“Saya terima nikahnya dan kawinnya Hayatun Ni’ma binti Abdus Salam dengan mas kawin sebesar seratus ribu rupiah dibayarkan tunai.”
Begitu lantang lafadz itu terucap dari bibir Farhan. Tak terdengar sedikit pun keraguan dalam nada suaranya.Di dalam kamar sesaat aku hanya terpana. Lalu mendadak meriang, berdebar, dan juga mules. Entah rasa apa lagi.“Sah?”“Sah!” sahut para saksi serentak.Perasaanku makin tidak karuan. Andai saja ada cara lain.Ini bukanlah pernikahanku yang pertama kali. Namun justru itulah yang jadi masalah. Meskipun dalam agama dibolehkan dengan syarat tertentu, tapi ini gila. Aku dinikahi hanya untuk sekali ditiduri sebagai syarat agar Bang Fajar bisa kembali mempersuntingku.Astaghfirullah.Lelaki temperamen itu sudah menjatuhkan talak padaku sebanyak tiga kali. Seperti yang sudah-sudah setelah menjatuhkan talak, dia sendiri yang tergila-gila meminta untuk kembali.Namun sayang, semua tak semudah yang ia pikirkan. Kali ini jalannya untuk kembali tertutup sudah. Dia sendiri yang dengan sengaja menutup kesempatan itu.Jalan satu-satunya aku harus menikah dengan orang lain terlebih dahulu.Entah ide dari mana dan entah dengan cara apa Bang Fajar meminta, setelah selesai masa idhah dia datang bersama Farhan. Mengutarakan keinginan mereka.Mataku membelalak kaget.Farhan bukan orang asing bagi kami. Meskipun tidak pernah saling menyapa, aku tau pemuda itu salah satu penghuni kamar kost-an mahasiswa yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari kediaman ini—rumah yang setelah berpisah dengan Bang Fajar telah berpindah menjadi hak pribadiku karena kami telah berbagai harta gono gini.“Aku gak mau,” tolakku waktu itu.“Ini demi kebaikan anak kita, Dek. Lagi pula Abang masih sayang banget sama kamu,” bujuknya.Aku bergeming.“Kamu juga masih sayang ama Abang kan?” ujarnya lagi.Kalau ditanya masih sayang tentu saja masih. Karena sejujurnya aku tidak pernah menginginkan perceraian itu. Berkali aku mengingatkan untuk tidak menyebut kata cerai setiap kali terjadi pertengkaran.Namun kenyataannya kata itu dengan begitu enteng berkali-kali juga keluar dari bibirnya. Sekarang apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.“Assalamu’alaikum.”Ucapan yang diikuti ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan. Seketika dadaku bergemuruh. Dan juga gugup.Entah berapa lama aku melamun, hingga tak sadar kalau prosesi pernikahan yang hanya dihadiri kerabat dekat itu telah selesai.Aku memang menolak untuk keluar kamar. Apa lagi alasannya kalau bukan karena malu.Pisah, rujuk, pisah, rujuk lagi yang gemar dilakukan Bang Fajar saja selama ini sudah membuat aku seperti tidak punya muka lagi di hadapan para saudara. Apa lagi kali ini. Menjalani pernikahan, bersiap untuk ditiduri kemudian bersedia lagi untuk ditinggalkan.Hadeuh.Meskipun hati berontak, sayangnya aku tak punya kekuatan menolak kemauan lelaki itu. Dia selalu punya cara buat meyakinkanku bahwa apa yang terjadi pada kami adalah hal yang biasa. Dan tak perlu dibesar-besarkan.Ketukan dan ucapan itu kembali terdengar.