Malam itu, Xang Xi Ming meneruskan perintah kakaknya, Kaisar Giok Timur. Seluruh pasukan siap untuk berangkat esok pagi, menuju desa Luoyang. Mereka akan mencegat pasukan Dinasti Giok Barat di hutan dekat Luoyang. Mereka akan menyusun jebakan dan siasat yang akan melumpuhkan dan menghancurkan pasukan Dinasti Giok Barat.
Di dalam kamar, Jiu Biao menggumuli tubuh isterinya. Dia tergila-gila akan kecantikan wajah dan tubuh isterinya. Dia sudah tahu, istrinya selingkuh dan memadu cinta terlarang dengan Tian Shan. Tapi dia tak sanggup mencegah.
Dia takut, isterinya akan memilih. Dia yakin isterinya pasti akan memilih Tian Shan. Dia tak sanggup berpisah dari Zsu Tsu. Zsu Tsu mengelus kepala suaminya. Dia sering merasa iba pada suaminya. Laki-laki itu sangat kasmaran padanya. Dia tahu, suaminya itu lebih tergila-gila pada tubuhnya ketimbang mencintainya. Laki-laki itu menyukai bagian tubuhnya, mengelus dan menjilati buah dada, ketiak, paha dan betis bahkan sering menciumi tel
Di tengah arena perang Xang Xi Ming dan para pendekar kepercayaan istana, bertarung mendampingi Kaisar Giok Timur. Seratus lebih prajurit dan Prajurit Dinasti Giok Barat mengepung raja Dinasti Giok Timur itu. Di antara kelompok pengepung itu, beberapa pendekar berilmu tinggi seperti Tong Zongchang, Palotai, Sempai Chu, Wita Chung, dan Baichan telah menutup ruang bagi Kaisar Giok Timur untuk lolos. Tidak jauh dari tempat itu, Jiu Biao berdua isterinya bahu membahu bersama Jen Ting adu jiwa menghadapi Zhang Ma, Iblis Chengdu, yang dibantu Sepasang Iblis Chongging dan belasan pendekar tangguh lainnya. Di satu sudut medan Tian Shan dan Wang Xun terdesak oleh Takadagawe, pendekar Himalaya yang kosen itu. Jurus-jurus silat Takadagawe sangat aneh. Ditambah lagi dengan tenaga dalamnya yang begitu besar, tak heran jika Tian Shan dan Wang Xun terdesak hebat. Padahal dua pendekar itu tergolong pendekar kelas utama dataran tengah. Tian Shan, murid tunggal Yue Jin, dari gunung Huang. Ia memiliki
Pada saat Takadagawe meluruskan dua tangannya, memukul dahsyat ke dada dua pendekar dataran tengah, pada saat yang sama angin pukulan si jubah putih menerpa Wang Xun dan Tian Shan.Dua pendekar dataran tengah ini tanpa rasa curiga sedikit pun mengikuti bisikan si jubah putih. Keduanya mengosongkan tubuh dan tidak menggunakan tenaga Pukulan pendekar itu mengangkat dua pendekar dataran tengah seperti terbang melayang beberapa depa dari sasaran pukulan Takadagawe. Pukulan Takadagawe menerpa tanah kosong. Debu berterbangan Ada semacam bebauan tanah terbakar.Takadagawe murka melihat pukulannya mengenai tempat kosong. "Siapa orang yang berani mati mencampuri urusanku ?"Pendekar jubah putih tertawa. "Karena menyangkut gengsi dan kehormatan dataran tengah, aku terpaksa ikut campur. Ilmu seberang tak boleh tepuk dada di dataran tengah. Orang asing tak boleh temberang di negeri ini."Dua pendekar itu kemudian terlibat pertarungan dahsyat Si jubah putih bertarung
Pendekar jubah putih tanpa menoleh meneruskan geraknya, melayang pergi begitu saja. Geraknya ringan seperti terbang. Hebatnya lagi, seluruh gerakan sejak awal sampai akhir, semua dalam satu gerak sinambungan yang harmonis dan mulus. Seperti tak ada paksaan dalam geraknya. Bagai terbang ia menuju ke bagian di mana Kaisar Giok Timur sedang dalam kepungan. Sepak terjangnya membuat para pengepung pontang-panting, ia membelah kumpulan manusia semudah menyibak air dalam kolam. Ia menggandeng lengan Kaisar kemudian berdua menerobos keluar, meloloskan diri. Semudah itu, bagaikan tak menemukan perlawanan. Ia masuk kepungan, menggandeng lengan Kaisar, menerobos keluar dengan mendendangkan Syair Penakluk Langit, syair yang kemudian menjadi populer dan dibincangkan orang di dunia kependekaran. “Aku datang dari balik kabut hitam Aku mengarungi samudera darah Akulah sang pengembara Melenggang ke Barat, Meluruk ke Timur, Merangsak ke Utara, Merantau ke Selatan, Kan kuremas matahari di telapak
Tanah Partai Naga Emas yang tadinya selalu ramai dengan latihan ilmu serta kegiatan bercocok tanam dan aktifitas lain, hari itu tampak porak poranda. Di sana sini mayat bergelimpangan. Tak ada sisa makhluk hidup. Kerbau, sapi, ayam, babi dan semua binatang ternak, mati Yang ada hanya burung pemakan bangkai, terbang melayang dan hinggap di sana-sini. Bau busuk mayat manusia dan bangkai binatang tercium di mana-mana.Yu Jin, adik seperguruan Sun Zuolin menerobos masuk pekarangan. Dia mendengar berita hancurnya Partai Naga Emas serta kekalahan pasukan Dinasti Giok Timur dalam perang Luoyang. Dia bergegas menuju Partai Naga Emas. Dia tiba di Partai Naga Emas tiga hari setelah serangan yang membumihanguskan perguruannya. Dia melihat berkeliling. Amarahnya meluap kesedihannya memuncak.”Hancur, semua hancur, tidak ada sisa,” desisnya.Dia berlari ke sana kemari, berteriak memanggil orang. Suasana sepi, lengang, hanya terdengar gema suaranya memantul. Tak ada orang yang menjawab panggilannya
