Share

Bab 5

Author: Yanti Arfa
last update Last Updated: 2022-12-11 08:15:34

“Farhan, i – ini tuh masih sore. Ntar lagi Magrib,” ujarku gugup ketika wajah itu kian mendekat. Aku memejamkan mata rapat saat ujung salah satu jemarinya menyentuh pipiku lembut.

Jangan tanya seperti apa degup jantung ini. Aroma maskulin tubuhnya makin menciptakan debar. Bahkan suaraku bergetar. Memalukan.

Sial. Aku merutuk dalam hati. Kenapa jadi sekikuk ini.

Ayolah, Yat. Selow. Lo bahkan jauh lebih berpengalaman dari brondong itu. Bisa-bisa nanti malah lo yang diminta jadi tutor karena bisa aja ini bakal jadi pengalaman pertamanya.

Ah, mana mungkin. Bukannya tadi malam ia sendiri yang bilang sepuluh kali tanpa jeda aja ia sanggup? Lagi hari gini nyari cowok yang benar-benar tong tong? Mimpi kali.

Tanpa disadari aku menggeleng.

“Mau ngapain emang?” sahutnya. Memutus pikiran tak ada akhlak yang tetiba menguasai.

Dasar jablay. Ingin kumemaki diri sendiri.

Saat membuka mata, pemuda itu tengah menahan senyum dengan tatapan geli.

“Aku hanya mau mengambil ini,” ujarnya lagi sambil menunjukkan sebutir nasi di ujung jari telunjuk.

Reflek tanganku meraba pipi. Takut masih ada sisa makanan yang menempel di sana.

“Mikir apa hayoo,” ujarnya dengan tatapan menggoda.

“Gak!” sahutku ketus lalu membuang pandang. Malu.

“Ketahuan sekarang siapa yang paling omes.”

“Paan sih,” sahutku dengan wajah yang kian menghangat.

“Udah sana jauh-jauh.” Aku mendorong tubuhnya sambil wajah ditekuk. Bisa-bisanya dia mengerjaiku. Eh, apa memang aku yang terlalu berharap ya? Segitu kentara nya kah?

Lo memalukan Hayat.

Pemuda itu terkekeh.

“Tapi nanti kalau memang sudah benar-benar siap, bilang ya?” bisiknya di telinga.

“Biar kita benar-benar bisa saling menikmati,” lanjutnya. Lalu segera melompat turun sambil mengedipkan sebelah mata saat tanganku bersiap mencubit rusuknya.

Aku mendelik. Melemparnya kesal dengan bantal.

Farhan kian terpingkal.

Astaga. Hayatun ....! Pemuda itu menggodamu seolah kau anak abege yang lagi jatuh cinta.

Cinta?

Nggak lah.

Aku hanya tengah mencari cara bagaimana agar secepatnya bisa kembali ke pangkuan Bang Fajar.

Ah, sepertinya Farhan benar. Dengan masih tetap mengharap ayah dari anakku itu, aku seperti wanita yang nggak punya harga diri.

Seketika wajah ini kian memanas.

***

Entah kenapa malam ini tak seperti biasa, Fatih sedikit rewel. Dia sama sekali tidak mau ditemani baby sitter.

Selesai makan malam anak itu menerobos masuk kamar dan langsung naik ke pangkuanku yang tengah duduk di sofa sambil baca novel. Dia memeluk erat sambil membenamkan kepalanya di dadaku.

“Mau elon, Bunda,” gumamnya manja.

Aku menutup novel yang tengah aku baca. Meletakkannya ke samping begitu saja. Lalu mencium kedua pipinya gemas.

“Kangen ya?”

Bocah tiga tahun itu mengangguk.

“Ooh ya udah. Tapi Fatih jalan ya? Bunda gak kuat gendong. Bunda masih lemas,” ujarku sambil menurunkan tubuhnya dari pangkuan.

“Ndak au.” Ia menggeleng.

“Tapi, Sayang ....”

