Tanaka berjalan mengendap-endap menuju pintu kamar Tuan Kepala Wilayah. Dia melihat dua prajurit penjaga sedang berjalan ke arahnya karena heran dengan suara pertarungan di ruangan lain. Tanaka pun terpaksa meniupkan jarum-jarum bambu itu hingga dua prajurit itu langsung menggelepar mengeluarkan busa dimulutnya.
Tanaka pun langsung memasuki kamar Tuan Kepala Wilayah. Tanaka terkejut mendapati Tuan Kepala Wilayah sedang turun dari atas ranjangnya.
“Siapa kamu?!” teriak Tuan Kepala Wilayah. Wajahnya berkumis tebal dengan kepala botak.
Tanaka pun langsung meniupkan jarum bambu beracun itu ke arah tubuh Tuan Kepala Wilayah, namun dengan sigap Tuan Kepala Wilayah menggunakan jurusnya hingga menendang jarum yang melesat cepat itu ke arah Tanaka. Jarum itu berhasil ditendangnya hingga berbalik melesat ke arah Tanaka. Tanaka terbelalak lalu dengan cepat menghilang dari sana.
Tuan Kepala Wilayah tampak heran melihat lelaki bertopeng itu menghilang dari hadapannya. Dia pun mengitari kamarnya tak lama kemudian sebuah pedang menusuk punggungnya hingga ujung pedang itu keluar dari perutnya.
Tuan Kepala Wilayah memuntahkan darah. Di belakangnya berdiri Tanaka memegang pedangnya. Tak lama kemudian dia mencabut pedangnya hingga Tuan Kepala Wilayah rubuh ke atas lantai meregang nyawa. Tanaka buru-buru mencari pedang emas di bawah ranjang. Ketika dia menemukannya, dia langsung keluar dari ruangannya dan berlari menuju empat sekawan yang masih bertarung dengan para prajurit.
Sesaat kemudian Tanaka mendengar jeritan seorang perempuan.
“Ayaaaaaaah!”
Suara tangisnya terdengar jelas. Tanaka tidak peduli, yang penting dia telah mendapatkan pedang emas itu. Saat Tanaka tiba di ruangan lain, dia melihat empat sekawan telah berhasil membunuh para prajurit itu. Sa dan yang lain tercengang melihat Tanaka sudah memegang pedang emas itu.
“Kau berhasil membunuh Tuan Kepala Wilayah?” tanya Sa tak percaya.
“Aku bilang apa, ayah? Ayah sih tidak percaya padaku!” ucap Tanaka dengan sombongnya.
“Ayo cepat kita pergi dari sini!” teriak Sa.
Akhirnya dengan sekejap mereka semua menghilang dari ruangan itu. Suara jerit tangis seorang perempuan masih terdengar di dalam sana.
“Ayaaaaah! Bangun Ayah! Ayaaaaah!”
***
Tanaka dan empat sekawan mendarat di hadapan mulut gua. Gua tempat menyimpan hasil perampokan mereka selama ini. Sa menatap Tanaka dengan lekat.
“Serahkan pedang emas itu pada ayah,” pinta Sa.
Tanaka pun menyerahkannya pada Sa. Sa meraih pedang itu lalu menatapnya dengan lekat.
“Pedang ini milik Nusantara,” ucap Sa.
Semua terkejut mendengarnya.
“Apakah itu tujuan ayah merebut pedang itu?” tanya Tanaka.
Sa mengangguk.
“Aku dengar Putra Mahkota memberikan hadiah pedang ini kepada Tuan Kepala Wilayah untuk menarik perhatian Putrinya. Kelak, jika tiba waktunya, kita harus mengembalikan pedang ini ke Nusantara. Dan semua harta benda yang telah kita rampas dari penduduk di kerajaan ini akan kita bagikan kepada yang berhak menerimanya di Nusantara,” lanjut Sa.
