku permisi, Nona.” Dede pamit pada Gianna, yang masih saja melayangkan pandangan tajam ke arahnya.
“Bi, aku pulang dulu ya,” teriak Dede pada Inah, yang sedang berada di dapur.
Inah baru saja hendak membuka mulut menjawab perkataan Dede, tetapi diurungkannya.
Dede mengedipkan mata, lalu melirik Gianna. Inah yang sudah banyak makan asam garam kehidupan langsung paham dengan kode yang diberikan Dede.
“Iya, Tuan.” Inah mengantar Dede hingga ke pintu.
Gianna hanya mendengus melep
“Misha! Tunggu!”Misha baru saja memasuki lobi kantornya ketika seseorang berteriak memanggil namanya. Sebuah suara yang sudah tidak asing di telinga. Siapa lagi kalau bukan Kenzo. Lelaki berengsek yang pernah menjungkir-balikkan dunianya. Amisha memilih untuk mengabaikan panggilan itu dan terus berjalan menuju lift.DRAP! DRAP!Terdengar suara kaki berlari mengejarnya disertai seruan petugas keamanan, mencegah lelaki itu memburu Amisha.Amisha mempercepat langkah. Namun, lelaki itu berhasil menyusulnya. Sedikit lagi tangan lelaki itu akan mencekal pergelangan tangan Amisha, petugas keamanan berhasil membekuknya.“Misha, kita perlu bicara!” teriak Kenzo.Amisha menghentikan langkah. Ia tidak ingin mengundang perhatian para karyawan yang mulai berdatangan. Ia menoleh kepada Kenzo.“Tidak ada yang perlu dibicarakan. Aku sibuk!” balas Amisha datar. Ia memberi kode kepada petugas keamanan untuk menyingkirkan Kenzo dari hadapannya.“Maaf, Nona. Lelaki ini sudah seminggu menunggu Nona di kan
GREP!Dede menangkap tangan Amisha yang memegang tisu.Amisha mendongak. Bersyukur ia masih mengenakan kacamata hitam. Jika tidak, Dede pasti dapat melihat keresahan pada kedua bola matanya. Ya! Amisha resah karena sentuhan Dede lagi-lagi mengingatkannya pada sosok Aland.‘Kenapa sentuhan mereka begitu mirip?’ Amisha membatin gundah. Cepat-cepat ia menarik lepas tangannya dari genggaman Dede.“Keluarlah! Aku akan bekerja,” perintah Amisha tegas sembari berbalik ke tempat duduknya.Dengan berat hati, Dede meninggalkan ruangan Amisha. Di sisi lain, rasa bahagia yang tak terkira berputar, melayang-layang melingkupi hati
Malam makin hening. Tak lagi terdengar suara canda binatang malam. Hanya detak jam dinding memecah sunyi.TIK! TOK! TIK! TOK!Amisha meraba kuduk. Suara detak jam dinding itu terdengar mengerikan dalam kesendirian dan keheningan malam. Pukul satu dini hari. Amisha menguap. Rasa kantuk sudah sejak tadi menyerangnya. Namun, bukan Amisha namanya jika ia menyerah pada kantuk, saat ia tengah fokus menggarap pekerjaannya.Amisha menggerakkan jari-jarinya yang terasa kaku. Berjam-jam berkutat dengan pensil membuat peredaran darah di jari-jarinya sedikit terganggu. Diliriknya desain yang belum selesai itu, lalu digulungnya dan dimasukkannya ke dalam sebuah tabung. Ia meletakkan tabung itu ke dalam laci meja.Masih duduk di kursinya, Amisha meregangkan otot-otot leher dengan cara
“Tidak, tidak. Aku tidak mau melakukan itu. Aku belum siap,” tolak Amisha tegas, disertai gelengan kepala.Gianna membungkuk dan menumpukan siku kiri pada meja kerja Amisha. Ia mengangkat dagu Amisha, mengamati wajah sahabatnya itu dengan teliti dari berbagai sudut. Selang beberapa waktu ia kembali berdiri seraya melepaskan kacamata hitam Amisha.“Kembalikan, Gianna!” desak Amisha. Tangannya terulur, ingin merebut kacamata itu dari Gianna.“Tidak! Kau tidak boleh lagi memakainya,” tolak Gianna. Ia menyembunyikan kacamata itu di belakang punggungnya.“Dengarkan aku, Amisha sayang! Kini sudah saatnya kau memperkenalkan diri pada dunia. Biarkan dunia melihat Amisha Harist yang sesungguhnya.” Gianna berkata dengan mimik serius.“
Siang itu matahari di langit Jakarta bersinar garang. Anak-anak jalanan melangkah lesu bermandi peluh. Menjajakan barang dagangan ataupun menawarkan jasa membersihkan kaca mobil di perempatan jalan.Amisha memperbesar suhu dingin AC mobilnya sambil menunggu lampu hijau menyala. Lantunan lagu ‘Ya Rahman’ mengalun merdu, mendinginkan suasana hatinya yang masih sedikit panas akibat perdebatannya dengan Gianna hari ini.Begitu lampu jalan berubah hijau, Amisha menginjak gas. Ia melajukan mobilnya menuju sebuah pusat perbelanjaan besar. Amisha sengaja tak mengajak Gianna pergi bersamanya. Diam-diam ia ingin mencoba saran konyol Gianna.Setelah memarkir mobil, Amisha melihat penampilannya tanpa kacamata melalui kaca spion sebelum akhirnya turun dari kuda besinya itu. Ia menyimpan kacamata hitamnya ke dalam tas.