“Kenapa nggak dikelonin di sini aja?” ujar Farhan yang baru saja masuk kamar.

Aku menatap Fatih. “Mau bobok di sini?”

Anak itu menggeleng. Sejak disapih setahun yang lalu ia memang sudah dibiasakan tidur di kamar sendiri.

Lagian kenapa juga aku ngikutin saran Farhan.

“Ya sudah, kalau gitu gendong ma Papa aja ya? Bunda pasti nggak kuat.”

Tanpa menunggu persetujuan siapa pun, Farhan meraih tubuh anak itu dari gendonganku. Anehnya lagi tuh si anak sama sekali tidak menolak. Padahal biasanya kalau lagi manja begini, sama ayahnya saja anak itu nggak mau.

Mereka terlihat berbincang ringan saat menuju kamar Fatih yang terpisah ruang tengah dari kamarku. Tepatnya Farhan yang ngajak bicara, sementara anak itu hanya mengamati wajah lelaki itu lekat. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Malam anak cakep. Bobok yang nyenyak ya?” ujarnya sambil menidurkan Fatih di ranjang. Setelah itu tanpa mengatakan apa pun lagi Farhan meninggalkan kami.

“Terima kasih,” kataku.

Farhan yang sudah berada di depan pintu kamar melirik. Hanya anggukan kepalanya sebagai jawaban.

Sudah lebih dua jam aku menemani. Entah sudah berapa banyak dongeng yang aku ceritakan. Fatih belum juga terpejam.

Suaraku makin lama makin pelan saat bercerita, hingga pada akhirnya aku sendiri tak lagi mendengar apa yang aku ucapkan.

Aku tersentak bangun.

Lapat suara azan menyapa pendengaran. Saat mengucek mata, tatapanku singgah pada jam Mickey Mouse yang tergantung di dinding ber-wall paper didominasi warna biru.

Pukul 04.10 menit.

Lha?

Mataku langsung cling saat menyadari tengah berada di mana. Kamar Fatih. Menatap ke samping anak itu tengah tertidur pulas. Perlahan aku bangkit dari ranjang. Beringsut turun dengan sangat hati-hati. Tak ingin mengusik tidurnya.

Lalu keluar menuju kamar sendiri.

Ketika membuka pintu aku mendapati kamar kosong. Tak ada tanda-tanda ranjang atau pun sofa bekas ditiduri. Farhan tidak terlihat di manapun.

Apa mungkin semalam pemuda itu pergi setelah mengantarkan Fatih dan nggak pulang?

Ah, bodo amatlah.

Aku melanjutkan langkah ke kamar mandi. Mau bersih-bersih untuk selanjutnya melaksanakan solat Subuh.

Menerobos masuk begitu saja saat pintu kamar mandi tersebut terbuka. Nyaris saja teriakanku menggema di pagi buta jika saja aku tidak segera membekap mulut sendiri. Dengan cepat aku berbalik. Meninggalkan tempat yang membuat wajah ini memanas hingga ke kuping. Dan kembali menutup rapat daun pintu.

Farhan sialan. Bisa-bisanya dia nggak mengunci pintu. Mana keran air juga tidak dinyalakan. Malah duduk santai di kloset sambil mengebulkan asap rokok dari sela bibirnya.

Namun bukan itu yang membuat gagal fokus. Tapi tubuhnya yang nyaris tanpa busana. Hanya menyisakan boxer yang dipelorotin hingga ke lutut. Dan perutnya itu?

Beih.

Aku benci pikiranku.

Masih dengan debar dan dumelan panjang dari bibir, aku kembali melangkah ke kamar Fatih. Lebih baik aku menumpang dulu di kamar mandinya.

Selain memaksimalkan waktu juga menghindari Farhan saat nanti ia keluar dari kamar mandi. Biarlah aktifitas bersih-bersih raga pagi ini ditunaikan di kamar putraku.

Saat kembali melangkah ke kamar, Farhan masih tidak ada.

