Pintu kamarku terkuak. Reflek aku menoleh ke sana. Wajahku mungkin telah memucat saat menyadari siapa yang berdiri di sana. Ia kembali menutup pintu dengan cepat.
“Abang?”Aku buru-buru bangun meski rasanya tubuh remuk. Begitu beraninya lelaki yang sudah tak berhak itu menerobos masuk tanpa permisi.“Abang gak boleh masuk ke kamar ini,” ujarku. Lalu secepatnya meraih jilbab yang tergeletak di sisi bantal dan memakainya.“Abang kangen, Dek,” ujarnya sedikit terengah.Ada perasaan senang menyelinap mendengar kata itu. Kangen. Tapi detik berikutnya kembali terbayang kata-kata Farhan. Bang Fajar hanya memanfaatkan aku demi egonya. Dan itu perlahan melukaiku.Aku menggeleng, “Tapi ..., Bang?”“Kenapa sih, Dek. Orang udah biasa juga,” protesnya.Pikirannya benar-benar telah dibutakan atau bagaimana? Jelas-jelas kemarin pagi ia sendiri yang mengantarkan seorang suami baru untukku.“Kenapa Abang bilang? Abang masuk rumah ini aja udah jelas salah selama tidak ditemani mahramku. Apalagi ini ke dalam kamar. Abang lupa apa status kita?” Nada suaraku sedikit meninggi.“Kan kita gak ngapa-ngapain?” kilahnya.“Tetap aja gak boleh. Apalagi aku sekarang dah jadi istri orang.”“Hanya sesaat.” Ia meralat cepat.“Apa pun itu,” sahutku kesal.Bang Fajar dah keterlaluan. Bagaimana bisa ia dengan seenaknya masuk ke kamarku? Ingin marah, ada Fatih di antara kami.“Fatih, temani Ayah di ruang tamu ya, Nak?” Akhirnya hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan. Kalimat yang sesungguhnya diucapkan untuk mengusir Bang Fajar.“Tapi, Dek.”“Bang ...!” Aku menatapnya dengan pandangan memohon. Ia menghela napas panjang. Lalu melengos. Kesal sepertinya.“Iya, Bunda.”Berbeda dengan tanggapan ayahnya, bocah kecil itu segera bangkit lalu melompat turun dari ranjang.Namun sebelum kakinya menyentuh lantai, tubuh mungilnya sudah disambut Bang Fajar. Meskipun tadi dia ogah-ogahan.“Ayah kangen banget sama kamu,” ujarnya sambil mencubit ujung hidung anak itu. Ia tertawa lebar. Tapi wajah itu kembali ditekuk saat menatapku. Lalu melangkah menggendong tubuh gempal itu keluar kamar.“Jangan lama-lama. Kalau gak Abang akan susul lagi ke mari,” ancamnya pas di depan pintu kamar.“Iya,” sahutku. Kemudian menghela napas lega.Laki-laki itu kian nekad saja.Sepeninggal mereka berdua, aku beranjak ke kamar mandi. Bersih-bersih seperlunya. Sebenarnya masih enggan meninggalkan tempat tidur, tapi aku takut Bang Fajar akan kembali ke kamar.Ini juga yang jadi salah satu alasan kenapa aku menerima ide gilanya untuk mau dinikahi seorang muhallil. Karena sejak resmi bercerai ia malah hampir setiap hari datang. Selalu saja ada alasannya. Kalau tidak siang ya malam hari. Dan anehnya aku pun menyukai hal itu. Sehari saja tidak mendengar kabarnya aku galau.Namun yang lebih parah ia pernah mencoba merayuku untuk melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh telah dilarang. Bahkan setengah memaksa. Beruntung aku masih bisa berpikiran waras.Benar kata orang. Jatuh cinta orang yang telah talak tiga itu itu jauh lebih gila. Mengerikan.Sikapnya itu jelas membuat resah warga sekitar yang masih memegang teguh norma agama. Dan memang apa yang ia lakukan itu sesuatu yang telah diharamkan.Selesai berdandan ala kadarnya, aku melangkah keluar kamar. Mataku langsung tertuju pada ayah dan anak itu yang malah bermain di ruang tengah. Bukan di ruang tamu seperti yang aku minta.“Bang, kok di sini?” tegurku halus.