Semua terdiam mendengarnya. Ya, kerajaan Manggala bukan bagian dari kerajaan Nusantara. Manggala berada di sebuah pulau besar dan luas yang jaraknya sangat jauh dari Nusantara. Perlu melakukan pelayaran berminggu-minggu lamanya untuk tiba di Nusantara. Saat Manggala berhasil memenangkan peperangan terhadap Nusantara, perampasan besar-besaran dilakukan Manggala hingga banyak penduduk menjadi miskin dan kelaparan di Nusantara. Itulah yang membuat Sa mengajak istri dan adik-adiknya untuk berlayar ke sana. Mereka menyamar menjadi rakyat manggala lalu diam-diam merampok di sana. Semua hasil rampokan disimpan di dalam gua, sebagiannya untuk biaya hidup sehari-hari mereka di sana.
Sa kembali melanjutkan kata-katanya. “Ingat, apa yang kita lakukan ini bukan sebuah kejahatan, akan tetapi pembalasan yang telah mereka lakukan terhadap tanah air kita,” ucap Sa.
Tanaka mengangguk. Sa pun langsung membacakan mantra. Mulut gua yang tertutup batu besar itu langsung terbuka.
“Tunggu di sini,” pinta Sa.
Semua mengangguk. Sa pun masuk ke dalam gua itu membawa pedang emas itu untuk disimpan di dalam sana.
Pagi sekali terdengar teriakan Laras di depan pintu kamar Tanaka.“Tanaka! Bangun Tanaka!” teriak Laras di luar sana.“Iya, Ibu! Ini aku sudah bangun!” teriak Tanaka.Tanaka pun turun dari kasur. Dia meraih topengnya lalu menggunakannya. Kemudian dia berjalan membuka pintu kamarnya. Takana terkejut melihat Laras sudah membawa guci besar.“Ambilkan air di sungai,” pinta Laras sambil menyerahkan guci besar itu pada Tanaka.“Sekarang?” tanya Tanaka dengan wajah malas.“Iya, sekarang! Kalau tidak, ibu tak akan membuatkan sarapan untuk kalian,” ancam Laras.Tanaka menghela napas.“Baik, Ibu,” ucap Tanaka tampak malas. Tanaka pun keluar dari kamarnya sambil membawa guci itu keluar rumah.Laras menarik napas lalu menghembuskannya sambil geleng-geleng. Dia pun kembali ke arah dapur.Tanaka pun tiba di pinggir sungai yang tampak jernih itu. Dia meletakkan guci di atas batu lalu membuka topengnya. Tanaka melihat wajahnya di permukaan air sungai yang tampak tenang. Dia menatap lekat-lekat wajahn
Tanakan meletakkan guci berisi air di tempatnya. Laras tampak sedang menyiapkan sarapan untuk semuanya. Laras tampak heran melihat sorot mata anak lelakinya tampak sayu dan bingung. Sejak Tanaka sering menggunakan topeng, Laras semakin tahu perasaan anak lelakinya itu melalui sorot matanya.“Kau baik-baik saja?” tanya Laras.Tanaka hanya mengangguk. Dia pun pergi begitu saja menuju kamarnya. Setiba di kamarnya dia membaringkan tubuhnya di atas kasur jeraminya. Dia membuka topengnya hingga terlihat jelas wajah buruk rupanya. Tanaka menatap langit-langit kamarnya. Dia masih terpana menatap wajah gadis cantik itu tadi. Bersamaan dengan itu juga dia merasa bersalah telah membunuh ayahnya semalam.Tanaka gelisah. Dia membolak-balikkan tubuhnya tak menentu. Sesaat kemudian dia duduk sambil memegangi bibirnya.“Aku sudah menciumnya,” gumam Tanaka tak percaya. “Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku telah membunuh ayahnya.”Tanaka bingung sendiri. Laras yang sengaja mengintipnya karena pena