Mungkin masih di kamar mandi, batinku. Walau setengah nggak yakin juga karena sudah lumayan lama.

Aku menggeleng pelan.

Apa peduliku? Bukankah ia hanya seseorang yang entah dalam beberapa waktu lagi akan segera angkat kaki? Ia mau mandi kek, mau tidur di sana sekalian bukan urusanku.

Ya, urusanku dengannya hanya seputar anu yang hingga saat ini belum juga terlaksana.

Astaga.

Tidak mau larut dalam pikiran yang bukan-bukan, aku melanjutkan langkah ke depan meja rias.

Hari ini aku mulai masuk kerja setelah cuti beberapa hari. Sengaja memanfaatkan cuti tahunan agar tidak ada teman kantor yang kepo dengan pernikahan nggak wajar ini.

Saat tengah asyik berdandan, aku mendengar suara dering ponsel. Dari teras. Aku menajamkan pendengaran.

“Ya, Bang.” Suara Farhan.

Penasaran aku mengintip dari balik tirai jendela yang memang menghadap ke sana. Ternyata pemuda itu telah rapi. Duduk di salah satu kursi teras dengan secangkir kopi yang masih mengebulkan asap di meja kecil di depannya.

“Belum,” jawabnya lagi.

Entah untuk pertanyaan apa dari si penelepon.

“Semalam Fatih rewel, Mbak Hayat tidur di kamarnya.”

Fix!

Si penelepon tak lain dan tak bukan pasti Bang Fajar. Ia menagih janji pemuda itu, mungkin.

Aku menghela napas panjang. Kembali fokus pada pekerjaanku make over wajah yang tadi sempat tertunda.

Sedikit heran juga sih.

Apa alasan pemuda itu menunda? Nggak mungkin karena ia tidak mengerti caranya kan?

Related chapters

  • Lelaki Kedua   Bab 6

    “Telpon dari siapa?” tanyaku begitu Farhan kembali ke kamar. Pertanyaan basa-basi yang aku telah tau jawabannya. Pemuda itu melirik sekilas, “gak penting,” sahutnya. Di luar dugaan. Aku melirik sekilas. Tak ada ekspresi apa pun di sana. Sedikit heran sebenarnya, kenapa ia tidak mau membahas? Bukankah aku adalah topik pembicaraan mereka? Nyata-nyata tadi namaku yang disebut. “Ooh.” Aku menjawab singkat. Tak ingin lagi bertanya meskipun penasaran.Lelaki itu melanjutkan langkah menuju lemari pakaian. “Mau ke mana?” tanyanya sambil jalan. Mungkin karena melihat penampilanku yang sudah rapi. “Kerja.”“Ooh.”Hening. Dari kaca meja rias aku melihat dia mengutak-atik tas pakaian. “Dah baikan emang?” tanyanya lagi. “Hmm ....” Aku mengangguk. Meski aku tau dia sama sekali tidak melihat. Pemuda itu tengah fokus dengan isi kopernya. “Ooh ya udah,” sahutnya datar. Ternyata pemuda itu mengambil jaket kulitnya. Setelah merapikan kembali tas pakaian ke dalam lemari, ia berbalik. Sesaa

    Last Updated : 2022-12-21
  • Lelaki Kedua   Bab 7

    Aku menyeruput jus jeruk hingga menghabiskan hampir setengahnya dalam sekali tegukan. Pertanyaan ceplas-ceplos Bang Fajar nyaris membuatku tersedak. Bisa-bisanya dia menanyakan apakah aku dan Farhan telah melakukannya. “Kenapa? Kamu gak berniat berubah pikiran kan?” Bang Fajar bertanya lagi. Pria itu menatap tajam. “Apaan sih?” Aku mendelik. “Abang serius, Yat.” Tanpa mengatakannya, aku pun tau kalau lelaki yang telah memberiku satu orang putra ini mulai terlihat tidak sabaran. Wajar sebenarnya. Karena kalau Cuma menikah untuk ditiduri sekali saja seharusnya tidak memerlukan waktu lama. Namun kenyataan tidak sesimpel itu. Aku telah berusaha. Bahkan aku telah merendahkan harga diri untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu. Mengingat peristiwa malam itu perasaan malu kembali menyelimuti. Sekaligus mulai bimbang dengan kesungguhan Bang Fajar. Apa jaminan ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi? “Jadi Abang sengaja mencegat hanya untuk menanyakan ini?” Aku balik bert

    Last Updated : 2022-12-23
  • Lelaki Kedua   Bab 8

    Aku menatap gugup wajah Farhan yang kian mendekat. Duduk di sofa dengan jarak yang sedekat itu menghadirkan debar tersendiri. Terlebih saat napasnya yang hangat menyapu kulit wajah. Ayolah, Yat. Jangan belagak seolah lo perawan ting-ting yang sama sekali belum pernah tersentuh. Aku membatin. Yang ada nanti lo malah terlihat aneh di matanya. Pemuda di depan lo itu hanya seorang anak muda yang sengaja dipilihkan untuk sekedar singgah, lalu menghilang.Sepertinya anak muda itu sekarang tengah tergoda. Kesempatan lo buat memulai duluan, kalau sekiranya ia masih berniat menunda. Suara hati terus mengompori.Etdah! Apa yang paling penting adalah ... urusan kalian kelar. Kelar. Ya, sejak awal bukankah memang itu tujuannya? Sayang aku tak punya nyali. Atau mungkin juga gengsi karena pernah dianggap tidak punya harga diri. Sialan memang. Sungguh demi apa pun aku tak menyangka akan segugup ini. "Kebiasaan ya, makan belepotan," ujarnya sambil menyapu lembut bibirku dengan ujung jari tel

    Last Updated : 2022-12-26
  • Lelaki Kedua   Bab 9

    Tak penting siapa yang memulai, tapi hasil yang telah dicapai. Satu yang tak bisa dipungkiri, kenyataannya kami saling menikmati keintiman ini. Aku sangat yakin itu. Setelah menghela napas panjang, aku membuangnya perlahan. Niat yang semula hanya untuk sekedar balas menjahili, meninggalkan Farhan saat nafsu pria itu memuncak, terpatahkan dengan sendirinya. Pernah dengar istilah masuk dalam perangkap sendiri? Kali ini aku mengalami. Mencoba kabur setelah membuat gairah pemuda itu bangkit ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Akhirnya dengan sadar diri aku menyerah tak sampai dalam hitungan jam. Wajahku menghangat mengingat bagaimana cara Farhan mengeksekusi. Dia benar. Bercinta itu naluriah. Anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap makhluk yang bernyawa untuk bisa berkembang di muka bumi ini. Adalah satu kebodohan meragukan seseorang bisa atau tidak. Siapa pun dia, selama masih punya nafsu, pasti akan mengerti dengan sendirinya. Kuncinya hanya satu, dia ingin. Farhan tela

    Last Updated : 2022-12-29
  • Lelaki Kedua   Bab 10

    Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku menautkan alis. Merasa tak punya urusan apapun yang mendesak, panggilan itu aku abaikan. Terputus dengan sendirinya. Setelah meletakkan ponsel di ranjang, aku berjalan cepat menuju pintu depan. Dimana ketukan makin intens. Sedikit penasaran, siapa yang bertamu pagi-pagi? Aku mundur beberapa langkah. Kaget. Tamu tak diundang itu ternyata Bang Fajar. Ia menerobos masuk begitu saja saat pintu terbuka. Wajah yang biasanya senantiasa rapi, kini mulai ditumbuhi cambang dan kumis yang dibiarkan memanjang. Rahangnya yang tajam kian mengeras. Bang Fajar terlihat sedikit tidak terurus. Ia mengedarkan pandangan. “Mana dia!?” tanyanya dengan tatapan nyalang.“Dia? Dia siapa?”“Si brengsek itu.” Ia langsung masuk ke ruang tengah. Farhan. Pasti pemuda itu yang ia cari. Cuma yang membuat heran, kenapa ia tampak begitu marah? “Abang kenapa?” tanyaku sambil mengikuti langkah laki-laki itu. Bang Fajar tak menggubris. Langkahnya terus saja bergerak m

