Seolah terjatuh ke dasar lembah dan tersesat di hutan Yasakli yang terlarang belum cukup membuat hariku sial. Aku masih harus menyaksikan kejadian mengerikan di depanku.
Saat ini aku tengah bersembunyi di balik akar pohon yang sangat besar setelah mendengar suara teriakan yang serak serta lolongan hewan yang mengerikan. Aku meringkuk sambil memegang pedang karatan yang baru saja aku temukan.Diantara hutan yang gelap terdapat satu daerah yang lapang di hadapanku. Seolah hutan sengaja digunduli agar cahaya bulan bisa masuk ke sana dan memperlihatkan kejadian yang seram itu."Bersiaplah," kata seseorang yang berparas tampan, tinggi, dan berambut putih pada kedua temannya yang berpenampilan serupa.Beberapa saat yang lalu mereka baru keluar dari hutan gelap di belakang mereka."Cahaya bulan!" kata pria yang satu sambil menengadahkan kepalanya menatap langit."Ini akan menguntungkan kita," jawab yang lainnya.Mereka bersenjata busur dan pedang yang masing-masing menggantung di punggung mereka. Semakin lama aku semakin sadar bahwa ketiganya bukan manusia. Tidak ada manusia yang bertelinga panjang dan berkulit pucat seperti mereka.Aku yakin bahwa ketiganya adalah seorang Elf. Penampilan mereka sama dengan apa yang sering aku dengar dari para pendongeng di desa Zirve.Sekarang pertanyaannya adalah siapa atau apa yang mereka tunggu dari hutan yang gelap. Ketiga nampak siap dengan busur mereka."Tembak!" teriak Elf yang berdiri di tengah. Aku tebak dia adalah pemimpinnya.Ketiga panah melesat ke dalam hutan yang gelap."Bagus!" kata si Pemimpin."Cahaya bulan akan menggandakan kekutan kita," timpal Elf yang berdiri di sebelah kiri. Elf itu terlihat paling pendek dari yang lainnya.Aku yakin para Elf itu menggunakan sihir, sebab saat anak panah itu mengenai sasarannya, tercipta sebuah ledakan yang membuat hutan gelap itu menjadi terang menerang dan api dari ledakan itu membakar dahan dan batang dari pohon-pohon di sekitarnya. Bau kayu terbakar memenuhi udara sekitar.Ledakan seperti itu ternyata tidak membuat musuh mereka mundur. Satu persatu makhluk itu menunjukan diri. Mereka berbentuk seperti manusia dengan kepala seperti percampuran babi dan kera."Tetap waspada!" kata Elf pemimpin.Cahaya dari api membuat penglihatanku semakin jelas. Mereka juga bertaring dan kulit mereka berwarna coklat kehijauan. Tidak salah lagi mereka adalah bangsa Orc."Tembak!" ucap ketiganya serentak.Para Elf melesatkan panah ajaib mereka pada pasukan Orc yang datang menyerang.Aku semakin ketakutan dan memeluk erat pedangku dan berharap ada sebuah keajaiban lagi. Bahkan aku merinding saat orang-orang di desa menceritakan tentang Orc. Apalagi sekarang, semuanya tampak nyata di hadapanku.Tiba-tiba saja aku merindukan rumah dan toko Aftal tempatku bekerja dari pagi sampai malam. Anehnya aku juga merindukan omelan Paman Aftal. Kalau bisa memilih, aku lebih baik diomeli Paman Aftal seharian dari pada harus melihat Orc."Arkan! Kau harus pergi berburu kalau masih mau tinggal di rumahku!" ucap Paman Aftal tadi pagi yang masih terngiang-ngiang di kepalaku.Aku mengucek mataku yang belekan dan merapikan rambutku yang kusut ke belakang. "Paman bercanda, ya?" jawabku.Paman Aftal memberengut. "Daging di tokoku sudah mau habis dan para pemalas itu sudah tidak pergi untuk berburu. Itu artinya kau yang harus pergi berburu." Pria buncit itu kemudian keluar dari kamar sambil membanting pintu agar tetap terbuka.Berburu? Ini pasti bercanda. Umurku baru enam belas tahun dan meski sudah dianggap dewasa, aku sama sekali belum pernah pergi untuk berburu. Lagian selama ini aku terus disibukan bekerja di tokonya.Selang beberapa saat perempuan cantik datang ke kamarku. "Aku akan bicara dengan Ayah," katanya. "Arkan, kamu tidak harus pergi berburu. Terlalu berbahaya untukmu." Kemudian perempuan cantik yang satu tahun lebih muda dariku pun kembali ke luar.Berbeda dengan pria buncit ayahnya, Yasemin sangat baik dan perhatian padaku, apalagi setelah dua tahun silam. Saat ibuku meninggal. Yasemin seolah-olah ingin menggantikan perannya.Saat di meja makan Yasemin meminta ayahnya untuk tidak mengirimku berburu yang sama saja dengan mengirimku untuk mati. Yasemin memijit lengan ayahnya dengan lembut. "Arkan belum pernah berburu, itu akan berbahaya untuknya.""Justru, itu akan menjadi pengalaman pertamanya. Tunjukan kalau dia benar-benar seorang pria." Aftal terkekeh."Tapi tidak sekarang Ayah. Sekarang musim hujan dan aku mendengar rumor banyak orang hilang saat ini. Aku harap Ayah tidak memaksa Arkan," jelas Yasemin yang tidak kalah keras kepala dengan ayahnya. Yasemin nampak dewasa di umurnya yang masih lima belas. Rambutnya panjang ikal berwarna hitam yang terurai menghiasi gaun merahnya yang cerah.Berbeda dari sang anak yang menawan, Aftal pria buncit berkumis dan bertubuh pendek. Dia seperti Dwarf dalam buku-buku dongeng. Paman Aftal benar-benar bertekad mengirimku untuk mati. Perdebatan pagi itu membuahkan kesepakatan, aku boleh tinggal di rumahnya asalkan mau pergi berburu."Janga jauh-jauh. Cari saja kelinci jangan hewan besar seperti rusa atau apapun," kata Yasemin di ujung pintu rumah kami."Semoga banyak kelinci liar yang bosan hidup," jawabku tidak percaya diri."Pergilah sebelum hujan dan cepat pulang," titahnya.Aku mengerutkan keningku. "Haruskah aku memanggilmu Ibu mulai sekarang?"Yasemin memukul bahuku. "Jangan bercanda, Arkan.""Akan aku bawakan hadiah dari hutan," kataku sambil tersenyum.Setidaknya ada yang mengharapkanku untuk pulang. Yasemin beberapa tahun kebelakang dia sangat manja, seperti halnya adik perempuan. Sekarang, dia menjelma menjadi perempuan dewasa dengan penuh tanggung jawab dan perhatian. Benar kata orang-orang, perempuan akan lebih cepat dewasa.Aku kembali tersentak oleh sebuah ledakan. Kali ini Elf pemimpin menembakan anak panahnya ke langit kemudian meledak dan membuat hujan panah kecil berapi.Orc mengerang. Banyak diantara mereka yang mati begitu anak panah menancap di wajah mereka yang tidak tampan."Bagus Tuan Zarif," teriak temannya pada Elf pemimpin dengan senyum menghiasi wajahnya.Aku yakin, meski Elf itu hanya ada tiga orang, tapi mereka tangguh dan tidak akan kalah. Lawan mereka puluhan Orc dengan pedang dan kampak yang tidak berdaya melawan anak panah yang dilesatkan oleh Elf.Tiba-tiba saja langit menjadi gelap. Awan hitam menutupi bulan yang tengah bersinar terang."Gawat," desah Elf yang paling pendek."Tetap waspada," sergah Zarif.Dari sisa pasukan Orc yang masih banyak itu beberapa diantaranya melesatkan sebuah anak panah yang terarah pada Elf. Elf berhasil menghindar sayangnya, tapi itu hanya serangan pengalihan. Kemudian kapak berterbangan dan menancap disalah satu dada Elf.Ternyata Orc itu cukup pintar mampu mengelabui ketiga Elf yang terlihat tidak terkalahkan.Elf yang pendek terus menyerang selagi Zarif menarik tubuh Elf yang terluka ke belakang. Mungkin Elf pemimpin itu mencoba untuk menyembuhkan, sayangnya Elf yang terluka keburu mati. Begitu juga Elf yang sejak tadi menyerang, tiba-tiba sebuah tombak menancap diperutnya. "Maaf, Tuan!" Elf itu roboh dan meninggal.Tersisa satu Elf pemimpin. Kemudian dia mengeluarkan anak panah terakhirnya, mulutnya komat-kamit membacakan sebuah mantra. Sementara pasukan Orc menertawakannya merasa diri mereka sudah menang.Beberapa detik kemudian Elf melesatkan anak panah itu ke tanah dekat dengan kaki pasukan Orc. Mereka tertawa semaki kencang sebab merasa kalau bidikan sang Elf meleset.Tiba-tiba tanah di bawah anak panah itu terangkat membuat guncangan yang dahsyat. Tanah itu terus ke atas sampai setinggi pohon kemudian menghantam pasukan Orc seperti ombak di lautan."Cepat pergi dari sini!"Aku tersentak, bagaimana bisa Elf itu sudah berada di belakangku."Namaku Zarif," kata Elf itu dengan tegas. Dia nampak tampan ketika dilihat dari dekat. Rambutnya lurus, panjang terurai ke belakang berwarna perak. Dia sangat tinggi, aku harus sedikit mendongak ketika melihat wajahnya. "Di mana kau menemukan pedang itu?" Dia menunjuk pedang yang sedang aku peluk.Apa, pedang? Apa dia tahu soal pedang yang aku temukan ini? Elf itu terus memandangku dengan was-was. "Pedang ini ...," kataku ragu. "Tidak ada waktu, kita harus bergegas sebelum Orc itu datang lagi." Zarif mulai berlari. Sedetik kemudian dia menoleh. "Ikuti aku," pintanya. Lari seorang Elf ternyata kencang. Sulit untukku mengimbangi kecepatan larinya. Apakah semua Elf berlari secepat itu? Atau aku saja yang terlalu lambat.Aku masih ragu, apakah harus memercayai Elf ini atau tidak. Meski yang aku dengar Elf adalah kaum yang baik, tapi tidak menutup kemungkinan kalau dia berprilaku jahat. Seperti manusia yang tidak bisa ditebak isi kepalanya.Soal pedang, aku menemukannya secara tidak senga
Bangsa Elf mungkin tidak tahu caranya memberi aba-aba atau mereka tidak tahu cara meminta temannya untuk menyingkir selagi mereka akan meledakan sesuatu.Aku terhempas begitu Zarif meledakan tanah yang ada di belakang kami. Aku terhempas ke depan serta mendarat dengan sempurna pada genangan air sisa hujan.Kabar baiknya aku selamat dan keluar dari hutan Yasakli. Kabar buruknya sang Elf masih bernapas dengan luka pada dada yang terkena anak panah. Meski tidak bilang, iya, untuk menggendongnya, mana mungkin aku membiarkan Zarif tergeletak begitu saja, aku terpaksa harus menolong Elf yang telah menyelamatkan nyawaku."Sudah pagi," kataku nelangsa. Langit berwarna jingga kemerahan tanda sudah fajar. Artinya aku sudah melewati satu hari di hutan. Yasemin pasti khawatir dan marah. Paman Aftal pasti mengusirku dari rumah sebab aku pulang tanpa membawa hasil, kecuali daging Elf masuk dalam hitungan."Bagaimana mungkin aku bisa membawa Zarif. Setidaknya berat badan Elf ini dua kali lipat dari b
Aku masih memikirkan mimpiku semalam. Mimpi yang seolah kejadian nyata. Pria itu ... aku merasa kalau pria itu bukan orang asing. Apa mungkin kalau dia adalah ... gak mungkin. Paman Aftal sering mengatakan kalau ayahku sudah meninggal. Meski tidak dijelaskan meninggal karena apa dan di makamkan di mana. Pagi ini berjalan seperti biasa. Kami bertiga berkumpul di dapur untuk sarapan. Yasemin memasak sup dan roti kering. Sebenarnya aku sedikit trauma dengan roti kering gara-gara hari kemarin. Perutku hampir meledak. "Jadi, apa saja yang terjadi kemarin?" tanya Yasemin yang duduk berseberangan denganku sambil tersenyum ceria. "Ceritanya panjang," balasku sambil makan sup dengan lahap. Aku sangat lapar. Paman Aftal mendengus. "Kau pergi seharian, tapi tidak membawa hewan buruan satupun. Dasar tidak berguna." "Ayah!" timpal Yasemin. "Kau hanya membawa pedang berkarat yang tidak berguna," lanjutnya. "Soal pedang, tolong kembalikan padaku." Aku memohon. "Enak saja. Sekarang itu milikku
Aku tahu tidak lama lagi mungkin aku akan mati dibunuh Orc jelek, bukan kematian yang aku impikan. Akan tetapi tetap saja yang aku khawatirkan adalah Yasemin. Rumah sudah berantakan dan hancur. Di sana tidak siapapun kecuali Orc yang sekarang mengejarku. Aku berencana untuk kembali ke rumah Isley meminta bantuan Zarif. Sebab, hanya dia di desa Zirve ini yang pernah bertarung melawan Orc. Tiba-tiba saja aku terjatuh yang aku pikir hanya tersandung. Kakiku terlilit rantai kemudian ditarik ke belakang oleh salah satu Orc. "Tolong!" teriakku sambil meronta-ronta mencakar tanah. Orc itu tertawa. "Anak ini kurus, tidak enak dimakan," kata Orc dengan suara serak. "Daging muda, aku suka daging muda," kata Orc yang lainnya. Satu Orc memutar tubuhku sehingga terlentang, aku semakin meronta-ronta ketakutan. Satu Orc lain mulai mengalunkan kapaknya. Aku menutup mata karena tidak kuasa melihat kengerian. Sedetik kemudian Orc itu mengerang. Saat aku memberanikan diri untuk membuka mata, di kepa
Aku pernah membunuh Orc beberapa menit yang lalu, tapi aku tidak yakin bisa melawannya sebanyak ini. Kalau benar Orc ini datang karena pedang Direnc, maka sepenuhnya ini kesalahanku.Aku berlari melalui jalan memutar sambil menuntun Yasemin. Sebisa mungkin kami menghindari penglihatan para Orc. Yasemin terengah-engah. "Arkan, aku gak kuat."Aku membawa Yasemin bersembunyi di belakang rumah warga. "Sebentar lagi kita sampai di rumah Kakek tua itu."Sebenarnya membawa Yasemin cukup berbahaya, tapi meninggalkannya tanpa perlindungan akan lebih berbahaya. Tidak ada tempat yang aman selagi desa sedang diserang.Pasukan Orc begitu ganas dan kejam pantas saja Zarif juga memperlakukan mereka dengan cara yang kejam. Tangisan dan jeritan menjadi suara yang menghias malam yang kelam ini. Aku mengintip sebentar lalu berlari menuju rumah lain, dan begitu seterusnya hingga sampai tiba di rumah Bamsi.Rumah Bamsi adalah tempat bengkel besi, di dalamnya banyak terdapat laki-laki kekar yang biasa men
Aku lupa, kalau Orc itu gemar melemparkan senjatanya, apalagi kalau sasarannya laki-laki tampan dan putus asa sepertiku.Aku menunduk ketika Orc paling jelek yang hendak menaiki tangga melemparkan kapaknya. Aku mengasumsikannya begitu sebab dia melemparkan kapaknya padaku. (Sungguh tidak manusiawi, eh tidak Orc-wi) Sebenarnya wajah mereka hampir sama semua. Sangat sulit menentukan mana yang paling tampan.Begitu Orc yang tanpa senjata mendekat aku langsung menyabet perutnya sekuat tenaga. Orc itu jatuh dan menimpa temannya yang di belakang. Aku turun dan melompat ke samping agar Orc tersebut tidak jadi ke lantai atas."Hey, jelek!" Aku mencoba memprovokasi.Seluruh Orc itu mengerang. Seolah baru sadar bahwa mereka jelek.Rencana bunuh diriku berjalan dengan mulus, rombongan Orc itu mengejarku, setidaknya ada enam Orc bermuka jelek pencampuran kera dan babi. Tinggi mereka beragam, begitu juga berat badannya. Salah satu Orc yang mengejarku bertubuh gemuk seper
Rumah Bamsi bergetar seolah ada gempa bumi. Gelak tawa Orc bergema di ruangan. Bamsi dan teman-temannya mundur hingga diambang pintu."Bocah! Kalau benar pedang itu harapan kita, mungkin ini saatnya," ujar Bamsi tanpa memandangku yang lagi kesusahan mengangkat pedang Direnc."Arkan, bukan waktunya bercanda, lakukan sesuatu," sela Elric.Aku tahu mereka semua panik dan mereka membuatku semakin lebih panik. Aku menarik pedang Direnc dengan dua tangan. "Ayo, Direnc!" Aku berceloteh dalam hati. "Aku tahu, aku merasa bodoh bicara padamu, tapi aku yakin kau bukanlah ...."Arkan, aku akan membantumu," ujar Yasemin dan meletakan tangannya di atas gagang pedang."Yase, cepat berlindung. Tolong bersembunyi di mana saja.""Tapi-""Bunuh manusia-manusia ini," teriak si Orc."Arkan!" teriak Elric.Aku berhasil mengangkat pedang Direnc dengan kedua tangan, menjatuhkan ujung pedang itu pada lantai sehingga terpelanting seperti besi jatuh ke lantai bata. Aku menyeretnya hingga keluar ruangan dan berha
Aku tidak sempat menghitung berapa Orc yang mati karena sabetan pedang Direnc. Saat pedang ini bersinar, Orc lari tunggang langgang seolah takut akan terbakar oleh cahayanya."Arkan! Sejak kapan kamu—""Tampan!" Aku menebak."Bisa menggunakan pedang sehebat itu," ungkap Yasemin.Untuk sementara rumah Bamsi aman. Aku bisa bernapas lega. Sementara itu Bamsi dan teman-temannya duduk di lantai karena kelelahan."Bro! Kejar meraka, yuk? Asik, nih," ujar pedang Direnc"Sebentar," jawabku."Sebentar apa," tanya Yasemin.Mungkin Yasemin tidak bisa mendengar perkataan pedang Direnc."Nanti saja aku ceritakan," janjiku.Saat aku keluar melalui pintu utama yang telah rusak, desa Zirve terlihat kacau balau. Rumah warga hancur, terbakar, dan banyak sekali korban yang berjatuhan.Orc memilih menghindar, berlari atau bersembunyi dari cahaya pedang Direnc."Dasar Orc pengecut," keluh Pedang DirencKami—aku dan pedang Direnc—mengejar Orc terde
Akhirnya kami tiba di sebuah hutan yang katanya sama angkernya dengan hutan Yasakli. Namanya hutan Kayip. Hutan yang sering sekali membuat orang hilang tiba-tiba tampa menghilangkan jejak apapun."Apa jangan-jangan ada pasukan Orc juga di hutan ini?" tanyaku pada Zarif yang beristirahat di depan perapian bersama dengan Nazik, Guzel, dan tentu saja si Elf menyebalkan Hazel."Tidak. Hutan ini sudah dekat dengan Solros. Kami sering menyusuri hutan dan tidak pernah menemukan tanda-tanda keberadaan Orc," tukas Zarif."Jadi Solros sudah dekat ya?" tanyaku.Guzel yang duduk bersebelahan langsung bereaksi. Bahunya menabrak bahuku. "Kau ingin cepat-cepat ke Solros agar bisa segera menikahi Tuan Putri Hazel kan?" goda Guzel. Entah sihir atau apa alis Guzel terangkat sebelah dan ditambah cekikikan.Hazel menatapku dan Guzel secara bergantian dengan tatapan galaknya. Terlebih saat dia menatapku seperti ingin membunuhku dengan segera."Kau! Kenapa harus duduk di sini, pergi sana?" Hazel mengusirku
"Di mana letak Solros?""Di daerah barat," jawab Zarif.'Yagmur di timur dan Solros di barat,' gumamku dalam hati. Di satu sisi aku ingin sekali pergi ke negara manusia dan di sisi lain aku juga ingin ke negeri Elf dan bertambah kuat dengan latihan yang akan Zarif berikan.Memilih Yagmur bersama Hein mungkin akan mendekati tujuanku untuk menolong laki-laki dalam mimpiku. Berasumsi kalau gunung itu berada di daerah timur.Pergi ke barat artinya aku harus melakukan perjalanan panjang bersama Elf super menyebalkan bernama Hazel."Ada apa, Arkan?" tanya Zarif. "Kau keberatan ikut kami ke Solros?""Tidak."Zarif adalah temanku dan sudah sangat berjasa menolong Yasemin dan juga Paman Aftal. Kalau aku memilih Yagmur artinya aku akan mengecewakannya.Tiba-tiba teringat perkataan Hein, bahwa Elf selalu memanfaatkan kita. Sejauh ini, aku tidak merasa telah dimanfaatkan oleh Zarif kecuali rencana penyerangan Orc tadi pagi. Dia memaksaku menjadi umpan."Kalau kau tidak keberatan, kenapa kau nampa
"Apa?!"Hazel bisa mendengar Pedang Direnc bicara? Apa itu mungkin?"Bro! Apa pacarmu bisa mendengar suaraku?" tanya Pedang Direnc mendahului."Justru itu pertanyaanku," aku membalas dalam benakku.Saat ini aku masih adu tatap dengan Elf perempuan muda yang angkuh, sombong, menyebalkan, dan juga cantik. Aku harus mengakui Hazel cantik, meski berat hati. Di lihat dari rambutnya yang panjang dan berwarna putih kekuning-kuningan, hidung mancung, berkulit putih dan mata yang seperti kacang almon menatapku dengan tajam. Jujur saja, dia adalah perempuan yang paling cantik yang pernah aku lihat. Sayangnya kecantikannya sirna dengan kelakuannya yang seperti itu."Sudah-lah kalian berdua. Hentikan, jangan seperti anak kecil." Zarif melerai kami tangannya menyentuk kedua ujung pedang dan menekannya ke bawah.Zarif menoleh. "Arkan sebaiknya kau istirahat selagi sempat. Aku akan tetap melatihmu menggunakan pedang."Kakak! Apa aku tidak salah? Kau akan mengajari anak tikus ini?""Zarif apa adikmu
"Kau yakin?" kata Elf yang mencekikku."Sangat yakin."Akhirnya Elf galak itu membebaskanku. "Kenapa mereka mengutus orang bodoh seperti mu? Kau benar-benar dikirim Pangeran Zarif?" tanyanya."Tentu saja," kataku."Jadi, apa rencananya?""Ini rencananya." Aku mengangkat tangan dan memikirkan pedang Direnc. 'Direnc!' teriakku. Tentu saja dalam hati. Aku terus berkonsentrasi mengingat keberadaan Pedang Direnc dan keberadaanku."Wah! Rencana yang bagus!" komentarnya saat tidak terjadi sesuatu pada tanganku. "Pangeran Zarif pasti sedang mabuk mengirim anak ini.""Jangan terlalu pesimis," kataku. "Lebih baik kau bersiap-siap dan lindungi Putri Hazel sebaik-baiknya," titahku."Kau tidak berhak memerintahku, manusia."Lama menunggu pedang Direnc belum juga muncul. Aku semakin diragukan."Arkan! Kau tidak sedang membuat lelucon kan?" sela Hein."Tunggu sebentar," kataku. Aku memanggil Pedang Direnc lebih keras.Lalu pintu sel terbuka. Dua Orc datang dan menangkapku. Konsentrasiku buyar seket
"Jadi, kunci keberhasilan operasi ini adalah dari Tuan Arkan," kata Nazik seorang Elf penasehat Zarif."Panggil saja Arkan," kataku di depan semua orang yang tengah berkumpul untuk makan makan di bawah langit malam. Aku duduk di sebelah Zarif yang ternyata seorang pangeran Elf yang sangat dihormati."Bagaimanapun Tuan Arkan adalah sahabat Tuan Zarif," balas Nazik dengan sopan.Aku tidak terbiasa mendapatkan perlakukan seperti itu, badanku rasanya gatal-gatal."Aku masih muda dan lebih senang dipanggil Arkan," kataku sekilas aku melirik Zarif. "Pokoknya jangan terlalu formal.""Baiklah kalau itu maumu." Nazik mengalah."Keselamatan adikku ada di tanganmu," timpal Zarif. Dia terlihat berwibawa. "Aku percaya padamu, Arkan.""Zarif, aku—""Ehem," Nazik berdehem dan Elf lainnya batuk-batuk."Maksudku Pangeran Zarif. Anda tahu sendiri, bahwa aku baru beberapa kali menggunakan pedang. Aku bukan seorang ksatria yang hebat. Jadi, masuk sendiri ke dalam markas Orc rasanya itu seperti bunuh diri
Menurut penjelasan Zarif yang disampaikan sambil lari, melompat dan menyerang balik Troll yang buas . Seharusnya tidak ada Troll di sini. Mereka biasanya di gunung."Awas!" teriak Zarif memperingatiku ketika pohon lain dilemparkan ke arah kami.Aku menunduk hingga wajahku menyentuh tanah. Lebih tepatnya tersungkur. "Bagai mana cara membunuh makhluk ini?" Aku buru-buru bangkit."Serang kepalanya atau dengan cahaya," katanya.Aku tersenyum, "Cahaya? Kebetulan sekali aku memiliki pedang yang bisa bercahaya." Tanganku mencoba meraba pedang Direnc yang digendong di punggung. "Celaka.""Di mana pedangmu?" tanyanya. Lalu, Zarif membidik Troll sambil lari dan melompat kemudian melepaskan anak panah mengarah pada kepalanya. Troll menutup kepala dengan tangannya. Sehingga anak panas Zarif menancap pada sikut Troll."Hilang!" Aku kembali berlari guna menghindari serangan Troll.Aku melihat sekitar hutan yang gelap. Pedang Direnc terjatuh beserta sarungnya di suatu tempat."Bagus sekali," koment
"Terima kasih," kataku pada Bamsi.Bamsi memberikanku sarung pedang yang cocok untuk pedang Direnc. Sarung pedang yang dilengkapi dengan tali yang sangat memudahkanku membawa pedang Dirence ke mana-mana."Asik, ini baru kenyamanan yang hakiki," ujar Pedang Direnc saat aku masukan ke dalam sarung. Kemudian aku menggendong pedang di punggungku.Setelah pedang itu masuk aku tidak lagi mendengar ocehannya lagi. Ternyata Pedang Direnc hanya bisa berbicara saat aku memegangnya.Elric juga mengembalikan pedang Zarif. "Terima kasih," ujar Zarif dan langsung pergi."Kau sungguh-sungguh harus pergi?" tanya Yasemin sekali lagi. Membuatku menjadi sangat berat untuk meninggalkannya."Yase, akhir-akhir ini aku bermimpi sangat aneh. Ada sesuatu hal yang harus aku kerjakan di suatu tempat di luar sana. Aku tidak akan benar-benar tenang sebelum melakukannya."Aku memberikan alasan tambahan padanya agar dia semakin mengerti. Nyatanya aku memang kepikiran soal mimpiku tentang laki-laki yang dirantai em
"Kau pria yang buruk Aftal. Arkan masih anak-anak dan kau mengusirnya dengan tuduhan yang tidak jelas," kata Bamsi dengan tegas di hadapan semua warga yang tengah berkumpul di depan rumahnya.Hal itu ternyata belum cukup meredam emosi warga yang meminta aku dan Zarif segera pergi."Kau tidak mengerti, Bamsi. Aku hampir mati dibunuh kalau tidak melarikan diri ke hutan. Bukan hanya aku, tapi kami semua menjadi korban," balas pamanku dengan mudah menarik simpati dari warga lain.Warga lain mulai mengeluh seperti Paman Aftal membuat suasana seperti di pasar.Bamsi kemudian membuka bajunya. Memperlihatkan luka besar dari sayatan pedang Orc. "Kalian pikir aku baik-baik saja?"Paman Aftal bersama warga lain bergidik ngeri."Kalau bukan karena Arkan mungkin aku, keluargaku, dan bahkan kalian sudah mati," jelas Bamsi dengan suara lantang."Ayah, Arkan adalah keluarga kita. Kenapa Ayah setega itu mau mengusirnya?" Seperti biasa Yasemin membelaku. Dia masih belum mengganti pakaiannya, bahkan aku
Aku tidak sempat menghitung berapa Orc yang mati karena sabetan pedang Direnc. Saat pedang ini bersinar, Orc lari tunggang langgang seolah takut akan terbakar oleh cahayanya."Arkan! Sejak kapan kamu—""Tampan!" Aku menebak."Bisa menggunakan pedang sehebat itu," ungkap Yasemin.Untuk sementara rumah Bamsi aman. Aku bisa bernapas lega. Sementara itu Bamsi dan teman-temannya duduk di lantai karena kelelahan."Bro! Kejar meraka, yuk? Asik, nih," ujar pedang Direnc"Sebentar," jawabku."Sebentar apa," tanya Yasemin.Mungkin Yasemin tidak bisa mendengar perkataan pedang Direnc."Nanti saja aku ceritakan," janjiku.Saat aku keluar melalui pintu utama yang telah rusak, desa Zirve terlihat kacau balau. Rumah warga hancur, terbakar, dan banyak sekali korban yang berjatuhan.Orc memilih menghindar, berlari atau bersembunyi dari cahaya pedang Direnc."Dasar Orc pengecut," keluh Pedang DirencKami—aku dan pedang Direnc—mengejar Orc terde