“Kenapa sih, Dek? Kan Abang Cuma nemenin Fatih.”Aku menghela napas. Percuma berdebat dengan orang yang telah dibutakan mata hatinya.Tanpa mengucapkan apa pun lagi aku melangkah ke teras. Sadar akan kemarahanku, laki-laki itu menyusul di belakang. Setelah lebih dulu memanggil baby sitter Fatih menggantikannya menemani anak itu.“Dek, jangan diemin Abang dong?” bujuknya begitu mengenyakkan pinggul di salah satu kursi teras demi melihat wajahku yang ditekuk.Aku menatapnya sekilas.“Gak sepantasnya Abang datang saat Farhan tidak ada.”“Jangan bawa-bawa nama orang itu,” sanggah Bang Fajar. Tatapannya tajam dengan mimik wajah kian tidak enak dipandang“Abang nggak suka,” lanjutnya.Aku melirik sekilas. Entah karena masih terpengaruh dengan omongan Farhan tadi malam atau memang mataku yang telah terbuka, aku makin merasa tidak nyaman dengan kehadiran dan sikapnya.“Faktanya saat ini ia yang jadi suamiku.”“Dek?”Ia menatap lekat. Wajahnya mengeras. Aku tau ia kesal. Atau mungkin sedikit aneh dengan perubahan sikapku?“Lagian sepagi ini udah namu. Gak kerja emang?” tanyaku lagi.“Kerja lah.” Ia membuang tatap.“Farhan bilang kamu sakit. Abang hanya mau memastikan saja kalau dia gak bohong,” jelasnya lagi.“Ooh,” sahutku hambar.“Kok Cuma ooh.” Bang Fajar protes.“Maaf, Bang. Kepalaku sakit, aku butuh istirahat.” Aku memutus obrolan.“Ngapain aja kalian semalaman? Kok bisa sampai sakit?” sahutnya. Ada nada tidak rela di sana.Mataku membulat.Dalam keadaan seperti ini pertanyaannya sungguh membuat ilfil. Aku mau ngapain, bukankah itu tidak lagi menjadi urusannya? Setidaknya sampai Farhan menceraikanku.Lagi pula memang tidak ada apa pun yang terjadi. Setidaknya ... belum.Daripada menjawab pertanyaan tak penting itu, diam mungkin akan jauh lebih baik. Apalagi aku memang sedang tidak ingin berdebat.“Abang mau tetap di sini, silakan. Tapi aku benar-benar ingin istirahat.”Setelah mengatakan itu aku lantas bangkit.“Jangan bilang kamu mulai mencari alasan,” tuduhnya.“Satu hal yang perlu kamu ingat, Abang tak kan pernah rela melepaskanmu,” ujarnya lagi saat kakiku sudah menginjak ruang tamu.Aku hanya menggelengkan kepala.Terserahlah.*** “Jadi tadi Bang Fajar datang?” tanya laki-laki itu sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia baru saja pulang dan langsung membersihkan diri.“Siapa yang bilang?” Aku balik bertanya tanpa berani membalas tatapannya.“Gak ada.”“Terus?”“Terus apa? Aku kan Cuma nanya,” sahutnya setelah mengembalikan handuk kecil itu ke tempat semula.Pemuda itu melangkah ke depan kaca rias. Membubuhkan sedikit minyak rambut di kepalanya kemudian sisiran. Lalu menyemprotkan parfum ke leher, dan beberapa bagian tubuh yang lain. Khas anak muda banget.Aku menatapnya dengan berbagai tanya memenuhi rongga kepala. Dan pertanyaan terpenting, bagaimana bisa pemuda setampan itu setuju untuk jadi seorang muhallil? Sungguh sulit dipercaya.“Iya. Tadi dia ke sini. Katanya kamu bilang aku sakit makanya dia datang.” Entah kenapa aku ingin menjelaskan, meski tidak diminta.Farhan mendengkus. Pemuda itu membalikkan tubuh, menyandarkan bokongnya di bibir meja rias.“Dah baikan?” tanyanya.Aku mengangguk setelah membenarkan posisi duduk. Menumpuk dua bantal di kepala ranjang dan menyandarkan punggung di sana.“Maaf tadi gak bisa menemani ke dokter,” ujarnya lagi begitu tatapannya beralih ke setumpuk kecil obat-obatan di meja samping ranjang.“Tadi pagi ada wawancara mendadak dengan dosen pembimbing,” lanjutnya lagi.“Gapapa,” sahutku.“Sakit apa emang?”Aku menggeleng.“Hanya kelelahan.”“Ooh,” sahutnya pelan.Suasana kembali terasa canggung. Sekilas aku melirik. Pemuda itu menggaruk tengkuk lalu ujung hidung. Mungkin ia juga kikuk.Aku membuang tatap saat ia menoleh karena mungkin sadar tengah diperhatikan.