“Waalaikum salam,” sahutku gugup.Derit daun pintu yang terbuka perlahan membuat jantungku kian bertalu. Kamar tidurku kembali dimasuki laki-laki untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini oleh sosok yang berbeda. Laki-laki kedua. Sosok yang baru setengah jam yang lalu mengikrarkan janji suci pernikahan yang seharusnya menjadi hal paling sakral malah dianggap main-main.Aku menghela napas panjang.Saat menoleh ke pintu aku tertegun.Dalam balutan kemeja putih dan celana bahan hitam ditambah peci sederhana yang ia kenakan, pemuda itu terlihat sangat berbeda dari biasanya. Aura Farhan begitu bersinar.Ternyata ia cukup tampan.Mungkin selama ini aku tidak begitu menyadari pesona yang ia miliki karena memang tidak pernah memperhatikannya.“Saya boleh masuk, Mbak?” tanyanya sopan.“Eh... iya, silakan,” sahutku makin salah tingkah. Lalu buru-buru memutar tubuh kembali menghadap meja rias.Ya Tuhan. Jangan sampai ia menyadari ketololanku karena sesaat terpana menatapnya.Lelaki itu melangkah pelan. Aku buru-buru menjatuhkan pandang ketika tanpa sengaja netra ini bertemu lewat pantulan cermin meja rias.Ia berdehem beberapa kali. Lalu menjatuhkan pinggulnya duduk di bibir ranjang.Suasana mendadak canggung.Bingung mau ngapain, aku bangkit dari kursi meja rias.“Mau minum?” Hanya kata itu yang terpikir agar aku bisa segera keluar kamar.“Boleh,” sahutnya.“Teh manis?”“Air putih aja.”“Ooh oke.”Dengan langkah cepat aku melesat menuju pintu kamar. Kalau bisa terbang sekalian. Perasaan lega luar biasa ketika kakiku menyentuh lantai ruang tengah.Aku langsung menuju dapur. Sepi. Para tamu yang memang hanya ada beberapa gelintir pun sudah tak lagi terlihat.Di ruangan berukuran 4 × 5 meter itu aku kembali tertegun. Rasanya terlalu enggan untuk kembali ke kamar. Bagaimana kalau aku berbelok ke kamar Fatih saja?Sedari pagi aku belum bercengkerama dengan bocah tiga tahun itu karena sejak pagi sudah sibuk berdandan. Ya, mungkin lebih baik kalau aku ke sana saja.Namun baru beberapa langkah, aku kembali berhenti. Farhan menungguku mengambilkan air minum untuknya. Mau nggak mau aku harus kembali ke kamar.Bagaimana kalau Fatih aku ajak ke kamar sekalian? Setidaknya dengan adanya anak itu bisa sedikit mengurangi kecanggungan di antara kami.Dengan wajah berseri aku mengetuk pintu kamar Fatih. Ternyata anak itu tengah asyik bermain dengan mbaknya.“Bundaaa.”Ia berlari mendekat begitu melihatku di depan pintu kamar. Aku menyambutnya hangat. Menggendong tubuh gempal itu dan menciumi pipinya yang ranum.“Anak Bunda wangi.”Dia tertawa senang.“Fatih saya ajak ke kamar ya, Mbak. Sementara Mbak bisa berbenah.”Wanita muda itu mengangguk.Menit berikutnya aku telah melenggang menuju kamar dengan segelas air putih di tangan. Di sampingku Fatih mengikuti.Benar saja.Senyum Farhan mengembang begitu matanya menangkap keberadaan Fatih. Dia telah mengganti kemejanya dengan kaos oblong berwarna hitam. Terlihat kontras dengan kulitnya yang kuning langsat.“Sini, Sayang. Dekat Om.” Ia menepuk ranjang di sampingnya.Fatih menatapku. Mungkin heran, kenapa di kamar bundanya bukan sang Ayah, tapi orang lain. Aku mengangguk, memberi isyarat agar ia mendekat. Seperti yang diminta Farhan. Lalu aku sendiri menyuguhkan air yang aku bawa ke Farhan.“Taruh di situ dulu aja.” Ia menunjuk ke meja kecil samping ranjang.