    Last Updated : 2022-12-31
  • Lelaki Kedua   Bab 11

    Aku melemparkan ponsel begitu saja dengan kasar ke ranjang. Namun buru-buru kembali meraihnya saat benda pipih itu mencelat ke lantai. Untung gapapa. Masa iya aku merelakan gawai satu-satunya itu rusak? Sementara cicilannya aja belum lunas.Etdah. Aku menarik napas lega. Lagi kalau dipikir-pikir untuk apa semua itu? Kenapa juga harus kesal kalau chatku diabaikan. Untuk apa aku marah kalau tiba-tiba nomor ponsel Farhan tidak lagi bisa dihubungi? Toh pada kenyataannya kami memang telah kelar. Ya, kelar. Telah berakhir. Tapi kok rasanya sakit ya? Makanya jangan bermain hati. Bucin sih? Dah tau laki-laki itu cuma persinggahan. Ah sial. Aku memaki suara hati sendiri. Tapi tunggu .... Bukankah sikap Farhan memang manis? Dia terlalu sempurna untuk dianggurin begitu saja. Satu lagi, kalau di matanya aku tak berarti apa-apa, ia nggak perlu kecewa dong? Apalagi sampai semarah tadi gitu tau Bang Fajar mengunjungiku. Fix! Farhan juga punya rasa yang sama. Semoga aku tidak kegeer

    Last Updated : 2023-01-03
  • Lelaki Kedua   Bab 12

    “Papaaa!” Belum sempat aku mengatakan apa pun Fatih telah lebih dulu berlari ke arah pemuda itu. Serta merta aku mengejarnya. Sesaat wajah Farhan nampak terkejut, lalu kemudian kembali terlihat santai. Ia bahkan melanjutkan menyeruput minuman seolah tak peduli apa pun. Jangan tanya seperti apa rasaku. Bukan untuk diri sendiri, tapi untuk Fatih. Di mana aku tau sebesar apa harapan anak itu padanya. Tapi apa yang ia dapat? “Papa?” Sang gadis mengulang ucapan Fatih sambil menatap bingung pada Farhan. “Maaf, Mbak. Anak saya salah orang. Dia sudah lama banget gak ketemu ayahnya. Kangen mungkin. Maaf ya.” Aku menyela, meraih tubuh Fatih dan menggendong anak itu cepat. Tanpa mengatakan apa pun lagi segera berlalu. Kembali ke parkiran. Tentu saja akan sangat tidak lucu jika aku tetap bertahan di sana. Aku tidak sekuat itu untuk menahan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Apalagi dengannya aku sempat menaruh harap, walaupun sedikit. Namun mungkin rasa kecewaku tidak akan sebesar ini jika

    Last Updated : 2023-01-04
  • Lelaki Kedua   Bab 13

    Aku tertegun menatap halaman lembar terakhir novel itu. Novel yang belum selesai dibaca tempo hari. Perasaan aku meninggalkannya di sofa. Entah bagaimana ceritanya novel tersebut tau-tau ada di laci meja rias. Namun bukan itu yang membuat tertegun. Tapi tulisan tangan yang ada di sana. KAMUDear kamu, Andai rasa adalah waktu, maka kamu adalah detik demi detik itu. Bergerak perlahan, teratur, dan pasti. Dear kamu, Andai hati ini singgasana, maka kamulah sang ratu itu. Si penguasa yang istimewa. Dear kamu, Andai cinta adalah jalan, maka bagiku hanya ada satu tujuan. Kamu. Hanya sebatas itu. Tanpa titimangsa. Tanpa tanda tangan. Apa lagi nama pembuat. Mungkinkah tulisan itu adalah milik penulisnya? Tapi apa iya semesra itu ia memperlakukan pembacanya? Bucin bener. Tapi kalau bukan, siapa? Bang Fajar? Jelas bukan dia banget. Lagipula novel itu aku beli baru beberapa hari yang lalu di salah satu toko buku di blok M square. Farhan? Mungkinkah? Jangan terlalu kege’eran, Yat

