Pertanyaan itu mendadak dan tak pernah disangka. Jiu Long terkejut tetapi hanya sesaat. Ia menjawab mantap, "Eyang, aku mencintai Gwangsin. Ia paling cantik, tubuhnya molek, ia perlihatkan bahwa ia mencintai aku, tergila-gila padaku, selalu mendahulukan kepentinganku, membuat aku puas dan bahagia. Dia perempuan nomor satu dalam hidupku." Jiu Long heran akan jawabannya yang begitu mantap dan pasti. "Eyang, aku memang mencintai Gwangsin, meski banyak perempuan lain di sampingku, tetapi hanya gadis itu yang aku cintai. Tetapi di mana dia sekarang? Tetua pasti tahu dia berada di mana?" sambungnya lagi.
"Kamu pasti akan bertemu dengannya, tidak lama lagi. Camkan ini, Jiu Long, jangan kamu sia-siakan dia!"
"Kenapa Eyang? Ada apa dengan Gwangsin?"
"Dia itu cucuku, putri dari anakku! Aku titip cucuku itu padamu, Jiu Long. Aku tak minta apa pun dari kamu, hanya tolong kamu jangan sia-siakan dia, kasihani dan cintailah Gwangsin. Dan Gwangsin bersama Jiu Long, selamat ting
Mayleen tiba di desa Guandong dua hari setelah pertemuan di hutan. Dia menunggu selama tujuh hari tetapi lelaki yang dinanti tak juga muncul. Ia uring-uringan, merasa dipermainkan. Siang itu Mayleen bertiga duduk di warung makan. Ia tampak kesal, ia menggerutu kepada dua pembantunya. "Lelaki itu mempermainkan aku, tujuh hari aku sudah menunggu di desa ini. Apakah harus menunggu sampai aku tua. Dia benar-benar kurang ajar, akan aku hajar dia, kubuat dia menyesal pernah dilahirkan di dunia."Dua pembantunya, Xinxin dan Xiuying, menghiburnya bergantian. "Kami akan membalas dendam sakit hatimu.""Kalian berdua, tak boleh ikut campur soal ini. Kamu ingat itu, lelaki itu urusanku sendiri, mengerti ?!"Dua gadis itu diam, tak berani buka mulut lagi. Mereka tahu persis jika Mayleen sedang kesal dan marah-marah, lebih selamat jika mereka diamTidak lama kemudian amarah gadis itu reda, dia bertanya dengan kesal, "Ke mana aku harus mencari lelaki itu?"Xinxin
Mayleen setuju. Sepuluh hari lagi, adalah hari akhir bulan Cakra. Masih ada waktu untuk sampai di gunung itu. Perjalanan biasa dari desa Guandong ke Laojun yang diperkirakan enam hari. Jika jalan cepat biasa empat hari. Teringat Jiu Long, dia merasa sangat kesal. "Dia membodohi aku, menunggu di sini membuat aku seperti orang bodoh, dasar lelaki bangsat, nanti kuhajar dia."Pada hari itu kekesalannya mencapai puncak karena Jiu Long belum juga muncul. Ia sedang dalam suasana hati marah. Kebetulan tiga lelaki iseng menggodanya dengan kata-kata kotor. Mayleen yang sedang kesal menemukan sasaran pelampiasan amarahnya.Tiga lelaki iseng itu adalah pedagang yang hanya mengerti ilmu sekadar membela diri dari gangguan pejahat. Mereka mengira gadis India itu tidak mengerti bahasa Dataran Tengah. Tidak dinyana, Mayleen mengerti semua olok-olok kotor yang mereka bincangkan. Kemarahan Mayleen terhadap Jiu Long, tumpah habis atas tiga orang pedagang itu. Senjata bornya mela
Saat itu tangan Gwangsin menggapai Mayleen, mimiknya seperti mengejek "Kamu maju, jangan cuma bisa memerintah anak buahmu saja!”Ejekan ini memancing kemarahan Mayleen yang lantas melompat maju dengan senjata bor. Suara mencicit terdengar lebih keras, pertanda tenaga Mayleen lebih besar dari Xinxin. Gwangsin tak mau memandang enteng. Ia mengerahkan tenaga Segoro (Samudera) dan memainkan jurus yang lugas dan tegas.Dalam beberapa jurus Gwangsin kewalahan menangkis dan mengelak. Ia kemudian merogoh senjatanya, sebuah sapu lidi kecil yang disembunyikan di balik punggungnya. Pertarungan jadi imbang, sapu lidi itu berkali-kali menampar pergi bor maut itu. Pertarungan imbang. Pada jurus limapuluh, Gwangsin melompat mundur. "Aku tak punya waktu mam-main dengan kamu, tetapi kalau hanya kepandaian semacam itu, sebaiknya jangan coba menantang Jiu Long, kamu akan dipermalukan olehnya, dia terlalu tanggguh buat kamu lawan."Dua perempuan itu saling pandang. Ada