“Buat nanti setelah memeras keringat,” lanjutnya.Aku membelalakkan mata.Dasar otak mesum.Namun sedikit lega dengan sikapnya yang sama sekali tidak lagi terlihat canggung. Padahal kami hanya interaksi satu kali sebelum pernikahan. Tepatnya saat Bang Fajar membawanya padaku waktu itu.Dengan malu-malu Fatih mendekati Farhan setelah kembali dipanggil.“Nama kamu Fatih ya?” ujarnya sambil mengangkat tubuh anak itu dan mendudukkannya di ranjang. Mereka kini berhadapan.Aku mengernyitkan dahi. Kok ia bisa tau? Perasaan aku belum mengatakan apa pun padanya tentang anak itu.“Iya, Om. Om ciapa? Kok ada di kamal Bunda?”Farhan tersentak. Reflek menatapku. Seolah minta aku yang menjawab tanya anak itu. Aku hanya mengangkat pundak.Farhan menggaruk-garuk kepala yang aku yakin tidak gatal. Sungguh melihatnya seperti itu aku ingin tertawa.“Nama Om Farhan. Om ada di kamar Bunda karena mulai hari ini Om adalah Papa kamu,” sahutnya santai sambil melirikku.“Mulai hari ini?” Aku mengulang ucapannya. Menelan ludah yang tetiba terasa seret di kerongkongan.Apa maksudnya? Jika mulai berarti akan ada waktu lanjutan yang lebih panjang.“Ada yang salah?” Ia balik bertanya.“Tapi kan ...?”Pria itu meloncat turun dari ranjang. Ia mendekat yang membuatku mundur beberapa langkah.“Tadi aku sengaja kasih kesempatan Mbak buat menjelaskan. Tapi Mbak berniat cuci tangan kan di depan anak sendiri? Makanya biarkan aku menjawab sesuai dengan apa yang bisa dicerna oleh anak seusia ini.”Wajahnya kian mendekat. Hanya berjarak beberapa inci yang membuat aku menahan napas karena gugup.“Memangnya Mbak mau aku jawab bahwa aku hanya di sini untuk meniduri ibumu sekali saja lalu pergi?” bisiknya tepat di daun telingaku yang tertutup jilbab.Wajahku menghangat seketika.Malu. Benarkah aku serendah itu?Dengan cepat aku berpaling. Lalu melangkah mendekati Fatih yang menatap kami bingung.“Ya, dia juga ayahmu,” ujarku. Sudah kepalang tanggung.Samar aku menangkap senyum terukir di bibir tipis Farhan.Ternyata dia menyebalkan.“Ayah?” Fatih malah makin bingung.“Ah sudahlah.” Aku kembali menggendong anak itu. Mau memulangkannya kembali ke si Mbak.“Biarkan dia di sini.” Farhan menahan tanganku.Aku menatap tangan kekar yang memegang pergelangan tanganku itu.“Maaf,” desisnya. Lalu melepaskan.“Walaupun aku sudah berhak melakukan lebih dari ini,” lanjutnya pelan. Menatap mataku lekat.“Jangan melampaui batas. Kamu gak liat ada anak kecil di sini,” ujarku geram. Sama berbisiknya.Farhan membuang pandang. Lalu tanpa meminta ia meraih tubuh Fatih yang masih berada di gendonganku dan membawanya kembali ke ranjang.“Siang ini Fatih bobok ma Papa ya?”Jam di dinding kamar telah menunjukkan angka 12 malam. Mataku rasanya sudah sangat mengantuk. Namun Farhan belum juga masuk kamar. Sedikit heran sebenarnya. Kok ada laki-laki yang seolah tidak peduli akan malam pengantinnya? Penasaran aku mengintip dari balik jendela kamar, ia masih asyik mengobrol dengan abangku. Lelaki yang tadi siang menjabat tangannya saat mengucapkan ijab qabul—lelaki yang paling berhak menjadi waliku karena ayah sudah tidak ada. Apa memang sudah jadi kebiasaannya tidur larut malam? Kalau pun iya, harusnya kali ini nggak. Bukankah ia tidak saja diminta untuk menikahiku? Ijab qabul lalu pulang? No. Syarat supaya Bang Fajar bisa kembali menjadi suamiku, pria itu wajib menggauli sebagaimana mestinya suami istri. Meski membayangkan laki-laki itu akan menggagahi saja membuatku bergidik. Bagaimana mungkin aku melakukannya tanpa rasa? Apa susahnya sih? Kamu tinggal pasrah, pejamkan saja mata, biarkan laki-laki itu yang melakukan tugasnya. Jika masih tidak sanggup
