Orangtua itu kurus kering seperti tengkorak hidup. Pakaiannya serba hitam, celana sebatas lutut, telanjang dada dengan jubah longgar yang terjulai sampai batas lutut memperlihatkan tubuhnya yang kurus tinggal tulang dibalut kulit. Rambutnya panjang riap-riapan. Wajahnya tiris dihiasi kumis dan jengot jarang. Sebelah matanya hanya tinggal kelopak tanpa bola mata Tampangnya seram dan tak enak dipandang.
Jiu Long berkata lantang, "Semua ini urusanku sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan temanku ini." Ia menoleh memandang Gwangsin dan mendorong gadis itu pergi, "pergilah kamu"
Orangtua itu tertawa "Baru hari ini kutemui orang yang berani memerintah di hadapanku. Bocah gila, kamu belum tahu bahwa semua orang yang pernah ketemu aku, hanya boleh pergi jika kusuruh dia pergi."
Di luar dugaan Gwangsin bukannya pergi malah tertawa mengejek. "Huh! Zhang Ma yang hebat, Iblis Chengdu yang kesohor dan ditakuti, ternyata cuma cacing kurus yang tak punya malu, beraninya cum
Zhang Ma terkesiap. Serangan dua anak muda itu cukup berbahaya. Tetapi dasar dia memang lihai. Ia menggerakkan tangan kiri menolak serangan Jiu Long, adu tenaga. Tangan kanan mengibas pasir mengembalikan kepada Gwangsin. Ia bergerak seperti ayal-ayalan tetapi akibatnya luar biasa. Pasir itu kembali menyerang Gwangsin yang terpaksa bergulingan.Sebagian pasir menerpa tubuhnya, rasanya panas. Jiu Long menerima akibat yang jauh lebih parah. Adu tenaga itu berat sebelah. Tenaga dingin Zhang Ma menghantam telak Jiu Long, menerobos sampai ke tulang sumsum. Mata Jiu Long melotot. Ia muntah darah, tiga kali. Tubuhnya bergetar kedinginan."Kalian akan mati dengan perlahan-lahan, karena aku tadi hanya menggunakan sebagian tenaga saja." Ia lalu tertawa keras, lengking suaranya bergelombang, nyaring tajam dan kering. Suara itu menusuk telinga Gwangsin dan Jiu Long. Itulah ‘Tawa Kuburan Hitam’ yang bisa membuat lawan hilang ingatan atau mati. Dalam keadaan seha
"Bagus kamu masih ingat akan paman guruku. Ia kini bertapa di kaki gunung Himalaya. Meskipun kamu mengaku kenal dengan paman guruku itu, tetapi jika kamu menyombongkan diri, tetap akan kuhajar."Zhang Ma penasaran. "Tetapi bagaimana bisa kamu mengetahui aku Zhang Ma dan jurus ‘Tawa Kuburan Hitam’, kamu juga bisa bahasa dataran tengah, sudah lama tinggal di dataran tengah?"Malini tertawa melihat Zhang Ma penasaran. "Aku enam bulan belajar bahasa dataran tengah, aku tahu semua nama pendekar kosen di negeri dataran tengah berikut ilmunya. Aku sudah satu tahun di dataran tengah, nah kini kamu serahkan dua anak muda ini kepadaku, aku punya urusan dengan mereka. Serahkan, itu lebih baik bagimu""Tidak bisa semudah itu. Anak muda Partai Naga Emas ini adalah urusanku, tak ada sangkutan dengan kamu, pergilah!"Berkata demikian Zhang Ma menoleh ke Jiu Long dan Gwangsin. Dua muda mudi ini dalam keadaan luka parah. Gwangsin berusaha mengatur pernafasan, meski pun agak sesak namun bisa berjalan l
Malini menghampiri Jiu Long. Ia berjongkok memeriksa denyut nadi. Saat berikut ia memeriksa Gwangsin. Jiu Long memandang Malini. Tadi ketika wanita itu jongkok di dekatnya ia mencium aroma harum Bau tubuh perempuan. Anehnya bau itu seperti tak asing, ia merasa pernah mencium bau yang sama. Tetapi di mana, ia lupa."Anak muda, temanmu cuma luka ringan, tidak sulit mengobatinya. Tetapi lukamu parah, tenaga dalammu luka berat, kukira tak ada tabib yang bisa mengobatimu Kupikir kamu sudah mendekati ajalmu, kasihan, padahal kamu masih muda."Suara Jiu Long nadanya getir. "Aku tahu."Kumarawet berkata dalam bahasa India. Suaranya ketus dan kasar. Malini membalas tak kalah sengitnya. Dua orang itu bertengkar. Sesaat kemudian keduanya diam. Malini menghampiri Jiu Long. "Kata suamiku, ia bisa mengobati kamu'"Wajah Jiu Long berseri, "Terimakasih, mau menolong aku." Suami isleri itu diam. Jiu Long heran. Suasana lengang. Tiba-tiba Gwangsin memecah kesunyian. "Kamu mau menolong kawanku, tetapi t
Matahari mulai doyong ke barat. Jiu Long dan Gwangsin masih terkapar di hutan. Jiu Long memandang Gwangsin dengan iba. "Gadis ini tak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah terlibat urusanku. Bahkan nyawanya kini terancam, bakal mati sengsara jika tak memperoleh obat penawar racun."Sebenarnya Jiu Long sudah bulat tekad tak mau menerima pertolongan dua pendekar asing itu, apalagi dengan syarat seperti itu. Itu kan sama dengan mengkhianati perguruannya. Lagipula mengemis pertolongan bukan sikap pendekar. Tetapi bagaimana dengan keselamatan Gwangsin yang tak berdosa?Jiu Long bimbang. "Biarlah aku tak perlu diobati, Gwangsin saja yang diberi penawar. Sebagai gantinya aku akan mengajak mereka ke suatu tempat terpencil di bukit Naga. Dalam perjalanan mungkin aku bisa menemukan jalan lolos. Pokoknya aku tidak akan mengkhianati perguruan, lagipula mana aku tahu di mana tempat Sepuh Sun Jian."Berpikir demikian Jiu Long memaksa berdiri. Sekujur tubuhnya sakit dan nyeri. Susah payah ia bisa jug
