GREP!
Dede menangkap tangan Amisha yang memegang tisu.
Amisha mendongak. Bersyukur ia masih mengenakan kacamata hitam. Jika tidak, Dede pasti dapat melihat keresahan pada kedua bola matanya. Ya! Amisha resah karena sentuhan Dede lagi-lagi mengingatkannya pada sosok Aland.
‘Kenapa sentuhan mereka begitu mirip?’ Amisha membatin gundah. Cepat-cepat ia menarik lepas tangannya dari genggaman Dede.
“Keluarlah! Aku akan bekerja,” perintah Amisha tegas sembari berbalik ke tempat duduknya.
Dengan berat hati, Dede meninggalkan ruangan Amisha. Di sisi lain, rasa bahagia yang tak terkira berputar, melayang-layang melingkupi hati
Malam makin hening. Tak lagi terdengar suara canda binatang malam. Hanya detak jam dinding memecah sunyi.TIK! TOK! TIK! TOK!Amisha meraba kuduk. Suara detak jam dinding itu terdengar mengerikan dalam kesendirian dan keheningan malam. Pukul satu dini hari. Amisha menguap. Rasa kantuk sudah sejak tadi menyerangnya. Namun, bukan Amisha namanya jika ia menyerah pada kantuk, saat ia tengah fokus menggarap pekerjaannya.Amisha menggerakkan jari-jarinya yang terasa kaku. Berjam-jam berkutat dengan pensil membuat peredaran darah di jari-jarinya sedikit terganggu. Diliriknya desain yang belum selesai itu, lalu digulungnya dan dimasukkannya ke dalam sebuah tabung. Ia meletakkan tabung itu ke dalam laci meja.Masih duduk di kursinya, Amisha meregangkan otot-otot leher dengan cara
“Tidak, tidak. Aku tidak mau melakukan itu. Aku belum siap,” tolak Amisha tegas, disertai gelengan kepala.Gianna membungkuk dan menumpukan siku kiri pada meja kerja Amisha. Ia mengangkat dagu Amisha, mengamati wajah sahabatnya itu dengan teliti dari berbagai sudut. Selang beberapa waktu ia kembali berdiri seraya melepaskan kacamata hitam Amisha.“Kembalikan, Gianna!” desak Amisha. Tangannya terulur, ingin merebut kacamata itu dari Gianna.“Tidak! Kau tidak boleh lagi memakainya,” tolak Gianna. Ia menyembunyikan kacamata itu di belakang punggungnya.“Dengarkan aku, Amisha sayang! Kini sudah saatnya kau memperkenalkan diri pada dunia. Biarkan dunia melihat Amisha Harist yang sesungguhnya.” Gianna berkata dengan mimik serius.“
Siang itu matahari di langit Jakarta bersinar garang. Anak-anak jalanan melangkah lesu bermandi peluh. Menjajakan barang dagangan ataupun menawarkan jasa membersihkan kaca mobil di perempatan jalan.Amisha memperbesar suhu dingin AC mobilnya sambil menunggu lampu hijau menyala. Lantunan lagu ‘Ya Rahman’ mengalun merdu, mendinginkan suasana hatinya yang masih sedikit panas akibat perdebatannya dengan Gianna hari ini.Begitu lampu jalan berubah hijau, Amisha menginjak gas. Ia melajukan mobilnya menuju sebuah pusat perbelanjaan besar. Amisha sengaja tak mengajak Gianna pergi bersamanya. Diam-diam ia ingin mencoba saran konyol Gianna.Setelah memarkir mobil, Amisha melihat penampilannya tanpa kacamata melalui kaca spion sebelum akhirnya turun dari kuda besinya itu. Ia menyimpan kacamata hitamnya ke dalam tas.