“Oiya, Bang Fajar tadi menanyakan apa kita sudah melakukannya?” ujarnya datar.“Haaah!” Aku menatapnya tak percaya.Pemuda itu mengangguk.“Ada-ada saja,” sahutku. Lantas membuang pandang dengan wajah menghangat.Kadang hidup memang selucu itu. Tak ada yang tau jalan takdir akan seperti apa. Namun yang pasti tak ada akibat tanpa sebab. Dan sebab kegilaan Bang Fajar lah maka ada Farhan dalam kehidupan kami.Lalu siapa yang mesti disalahkan?Suasana kembali hening.Ada rasa yang berbeda saat pemuda itu mendekat. Jantungku sepertinya bekerja ekstra keras saat dua netra ini saling bertemu tanpa sengaja. Dan makin tak beraturan saat pinggulnya dijatuhkan perlahan di bibir ranjang.Jangan bilang dia ingin menuntaskan tugas dari Bang Fajar sekarang juga.“Farhan, i – ini tuh masih sore. Ntar lagi Magrib,” ujarku gugup ketika wajah itu kian mendekat. Aku memejamkan mata rapat saat ujung salah satu jemarinya menyentuh pipiku lembut. Jangan tanya seperti apa degup jantung ini. Aroma maskulin tubuhnya makin menciptakan debar. Bahkan suaraku bergetar. Memalukan. Sial. Aku merutuk dalam hati. Kenapa jadi sekikuk ini. Ayolah, Yat. Selow. Lo bahkan jauh lebih berpengalaman dari brondong itu. Bisa-bisa nanti malah lo yang diminta jadi tutor karena bisa aja ini bakal jadi pengalaman pertamanya. Ah, mana mungkin. Bukannya tadi malam ia sendiri yang bilang sepuluh kali tanpa jeda aja ia sanggup? Lagi hari gini nyari cowok yang benar-benar tong tong? Mimpi kali. Tanpa disadari aku menggeleng. “Mau ngapain emang?” sahutnya. Memutus pikiran tak ada akhlak yang tetiba menguasai. Dasar jablay. Ingin kumemaki diri sendiri. Saat membuka mata, pemuda itu tengah menahan senyum dengan tatapan geli. “Aku hanya mau mengambil ini,” ujarnya lagi sam
“Telpon dari siapa?” tanyaku begitu Farhan kembali ke kamar. Pertanyaan basa-basi yang aku telah tau jawabannya. Pemuda itu melirik sekilas, “gak penting,” sahutnya. Di luar dugaan. Aku melirik sekilas. Tak ada ekspresi apa pun di sana. Sedikit heran sebenarnya, kenapa ia tidak mau membahas? Bukankah aku adalah topik pembicaraan mereka? Nyata-nyata tadi namaku yang disebut. “Ooh.” Aku menjawab singkat. Tak ingin lagi bertanya meskipun penasaran.Lelaki itu melanjutkan langkah menuju lemari pakaian. “Mau ke mana?” tanyanya sambil jalan. Mungkin karena melihat penampilanku yang sudah rapi. “Kerja.”“Ooh.”Hening. Dari kaca meja rias aku melihat dia mengutak-atik tas pakaian. “Dah baikan emang?” tanyanya lagi. “Hmm ....” Aku mengangguk. Meski aku tau dia sama sekali tidak melihat. Pemuda itu tengah fokus dengan isi kopernya. “Ooh ya udah,” sahutnya datar. Ternyata pemuda itu mengambil jaket kulitnya. Setelah merapikan kembali tas pakaian ke dalam lemari, ia berbalik. Sesaa
Aku menyeruput jus jeruk hingga menghabiskan hampir setengahnya dalam sekali tegukan. Pertanyaan ceplas-ceplos Bang Fajar nyaris membuatku tersedak. Bisa-bisanya dia menanyakan apakah aku dan Farhan telah melakukannya. “Kenapa? Kamu gak berniat berubah pikiran kan?” Bang Fajar bertanya lagi. Pria itu menatap tajam. “Apaan sih?” Aku mendelik. “Abang serius, Yat.” Tanpa mengatakannya, aku pun tau kalau lelaki yang telah memberiku satu orang putra ini mulai terlihat tidak sabaran. Wajar sebenarnya. Karena kalau Cuma menikah untuk ditiduri sekali saja seharusnya tidak memerlukan waktu lama. Namun kenyataan tidak sesimpel itu. Aku telah berusaha. Bahkan aku telah merendahkan harga diri untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu. Mengingat peristiwa malam itu perasaan malu kembali menyelimuti. Sekaligus mulai bimbang dengan kesungguhan Bang Fajar. Apa jaminan ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi? “Jadi Abang sengaja mencegat hanya untuk menanyakan ini?” Aku balik bert
