Esok paginya Jiu Long melakukan perjalanan cepat menuju desa Guandong, memenuhi janji bertemu Mayleen. Dua malam kemarin ia puas menikmati tubuh Mei Li Tsu. Tetapi sekarang, mengingat akan segera bertemu Mayleen, ia merasa bersemangat dan gairahnya bangkit.
Di tengah jalan ketika memasuki hutan di batas desa Prigen, Jiu Long merasa ada sesuatu yang aneh di sekitarnya, ada seseorang membuntutinya. Namun setiap dia menoleh ke belakang, tak ada siapa pun. Dia memasang telinga, tak ada suara. Tak ada siapa pun, tetapi ia merasa ada orang di dekatnya. Tanpa sadar bulu kuduknya berdiri. Saat itu matahari masih di atas kepala, cukup menerangi kepadatan hutan. Namun hutan itu senyap. Tiba-tiba ia merasa desir angin, seseorang menyerang dari belakang.
Jiu Long menoleh ke belakang. Terlambat, serangan itu datang sangat cepat. Dia berkelit, menangkis. Sia-sia, tamparan lawan menerpa kepalanya. Anehnya tamparan itu bagai usapan, lembut, lunak dan tak bertenaga. Jiu Long melihat ba
Jiu Long manggut. "Aku sudah lama kangen dan rindu bertemu Eyang, hari ini Tetua sudah mau memperlihatkan diri, cucumu sangat berbahagia, mati pun cucumu ini rela.""Jiu Long, putra Jiu Biao, cucu murid Sun Zuolin , murid Yu Jin, kamu bocah nakal. Buat apa kamu mati, kalau kamu mati banyak perempuan yang nangis," katanya sambil tersenyum Kakek itu melanjutkan. "Hwang Mi Hee cucu Wang Xun itu dan gadis dari Hirnalaya itu, juga si cantik Gwangsin, semua perempuan itu akan menangis. Kamu memang bocah nakal! Aku muncul di depanmu ini tidak untuk menghukum kamu, apalagi hanya soal-soal sepele itu."Jiu Long terkesiap. Ia heran Sepuh bisa mengetahui semua kisahnya. "Ampun Eyang, aku memang bersalah, ampuni aku.""Lho, salah apa. Eyangmu ini waktu masih muda dulu lebih nakal, jumlah istri dan selirku tidak bisa kuhitung, sangat banyak," katanya dengan mimik jenaka, menggoda.Ada keramahan dan keakraban dalam suara Sepuh Sun Jian membuat Jiu Long berani menatap m
Jiu Long diam, ragu-ragu. Ia tak tahu ke mana tujuan pertanyaan Sepuh. Namun ia menjawab jujur. "Tadinya sangat mencintai, sekarang semakin lama semakin aku mulai bisa melupakan.""Bagus, cucuku. Semua itu, cinta, dendam adalah bagian dari hidup. Berlatih silat juga bagian dari hidup. Semua itu bisa mempermudah hidup tetapi bisa juga mempersulit hidup kita. Hidup ini perbudakan. Kita menjadi budak, diperbudak berbagai macam keinginan. Kamu lihat awan, dia bergerak mengikuti angin. Lihat angin yang begitu merdeka, bergerak semaunya. Dan hebatnya lagi dia berganti-ganti arah sesuka dia. Di dunia tak ada suatu kekuatan pun yang bisa menghentikan pergerakan angin. Coba pikirkan seandainya kamu bisa menaklukkan angin, atau paling tidak meniru persis sifat dan kelakuan si angin itu, pasti hebat ya?"Jiu Long merenung, pikiran menerawang mengikuti ajaran Eyang. "Cucuku, jadilah seperti angin Bajra, dia bisa semilir Sirir membuat orang ngantuk dan nyaman, tetapi pada saat yang
Jiu Long memandang Sepuh. Kakek itu duduk bersila, perlahan sedikit demi sedikit tubuhnya terangkat dari tanah. Dia berdiri. Gerakan dari duduk ke berdiri dilakukan tanpa kakinya menginjak tanah. Dia bersilat, juga tanpa berpijak di bumi Jiu Long mencoba tapi gagaL Sepuh membimbing tangan Jiu Long."Jangan rasakan bumi, lupakan bumi, tengadah memandang langit, rasakan angin, bebaskan diri macam awan. Rasakan angin di bawah kakimu. Pusatkan pikiran, tenaga dan hasratmu"Ketika kakek itu melepas tangannya, Jiu Long tak lagi berpikir sesuatu pun, pikiran bebas, kaki tak berpijak di bumi. Jiu Long melayang, tetapi begitu dia merasa gembira karena berhasil, saat itu juga kakinya menginjak tanah. Sepuh Sun Jian melatihnya berulang kali. "Pikiran harus kuat, sinambungan tidak boleh putus."Malam hari kakek itu tidur dalam semadi, sementara Jiu Long berlatih tanpa henti. Semalaman Jiu Long berlatih menguasai angin.Esok paginya Jiu Long sudah mampu duduk, sila da