“Aku pasti sudah gila menuruti permintaannya.” Amisha menggeleng kuat.Wajah lelaki yang menabraknya di mal tadi tiba-tiba saja melintas di ingatannya. Ia mengernyit. Merasa pernah bertemu dengan lelaki itu sebelumnya.“Di mana ya?” Amisha terus berpikir, mengingat-ingat tentang sosok lelaki yang terasa tidak asing di matanya itu.“Ya Tuhan! Dia Taksa!” pekik Amisha, setengah tak percaya.Ia tak tahu apakah ini sebuah keberuntungan atau kesialan baginya. Untuk pertama kalinya ia membuka penyamarannya dan ia malah dipertemukan dengan sosok Taksa, lelaki yang pernah dijodohkan dengannya, dan dengan terang-terangan menolaknya, hanya dalam hitungan detik perkenalan mereka.“Dunia ini benar-benar panggung sandiwara,” desis Amisha
Amisha melangkah gontai menaiki tangga menuju kamarnya. Kakinya terasa perih. Mungkin lecet. Ia belum sempat memeriksanya. Saking perihnya, terpaksa Amisha membuka sepatu high heels-nya dan menenteng sepatu itu dengan sebelah tangan.Amisha membuka jilbab. Gerah. Ia harus segera mandi untuk menyegarkan tubuh lelahnya, tetapi sebelum itu ia ingin merebahkan tubuhnya sejenak. Mengusir penat yang menggerogoti seluruh raganya gara-gara mengelilingi mal.Sejenak yang direncanakan Amisha kebablasan hingga senja tiba.Dede yang hendak menuju kamar mandi mengernyit kaget, melihat Amisha masih tidur dengan posisi sembarangan di atas ranjang.Perlahan Dede berjalan menghampiri Amisha. Wajah cantik itu benar-benar terlihat lelah. Dede melirik tas belanja yang diletakkannya di atas
“Aku tidak suka melihat kau terluka. Selama kau berstatus sebagai istriku, kau harus menjaga dirimu baik-baik. Jangan sampai terluka, walau hanya lecet kecil. Ingat itu!” kata Dede tegas, membuat Amisha merinding.Amisha ingin membantah perkataan Dede. Namun, tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Kalimat sanggahan yang menari di kepalanya seakan tercekat di kerongkongan. Lidahnya pun terasa kelu. Ia hanya bisa menatap sinis pada Dede, menunjukkan perlawanan dan penolakannya terhadap peringatan lelaki itu.“Sekarang mandilah! Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu,” perintah Dede lembut.Dede meninggalkan Amisha seorang diri dan membawa pergi kotak P3K bersamanya.Amisha masih duduk termenung di tepi ranjang, menggerakkan kaki kanannya yang tak lagi kram. Pikiranny
“Coba sejak dulu kamu tampil seperti itu. Aku yakin banyak pria yang patah hati karenamu,” goda Gianna, melirik Amisha dari kaca spion.“Yang ada mereka malah kabur melihatku,” jawab Amisha bersungut-sungut. Pandangan matanya bersirobok dengan tatapan geli Gianna melalui kaca spion.“Itu karena mereka masih anak-anak. Akalnya masih bengkok.”“Entahlah! Aku tidak mau mengingat kejadian itu lagi.”Gianna tak lagi menggoda Amisha. Ia takut suasana hati gadis itu akan berubah buruk kalau ia teruskan.Gianna berbelok dan parkir di sebuah hotel mewah. Beberapa pria dan wanita dengan gaun pesta telah mendahului mereka masuk ke hotel.Amisha turun dari mobil tanpa menunggu Gianna membukak
“Ini.”Gianna mengeluarkan dua buah undangan. Penjaga itu pun mempersilakan mereka masuk setelah mengambil alih kado yang dibawa Gianna.Amisha sangat gugup, menyadari semua mata memandang ke arahnya ketika ia dan Gianna memasuki ruangan pesta Adelino Daneswara.Gianna tidak membiarkan mental Amisha jatuh. Ia menggandeng tangan sahabatnya itu, berjalan makin ke dalam. Berniat menuju meja tempat minuman.Perempuan saling berbisik dan memandang iri pada Amisha. Kaum lelaki menatap tak berkedip, terpesona oleh keanggunan Amisha yang berbalut dress berwarna magenta, berlapis beige pada bagian atas, dengan jilbab yang juga bernuansa ungu. Sebuah bros berbentuk bulan sabit dan bintang, berhiaskan bulu pada bagian atas, tersemat di dada kirinya. Mempercantik penampilannya malam
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang