Yuan Shu berdiri dan merangkul iparnya. "Kakak, kamu baru datang dari perjalanan jauh, kak Jiu Long sudah berjanji akan menghadapi para pendekar yang membela istana Kaisar Giok Timur."
Shu han tertawa, menyalami Jiu Long. "Sudah lama kita tidak berjumpa Kakak Jiu Long. Aku lihat kepandaianmu makin dahsyat. Beberapa hari lalu aku menyaksikan pertarunganmu di desa Yinchuan, kau tidak cuma mengalahkan Yuwen dan tiga muridnya tetapi juga telah mempermalukan mereka."
Usai makan malam permaisuri memerintah seorang punggawa mengantar Jiu Long ke kamar tamu. Di tengah jalan menuju kamar tamu yang letaknya di kebun bunga, Jiu Long melihat Mei Li Tsu mendatangnya.
Pendekar ini sudah ganti busana, tidak lagi mengenakan seragam pengawal, melainkan pakaian biasa. Ia tampak cantik. Mei Li Tsu memerintah punggawa itu pergi. "Biar aku yang mengantar pendekar tamu ini melihat-lihat pemandangan kebun," katanya sambil melirik Jiu Long.
Jiu Long tersenyum "Kamu tidak takut k
Kamar tamu itu letaknya di pojokan kebun bunga. Tidak ada obor, tetapi cahaya bulan purnama sedikit menerangi kebun. Sampai di depan pintu, Jiu Long masuk sambil menarik tangan Mei Li Tsu yang terlempar ke pelukannya. Di belakang pintu Jiu Long memeluk perempuan cantik itu. Tangan Jiu Long meremas bokong, satu lainnya menyusup dalam pakaian, meraba buah dada yang montok kenyal. Jiu Long mencium dengan liar. Mei Li Tsu terengah-engah.Ia bicara dengan nafas memburu, "Jiu Long, kamu menyukai aku? Jangan di sini, tidak boleh. Tengah malam nanti kamu kutunggu di kamarku, kamarku di seberang sana, di depannya ada pohon mangga, satu-satunya pohon mangga di keputren ini." Jiu Long masih memeluk, menciumi leher dan mulutnya. Mei Li Tsu susah payah melepaskan diri, kabur ke kamarnya dengan hati berbunga-bunga.Tengah malam itu Jiu Long nyelinap ke kamar Mei Li Tsu. Perempuan itu sudah menantinya dengan hanya sepotong kain melilit tubuhnya. Mei Li Tsu memburu dan melompat ke dal
Esok paginya Jiu Long melakukan perjalanan cepat menuju desa Guandong, memenuhi janji bertemu Mayleen. Dua malam kemarin ia puas menikmati tubuh Mei Li Tsu. Tetapi sekarang, mengingat akan segera bertemu Mayleen, ia merasa bersemangat dan gairahnya bangkit.Di tengah jalan ketika memasuki hutan di batas desa Prigen, Jiu Long merasa ada sesuatu yang aneh di sekitarnya, ada seseorang membuntutinya. Namun setiap dia menoleh ke belakang, tak ada siapa pun. Dia memasang telinga, tak ada suara. Tak ada siapa pun, tetapi ia merasa ada orang di dekatnya. Tanpa sadar bulu kuduknya berdiri. Saat itu matahari masih di atas kepala, cukup menerangi kepadatan hutan. Namun hutan itu senyap. Tiba-tiba ia merasa desir angin, seseorang menyerang dari belakang.Jiu Long menoleh ke belakang. Terlambat, serangan itu datang sangat cepat. Dia berkelit, menangkis. Sia-sia, tamparan lawan menerpa kepalanya. Anehnya tamparan itu bagai usapan, lembut, lunak dan tak bertenaga. Jiu Long melihat ba
Jiu Long manggut. "Aku sudah lama kangen dan rindu bertemu Eyang, hari ini Tetua sudah mau memperlihatkan diri, cucumu sangat berbahagia, mati pun cucumu ini rela.""Jiu Long, putra Jiu Biao, cucu murid Sun Zuolin , murid Yu Jin, kamu bocah nakal. Buat apa kamu mati, kalau kamu mati banyak perempuan yang nangis," katanya sambil tersenyum Kakek itu melanjutkan. "Hwang Mi Hee cucu Wang Xun itu dan gadis dari Hirnalaya itu, juga si cantik Gwangsin, semua perempuan itu akan menangis. Kamu memang bocah nakal! Aku muncul di depanmu ini tidak untuk menghukum kamu, apalagi hanya soal-soal sepele itu."Jiu Long terkesiap. Ia heran Sepuh bisa mengetahui semua kisahnya. "Ampun Eyang, aku memang bersalah, ampuni aku.""Lho, salah apa. Eyangmu ini waktu masih muda dulu lebih nakal, jumlah istri dan selirku tidak bisa kuhitung, sangat banyak," katanya dengan mimik jenaka, menggoda.Ada keramahan dan keakraban dalam suara Sepuh Sun Jian membuat Jiu Long berani menatap m
Jiu Long diam, ragu-ragu. Ia tak tahu ke mana tujuan pertanyaan Sepuh. Namun ia menjawab jujur. "Tadinya sangat mencintai, sekarang semakin lama semakin aku mulai bisa melupakan.""Bagus, cucuku. Semua itu, cinta, dendam adalah bagian dari hidup. Berlatih silat juga bagian dari hidup. Semua itu bisa mempermudah hidup tetapi bisa juga mempersulit hidup kita. Hidup ini perbudakan. Kita menjadi budak, diperbudak berbagai macam keinginan. Kamu lihat awan, dia bergerak mengikuti angin. Lihat angin yang begitu merdeka, bergerak semaunya. Dan hebatnya lagi dia berganti-ganti arah sesuka dia. Di dunia tak ada suatu kekuatan pun yang bisa menghentikan pergerakan angin. Coba pikirkan seandainya kamu bisa menaklukkan angin, atau paling tidak meniru persis sifat dan kelakuan si angin itu, pasti hebat ya?"Jiu Long merenung, pikiran menerawang mengikuti ajaran Eyang. "Cucuku, jadilah seperti angin Bajra, dia bisa semilir Sirir membuat orang ngantuk dan nyaman, tetapi pada saat yang
Jiu Long memandang Sepuh. Kakek itu duduk bersila, perlahan sedikit demi sedikit tubuhnya terangkat dari tanah. Dia berdiri. Gerakan dari duduk ke berdiri dilakukan tanpa kakinya menginjak tanah. Dia bersilat, juga tanpa berpijak di bumi Jiu Long mencoba tapi gagaL Sepuh membimbing tangan Jiu Long."Jangan rasakan bumi, lupakan bumi, tengadah memandang langit, rasakan angin, bebaskan diri macam awan. Rasakan angin di bawah kakimu. Pusatkan pikiran, tenaga dan hasratmu"Ketika kakek itu melepas tangannya, Jiu Long tak lagi berpikir sesuatu pun, pikiran bebas, kaki tak berpijak di bumi. Jiu Long melayang, tetapi begitu dia merasa gembira karena berhasil, saat itu juga kakinya menginjak tanah. Sepuh Sun Jian melatihnya berulang kali. "Pikiran harus kuat, sinambungan tidak boleh putus."Malam hari kakek itu tidur dalam semadi, sementara Jiu Long berlatih tanpa henti. Semalaman Jiu Long berlatih menguasai angin.Esok paginya Jiu Long sudah mampu duduk, sila da
Pertanyaan itu mendadak dan tak pernah disangka. Jiu Long terkejut tetapi hanya sesaat. Ia menjawab mantap, "Eyang, aku mencintai Gwangsin. Ia paling cantik, tubuhnya molek, ia perlihatkan bahwa ia mencintai aku, tergila-gila padaku, selalu mendahulukan kepentinganku, membuat aku puas dan bahagia. Dia perempuan nomor satu dalam hidupku." Jiu Long heran akan jawabannya yang begitu mantap dan pasti. "Eyang, aku memang mencintai Gwangsin, meski banyak perempuan lain di sampingku, tetapi hanya gadis itu yang aku cintai. Tetapi di mana dia sekarang? Tetua pasti tahu dia berada di mana?" sambungnya lagi."Kamu pasti akan bertemu dengannya, tidak lama lagi. Camkan ini, Jiu Long, jangan kamu sia-siakan dia!""Kenapa Eyang? Ada apa dengan Gwangsin?""Dia itu cucuku, putri dari anakku! Aku titip cucuku itu padamu, Jiu Long. Aku tak minta apa pun dari kamu, hanya tolong kamu jangan sia-siakan dia, kasihani dan cintailah Gwangsin. Dan Gwangsin bersama Jiu Long, selamat ting
Mayleen tiba di desa Guandong dua hari setelah pertemuan di hutan. Dia menunggu selama tujuh hari tetapi lelaki yang dinanti tak juga muncul. Ia uring-uringan, merasa dipermainkan. Siang itu Mayleen bertiga duduk di warung makan. Ia tampak kesal, ia menggerutu kepada dua pembantunya. "Lelaki itu mempermainkan aku, tujuh hari aku sudah menunggu di desa ini. Apakah harus menunggu sampai aku tua. Dia benar-benar kurang ajar, akan aku hajar dia, kubuat dia menyesal pernah dilahirkan di dunia."Dua pembantunya, Xinxin dan Xiuying, menghiburnya bergantian. "Kami akan membalas dendam sakit hatimu.""Kalian berdua, tak boleh ikut campur soal ini. Kamu ingat itu, lelaki itu urusanku sendiri, mengerti ?!"Dua gadis itu diam, tak berani buka mulut lagi. Mereka tahu persis jika Mayleen sedang kesal dan marah-marah, lebih selamat jika mereka diamTidak lama kemudian amarah gadis itu reda, dia bertanya dengan kesal, "Ke mana aku harus mencari lelaki itu?"Xinxin
Mayleen setuju. Sepuluh hari lagi, adalah hari akhir bulan Cakra. Masih ada waktu untuk sampai di gunung itu. Perjalanan biasa dari desa Guandong ke Laojun yang diperkirakan enam hari. Jika jalan cepat biasa empat hari. Teringat Jiu Long, dia merasa sangat kesal. "Dia membodohi aku, menunggu di sini membuat aku seperti orang bodoh, dasar lelaki bangsat, nanti kuhajar dia."Pada hari itu kekesalannya mencapai puncak karena Jiu Long belum juga muncul. Ia sedang dalam suasana hati marah. Kebetulan tiga lelaki iseng menggodanya dengan kata-kata kotor. Mayleen yang sedang kesal menemukan sasaran pelampiasan amarahnya.Tiga lelaki iseng itu adalah pedagang yang hanya mengerti ilmu sekadar membela diri dari gangguan pejahat. Mereka mengira gadis India itu tidak mengerti bahasa Dataran Tengah. Tidak dinyana, Mayleen mengerti semua olok-olok kotor yang mereka bincangkan. Kemarahan Mayleen terhadap Jiu Long, tumpah habis atas tiga orang pedagang itu. Senjata bornya mela