    Last Updated : 2023-01-06

Latest chapter

  • Lelaki Kedua   Bab 37

    Selain sambel goreng ati yang Ibu bilang lauk kesukaan Farhan, ada banyak menu khas masakan Sunda yang tertata di meja. Pepes ikan Mas, empal gepuk, sambel dan tak ketinggalan lalapan. Juga ada nasi tutuk oncom yang lengkap dengan tahu dan tempe goreng. "Ibu mau ngapain masak sebanyak ini?" ujar Farhan begitu ia menghempaskan diri di salah satu kursi meja makan. Ia menatap semua makanan itu dengan tatapan berbinar. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi beberapa menu itu segera berpindah ke piring makannya. "Ibu mah sebenarnya mau marah atuh sama kamu," sahut wanita itu. "Bagaimana bisa kamu nggak ngabarin Ibu kalau kamu mau datang? Untung tadi Liliana nelpon nanyain kamu dah sampai apa belum," sungutnya. "Ooh dia ngabarin Ibu? Dia mau pulang juga kan ya?" Mengabaikan wajah ibunya yang cemberut Farhan malah bertanya. "Tadinya iya, lalu tetiba batal karena ada kerjaan mendadak katanya."Farhan hanya manggut. "Maafkan kami, Bu," ujarku. "Dan maaf juga baru bisa datang," lanjutk

  • Lelaki Kedua   Bab 36

    Bab 36 "Akhir pekan depan kita ke Bogor."Ucapan Farhan pagi ini membuatku tersentak. Yang aku tahu saat aku terjaga tengah malam, Farhan sepertinya belum tidur meski matanya terpejam. Dari kelopaknya yang terlihat bergerak-gerak, aku yakin laki-laki itu hanya pura-pura terlelap saat tau aku akan terbangun. Mungkin ia tidak ingin aku mengusiknya. Namun, aku pun tidak ingin bertanya. Bisa jadi Farhan tengah memikirkan bagaimana cara memberitahukan semua pada ibunya. Bagaimana pun, ia butuh privasi. Dan sepertinya tindakanku benar. Buktinya, ia bisa langsung mengambil keputusan begitu terbangun di pagi hari. "Tapi nggak usah ajak Fatih dulu ya?" ujarnya lagi. Aku tersentak mendengar pernyataan yang sekaligus sebuah keputusan itu. Mungkin raut wajahku sedikit berubah karena tidak menduga Farhan akan mengatakan itu. Aku tau sebesar apa rasa sayangnya pada Fatih. Dan aku sama sekali tidak meragukannya. Akan tetapi saat ia tidak punya nyali untuk mengakui keberadaan anak itu di a

  • Lelaki Kedua   Bab 35

    Sejatinya setiap manusia itu tak pernah puas dengan apa yang ia dapat. Dan itu benar adanya. Setidaknya itu yang sekarang sedang aku rasakan. Ketika masalahku dengan Bang Fajar kelar dan Farhan kini telah jadi milikku tanpa harus main kucing-kucingan lagi dengan banyak pihak, masalah lain mendadak jadi ganjalan dalam pikiran. Tentang orang tua Farhan. Ya, meskipun laki-laki itu bilang bahwa pernikahan kami telah mendapat restu dari ibunya, tetap saja aku merasa ada yang salah karena sang bunda yang menolak hadir di saat resepsi. Entah apa alasan wanita itu. Terkadang aku merasa seperti ada sesuatu yang sedang ditutupi Farhan. Mungkinkah sebenarnya restu itu belum ia dapatkan? Aku cukup tau diri untuk tidak berharap banyak bisa diterima tanpa syarat, tapi setidaknya aku punya hak untuk dianggap dan ibu Farhan berhak tau tentang wanita seperti apa yang jadi pendamping hidup putranya. Bukankah seharusnya begitu? Namun untuk mendesak Farhan aku pun merasa tidak tega. Jadi aku