“Aku pasti sudah gila menuruti permintaannya.” Amisha menggeleng kuat.Wajah lelaki yang menabraknya di mal tadi tiba-tiba saja melintas di ingatannya. Ia mengernyit. Merasa pernah bertemu dengan lelaki itu sebelumnya.“Di mana ya?” Amisha terus berpikir, mengingat-ingat tentang sosok lelaki yang terasa tidak asing di matanya itu.“Ya Tuhan! Dia Taksa!” pekik Amisha, setengah tak percaya.Ia tak tahu apakah ini sebuah keberuntungan atau kesialan baginya. Untuk pertama kalinya ia membuka penyamarannya dan ia malah dipertemukan dengan sosok Taksa, lelaki yang pernah dijodohkan dengannya, dan dengan terang-terangan menolaknya, hanya dalam hitungan detik perkenalan mereka.“Dunia ini benar-benar panggung sandiwara,” desis Amisha
Amisha melangkah gontai menaiki tangga menuju kamarnya. Kakinya terasa perih. Mungkin lecet. Ia belum sempat memeriksanya. Saking perihnya, terpaksa Amisha membuka sepatu high heels-nya dan menenteng sepatu itu dengan sebelah tangan.Amisha membuka jilbab. Gerah. Ia harus segera mandi untuk menyegarkan tubuh lelahnya, tetapi sebelum itu ia ingin merebahkan tubuhnya sejenak. Mengusir penat yang menggerogoti seluruh raganya gara-gara mengelilingi mal.Sejenak yang direncanakan Amisha kebablasan hingga senja tiba.Dede yang hendak menuju kamar mandi mengernyit kaget, melihat Amisha masih tidur dengan posisi sembarangan di atas ranjang.Perlahan Dede berjalan menghampiri Amisha. Wajah cantik itu benar-benar terlihat lelah. Dede melirik tas belanja yang diletakkannya di atas
“Aku tidak suka melihat kau terluka. Selama kau berstatus sebagai istriku, kau harus menjaga dirimu baik-baik. Jangan sampai terluka, walau hanya lecet kecil. Ingat itu!” kata Dede tegas, membuat Amisha merinding.Amisha ingin membantah perkataan Dede. Namun, tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Kalimat sanggahan yang menari di kepalanya seakan tercekat di kerongkongan. Lidahnya pun terasa kelu. Ia hanya bisa menatap sinis pada Dede, menunjukkan perlawanan dan penolakannya terhadap peringatan lelaki itu.“Sekarang mandilah! Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu,” perintah Dede lembut.Dede meninggalkan Amisha seorang diri dan membawa pergi kotak P3K bersamanya.Amisha masih duduk termenung di tepi ranjang, menggerakkan kaki kanannya yang tak lagi kram. Pikiranny
Zain turun dari mobil sambil menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Ia baru saja kembali dari mengantar Amisha konsultasi ke dokter kandungan. Kondisi kejiwaan Amisha yang terguncang karena musibah beruntun yang menimpa mereka sedikit berpengaruh pada kandungannya. Kandungan Amisha melemah. Untungnya, janin dalam rahim Amisha tidak sampai mengalami keguguran. Dokter menyarankan agar Amisha lebih banyak beristirahat dan berpikir positif tentang segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Kabar dari dokter itu tentu saja membuat hati Zain tak tenang. Ia tak ingin kehilangan buah cintanya dengan Amisha. Oleh karena itu, ia memutuskan agar Amisha bekerja dari rumah saja. Tidak hanya itu, ia juga meminta Amisha untuk menyerahkan tanggung jawab perusahaan yang berhubungan dengan perjalanan bisnis luar kota kepada Gianna. Bukan maksud hati Zain untuk bersikap otoriter kepada Amisha, ia hanya ingin menjaga keselamatan istri dan anaknya yang berada di bawah pengawasan k