Aku menatap gugup wajah Farhan yang kian mendekat. Duduk di sofa dengan jarak yang sedekat itu menghadirkan debar tersendiri. Terlebih saat napasnya yang hangat menyapu kulit wajah. Ayolah, Yat. Jangan belagak seolah lo perawan ting-ting yang sama sekali belum pernah tersentuh. Aku membatin. Yang ada nanti lo malah terlihat aneh di matanya. Pemuda di depan lo itu hanya seorang anak muda yang sengaja dipilihkan untuk sekedar singgah, lalu menghilang.Sepertinya anak muda itu sekarang tengah tergoda. Kesempatan lo buat memulai duluan, kalau sekiranya ia masih berniat menunda. Suara hati terus mengompori.Etdah! Apa yang paling penting adalah ... urusan kalian kelar. Kelar. Ya, sejak awal bukankah memang itu tujuannya? Sayang aku tak punya nyali. Atau mungkin juga gengsi karena pernah dianggap tidak punya harga diri. Sialan memang. Sungguh demi apa pun aku tak menyangka akan segugup ini. "Kebiasaan ya, makan belepotan," ujarnya sambil menyapu lembut bibirku dengan ujung jari tel
Tak penting siapa yang memulai, tapi hasil yang telah dicapai. Satu yang tak bisa dipungkiri, kenyataannya kami saling menikmati keintiman ini. Aku sangat yakin itu. Setelah menghela napas panjang, aku membuangnya perlahan. Niat yang semula hanya untuk sekedar balas menjahili, meninggalkan Farhan saat nafsu pria itu memuncak, terpatahkan dengan sendirinya. Pernah dengar istilah masuk dalam perangkap sendiri? Kali ini aku mengalami. Mencoba kabur setelah membuat gairah pemuda itu bangkit ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Akhirnya dengan sadar diri aku menyerah tak sampai dalam hitungan jam. Wajahku menghangat mengingat bagaimana cara Farhan mengeksekusi. Dia benar. Bercinta itu naluriah. Anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap makhluk yang bernyawa untuk bisa berkembang di muka bumi ini. Adalah satu kebodohan meragukan seseorang bisa atau tidak. Siapa pun dia, selama masih punya nafsu, pasti akan mengerti dengan sendirinya. Kuncinya hanya satu, dia ingin. Farhan tela
Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku menautkan alis. Merasa tak punya urusan apapun yang mendesak, panggilan itu aku abaikan. Terputus dengan sendirinya. Setelah meletakkan ponsel di ranjang, aku berjalan cepat menuju pintu depan. Dimana ketukan makin intens. Sedikit penasaran, siapa yang bertamu pagi-pagi? Aku mundur beberapa langkah. Kaget. Tamu tak diundang itu ternyata Bang Fajar. Ia menerobos masuk begitu saja saat pintu terbuka. Wajah yang biasanya senantiasa rapi, kini mulai ditumbuhi cambang dan kumis yang dibiarkan memanjang. Rahangnya yang tajam kian mengeras. Bang Fajar terlihat sedikit tidak terurus. Ia mengedarkan pandangan. “Mana dia!?” tanyanya dengan tatapan nyalang.“Dia? Dia siapa?”“Si brengsek itu.” Ia langsung masuk ke ruang tengah. Farhan. Pasti pemuda itu yang ia cari. Cuma yang membuat heran, kenapa ia tampak begitu marah? “Abang kenapa?” tanyaku sambil mengikuti langkah laki-laki itu. Bang Fajar tak menggubris. Langkahnya terus saja bergerak m
