Suara ledakan masih bergema di udara, memecah kesunyian malam yang mencekam. Desa Suban Dara, yang biasanya damai, kini menjadi medan pertempuran. Ling, Fang, dan para penjaga desa bergegas menyusun strategi, sementara para penyerang semakin mendekat, bersiap untuk melancarkan serangan berikutnya.“Fang, kita harus membagi kelompok!” seru Ling, menatap para penjaga dengan serius. “Beberapa orang harus menjaga gerbang, sementara yang lain tetap di sini untuk melawan musuh yang sudah ada.”Fang mengangguk, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat. “Baik, aku akan mengumpulkan beberapa penjaga untuk menjaga pintu masuk. Kita tidak boleh membiarkan musuh masuk ke desa.”Ling mengangguk, lalu beralih ke Heng Juesha dan Yu Lian yang masih berada di sisinya. “Kalian berdua, tetap dekat denganku. Kita harus memastikan semua warga desa aman.”“Dan apa rencanamu, Ling?” tanya Heng Juesha, kekhawatiran terlukis di wajahnya. “Menemukan sumber dari serangan ini,” jawab Ling tegas. “Aku m
Malam itu, di dalam balai desa Suban Dara, suasana tegang terasa. Para warga berkumpul, wajah-wajah mereka mencerminkan ketakutan dan kekhawatiran akan ancaman yang mungkin datang kembali. Ling, Fang, Heng Juesha, dan Yu Lian berdiri di depan kerumunan, siap menyampaikan rencana mereka.“Saudara-saudara sekalian,” Ling memulai, suaranya bergetar namun penuh ketegasan. “Hari ini kita telah berhasil mempertahankan desa kita dari serangan musuh. Tetapi kita tidak bisa menganggap ini sebagai akhir. Mereka akan kembali, dan kita harus bersiap.”“Bagaimana kita bisa bersiap?” tanya seorang warga, wajahnya penuh kecemasan. “Mereka memiliki kekuatan dan jumlah yang lebih banyak.”Fang mengangguk, menyadari beban tanggung jawab yang dihadapi mereka. “Kita perlu memperkuat pertahanan desa. Kita harus memperbaiki benteng, menyiapkan jebakan, dan melatih para penjaga.”“Dan kita harus menemukan cara untuk mengetahui siapa pemimpin mereka,” tambah Heng Juesha. “Jika kita tahu siapa yang memimpin s
Pagi itu, kabut tebal menyelimuti desa Suban Dara. Udara dingin dan keheningan yang tidak biasa menciptakan suasana yang suram. Ling sudah bangun sejak subuh, mempersiapkan diri untuk melanjutkan latihan. Di tengah persiapan, firasat buruk terus menghantuinya. Sesuatu terasa salah.Saat Ling menuju ke balai desa, dia melihat Fang berdiri di sana, menatap ke arah hutan di seberang desa dengan tatapan serius."Ada apa, Fang?" tanya Ling sambil mendekatinya.Fang menoleh dan menghela napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu, Ling. Tapi rasanya ada sesuatu yang mengintai kita. Seperti bayangan gelap yang mengancam, namun belum menampakkan dirinya."Ling menyipitkan mata, melihat ke arah yang sama. Di balik pepohonan rimbun hutan, dia merasakan kehadiran yang aneh. Dia tidak bisa melihatnya, tetapi nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang berbahaya di sana.“Kita harus meningkatkan kewaspadaan,” jawab Ling akhirnya. “Kita tidak bisa membiarkan desa ini lengah.”***Sementara itu, di jalan set
Saat malam semakin larut, pertempuran di desa Suban Dara semakin sengit. Tanah desa yang biasanya tenang kini bergetar di bawah langkah-langkah berat para prajurit bayangan yang tanpa henti menyerang. Ling, yang berada di garis depan, dengan cepat menyesuaikan dirinya dengan setiap gerakan lawan. Pedangnya bergerak seperti kilatan petir, menusuk dan menebas, memotong bayangan-bayangan gelap yang mengancam desanya.Namun, serangan pemimpin kelompok bayangan yang bertubuh besar itu menguji batas kekuatannya. Dengan satu tebasan, pedang raksasa musuh itu mampu menghancurkan pertahanan Ling dan hampir membuatnya jatuh ke tanah."Apakah ini semua yang bisa kau lakukan, anak muda?" ejek pemimpin bayangan itu dengan suara rendah, matanya yang merah membara terlihat lebih menyeramkan di bawah kilauan bulan. Ling terhuyung beberapa langkah ke belakang, merasakan sakit di lengannya akibat benturan serangan. Namun, matanya tetap fokus. Dia tidak boleh menyerah sekarang. Dia teringat akan semua
Kilatan cahaya yang dihasilkan dari benturan antara pedang pusaka Ling dan energi hitam dari pemimpin bayangan menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan pepohonan dan mengguncang tanah desa Suban Dara. Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu tertegun, bahkan beberapa prajurit bayangan mundur, ketakutan oleh kekuatan luar biasa yang terpancar dari pertempuran tersebut.Ling menggertakkan giginya, seluruh tubuhnya terasa sakit akibat benturan tadi. Meski begitu, semangatnya tidak surut. Cahaya biru dari Pedang Pemabalik Surga masih berkilau, memberikan keyakinan bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kegelapan yang ia hadapi."Aku tidak akan kalah... Aku harus melindungi desa ini!" teriak Ling dalam hatinya, sementara darah segar menetes dari luka-lukanya.Pemimpin bayangan mengangkat pedang raksasanya sekali lagi, kali ini dengan lebih kuat. “Kau memang kuat, anak muda, tapi kekuatanmu tidak cukup untuk mengalahkanku!” seru pemimpin itu sambil mengayunkan pedangnya ke arah
Setelah pemimpin bayangan lenyap, Ling jatuh berlutut. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya terasa lelah, dan seluruh energinya terkuras habis dalam pertarungan barusan. Namun, matanya tetap menatap ke langit yang kini bersih dari kegelapan. Cahaya rembulan yang bersinar seolah memberikan sedikit kehangatan bagi tubuhnya yang lemah.Yu Lian segera menghampiri Ling, wajahnya penuh kekhawatiran. “Ling, kau terluka! Kita harus segera membawamu kembali ke desa untuk diobati,” ujarnya cemas sambil mencoba membantunya berdiri.Ling tersenyum tipis, meskipun rasa sakit menggerogoti tubuhnya. “Aku baik-baik saja, Paman Yu. Lukaku tidak seberapa dibandingkan apa yang hampir terjadi pada desa ini.”Fang, yang juga mendekat, menepuk bahu Ling. “Kau luar biasa, Ling. Kita semua tahu tanpa dirimu, desa ini mungkin sudah jatuh ke tangan kegelapan.”Ling mengangguk pelan, tetapi jauh di dalam hatinya, ada rasa tidak tenang yang mengganggu pikirannya. “Pemimpin bayangan itu... dia mengatakan bahwa keg
Pagi mulai menyingsing, desa Suban Dara yang damai kembali menggeliat dengan aktivitas warganya. Sementara itu, Ling dan kelompoknya telah tiba di desa saat fajar mulai menerangi cakrawala. Wajah-wajah kelelahan tampak jelas, terutama pada Ling yang masih menyimpan banyak pikiran terkait perbincangannya dengan Heng Juesha mengenai Pedang Pemabalik Surga.Setelah perjalanan panjang, mereka akhirnya berkumpul di rumah tetua desa, En Jio. Sang tetua menyambut mereka dengan penuh kelegaan, tetapi juga dengan raut wajah yang mengisyaratkan sesuatu yang tidak baik."Aku mendengar tentang serangan di hutan Siluman dan keberanian kalian semua. Kalian sudah melakukan banyak hal besar," ujar En Jio sembari menyuguhkan teh hangat. Namun, ada ketegangan dalam suaranya yang tidak bisa disembunyikan."Kami berhasil menahan serangan, tetapi musuh yang kami hadapi jauh lebih kuat dari yang kami duga," balas Heng Juesha dengan nada berat. "Masih ada kekuatan gelap yang bersembunyi di luar sana, menung
Kerumunan penduduk desa semakin ramai, berbisik-bisik di antara mereka sendiri setelah mendengar kabar buruk tentang Tombak Naga Bumi. Wajah-wajah yang sebelumnya tenang kini tampak panik. Beberapa orang mulai khawatir tentang keluarga mereka, sementara yang lain berusaha mencari perlindungan dari ancaman yang tidak mereka ketahui sepenuhnya.Ling masih berdiri di samping prajurit yang terluka parah itu. Tatapan matanya tajam, namun dalam hatinya, kegelisahan semakin menggeliat. Jika yang dikatakan prajurit itu benar, maka kehancuran bukan hanya mengancam desa Suban Dara, tetapi juga seluruh wilayah sekitarnya.“Berapa banyak waktu yang kita miliki sebelum mereka melancarkan serangan?” Ling bertanya cepat, suaranya tegas meskipun ia sedang menahan amarah.Prajurit yang tergeletak itu berjuang untuk berbicara. "Tidak... tidak lebih dari... tiga hari... Mereka... akan menyerang di bawah purnama... memanfaatkan kekuatan alam untuk memperkuat senjata terkutuk itu..."Tiga hari. Ling merasa