  • Lelaki Kedua   Bab 34

    Bulan separuh terlihat menggantung di langit yang temaram. Cahaya kemerahan di ufuk barat mulai tenggelam berganti cahaya lampu gedung-gedung pencakar langit yang seolah melewati batas garis cakrawala. Satu persatu bintang mulai terlihat bermunculan. Malam yang indah. Seindah rasa yang bersemayam di dadaku saat memikirkan Farhan. Setelah banyak hal yang terjadi, akhirnya aku bisa bernapas lega. Kini pernikahan kami bukan hanya telah diakui khalayak, tapi juga telah dicatat oleh pengadilan agama. Bukan lagi kawin muhallil seperti awal kami disatukan. Aku tersentak saat tiba-tiba seseorang mengungkung tubuhku dari belakang. Kedua tangan kekar yang aku sudah tahu siapa pemiliknya itu menggenggam terali pagar pembatas. Aroma shampoo menguar mendera penciuman begitu laki-laki yang memenuhi pikiran itu menyangkutkan dagunya di bahuku. Sementara kedua tangannya berpindah melingkari perutku. "Mikirin apa, Sayang?" bisiknya. "Kamu," sahutku spontan sambil memeluk kedua lengannya. Maksudku

  • Lelaki Kedua   Bab 33

    "Gaun itu untuk resepsi kita."Langkahku tertahan. Untuk sesaat hanya tertegun lalu kemudian berbalik. "Bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Jangan biarkan aku seperti orang buta yang kehilangan tongkat. Tidak tau apa pun. Semakin aku raba, semakin aku bingung. Karena selalu saja aku menemukan hal baru yang sama sekali belum aku kenali," ujarku menatap lekat wajah itu. Farhan terkekeh pelan. "Bunda duduk di sini dulu dong!" Ia menepuk sofa di sisinya. Aku cemberut, namun tetap mendekat seperti yang ia minta. "Bagian mana yang membuat Bunda seperti orang buta?" tanyanya setelah aku menghempaskan diri di sampingnya. "Semuanya,” sahutku. Ia menautkan alis. Tak sadarkah dengan bersikap seperti itu membuat ia terlihat kian tampan berkali-kali lipat? "Coba Bunda urutkan, biar aku bisa jelaskan dengan mudah," sahutnya mengulum senyum. Farhan lalu memutar tubuh. Melipat kaki kanannya di sofa hingga posisi duduk laki-laki itu kini menghadapku.Sesaat tatapan kami bertemu. T

  • Lelaki Kedua   Bab 32

    Cobaan apa lagi ini? Hatiku teriris melihat tatapan itu. Luisya ponakanku. Darah yang mengalir di tubuh kami sama. Jika ia terluka, aku pasti akan merasakan sakit yang sama. Namun sikap yang ditunjukkan Luisya membuat aku lupa akan hal itu. Dia bertindak menjadi seseorang yang paling benar. Menghakimi tanpa melihat dari dua sisi. Aku menghempaskan tubuh di jok belakang begitu pintu mobil tertutup rapat. “Sesuai aplikasi ya, Bu?”Ucapan sang driver hanya aku jawab dengan anggukan. Setelahnya aku memejamkan mata. Mencoba meredam emosi yang masih di ubun-ubun. “Tante itu gak pantas buat Mas Farhan.” Kata-kata yang keluar sinis dari bibir Luisya sungguh membuat sesak. Aku sama sekali tidak menyangka, gadis yang biasanya begitu manis bisa setidak punya etika itu saat bicara dengan orang yang notabene wajib dia hormati. “Tante sadar umur dong, perbedaan usia kalian lima tahun. Mas Farhan itu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dan lebih cantik dari Tante.”“Maksudnya? Sia