Mayleen diam mematung. Ia berpikir keras. Pasti ilmu Jiu Long sangat tinggi. Jika isterinya saja begitu tangguh, apalagi suaminya. "Gila! Gadis itu cantik jelita dengan ilmu yang tinggi, hebat juga si Jiu Long bisa memperisteri pendekar wanita itu"Tiga gadis Hirnalaya siap-siap berangkat ke gunung Laojun. Tetapi mendadak Mayleen berubah pikiran. "Aku pikir sebaiknya kita tinggal di sini dua hari lagi, aku mau istirahat dan berpikir. Masih belum terlambat untuk pergi ke gunung itu."Xinxin dan Xiuying tidak membantah.Hari sudah hampir gelap ketika Jiu Long tiba di desa Guandong. Ia menghentikan kudanya di depan warung makan. Ia memesan makan. Sambil melahap makanan, ia memanggil pelayan dan bertanya apakah pernah melihat tiga gadis asing yang cantik. Pelayan itu manggut. Setelah Jiu Long memberinya uang receh, ia rnemberitahu di mana tiga gadis India itu nginap. Dia juga menceritakan gadis India itu telah membunuh tiga orang iseng yang menggodanya dan bertarung
Mayleen tertegun, ia mengenal suara Jiu Long. Samar-samar lewat cahaya bulan dari jendela, ia melihat Jiu Long berdiri di depannya. Tiba-tiba Mayleen bangkit amarahnya. "Kenapa kamu membohongi aku?" Ia memukul dada Jiu Long.Lelaki itu tidak mengelak. "Dess!"Jiu Long terpelanting, jatuh telentang di lantai. Mayleen terkejut. "Kenapa kamu tidak mengelak?"Sambil memegangi dadanya, ia mengeluh. "Memang aku bersalah. Tetapi sebenarnya aku terlambat karena ada halangan. Di ibukota kerajaan sedang ribut, jadi semua jalan ditutup pasukan, orang tak boleh masuk keluar. Aku tertahan empat hari."Gadis India itu luluh marahnya. Ia berlutut dan memegang dada Jiu Long yang masih telentang di lantai. "Dadamu sakit?"Tangan Jiu Long memegang tangan Mayleen, menuntunnya ke bagian jantung. "Di sini sakitnya, sakit cinta. Dengarkan detak jantung orang yang mencintaimu dan yang rela mati untukmu, Mayleen."Ia hendak menarik kembali tangannya, tetapi Jiu Lon
Ma Teng dan rombongan tiba di hutan batas desa Gurah dalam perjalanan menuju Laojun. Di samping Ma Teng, tampak Yun Ching dan empat pengawalnya dari perguruan Naga Hitam. Selain itu para pendekar utama seperti Si Gila Jiaozhi bersama dua saudaranya Raoxi dan Sakerah, Si Belut Putih, Nenek Kembar Da Du Shuwan dan Xia He, Si Bayangan Hantu. Juga sepuluh anggota Patlikur Sinelir bersama duabelas punggawa pilihan. Seluruhnya, tigapuluh lima orang. Mereka menuju Laojun, selain niat berburu binatang sakti juga menyerang orang Partai Naga Emas. Mereka yakin para murid, termasuk juga Jiu Long."Sayang Yuwen tidak hadir. Kabar yang kudengar, Yuwen dan tiga muridnya telah dipermalukan Jiu Long. Mungkin itu sebabnya Yuwen mengundurkan diri,'' kata Ma Teng."Sayang sekali, padahal aku ingin mengawini Jia Li, muridnya yang cantik itu. Tak bisa jumpa sekarang, mungkin suatu hari nanti aku harus mengunjungi Lembah Bunga," tukas si Belut Putih."Jika mengunjungi Jia Li, sebaikn
Ma Teng tertawa. "Tak perlu mengeroyok, karena adikku ini Jaranan yang dulunya bernama Yun Ching akan menantang tarung Jiu Long. Adikku ini ketua partai Naga Hitam.""Kudengar Naga Hitam punya ilmu andal Naga Hitam Kelam, bagaimana hebatnya kita saksikan nanti, mungkin bisa mengalahkan Jiu Long. Aku pikir lebih baik kita keroyok saja ketua Partai Naga Emas itu, habis perkara," potong Si Bayangan Hantu.Yun Ching melihat sekeliling. Dia melihat pohon kayu yang batangnya sebesar dua pelukan manusia. Dia menuju ke pohon itu sambil berkata lantang, "Kalian lihat ini, jurus Naga Hitam Kelam”. Dia memukul. Semua orang tertegun. Mereka tidak melihat kehebatan Naga Hitam Kelam. Apa hebatnya? Pohon tetap tegar, tak ada perubahan balikan kulit pohon sedikit pun tidak lecet. Yun Ching berkata kepada seorang punggawayang tubuhnya paling kurus. "Punggawa, coba kamu sentuh pohon itu."Punggawa memegang pohon. Mendadak terdengar suara gemuruh.
Rombongan Pendekar Himalaya siang itu tiba di desa Bareng, sekitar tiga hari perjalanan dari desa Yinchuan. Mereka menunggang kuda. Paling depan pemimpin rombongan Ciu Tian, diikuti Liong Kam berdampingan dengan sastrawan Siauw Tong, kemudian Sio Lan dan Kim Mei, Li Moy berpasangan dengan Sian Hwa, Sin Thong dengan Pak Beng, Mok Tang dengan saudaranya Mok Kong.Ciu Tian berpesan pada rekannya. "Kita istirahat di sini, habis makan siang kita lanjutkan perjalanan, jangan lupa kita semua harus tetap kumpul dalam rombongan, jangan ada yang terpisah. Jika kita bersatu, semua kesulitan akan bisa diatasi."Warung makan itu tidak begitu besar. Begitu sampai di pintu masuk, mendadak Sian Hwa berseru kaget, "Mei Hwa!"Di meja pojokan, sepasang lelaki dan wanita sedang makan. Keduanya terkejut. Mei Hwa menoleh, wajahnya pucat saking kaget, lalu ia berteriak girang. "Ibu," sambil berlari memeluk Sian Hwa. Mei Hwa membawa ibunya ke meja, memperkenalkan lelaki itu. "Ibu, ini