“Dia kerasukan, Nyi. Dia harus kita kurung ke dalam kandang. Kita sudah lima bulan tidak mengirim sesajen ke batu besar itu.Laras terbelalak mendengarnya.“Jadi hal aneh tadi itu karena Tanaka kerasukan?” tanya Laras dengan terkejutnya.Sa mengangguk. Laras pun pasrah melihat anak lelakinya digotong mereka menuju kandang. Sementara Tanaka tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan untuk bergerak, berbicara saja dia tidak bisa.Tanaka digotong empat sekawan menuju kandang yang dulu dibuat untuk mengurung Se ketika kerasukan. Ketika Tanaka sudah di masukkan ke dalam kandang, Sa langsung menggunakan ajian penguat dinding kandang. Ajian yang tak akan bisa ditembus siapapun meskipun harus menggunakan tenaga dalam untuk merusak kandang. Setelah Sa selesai membacakan ajiannya, dia pun menggunakan jurusnya untuk melepas ajian totokannya pada Tanaka.Tanaka pun kembali bisa bergerak dengan lemas.“Aku... tidak... kerasukan,” ucap Kantata lemah. Ajian totokan memang sangat berbahaya. Siapapun yang
Semua pun kembali menggunakan jurus meringankan tubuhnya dengan melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Ketika mereka sudah tiba di depan kandang, mereka melihat Laras sedang menangis meraung-raung di hadapan kandang. Sa dan semua heran.“Kenapa istriku?” tanya Sa heran.“Roh jahat itu telah membawa Tanaka pergi, Suamiku!” isak Laras.Sa dan tiga sekawan menoleh ke dalam kandang. Mereka terkejut melihat Tanaka sudah tidak ada di dalam sana. Tanaka pun dengan rapihnya menutupi lubang itu dengan jerami yang ada di dalam kandang itu hingga tak terlihat oleh semuanya.“Arwah penunggu itu memang benar-benar hebat! Dia bisa meloloskan diri dari ajian pelindungku,” ucap Sa tak percaya.“Ayo kita cari Tanaka!” ajak Si dengan paniknya.Empat sekawan pun bergegas pergi mencari Tanaka ke arah batu besar pinggir lembah. Sementara Laras masih menangis sesenggukan di hadapan Kandang itu.***Tanaka yang berhasil meloloskan diri tampak berjalan menyusuri sungai dengan kesalnya. Dia sudah mengguna
Tanaka masih gelisah di dalam kamarnya. Matanya masih mengawang ke langit-langit kamarnya. Tak lama kemudian pintu kamarnya berderak. Tanaka menoleh, kaget melihat kedatangan Laras. Pemuda itu bergegas bangkit lalu duduk di tepi ranjang. Dia tidak mengenakan topengnya. Wajahnya terlihat jelas sebagaimana aslinya.“Ibu?” ucap Tanakan heran.“Kamu baik-baik saja kan?” tanya Laras heran.Tanaka tersenyum memangguk.“Maafkan atas kebodohan Ayah dan paman-pamanmu,” ucap Laras dengan wajah serius. Dia pun duduk di sebelah Tanaka.“Aku tidak marah sama ayah dan paman-pamanku, Bu,” ucap Tanaka menenangkan hati Ibunya.Laras memperhatikan mimik wajah anaknya dengan heran. Dia bisa melihat jelas ada sendu di kedua bola matanya.“Sebenarnya kamu lagi mikirin apa? Apa ada yang melihat wajahmu terus mengejekmu?” tanya Laras khawatir. “Ibu kan sudah bilang, kamu harus selalu menggunakan topengmu, biar tidak ada yang mengejekmu.”“Bukan karena itu, Bu,” jawab Tanaka.“Terus karena apa?” desak Laras
Laras sedang menyiapkan makan malam untuk semuanya. Sa datang duluan lalu duduk di atas lantai. Di hadapannya sudah tersaji berbagai hidangan.“Mana yang lainnya?” tanya Laras.“Mereka masih di sungai,” jawab Sa.“Tanaka?”“Ayah tidak tahu, Bu. Mungkin dia masih di kamarnya,” jawab Sa.Laras duduk di hadapan Sa. Lalu memperhatikan wajahnya yang tampak sedih.“Anak sama bapaknya kok sama,” ucap Laras tiba-tiba.Sa mengernyit heran mendengarnya.“Sama bagaimana?” tanya Sa heran.“Tanaka seharian ini tampak sedih, kamu juga sedih. Kalian sebenarnya kenapa?” tanya Laras heran.“Apa kita kembali ke Nusantara saja, Bu?” tanya Sa tiba-tiba.Laras terdiam.“Istriku?”“Bukankah saat ini Nusantara masih belum aman, Suamiku?” tanya balik Laras dengan heran.“Aku ingin mencari tabib untuk mengobati wajah Tanaka. Aku yakin ada tabib di Nusantara yang bisa menyembuhkannya,” ucap Sa.Laras terdiam mendengar itu.“Istriku?”“Tanaka tidak sedang terkena penyakit, suamiku. Tabib-tabib di negeri ini pun
Bimala melangkah sendirian sambil membawa buntalan kain. Matanya begitu awas. Jika mendengar sesuatu yang mencurigakan, dia langsung mencabut pedangnya dan kembali meletakkannya di tempat semula jika tidak menemukan yang ditakutkannya. Dia masih trauma dengan sikap Putra Mahkota selama ini. Ya, saat Putra Mahkota mengadakan pesta di istana, dia mengundang seluruh kepala wilayah di negeri Manggala. Saat itu ayahnya dan dirinya datang ke istana, sejak itulah Putra Mahkota tertarik padanya.Bimala heran, saat Putra Mahkota datang membawa pasukannya. Dia memberikan hadiah yang banyak kepada ayahnya dan juga untuk dirinya. Ayahnya menyambut baik kedatangannya. Dia merasa terhormat melihat Putra Mahkota datang mengunjunginya. Hal yang langka dan untuk pertama kalinya seorang Putra Mahkota mengunjungi Tuan Kepala Wilayah. Dan saat itulah Putra Mahkota terang-terangan menyatakan rasa sukanya kepada Bimala.“Aku tidak suka dengannya, Ayah,” ucap Bimala pada Gautam.“Kenapa kau tidak suka padan
Bimala mendekat pada Tanaka dengan haru.“Terima kasih telah menyelamatkanku,” ucap Bimala.Tanak kikuk.“Sudah menjadi kewajiban umat manusia untuk melindungi sesama manusia,” jawab Tanaka gugup.“Katanya kau pergi?” tanya Bimala.Tanaka salah tingkah, dia takut Bimala mengetahui bahwa saat dia menghilang darinya tadi sebenarnya tidak pergi, melainkan mengikutinya diam-diam dari atas pohon dengan jurus Mengibas-Ngibas Angin dalam Kendi. Jurus yang bisa membuatnya seperti berjalan di atas udara. Hingga kakinya yang melompati pohon demi pohon tak terdengar suara pijakannya.“Malam membuat telingaku lebih jeli mendengar suara,” jawab Tanaka gugup. “Makanya aku tahu ada yang menyerangmu.”Bimala tersenyum. “Kau mengikutiku ya?”“Tidak!” jawab Tanaka gugup.“Bilang saja kalau kau diam-diam mengikutiku,” ucap Bimala tersenyum.“Sumpah! Aku tidak mengikutimu!” ucap Tanaka gugup, untung saja dia mengenakan topeng hingga kegugupannya tidak dapat terbaca oleh gadis itu.“Ya sudah,” ucap Bimala
Bimala dan Pelayan Minun tampak gelisah menantikan Tabib Istana bersama tabib-tabib lain yang sedang membantu Sang Ratu untuk melahirkan itu. Akhirnya hari itu telah tiba. Sang Ratu pun tak bisa lagi menahannya karena waktu kelahiran anak keduanya itu telah tiba.Sementara Bimala dan Pelayan Minun belum mendapat kabar dari Tanaka. Mereka tidak tahu apakah Tanaka sudah berhasil atau belum membunuh Baluku hingga kutukan itu terlepas dan tidak akan dialami oleh bayi yang sedang berusaha dikeluarkan oleh para tabib itu.Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi. Bimala dan Pelayan Minun tampak haru bercampur was-was. Mereka was-was jikalau bayi itu akan terlahir buruk rupa juga seperti Tanaka.“Oh anakku!” teriak Sang Ratu di dalam sana terlihat menangis haru.Bimala dan Pelayan Minun saling menatap dengan ragu.“Apakah bayi itu juga terlahir buruk rupa?” bisik Pelayan Minun dengan penasaran pada Bimala.“Aku tidak tahu, Bi,” jawab Bimala dengan berbisik juga.“Bimala, Pelayan Setia