“Lo nggak impot*n kan?”Laki-laki yang baru saja merebahkan tubuhnya itu tersentak. Ia kembali bangkit dan menatapku tajam. “Apa? Coba ulangi!” Ia kembali mendekat. Ditatap sedemikian rupa, membuat jantung ini bergemuruh. Bukan karena jatuh cinta, tapi rasa takut yang menjalar. Ternyata ia jauh lebih sangar saat terusik. Bagaimana kalau ia melakukannya sekarang tapi memperlakukanku dengan kasar? Apalagi sepertinya ucapanku tadi benar-benar membuatnya tersinggung. Aku menggeser pinggul perlahan saat ia semakin dekat. Menelan ludah berkali-kali yang tetiba terasa seret di kerongkongan. Dasar mulut nggak ada akhlak emang. Bisa-bisanya kata itu meluncur begitu saja. “Kalau kamu benar-benar menginginkannya, maka akan aku lakukan sekarang juga. Tapi kalau Cuma demi mengikuti keinginan mantan suamimu itu, aku tidak akan melakukannya,” ucapnya datar dan dingin. Maksudnya apa? “Kamu tau kenapa?” tanyanya lagi seolah membaca jalan pikiranku, masih tanpa ekspresi. Aku bergeming. “Ba
Pintu kamarku terkuak. Reflek aku menoleh ke sana. Wajahku mungkin telah memucat saat menyadari siapa yang berdiri di sana. Ia kembali menutup pintu dengan cepat. “Abang?” Aku buru-buru bangun meski rasanya tubuh remuk. Begitu beraninya lelaki yang sudah tak berhak itu menerobos masuk tanpa permisi. “Abang gak boleh masuk ke kamar ini,” ujarku. Lalu secepatnya meraih jilbab yang tergeletak di sisi bantal dan memakainya. “Abang kangen, Dek,” ujarnya sedikit terengah. Ada perasaan senang menyelinap mendengar kata itu. Kangen. Tapi detik berikutnya kembali terbayang kata-kata Farhan. Bang Fajar hanya memanfaatkan aku demi egonya. Dan itu perlahan melukaiku. Aku menggeleng, “Tapi ..., Bang?”“Kenapa sih, Dek. Orang udah biasa juga,” protesnya. Pikirannya benar-benar telah dibutakan atau bagaimana? Jelas-jelas kemarin pagi ia sendiri yang mengantarkan seorang suami baru untukku. “Kenapa Abang bilang? Abang masuk rumah ini aja udah jelas salah selama tidak ditemani mahramku. Apalag
“Farhan, i – ini tuh masih sore. Ntar lagi Magrib,” ujarku gugup ketika wajah itu kian mendekat. Aku memejamkan mata rapat saat ujung salah satu jemarinya menyentuh pipiku lembut. Jangan tanya seperti apa degup jantung ini. Aroma maskulin tubuhnya makin menciptakan debar. Bahkan suaraku bergetar. Memalukan. Sial. Aku merutuk dalam hati. Kenapa jadi sekikuk ini. Ayolah, Yat. Selow. Lo bahkan jauh lebih berpengalaman dari brondong itu. Bisa-bisa nanti malah lo yang diminta jadi tutor karena bisa aja ini bakal jadi pengalaman pertamanya. Ah, mana mungkin. Bukannya tadi malam ia sendiri yang bilang sepuluh kali tanpa jeda aja ia sanggup? Lagi hari gini nyari cowok yang benar-benar tong tong? Mimpi kali. Tanpa disadari aku menggeleng. “Mau ngapain emang?” sahutnya. Memutus pikiran tak ada akhlak yang tetiba menguasai. Dasar jablay. Ingin kumemaki diri sendiri. Saat membuka mata, pemuda itu tengah menahan senyum dengan tatapan geli. “Aku hanya mau mengambil ini,” ujarnya lagi sam
“Telpon dari siapa?” tanyaku begitu Farhan kembali ke kamar. Pertanyaan basa-basi yang aku telah tau jawabannya. Pemuda itu melirik sekilas, “gak penting,” sahutnya. Di luar dugaan. Aku melirik sekilas. Tak ada ekspresi apa pun di sana. Sedikit heran sebenarnya, kenapa ia tidak mau membahas? Bukankah aku adalah topik pembicaraan mereka? Nyata-nyata tadi namaku yang disebut. “Ooh.” Aku menjawab singkat. Tak ingin lagi bertanya meskipun penasaran.Lelaki itu melanjutkan langkah menuju lemari pakaian. “Mau ke mana?” tanyanya sambil jalan. Mungkin karena melihat penampilanku yang sudah rapi. “Kerja.”“Ooh.”Hening. Dari kaca meja rias aku melihat dia mengutak-atik tas pakaian. “Dah baikan emang?” tanyanya lagi. “Hmm ....” Aku mengangguk. Meski aku tau dia sama sekali tidak melihat. Pemuda itu tengah fokus dengan isi kopernya. “Ooh ya udah,” sahutnya datar. Ternyata pemuda itu mengambil jaket kulitnya. Setelah merapikan kembali tas pakaian ke dalam lemari, ia berbalik. Sesaa
Aku menyeruput jus jeruk hingga menghabiskan hampir setengahnya dalam sekali tegukan. Pertanyaan ceplas-ceplos Bang Fajar nyaris membuatku tersedak. Bisa-bisanya dia menanyakan apakah aku dan Farhan telah melakukannya. “Kenapa? Kamu gak berniat berubah pikiran kan?” Bang Fajar bertanya lagi. Pria itu menatap tajam. “Apaan sih?” Aku mendelik. “Abang serius, Yat.” Tanpa mengatakannya, aku pun tau kalau lelaki yang telah memberiku satu orang putra ini mulai terlihat tidak sabaran. Wajar sebenarnya. Karena kalau Cuma menikah untuk ditiduri sekali saja seharusnya tidak memerlukan waktu lama. Namun kenyataan tidak sesimpel itu. Aku telah berusaha. Bahkan aku telah merendahkan harga diri untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu. Mengingat peristiwa malam itu perasaan malu kembali menyelimuti. Sekaligus mulai bimbang dengan kesungguhan Bang Fajar. Apa jaminan ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi? “Jadi Abang sengaja mencegat hanya untuk menanyakan ini?” Aku balik bert
Aku menatap gugup wajah Farhan yang kian mendekat. Duduk di sofa dengan jarak yang sedekat itu menghadirkan debar tersendiri. Terlebih saat napasnya yang hangat menyapu kulit wajah. Ayolah, Yat. Jangan belagak seolah lo perawan ting-ting yang sama sekali belum pernah tersentuh. Aku membatin. Yang ada nanti lo malah terlihat aneh di matanya. Pemuda di depan lo itu hanya seorang anak muda yang sengaja dipilihkan untuk sekedar singgah, lalu menghilang.Sepertinya anak muda itu sekarang tengah tergoda. Kesempatan lo buat memulai duluan, kalau sekiranya ia masih berniat menunda. Suara hati terus mengompori.Etdah! Apa yang paling penting adalah ... urusan kalian kelar. Kelar. Ya, sejak awal bukankah memang itu tujuannya? Sayang aku tak punya nyali. Atau mungkin juga gengsi karena pernah dianggap tidak punya harga diri. Sialan memang. Sungguh demi apa pun aku tak menyangka akan segugup ini. "Kebiasaan ya, makan belepotan," ujarnya sambil menyapu lembut bibirku dengan ujung jari tel
Tak penting siapa yang memulai, tapi hasil yang telah dicapai. Satu yang tak bisa dipungkiri, kenyataannya kami saling menikmati keintiman ini. Aku sangat yakin itu. Setelah menghela napas panjang, aku membuangnya perlahan. Niat yang semula hanya untuk sekedar balas menjahili, meninggalkan Farhan saat nafsu pria itu memuncak, terpatahkan dengan sendirinya. Pernah dengar istilah masuk dalam perangkap sendiri? Kali ini aku mengalami. Mencoba kabur setelah membuat gairah pemuda itu bangkit ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Akhirnya dengan sadar diri aku menyerah tak sampai dalam hitungan jam. Wajahku menghangat mengingat bagaimana cara Farhan mengeksekusi. Dia benar. Bercinta itu naluriah. Anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap makhluk yang bernyawa untuk bisa berkembang di muka bumi ini. Adalah satu kebodohan meragukan seseorang bisa atau tidak. Siapa pun dia, selama masih punya nafsu, pasti akan mengerti dengan sendirinya. Kuncinya hanya satu, dia ingin. Farhan tela
Selain sambel goreng ati yang Ibu bilang lauk kesukaan Farhan, ada banyak menu khas masakan Sunda yang tertata di meja. Pepes ikan Mas, empal gepuk, sambel dan tak ketinggalan lalapan. Juga ada nasi tutuk oncom yang lengkap dengan tahu dan tempe goreng. "Ibu mau ngapain masak sebanyak ini?" ujar Farhan begitu ia menghempaskan diri di salah satu kursi meja makan. Ia menatap semua makanan itu dengan tatapan berbinar. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi beberapa menu itu segera berpindah ke piring makannya. "Ibu mah sebenarnya mau marah atuh sama kamu," sahut wanita itu. "Bagaimana bisa kamu nggak ngabarin Ibu kalau kamu mau datang? Untung tadi Liliana nelpon nanyain kamu dah sampai apa belum," sungutnya. "Ooh dia ngabarin Ibu? Dia mau pulang juga kan ya?" Mengabaikan wajah ibunya yang cemberut Farhan malah bertanya. "Tadinya iya, lalu tetiba batal karena ada kerjaan mendadak katanya."Farhan hanya manggut. "Maafkan kami, Bu," ujarku. "Dan maaf juga baru bisa datang," lanjutk
Bab 36 "Akhir pekan depan kita ke Bogor."Ucapan Farhan pagi ini membuatku tersentak. Yang aku tahu saat aku terjaga tengah malam, Farhan sepertinya belum tidur meski matanya terpejam. Dari kelopaknya yang terlihat bergerak-gerak, aku yakin laki-laki itu hanya pura-pura terlelap saat tau aku akan terbangun. Mungkin ia tidak ingin aku mengusiknya. Namun, aku pun tidak ingin bertanya. Bisa jadi Farhan tengah memikirkan bagaimana cara memberitahukan semua pada ibunya. Bagaimana pun, ia butuh privasi. Dan sepertinya tindakanku benar. Buktinya, ia bisa langsung mengambil keputusan begitu terbangun di pagi hari. "Tapi nggak usah ajak Fatih dulu ya?" ujarnya lagi. Aku tersentak mendengar pernyataan yang sekaligus sebuah keputusan itu. Mungkin raut wajahku sedikit berubah karena tidak menduga Farhan akan mengatakan itu. Aku tau sebesar apa rasa sayangnya pada Fatih. Dan aku sama sekali tidak meragukannya. Akan tetapi saat ia tidak punya nyali untuk mengakui keberadaan anak itu di a
Sejatinya setiap manusia itu tak pernah puas dengan apa yang ia dapat. Dan itu benar adanya. Setidaknya itu yang sekarang sedang aku rasakan. Ketika masalahku dengan Bang Fajar kelar dan Farhan kini telah jadi milikku tanpa harus main kucing-kucingan lagi dengan banyak pihak, masalah lain mendadak jadi ganjalan dalam pikiran. Tentang orang tua Farhan. Ya, meskipun laki-laki itu bilang bahwa pernikahan kami telah mendapat restu dari ibunya, tetap saja aku merasa ada yang salah karena sang bunda yang menolak hadir di saat resepsi. Entah apa alasan wanita itu. Terkadang aku merasa seperti ada sesuatu yang sedang ditutupi Farhan. Mungkinkah sebenarnya restu itu belum ia dapatkan? Aku cukup tau diri untuk tidak berharap banyak bisa diterima tanpa syarat, tapi setidaknya aku punya hak untuk dianggap dan ibu Farhan berhak tau tentang wanita seperti apa yang jadi pendamping hidup putranya. Bukankah seharusnya begitu? Namun untuk mendesak Farhan aku pun merasa tidak tega. Jadi aku
Bulan separuh terlihat menggantung di langit yang temaram. Cahaya kemerahan di ufuk barat mulai tenggelam berganti cahaya lampu gedung-gedung pencakar langit yang seolah melewati batas garis cakrawala. Satu persatu bintang mulai terlihat bermunculan. Malam yang indah. Seindah rasa yang bersemayam di dadaku saat memikirkan Farhan. Setelah banyak hal yang terjadi, akhirnya aku bisa bernapas lega. Kini pernikahan kami bukan hanya telah diakui khalayak, tapi juga telah dicatat oleh pengadilan agama. Bukan lagi kawin muhallil seperti awal kami disatukan. Aku tersentak saat tiba-tiba seseorang mengungkung tubuhku dari belakang. Kedua tangan kekar yang aku sudah tahu siapa pemiliknya itu menggenggam terali pagar pembatas. Aroma shampoo menguar mendera penciuman begitu laki-laki yang memenuhi pikiran itu menyangkutkan dagunya di bahuku. Sementara kedua tangannya berpindah melingkari perutku. "Mikirin apa, Sayang?" bisiknya. "Kamu," sahutku spontan sambil memeluk kedua lengannya. Maksudku
"Gaun itu untuk resepsi kita."Langkahku tertahan. Untuk sesaat hanya tertegun lalu kemudian berbalik. "Bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Jangan biarkan aku seperti orang buta yang kehilangan tongkat. Tidak tau apa pun. Semakin aku raba, semakin aku bingung. Karena selalu saja aku menemukan hal baru yang sama sekali belum aku kenali," ujarku menatap lekat wajah itu. Farhan terkekeh pelan. "Bunda duduk di sini dulu dong!" Ia menepuk sofa di sisinya. Aku cemberut, namun tetap mendekat seperti yang ia minta. "Bagian mana yang membuat Bunda seperti orang buta?" tanyanya setelah aku menghempaskan diri di sampingnya. "Semuanya,” sahutku. Ia menautkan alis. Tak sadarkah dengan bersikap seperti itu membuat ia terlihat kian tampan berkali-kali lipat? "Coba Bunda urutkan, biar aku bisa jelaskan dengan mudah," sahutnya mengulum senyum. Farhan lalu memutar tubuh. Melipat kaki kanannya di sofa hingga posisi duduk laki-laki itu kini menghadapku.Sesaat tatapan kami bertemu. T
Cobaan apa lagi ini? Hatiku teriris melihat tatapan itu. Luisya ponakanku. Darah yang mengalir di tubuh kami sama. Jika ia terluka, aku pasti akan merasakan sakit yang sama. Namun sikap yang ditunjukkan Luisya membuat aku lupa akan hal itu. Dia bertindak menjadi seseorang yang paling benar. Menghakimi tanpa melihat dari dua sisi. Aku menghempaskan tubuh di jok belakang begitu pintu mobil tertutup rapat. “Sesuai aplikasi ya, Bu?”Ucapan sang driver hanya aku jawab dengan anggukan. Setelahnya aku memejamkan mata. Mencoba meredam emosi yang masih di ubun-ubun. “Tante itu gak pantas buat Mas Farhan.” Kata-kata yang keluar sinis dari bibir Luisya sungguh membuat sesak. Aku sama sekali tidak menyangka, gadis yang biasanya begitu manis bisa setidak punya etika itu saat bicara dengan orang yang notabene wajib dia hormati. “Tante sadar umur dong, perbedaan usia kalian lima tahun. Mas Farhan itu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dan lebih cantik dari Tante.”“Maksudnya? Sia