“Aaargh!” pekik Zain kesal, menyebabkan pemandangan yang melelahkan mata.Lembaran kertas berserakan tak keruan di atas meja kerja Zain. Sebagian bahkan tercecer dan bertebaran di atas lantai. Sepertinya ruangan itu baru saja diterpa badai. Ya, badai kekalutan yang membuat rambut Zain keriting dan berdiri tegak. Tangannya bergerak bebas penuh jengkel, menyapu dokumen yang tengah dibacanya sehingga dokumen itu berhamburan ke segala arah.Zain mengempaskan punggung pada sandaran kursi putarnya. Rambutnya yang biasa rapi kini tampak semrawut bagai tak pernah disentuh sisir sama sekali. Wajah tampannya terlihat kusut. Butiran keringat dari keningnya berjatuhan menimpa kemeja putih yang dikenakannya.Tersentak duduk, Zain meraih salah satu kertas yang bertebaran di atas meja.BRAK!Kepalan tinju mendarat kencang di atas meja setelah ia membaca kertas yang tadi diambilnya. Seiring dengan kepalan tinju itu, ia bangkit. Matanya menatap garang pa
Seminggu telah berlalu semenjak meninggalnya Claudya. Amisha tak lagi terpuruk dalam duka dan rasa bersalah. Perlahan ia mulai bangkit. Nasihat bijak Zain yang terus mengalir bak mata air di pegunungan menyejukkan hati Amisha. Menjernihkan pandangan mata hatinya yang tertutup kabut prasangka, sehingga ia mampu mengumpulkan kembali serpihan kepercayaan dirinya yang tercerai-berai karena stempel wanita pembawa sial yang direkatkan mantan calon mertuanya.Amisha kini menyadari bahwa semua hal buruk yang menimpa adalah cara Tuhan untuk menggiring dirinya menuju takdir yang lebih baik. Tuhan ingin membuktikan bahwa sesuatu yang dia anggap baik, belum tentu baik untuk dirinya. Dan sesuatu yang dia anggap buruk, belum tentu buruk untuk dirinya. Karena sering kali Tuhan mengemas tawa di balik air mata. Hanya Tuhan yang mengetahui segalanya. Sementara dia tidak mengetahui apa-apa selain sekadar mengikuti prasangka semata.Jarum jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam ketik
Langit yang semula cerah dan hangat mendadak berubah mendung. Awan kelabu berarak perlahan menutupi sinar mentari. Satu per satu pelayat berlalu. Meninggalkan Harist dan kedua anak perempuannya di pemakaman itu. Tertunduk lesu dalam sendu dengan hati yang mengharu biru, seakan tak percaya bahwa Claudya telah pergi jauh. Gerimis mulai meluruh, seakan ikut bersedih atas kembalinya seorang hamba ke pangkuan Rabb-nya. Amisha tafakur menatap gundukan tanah merah yang mulai basah tanpa berkedip. Tangan kanannya masih bertumpu pada batu nisan mamanya yang masih baru. Sedu sedannya tak lagi terdengar. Hanya bulir air mata merembes perlahan, tersamarkan oleh rinai yang telah menjelma menjadi rintik hujan. “Kau wanita pembawa sial!” Julukan wanita pembawa sial terus bergema di telinga Amisha. Gaungnya menghantam keras jantung hati Amisha, meninggalkan rongga luka yang teramat dalam. Tanpa sadar Amisha melupakan hakikat
Sabtu pagi matahari bersinar lembut. Langit tampak indah tanpa serpihan kumulus yang menodai biru cerah nan merata, hingga ke titik terendah cakrawala.Semilir angin berembus syahdu. Menggerakkan dedaunan dan ujung-ujung ranting pepohonan dalam tempo lambat. Sungguh sebuah pagi yang damai.Amisha mematut diri di depan cermin. Merapikan ujung jilbabnya yang terlihat sedikit berantakan.CEKLEK!Zain membuka pintu. Mendorongnya perlahan, sekadar memberi celah agar ia bisa melongokkan kepala.“Sudah siap belum, Sweetie?” tanya Zain, berseru dari celah pintu.“Iya. Sebentar!” Amisha menyahut tanpa menoleh.Sekali lagi ia melirik pantulan dirinya di dalam cermin. Tersenyum tipis, lalu balik badan menjauh dari cermin.Amisha menyambar tas yang tergeletak di atas meja sambil lalu. Dan ia tersenyum lebar, membalas senyuman kekaguman yang terukir di bibir suaminya.“Kau selalu membuatku terpesona!” bisik Zain, me