Baluku terbelalak ketika pulau yang menjadi tempatnya dikurung para dewa itu sudah dikelilingi kapal-kapal yang berisi pasukan dari Tanaka. Baluku kini berdiri di atas puncak batu karang yang paling tinggi. Matanya kini tertuju pada Tanaka yang berdiri gagah di samping Roh Panglima.“Kami sudah datang, Tuan Guru!” teriak Tanaka.Baluku kian geram mendengarnya.“Panglima dan prajurit-prajurit keparat! Kenapa kalian lebih setia pada muridku dibanding denganku yang sudah membangkitkan kalian dari alam roh hingga bisa hidup seperti manusia lagi?!!! Harusnya kalian berpihak padaku, bukan pada manusia buruk rupa itu!!!” teriak Baluku dengan geramnya.“Bukan kah Yang Mulia membangkitkan kami untuk setia pada Tuan Tanaka? Bukan pada Yang Mulia?” jawab Roh Panglima.Baluku kian geram mendengarnya. Baluku pun mengangkat tangannya. Seketika batu-batu kecil di atas permukaan karang itu terangkat lalu tak lama kemudian batu-batu kecil itu menyalakan api yang tampak panas.Tanaka dan Roh Panglima p
Pelayan Minun berteriak memanggil Bimala saat melihat Sang Ratu sedang kesakitan memegangi perutnya yang besar itu. Bimala bergegas datang dengan panik.“Yang Mulia!” ucap Bimala mendekat ke kasurnya. “Yang Mulia kenapa?”“Perutku sakit sekali, Bimala. Aku sepertinya hendak melahirkan.”Bimala dan Pelayang Minun pun panik mendengarnya.“Tolong panggilkan Tabib, Bi,” pinta Bimala dengan panik pada Pelayan Minun.“Baik, Nona.”Pelayan Minun pun bergegas keluar untuk memanggil Tabib. Bimala pun memegangi tangan Sang Ratu untuk menguatkannya.“Tunggu sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi Tabib akan segera datang.”“Tapi bagaimana jika seandainya sekarang anak ini berhasil dilahirkan sementara Tanaka belum berhasil membunuh Baluku? Apakah kutukan itu akan menghilang jika setelah anak ini lahir, Tanaka baru bisa memusnahkan Baluku?” tanya Ratu dengan bingung sambil menahan sakit di perutnya.“Apapun yang terjadi, sekarang pikirkan saja kesehatan Yang Mulia Ratu dan anaknya nanti. Meskipu
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Jabali dengan terbelalak tak percaya melihat dirinya, Tanaka, Roh Panglima dan para awak kapal layarnya sedang dibawa terbang berputar mengelilingi tentara mereka yang tengah bertarung di atas lautan itu.“Inilah kemampuanku sekarang, Jabali,” ucap Tanaka.Tanaka pun memandangi Roh Panglima.“Kau hadapai Panglima Setan itu dan aku akan menghadapi murid baru Raja Iblis itu,” perinta Tanaka pada Roh Panglima.“Siap, Tuan Tanaka!”Roh Panglima pun langsung terbang melesat menuju Panglima Setan untuk menyerangnya. Panglima Setan pun terkejut melihat kedatangan Roh Panglima yang tengah melesat ke arahnya itu. Dia pun lansung meninggalkan Karan di atas kapal itu kemudian bertarung dengan Roh Panglima di atas lautan itu dengan jurus meringankan tubuhnya.Sementara Karan di atas kapalnya itu terbelalak ketika mendapati Tanaka kini sudah berada di hadapannya. Karan mundur ke belakang karena ketakutan melihat wajah Tanaka yang menghitam. Dia seperti baru itu
Tiba-tiba awak kapal tampak terbelalak ketika melihat kapal-kapal layar seperti menghadang di hadapan sana.“Tuan, Panglima! Tuan, Panglima!” teriak awak kapal itu.Tanaka dan Roh Panglima yang sedang berada di sisi kapal itu pun menoleh pada awak kapal itu.“Ada apa?” tanya Roh Panglima heran.“Di hadapan sana seperti ada puluhan kapal menghadang, Tuan,” jawab awak kapal itu.Roh Panglima dan Tanaka pun bergegas berjalan ke ujung kapal. Mereka berdua terbelalak melihat kapal-kapal di hadapan.“Tahan layarnya!!!!” teriak Roh Panglima saat melihat pasukan Karan tengah menghadang di hadapan sana dengan sepuluh kapal layar berkarangnya.Seluruh awak kapal Pasukan Tanaka pun mengatur layarnya agar kapal-kapal mereka berhenti berlayar. Saat kapal-kapal pasukan Tanaka berhenti, Tanaka berjalan ke ujung kapal lalu memperhatikan kapal-kapal pasukan Karan itu dengan jelas. Roh Panglima berdiri di sebelahnya.“Apakah benar yang berdiri paling depan di kapal layar terdepan itu murid baru Raja Ba