  • Lelaki Kedua   Bab 31

    “Han,” panggilku pelan sambil membelakangi laki-laki itu. Meringkuk di bawah selimut dengan pikiran yang masih berkecamuk. Apa yang baru saja terjadi bukan sebagai suatu jaminan bahwa hubungan kami akan kembali membaik. Bisa saja kan Farhan hanya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Andai itu benar, betapa menyakitkannya takdirku. Jujur, sebelum ini aku bisa merasakan ketulusan Farhan. Ia telah membuktikannya, baik padaku maupun pada Fatih. Dia menyayangi kami bahkan lebih daripada Bang Fajar sendiri. Entahlah kalau itu hanya perasaanku saja. Apalagi di satu sisi ia sangat tertutup. Ikatan pernikahan seperti apa namanya jika sang istri tidak mengenal asal usul suaminya sendiri? Katakanlah tadinya pernikahan kami hanya untuk sebuah kepentingan, nyatanya takdir membuat kami bersatu lebih lama. Siapa yang bisa menolak ketentuan-Nya? “Hmmm,” sahut Farhan di belakang punggungku. Hanya gumaman. Sesaat keraguan menyelimuti. Pantaskah aku membicarakan keresahan ini di saat suasana

  • Lelaki Kedua   Bab 30

    Sudah hari ketiga Farhan pergi dari rumah. Tepatnya aku yang mengusir. Sepertinya sikapku benar-benar membuat laki-laki muda itu terluka. Wajar. Siapapun dalam posisinya pasti akan sakit hati diperlakukan sedemikian rupa. Berharap dia yang akan memulai chat duluan agaknya hanya sesuatu yang sia-sia. Ada rasa rindu yang mendesak di dalam sini, namun terhalang gengsi. Bagaimana mungkin aku harus menjilat ludah sendiri? Seorang Hayat tidak akan melakukannya. Tapi kalau didiami, maka aku akan benar-benar kehilangan dia. Sanggupkah? “Ahhh.” Aku menggeram dalam sesal. Tak seharusnya aku terpancing dengan omongan Lilyana. Kalau pun ada masalah bukankah sebaiknya dibicarakan? Bukannya malah mengambil keputusan sepihak yang nyatanya tidak saja melukai Farhan, tapi juga diri sendiri. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Mengedepankan emosi dalam menghadapi permasalahan membuat segalanya jadi berantakan. Duh, Hayat, kenapa lo tidak belajar dari hubungan lo dengan Bang Fajar? Adakah ma

  • Lelaki Kedua   Bab 29

    “Lo kenal tante gue?” Luisya menyela ketika melihat kami saling menatap bingung. Gadis itu mengempaskan pinggulnya di bibir ranjang. Ia menatap kami berdua bergantian. “Tante?” Lilyana malah tak kalah bingung. “Iya, adik bungsu bokap. Kenapa?” Gadis itu membetulkan duduknya. Kali ini ia bersila di atas ranjang. Sesaat Lilyana hanya tertegun. Perlahan gadis itu ikut mengempaskan pinggul di bibir ranjang, di depan Luisya. “Lha, kok bisa kebetulan gini ya?” gumamnya pelan. Seperti pada diri sendiri. “Apanya yang kebetulan,” sahutku berbarengan dengan Luisya. Aku bangkit dari tidur. Menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. Ditatap sedemikian rupa, gadis itu membuang muka. Jengah. “Ah nggak.” Ia cepat-cepat menggeleng. “Kalau kalian ...?” Aku sengaja menggantung ucapan, menanti penjelasan. Menatap mereka berdua bergantian. “Lily teman kuliah aku, Tan,” sahut Luisya. “Ooh.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. “Btw, kalian kenal di mana?” tanya Luisya lagi. “Di Facebook

DMCA.com Protection Status