GUBRAK!Gianna yang tengah tenggelam dalam kesibukannya di depan laptop tersentak kaget. Tanpa ada hujan ataupun badai, Yoshi memukul mejanya dengan cukup keras. Wajah Yoshi merah padam, membuat alis Gianna bertaut.“Apa-apaan kamu, Yosh? Datang-datang marah. Ini ruang kerjaku, jaga sikapmu!” semprot Gianna dengan amarah yang memuncak, tetapi berusaha keras untuk dikendalikannya.“Kamu kenapa sih senang sekali membuatku menderita?” omel Yoshi, menyerang balik semprotan Gianna.“Apa maksudmu?” tanya Gianna bingung, bangkit dari duduknya.Ia tak paham kenapa Yoshi pagi-pagi datang mengamuk, lalu menuduhnya dengan tuduhan aneh.‘Nih anak otaknya korslet kali ya?’ gumam hati Gianna.“Kamu itu ya … aku jemput lagi kamu tidak ada. Ditelepon tidak diangkat-angkat. Aku datangi juga tidak dibukakan pintu. Kamu dendam ya sama aku?” cerocos Yoshi panjang lebar.Matanya menatap tajam pada Gianna. Namun, tatapan menusuk itu
Berbaring dengan berbantalkan sebelah lengan, Sonny senyum-senyum sendiri mengenang kecelakaan kecil yang menimpa dirinya dan Gianna senja itu. Kala itu gemuruh hujan membatasi gerak penghuni bumi. Ia berusaha memberikan setitik kehangatan pada tubuh Gianna yang tengah menggigil dengan menyelimuti gadis itu menggunakan jaket. Sialnya, Gianna terbangun sebelum aksinya selesai. Dan tanpa diduga bibir beku gadis itu mendarat di bibirnya gara-gara Gianna memalingkan wajah, kaget saat merasakan embusan napasnya.Teringat kejadian memalukan itu, Sonny menyentuh lembut bibirnya dengan ujung jari. Pipinya merona merah bak tomat masak dan terasa panas.“Rasanya manis sekali!” desis Sonny, teringat sensasi aneh yang dirasakannya saat bibir dingin Gianna tak menyapu lembut permukaan bibirnya.Meski durasi sentuhan itu hanya dalam hitungan detik, Sonny tak dapat memungkiri bahwa saraf tepinya mengalirkan sengatan listrik halus yang membuat jantungnya bekerja lebih ker
Di dalam kamar apartemen yang cukup luas dan mewah, sebuah tempat tidur ukuran king size membentang di sisi Selatan. Sebuah lampu meja berkedap-kedip di atas nakas, di sisi kanan tempat tidur. Menghadirkan kesan suram seolah-olah sesosok makhluk astral sedang bermain-main dengan lampu itu. Yoshi berbaring dengan tatapan kosong pada langit-langit kamar.“Aarrrgh!” Yoshi berteriak kesal, diiringi dengan lampu yang berhenti berkedip dan kembali menyala terang. Ia pun telah duduk di tepi ranjang. Meremas rambutnya dengan frustrasi.Sedari tadi sebelah tangannya terulur, sibuk mempermainkan lampu meja. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi matanya belum jua mau terpejam. Pikirannya dipenuhi bayangan Gianna. Detik-detik saat mereka meninggalkan panti kembali menari di pelupuk matanya.“Lepaskan tanganku, Yosh!” maki Gianna, menarik paksa lengannya dari cekalan Yoshi begitu tiba di halaman. ‘Kamu gila!’Gianna mengelus lengannya yang te
“Ayo pulang!” ajak perempuan paruh baya, menyeret paksa lengan anak lelakinya. “Tidak, Ma. Aku tidak akan pulang sebelum agendaku selesai. Kalau Mama mau pulang, silakan Mama pulang lebih dulu,” tolak anaknya mentah-mentah sembari berusaha melepaskan cekalan tangan sang mama. “Ada apa, Nyonya? Kenapa Nyonya terburu-buru?” tanya Rasmi dengan keringat yang makin mengalir deras. “Aku tidak sudi berada dalam satu ruangan dengan perempuan pembawa sial itu!” Perempuan itu mengacungkan jari telunjuk pada Amisha. Roman wajahnya menyiratkan kebencian. “Mama! Apaan sih?” protes anaknya, tidak senang dengan perkataan mamanya sekaligus merasa malu dipelototi oleh puluhan pasang mata yang hadir di sana. “Astagfirullah, Tante … kenapa Tante menganggap Amisha sebagai perempuan pembawa sial?” tanya Gianna, langsung berdiri menghampiri perempuan itu. Ia juga tidak suka mendengar kata-kata yang ditujukan perempuan itu kepada Amisha. Sementara dari tempat duduknya, Amisha yang semula berniat