Aku melemparkan ponsel begitu saja dengan kasar ke ranjang. Namun buru-buru kembali meraihnya saat benda pipih itu mencelat ke lantai. Untung gapapa. Masa iya aku merelakan gawai satu-satunya itu rusak? Sementara cicilannya aja belum lunas.Etdah. Aku menarik napas lega. Lagi kalau dipikir-pikir untuk apa semua itu? Kenapa juga harus kesal kalau chatku diabaikan. Untuk apa aku marah kalau tiba-tiba nomor ponsel Farhan tidak lagi bisa dihubungi? Toh pada kenyataannya kami memang telah kelar. Ya, kelar. Telah berakhir. Tapi kok rasanya sakit ya? Makanya jangan bermain hati. Bucin sih? Dah tau laki-laki itu cuma persinggahan. Ah sial. Aku memaki suara hati sendiri. Tapi tunggu .... Bukankah sikap Farhan memang manis? Dia terlalu sempurna untuk dianggurin begitu saja. Satu lagi, kalau di matanya aku tak berarti apa-apa, ia nggak perlu kecewa dong? Apalagi sampai semarah tadi gitu tau Bang Fajar mengunjungiku. Fix! Farhan juga punya rasa yang sama. Semoga aku tidak kegeer
“Papaaa!” Belum sempat aku mengatakan apa pun Fatih telah lebih dulu berlari ke arah pemuda itu. Serta merta aku mengejarnya. Sesaat wajah Farhan nampak terkejut, lalu kemudian kembali terlihat santai. Ia bahkan melanjutkan menyeruput minuman seolah tak peduli apa pun. Jangan tanya seperti apa rasaku. Bukan untuk diri sendiri, tapi untuk Fatih. Di mana aku tau sebesar apa harapan anak itu padanya. Tapi apa yang ia dapat? “Papa?” Sang gadis mengulang ucapan Fatih sambil menatap bingung pada Farhan. “Maaf, Mbak. Anak saya salah orang. Dia sudah lama banget gak ketemu ayahnya. Kangen mungkin. Maaf ya.” Aku menyela, meraih tubuh Fatih dan menggendong anak itu cepat. Tanpa mengatakan apa pun lagi segera berlalu. Kembali ke parkiran. Tentu saja akan sangat tidak lucu jika aku tetap bertahan di sana. Aku tidak sekuat itu untuk menahan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Apalagi dengannya aku sempat menaruh harap, walaupun sedikit. Namun mungkin rasa kecewaku tidak akan sebesar ini jika
Selain sambel goreng ati yang Ibu bilang lauk kesukaan Farhan, ada banyak menu khas masakan Sunda yang tertata di meja. Pepes ikan Mas, empal gepuk, sambel dan tak ketinggalan lalapan. Juga ada nasi tutuk oncom yang lengkap dengan tahu dan tempe goreng. "Ibu mau ngapain masak sebanyak ini?" ujar Farhan begitu ia menghempaskan diri di salah satu kursi meja makan. Ia menatap semua makanan itu dengan tatapan berbinar. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi beberapa menu itu segera berpindah ke piring makannya. "Ibu mah sebenarnya mau marah atuh sama kamu," sahut wanita itu. "Bagaimana bisa kamu nggak ngabarin Ibu kalau kamu mau datang? Untung tadi Liliana nelpon nanyain kamu dah sampai apa belum," sungutnya. "Ooh dia ngabarin Ibu? Dia mau pulang juga kan ya?" Mengabaikan wajah ibunya yang cemberut Farhan malah bertanya. "Tadinya iya, lalu tetiba batal karena ada kerjaan mendadak katanya."Farhan hanya manggut. "Maafkan kami, Bu," ujarku. "Dan maaf juga baru bisa datang," lanjutk
Bab 36 "Akhir pekan depan kita ke Bogor."Ucapan Farhan pagi ini membuatku tersentak. Yang aku tahu saat aku terjaga tengah malam, Farhan sepertinya belum tidur meski matanya terpejam. Dari kelopaknya yang terlihat bergerak-gerak, aku yakin laki-laki itu hanya pura-pura terlelap saat tau aku akan terbangun. Mungkin ia tidak ingin aku mengusiknya. Namun, aku pun tidak ingin bertanya. Bisa jadi Farhan tengah memikirkan bagaimana cara memberitahukan semua pada ibunya. Bagaimana pun, ia butuh privasi. Dan sepertinya tindakanku benar. Buktinya, ia bisa langsung mengambil keputusan begitu terbangun di pagi hari. "Tapi nggak usah ajak Fatih dulu ya?" ujarnya lagi. Aku tersentak mendengar pernyataan yang sekaligus sebuah keputusan itu. Mungkin raut wajahku sedikit berubah karena tidak menduga Farhan akan mengatakan itu. Aku tau sebesar apa rasa sayangnya pada Fatih. Dan aku sama sekali tidak meragukannya. Akan tetapi saat ia tidak punya nyali untuk mengakui keberadaan anak itu di a