“Han,” panggilku pelan sambil membelakangi laki-laki itu. Meringkuk di bawah selimut dengan pikiran yang masih berkecamuk. Apa yang baru saja terjadi bukan sebagai suatu jaminan bahwa hubungan kami akan kembali membaik. Bisa saja kan Farhan hanya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Andai itu benar, betapa menyakitkannya takdirku. Jujur, sebelum ini aku bisa merasakan ketulusan Farhan. Ia telah membuktikannya, baik padaku maupun pada Fatih. Dia menyayangi kami bahkan lebih daripada Bang Fajar sendiri. Entahlah kalau itu hanya perasaanku saja. Apalagi di satu sisi ia sangat tertutup. Ikatan pernikahan seperti apa namanya jika sang istri tidak mengenal asal usul suaminya sendiri? Katakanlah tadinya pernikahan kami hanya untuk sebuah kepentingan, nyatanya takdir membuat kami bersatu lebih lama. Siapa yang bisa menolak ketentuan-Nya? “Hmmm,” sahut Farhan di belakang punggungku. Hanya gumaman. Sesaat keraguan menyelimuti. Pantaskah aku membicarakan keresahan ini di saat suasana
Sudah hari ketiga Farhan pergi dari rumah. Tepatnya aku yang mengusir. Sepertinya sikapku benar-benar membuat laki-laki muda itu terluka. Wajar. Siapapun dalam posisinya pasti akan sakit hati diperlakukan sedemikian rupa. Berharap dia yang akan memulai chat duluan agaknya hanya sesuatu yang sia-sia. Ada rasa rindu yang mendesak di dalam sini, namun terhalang gengsi. Bagaimana mungkin aku harus menjilat ludah sendiri? Seorang Hayat tidak akan melakukannya. Tapi kalau didiami, maka aku akan benar-benar kehilangan dia. Sanggupkah? “Ahhh.” Aku menggeram dalam sesal. Tak seharusnya aku terpancing dengan omongan Lilyana. Kalau pun ada masalah bukankah sebaiknya dibicarakan? Bukannya malah mengambil keputusan sepihak yang nyatanya tidak saja melukai Farhan, tapi juga diri sendiri. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Mengedepankan emosi dalam menghadapi permasalahan membuat segalanya jadi berantakan. Duh, Hayat, kenapa lo tidak belajar dari hubungan lo dengan Bang Fajar? Adakah ma
“Lo kenal tante gue?” Luisya menyela ketika melihat kami saling menatap bingung. Gadis itu mengempaskan pinggulnya di bibir ranjang. Ia menatap kami berdua bergantian. “Tante?” Lilyana malah tak kalah bingung. “Iya, adik bungsu bokap. Kenapa?” Gadis itu membetulkan duduknya. Kali ini ia bersila di atas ranjang. Sesaat Lilyana hanya tertegun. Perlahan gadis itu ikut mengempaskan pinggul di bibir ranjang, di depan Luisya. “Lha, kok bisa kebetulan gini ya?” gumamnya pelan. Seperti pada diri sendiri. “Apanya yang kebetulan,” sahutku berbarengan dengan Luisya. Aku bangkit dari tidur. Menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. Ditatap sedemikian rupa, gadis itu membuang muka. Jengah. “Ah nggak.” Ia cepat-cepat menggeleng. “Kalau kalian ...?” Aku sengaja menggantung ucapan, menanti penjelasan. Menatap mereka berdua bergantian. “Lily teman kuliah aku, Tan,” sahut Luisya. “Ooh.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. “Btw, kalian kenal di mana?” tanya Luisya lagi. “Di Facebook