Meski melihat datangnya serangan tetapi Jiu Long tak punya tenaga untuk menangkis atau mengelak. Pukulan mendarat di bahu Jiu Long yang dengan susah payah berhasil menangkap tangan si gadis. Ia memeluk Gwangsin. "Kenapa kamu marah, aku mengatakan sesuatu yang benar."Seketika Gwangsin sadar. Ia memberontak, tetapi Jiu Long tetap memeluk. Akhirnya gadis itu diam membiarkan tubuhnya dipeluk. Hari sudah malam. Selama ini Gwangsin kenyang dihina orang karena bekas cacarnya. Ia senang berkenalan dengan Jiu Long yang tampak tidak jijik berada di dekatnya. Jiu Long bahkan mengajaknya makan bersama. Namun pujian Jiu Long tadi dikiranya sindiran seperti halnya orang-orang sering mengejeknya.Suara Jiu Long terdengar merdu di telinganya. "Gwangsin, aku memujimu dengan tulus, kamu memang cantik, aku sungguh- sungguh.""Aku tahu. Tetapi Jiu Long, apakah kamu tidak jijik memeluk aku, kamu tidak takut terjangkit cacar?"Jiu Long memeluk erat tubuh Gwangsin yang ternyata sintal dan lembut. "Tidak, a
"Mengapa pulang ke rumah nenekmu?""Nenek adalah pendekar wanita yang dikenal sebagai Dewi Obat, ia sudah mengundurkan diri dari dunia kependekaran. Ia mampu mengobati bekas cacar di kulit wajah dan tubuhku. Tetapi waktu itu aku tidak mau, aku belum bersedia. Sekarang aku mau.""Mengapa kamu tak mau, bukankah setiap wanita ingin kelihatan cantik?""Karena tak ada lelaki yang menyukai aku, tak ada yang bersedia menjadi kekasihku." Jiu Long tertawa. Ia menganggap Gwangsin, gadis yang aneh. Gwangsin seperti bisa membaca pikiran Jiu Long. "Kamu benar, memang sulit mencari lelaki yang tidak jijik padaku. Tetapi akhirnya kan aku menemukan lelaki itu," dia menatap dengan sinar mata mencinta. Dia melanjutkan sambil memeluk Jiu Long. "Menurutku, jika lelaki itu tidak jijik padaku, atau dia menyayangiku, tentu dia akan lebih sayang dan lebih mencintaiku jika wajah dan tubuhku sembuh dari bercak cacar ini. Itu sebabnya, aku ingin pulang secepatnya ke Lembah Buah Persik agar nenek menyembuhkan be
Ia memang duduk paling dekat dengan batu besar tempat sembunyi Jiu Long dan Gwangsin. Sekitar lima tongkat. Ia mendengar desah nafas muda-mudi, namun ia tak mau gegabah. Semua kawannya membaca tulisan itu, mereka memandang Dwixi. Rupanya dalam segala hal, ia yang memutuskan "Soal tanda itu, nanti saja kita tetapkan di tengah jalan. Kita tidak punya banyak waktu, ayo berangkat sekarang. Kakak Pancaxi kamu paling depan," katanya kepada lelaki yang menulis pesan.Semua bergerak ke kuda masing-masing. Pancaxi sambil menjawab, "Baik Kak” ia memutar tubuh, maju dua langkah, dua tangannya mendorong ke depan. Tiga gerakan hampir serempak. Tenaganya membanjir keluar dan menerpa batu. Batu besar terdorong membentur Jiu Long, dan Gwangsin yang terkejut karena tak menyangka akan diserang. Keduanya terjengkang kebelakang. Pancaxi tidak berhenti sampai di situ. Ia merangkak maju. Dua tangannya mencengkeram pundak dan tengkuk Jiu Long.Jiu Long merasa angin tajam mengiris kulitnya. Dalam keadaan bia
Keduanya melakukan perjalanan cepat ke Lembah Buah Persik.Gwangsin sebagai penunjuk jalan berpatokan pada matahari. Mereka beristirahat hanya waktu siang untuk makan. Gwangsin menangkap ayam hutan dan memanggang. Keduanya makan lahap. Tanpa istirahat lagi mereka melanjutkan perjalanan.Hari sudah senja, mereka tiba di bagian hutan pepohonan jati. Ketika Gwangsin sedang mencari-cari tempat yang layak untuk bermalam, dia mendengar suara keluhan. Ia menoleh, ternyata Jiu Long sudah terbaring di tanah. Lelaki itu terjatuh dari kudanya. Dia terkesiap mendapatkan Jiu Long menggigil hebat. Ia menghampiri. "Jiu Long kenapa kamu?"Jiu Long tak kuasa menjawab. Bibirnya gemetar. Butiran keringat membasahi wajahnya yang pucat pasi Tampak ia sangat kesakitan. Gwangsin ingat akan ancaman Kumarawet. "Rupanya Racun Ular Salju mulai bekerja," kata gadis itu.Gwangsin hendak menolong, tetapi mendadak saja ia merasa seperti ribuan semut merambat dalam tubuhnya. Ra