Sejatinya setiap manusia itu tak pernah puas dengan apa yang ia dapat. Dan itu benar adanya. Setidaknya itu yang sekarang sedang aku rasakan. Ketika masalahku dengan Bang Fajar kelar dan Farhan kini telah jadi milikku tanpa harus main kucing-kucingan lagi dengan banyak pihak, masalah lain mendadak jadi ganjalan dalam pikiran. Tentang orang tua Farhan. Ya, meskipun laki-laki itu bilang bahwa pernikahan kami telah mendapat restu dari ibunya, tetap saja aku merasa ada yang salah karena sang bunda yang menolak hadir di saat resepsi. Entah apa alasan wanita itu. Terkadang aku merasa seperti ada sesuatu yang sedang ditutupi Farhan. Mungkinkah sebenarnya restu itu belum ia dapatkan? Aku cukup tau diri untuk tidak berharap banyak bisa diterima tanpa syarat, tapi setidaknya aku punya hak untuk dianggap dan ibu Farhan berhak tau tentang wanita seperti apa yang jadi pendamping hidup putranya. Bukankah seharusnya begitu? Namun untuk mendesak Farhan aku pun merasa tidak tega. Jadi aku
Bulan separuh terlihat menggantung di langit yang temaram. Cahaya kemerahan di ufuk barat mulai tenggelam berganti cahaya lampu gedung-gedung pencakar langit yang seolah melewati batas garis cakrawala. Satu persatu bintang mulai terlihat bermunculan. Malam yang indah. Seindah rasa yang bersemayam di dadaku saat memikirkan Farhan. Setelah banyak hal yang terjadi, akhirnya aku bisa bernapas lega. Kini pernikahan kami bukan hanya telah diakui khalayak, tapi juga telah dicatat oleh pengadilan agama. Bukan lagi kawin muhallil seperti awal kami disatukan. Aku tersentak saat tiba-tiba seseorang mengungkung tubuhku dari belakang. Kedua tangan kekar yang aku sudah tahu siapa pemiliknya itu menggenggam terali pagar pembatas. Aroma shampoo menguar mendera penciuman begitu laki-laki yang memenuhi pikiran itu menyangkutkan dagunya di bahuku. Sementara kedua tangannya berpindah melingkari perutku. "Mikirin apa, Sayang?" bisiknya. "Kamu," sahutku spontan sambil memeluk kedua lengannya. Maksudku
"Gaun itu untuk resepsi kita."Langkahku tertahan. Untuk sesaat hanya tertegun lalu kemudian berbalik. "Bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Jangan biarkan aku seperti orang buta yang kehilangan tongkat. Tidak tau apa pun. Semakin aku raba, semakin aku bingung. Karena selalu saja aku menemukan hal baru yang sama sekali belum aku kenali," ujarku menatap lekat wajah itu. Farhan terkekeh pelan. "Bunda duduk di sini dulu dong!" Ia menepuk sofa di sisinya. Aku cemberut, namun tetap mendekat seperti yang ia minta. "Bagian mana yang membuat Bunda seperti orang buta?" tanyanya setelah aku menghempaskan diri di sampingnya. "Semuanya,” sahutku. Ia menautkan alis. Tak sadarkah dengan bersikap seperti itu membuat ia terlihat kian tampan berkali-kali lipat? "Coba Bunda urutkan, biar aku bisa jelaskan dengan mudah," sahutnya mengulum senyum. Farhan lalu memutar tubuh. Melipat kaki kanannya di sofa hingga posisi duduk laki-laki itu kini menghadapku.Sesaat tatapan kami bertemu. T