Duapuluh lima tahun kemudian.Di suatu malam... Setelah perang Luoyang yang menelan banyak korban jiwa itu. Bulan purnama menerangi hutan di pinggir desa Xi’an. Tampak sebuah bangunan tua di antara pepohonan jati. Reruntuhan rumah tua itu hampir tidak beratap. Hanya satu sisi dinding yang terbuat dari batu hitam yang masih utuh. Dinding lainnya sudah tidak utuh. Daun pintu sudah tak ada, rusak dan lapuk termakan rayap.Di ruangan dalam yang terbuka dan luas mirip bangsal beberapa orang sedang istirahat. Rumah tua itu sering dijadikan tempat menginap perantau yang kemalaman di jalan. Suasana sunyi dan sepi. Hanya terdengar suara jangkrik dan kodok sahut-sahutan. Gerimis membuat malam makin dingin.Terdengar suara orang mendendangkan syair. Suaranya sinis dan dingin. Suaranya tidak keras namun terdengar jelas oleh semua orang di rumah besar. Suara jangkrik dan kodok mendadak senyap ditelan suara yang membawa suasana magis.Akulah sang pengembaraMelenggang ke Barat, Meluruk ke Timur,Me
Jiu Long kembali ke tempat duduknya. Tetapi langkahnya terhenti karena pada saat bersamaan terdengar kembali Syair Penakluk Langit dilantunkan. Suara penyanyinya sama, tetap jernih dan bening. Dari suaranya sulit diduga, dia itu perempuan atau lelaki.Akulah sang pengembaraMelenggang ke Barat, Meluruk ke Timur,Merangsak ke Utara, Merantau ke Selatan,Kan kuremas matahari di telapak tangankuKan kupecahkan wajah rembulanTak ada lawan, Tak ada tandingan,Ilmu dari segala ilmu...!"Semua orang di ruangan saling pandang. Tidak ada suara lain kecuali kumandang syair itu. Suaranya mendengung dan bergema di segala penjuru Sesaat kemudian suara lenyap.Belum juga orang-orang itu hilang rasa tegangnya, syair berkumandang lagi. Begitu seterusnya sampai empat kali beruntun. Semua orang tegang. Pendekar wanita separuh baya yang dikenal sebagai Chuan Mei bangkit. Ia tampak kesal. ”Rupanya satu saja tak cukup bagi si syair Maut, malam ini ia menginginkan lima nyawa. Benar-benar kurangajar, apa d
Cerita Yu Jin terhenti. Saat itu terdengar jeritan dua orang saling susul. Suaranya mendirikan bulu roma. Saat berikut, dua sosok bayangan menyerbu masuk, mendatangkan angin kencang. Tian Shan dan Chuan Mei bergerak hebat, hampir berbarengan ”Kena kamu siluman!” teriak Chuan Mei. Makian itu disusul teriak girang Chuan Mei karena pedangnya mengenai sasaran tubuh manusia. Pukulan melingkar Tian Shan yang berisi tenaga dalam dahsyat mengena telak dada lawan yang lain. Darah muncrat ke mana-mana. Dua musuh itu sudah dipecundangi, begitu mudahnya. Semua mata melotot memandang dua sosok mayat yang tergeletak di ruangan. Ternyata mereka dua orangtua pedagang kecil tadi. Luka menganga di dada tepat bagian jantung. Darah membasahi seluruh tubuhnya. Mereka dibunuh dengan keji kemudian mayatnya dilempar ke dalam, itu yang membuat Chuan Mei dan Tian Shan kecele. ”Bangsat kejam!” Dua murid Chuan Mei membuang muka, tak tahan melihat mayat mengerikan itu. Apalagi dua orangtua itu bukan dari kalan
Semua saling pandang. Seperti tak pernah ada sesuatu yang terjadi karena berlangsung begitu cepat. Semua sependapat ilmu iblis itu teramat tinggi. Tanpa memperlihatkan diri ia sanggup mencabut nyawa dua pendekar di depan mata delapan pendekar lainnya. Tian Shan memandang Yu Jin dan Chuan Mei. Teror bor maut itu masih terbayang Suaranya seakan masih mencicit di telinga Chuan Mei membanting kaki, saking kesal. ”Gila, sungguh pembunuh licik dan keji” Tak bisa kuasai dirinya lagi, pendekar Pedang Naga Perkasa itu berteriak, ”Bangsat licik, keluar kau, hadapi aku.” Suara Chuan Mei bagai guntur di tengah malam sunyi. Gema suara itu dipantulkan ke sana kemari. Suatu pameran tenaga dalam dari seorang pendekar kelas satu Suasana kembali sunyi. Seorang lelaki muda tampan dan tampaknya serombongan dengan Chuan Mei, berkata sambil memberi hormat kepada para pendekar. ”Sebaiknya kita jangan terpancing, serangan iblis itu akan datang lagi. Sudah empat nyawa melayang, masih ada satu lagi yang di