Pertanyaan itu mendadak dan tak pernah disangka. Jiu Long terkejut tetapi hanya sesaat. Ia menjawab mantap, "Eyang, aku mencintai Gwangsin. Ia paling cantik, tubuhnya molek, ia perlihatkan bahwa ia mencintai aku, tergila-gila padaku, selalu mendahulukan kepentinganku, membuat aku puas dan bahagia. Dia perempuan nomor satu dalam hidupku." Jiu Long heran akan jawabannya yang begitu mantap dan pasti. "Eyang, aku memang mencintai Gwangsin, meski banyak perempuan lain di sampingku, tetapi hanya gadis itu yang aku cintai. Tetapi di mana dia sekarang? Tetua pasti tahu dia berada di mana?" sambungnya lagi."Kamu pasti akan bertemu dengannya, tidak lama lagi. Camkan ini, Jiu Long, jangan kamu sia-siakan dia!""Kenapa Eyang? Ada apa dengan Gwangsin?""Dia itu cucuku, putri dari anakku! Aku titip cucuku itu padamu, Jiu Long. Aku tak minta apa pun dari kamu, hanya tolong kamu jangan sia-siakan dia, kasihani dan cintailah Gwangsin. Dan Gwangsin bersama Jiu Long, selamat ting
Mayleen tiba di desa Guandong dua hari setelah pertemuan di hutan. Dia menunggu selama tujuh hari tetapi lelaki yang dinanti tak juga muncul. Ia uring-uringan, merasa dipermainkan. Siang itu Mayleen bertiga duduk di warung makan. Ia tampak kesal, ia menggerutu kepada dua pembantunya. "Lelaki itu mempermainkan aku, tujuh hari aku sudah menunggu di desa ini. Apakah harus menunggu sampai aku tua. Dia benar-benar kurang ajar, akan aku hajar dia, kubuat dia menyesal pernah dilahirkan di dunia."Dua pembantunya, Xinxin dan Xiuying, menghiburnya bergantian. "Kami akan membalas dendam sakit hatimu.""Kalian berdua, tak boleh ikut campur soal ini. Kamu ingat itu, lelaki itu urusanku sendiri, mengerti ?!"Dua gadis itu diam, tak berani buka mulut lagi. Mereka tahu persis jika Mayleen sedang kesal dan marah-marah, lebih selamat jika mereka diamTidak lama kemudian amarah gadis itu reda, dia bertanya dengan kesal, "Ke mana aku harus mencari lelaki itu?"Xinxin
Mayleen setuju. Sepuluh hari lagi, adalah hari akhir bulan Cakra. Masih ada waktu untuk sampai di gunung itu. Perjalanan biasa dari desa Guandong ke Laojun yang diperkirakan enam hari. Jika jalan cepat biasa empat hari. Teringat Jiu Long, dia merasa sangat kesal. "Dia membodohi aku, menunggu di sini membuat aku seperti orang bodoh, dasar lelaki bangsat, nanti kuhajar dia."Pada hari itu kekesalannya mencapai puncak karena Jiu Long belum juga muncul. Ia sedang dalam suasana hati marah. Kebetulan tiga lelaki iseng menggodanya dengan kata-kata kotor. Mayleen yang sedang kesal menemukan sasaran pelampiasan amarahnya.Tiga lelaki iseng itu adalah pedagang yang hanya mengerti ilmu sekadar membela diri dari gangguan pejahat. Mereka mengira gadis India itu tidak mengerti bahasa Dataran Tengah. Tidak dinyana, Mayleen mengerti semua olok-olok kotor yang mereka bincangkan. Kemarahan Mayleen terhadap Jiu Long, tumpah habis atas tiga orang pedagang itu. Senjata bornya mela
Saat itu tangan Gwangsin menggapai Mayleen, mimiknya seperti mengejek "Kamu maju, jangan cuma bisa memerintah anak buahmu saja!”Ejekan ini memancing kemarahan Mayleen yang lantas melompat maju dengan senjata bor. Suara mencicit terdengar lebih keras, pertanda tenaga Mayleen lebih besar dari Xinxin. Gwangsin tak mau memandang enteng. Ia mengerahkan tenaga Segoro (Samudera) dan memainkan jurus yang lugas dan tegas.Dalam beberapa jurus Gwangsin kewalahan menangkis dan mengelak. Ia kemudian merogoh senjatanya, sebuah sapu lidi kecil yang disembunyikan di balik punggungnya. Pertarungan jadi imbang, sapu lidi itu berkali-kali menampar pergi bor maut itu. Pertarungan imbang. Pada jurus limapuluh, Gwangsin melompat mundur. "Aku tak punya waktu mam-main dengan kamu, tetapi kalau hanya kepandaian semacam itu, sebaiknya jangan coba menantang Jiu Long, kamu akan dipermalukan olehnya, dia terlalu tanggguh buat kamu lawan."Dua perempuan itu saling pandang. Ada
Mayleen diam mematung. Ia berpikir keras. Pasti ilmu Jiu Long sangat tinggi. Jika isterinya saja begitu tangguh, apalagi suaminya. "Gila! Gadis itu cantik jelita dengan ilmu yang tinggi, hebat juga si Jiu Long bisa memperisteri pendekar wanita itu"Tiga gadis Hirnalaya siap-siap berangkat ke gunung Laojun. Tetapi mendadak Mayleen berubah pikiran. "Aku pikir sebaiknya kita tinggal di sini dua hari lagi, aku mau istirahat dan berpikir. Masih belum terlambat untuk pergi ke gunung itu."Xinxin dan Xiuying tidak membantah.Hari sudah hampir gelap ketika Jiu Long tiba di desa Guandong. Ia menghentikan kudanya di depan warung makan. Ia memesan makan. Sambil melahap makanan, ia memanggil pelayan dan bertanya apakah pernah melihat tiga gadis asing yang cantik. Pelayan itu manggut. Setelah Jiu Long memberinya uang receh, ia rnemberitahu di mana tiga gadis India itu nginap. Dia juga menceritakan gadis India itu telah membunuh tiga orang iseng yang menggodanya dan bertarung