Cobaan apa lagi ini? Hatiku teriris melihat tatapan itu. Luisya ponakanku. Darah yang mengalir di tubuh kami sama. Jika ia terluka, aku pasti akan merasakan sakit yang sama. Namun sikap yang ditunjukkan Luisya membuat aku lupa akan hal itu. Dia bertindak menjadi seseorang yang paling benar. Menghakimi tanpa melihat dari dua sisi. Aku menghempaskan tubuh di jok belakang begitu pintu mobil tertutup rapat. “Sesuai aplikasi ya, Bu?”Ucapan sang driver hanya aku jawab dengan anggukan. Setelahnya aku memejamkan mata. Mencoba meredam emosi yang masih di ubun-ubun. “Tante itu gak pantas buat Mas Farhan.” Kata-kata yang keluar sinis dari bibir Luisya sungguh membuat sesak. Aku sama sekali tidak menyangka, gadis yang biasanya begitu manis bisa setidak punya etika itu saat bicara dengan orang yang notabene wajib dia hormati. “Tante sadar umur dong, perbedaan usia kalian lima tahun. Mas Farhan itu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dan lebih cantik dari Tante.”“Maksudnya? Sia
“Han,” panggilku pelan sambil membelakangi laki-laki itu. Meringkuk di bawah selimut dengan pikiran yang masih berkecamuk. Apa yang baru saja terjadi bukan sebagai suatu jaminan bahwa hubungan kami akan kembali membaik. Bisa saja kan Farhan hanya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Andai itu benar, betapa menyakitkannya takdirku. Jujur, sebelum ini aku bisa merasakan ketulusan Farhan. Ia telah membuktikannya, baik padaku maupun pada Fatih. Dia menyayangi kami bahkan lebih daripada Bang Fajar sendiri. Entahlah kalau itu hanya perasaanku saja. Apalagi di satu sisi ia sangat tertutup. Ikatan pernikahan seperti apa namanya jika sang istri tidak mengenal asal usul suaminya sendiri? Katakanlah tadinya pernikahan kami hanya untuk sebuah kepentingan, nyatanya takdir membuat kami bersatu lebih lama. Siapa yang bisa menolak ketentuan-Nya? “Hmmm,” sahut Farhan di belakang punggungku. Hanya gumaman. Sesaat keraguan menyelimuti. Pantaskah aku membicarakan keresahan ini di saat suasana
Sudah hari ketiga Farhan pergi dari rumah. Tepatnya aku yang mengusir. Sepertinya sikapku benar-benar membuat laki-laki muda itu terluka. Wajar. Siapapun dalam posisinya pasti akan sakit hati diperlakukan sedemikian rupa. Berharap dia yang akan memulai chat duluan agaknya hanya sesuatu yang sia-sia. Ada rasa rindu yang mendesak di dalam sini, namun terhalang gengsi. Bagaimana mungkin aku harus menjilat ludah sendiri? Seorang Hayat tidak akan melakukannya. Tapi kalau didiami, maka aku akan benar-benar kehilangan dia. Sanggupkah? “Ahhh.” Aku menggeram dalam sesal. Tak seharusnya aku terpancing dengan omongan Lilyana. Kalau pun ada masalah bukankah sebaiknya dibicarakan? Bukannya malah mengambil keputusan sepihak yang nyatanya tidak saja melukai Farhan, tapi juga diri sendiri. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Mengedepankan emosi dalam menghadapi permasalahan membuat segalanya jadi berantakan. Duh, Hayat, kenapa lo tidak belajar dari hubungan lo dengan Bang Fajar? Adakah ma
“Lo kenal tante gue?” Luisya menyela ketika melihat kami saling menatap bingung. Gadis itu mengempaskan pinggulnya di bibir ranjang. Ia menatap kami berdua bergantian. “Tante?” Lilyana malah tak kalah bingung. “Iya, adik bungsu bokap. Kenapa?” Gadis itu membetulkan duduknya. Kali ini ia bersila di atas ranjang. Sesaat Lilyana hanya tertegun. Perlahan gadis itu ikut mengempaskan pinggul di bibir ranjang, di depan Luisya. “Lha, kok bisa kebetulan gini ya?” gumamnya pelan. Seperti pada diri sendiri. “Apanya yang kebetulan,” sahutku berbarengan dengan Luisya. Aku bangkit dari tidur. Menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. Ditatap sedemikian rupa, gadis itu membuang muka. Jengah. “Ah nggak.” Ia cepat-cepat menggeleng. “Kalau kalian ...?” Aku sengaja menggantung ucapan, menanti penjelasan. Menatap mereka berdua bergantian. “Lily teman kuliah aku, Tan,” sahut Luisya. “Ooh.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. “Btw, kalian kenal di mana?” tanya Luisya lagi. “Di Facebook