“Yang Mulia Ratu! Yang Mulia Ratu!” teriak pelayan setianya memasuki ruangan kediamannya. Dia tampak heran tidak melihat ada Ratu di sana.Sesaat kemudian Ratu tampak datang dari belakangnya.“Kau mencariku?” tanya Ratu heran.Pelayan Minun menatap Ratu dengan lega.“Bimala sudah datang, Yang Mulia!” ucap Pelayan Minun dengan lega.Ratu pun sangat senang mendengarnya.“Di mana dia sekarang?”“Dia ada depan gerbang kediamanmu ini, Yang Mulia,” jawab Pelayan Minum.“Suruh dia masuk! Tadi kenapa aku tidak melihatnya,” perintah Ratu.“Baik, Yang Mulia.”Pelayan Minun pun bergegas keluar dari ruangan itu. Ratu pun duduk di tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia ingin tahu banyak bagaimana kabar Tanaka darinya. Tak lama kemudian Pelayan Minun datang bersama Bimala. Bimala langsung bersimpuh di hadapannya.“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucap Bimala sembari meneteskan air mata. “Aku telah meninggalkan istanamu tidak pamit langsung di hadapanmu.”“Kau tak perlu merasa bersalah, Bimala. Sekarang c
Baluku berdiri di hadapan seorang lelaki yang sedang berlutut padanya. Lelaki yang dahulu tidak sengaja terdampar di sana karena perahu yang dia naiki terpaksa pecah tergulung ombak hingga dia terdampar dan diselamatkan Baluku di sana. Dia menatap lelaki itu dengan lekat, dengan wajah tegasnya.“Hari ini kau telah berhasil mendapatkan semua ilmu dariku!” ucap Baluku padanya. “Kau sendiri yang bersedia memilih untuk menjadi muridku daripada mati di tanganku! Aku tidak pernah memaksamu untuk datang ke pulauku ini. Perahumu lah yang karam dan membuatmu terdampar di sini!”“Baik, Guru!” ucap Pemuda yang bernama Karan.“Dan untuk bisa bebas dariku,” lanjut Baluku. “Kau harus mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah itu dari mantan Muridku si Buruk Rupa itu. Aku merasakan pedang itu sudah ada pada dirinya saat ini. Dia tengah berada di negeri Nusantara.”“Baik, Guru,” sahut Karan sekali lagi.Baluku pun menatap sebuah kapal setan yang di atasnya sudah berdiri seorang Panglima Setan, Nakoda dan
Kapal-kapal yang dinaiki Tanaka bersama kaum Sakwa itu pun akhirnya berlabuh di pelabuhan Nusantara. Roh panglima bersama prajuritnya langsung menyambut kedatangan mereka. Bimala sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Tanaka. Begitu pun Sakwa. Dia ingin meminta maaf pada kaumnya yang telah meninggalkan mereka di negeri raksasa itu.Saat Tanaka dan kaum sakwa itu turun dari kapal layar masing-masing. Bimala langsung berlari menuju Tanaka lalu memeluknya dengan erat.“Apakah kau berhasil mengembalikan batu permata itu pada Yang Mulia Raja Sujana?” tanya Bimala penasaran.“Batu permata itu ternyata untukku, Bimala,” jawab Tanaka.Bimala terkejut mendengarnya. “Untukmu?”“Iya,” jawab Tanaka. “Raja Sajuna menghadiahkannya padaku! Dia tahu aku hendak membunuh Raja Iblis itu. Katanya batu permata itu akan sepadang dengan kekuatan yang dimiliki raja Iblis itu.”Bimala senang mendengarnya. Kini dia semakin tenang karena Tanaka akan memiliki kekuatan lebih untuk melawan Baluku. Dia
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi