Tanpa pikir panjang, Tetua Qin melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada para pelayan untuk segera membawa Murong Chen dan Xiao Mei keluar dari ruangan. Dua pemuda itu masih berusaha membantah, namun para pelayan bergerak cepat, menggiring mereka keluar tanpa banyak perlawanan."Kalian tak perlu membuang waktuku lagi dengan ocehan tak berguna," suara Tetua Qin terdengar tegas, wajahnya menampakkan ketidaksabaran yang jelas.Murong Chen mendengus kesal, sementara Xiao Mei menggertakkan giginya dengan tatapan penuh kebencian ke arah Du Shen. "Kau akan menyesalinya," gumamnya lirih sebelum akhirnya dipaksa keluar.Setelah ruangan kembali sunyi, Tetua Qin menarik napas panjang, merasakan kelegaan yang amat sangat. 'Walaupun mereka berasal dari keluarga terpandang di kota ini, mengabaikan keduanya lebih baik daripada kehilangan pemuda berbakat seperti ini,' pikirnya dengan mata berbinar.Begitu suasana menjadi lebih tenang, ia kembali menatap Du Shen, kali ini dengan tatapan lebih ra
Dalam putaran waktu yang terasa singkat, fajar perlahan menyingsing, sinar mentari mulai menerobos celah-celah bangunan di kota Danau Hitam, menciptakan cahaya keemasan yang menyelimuti kota itu.Du Shen menghela napas pelan, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Semalaman penuh ia berkultivasi, tetapi hasilnya jauh dari harapannya. Energi dalam tubuhnya tetap stagnan, seolah ada dinding tak kasatmata yang menghalanginya untuk berkembang lebih jauh."Huh... aku perlu mencari solusi secepat mungkin," gumamnya, nada suaranya penuh ketidaksabaran.Tatapannya berubah tajam ketika mengingat satu hal. Hari ini, Paviliun Alkemis mengadakan pelelangan. Mungkin di sana, ia bisa menemukan sesuatu yang dapat membantunya menembus kebuntuan kultivasinya.Setelah membenahi pakaiannya, Du Shen segera meninggalkan kediamannya. Saat ia melangkah ke halaman utama, beberapa sosok sudah tampak menunggunya di sana. Kepala klan Hao, Hao Jifeng, berdiri tegap dengan senyum tipis di wajahnya. Di sam
Du Shen, seorang anak muda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan. Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera
Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusa
Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Dalam putaran waktu yang terasa singkat, fajar perlahan menyingsing, sinar mentari mulai menerobos celah-celah bangunan di kota Danau Hitam, menciptakan cahaya keemasan yang menyelimuti kota itu.Du Shen menghela napas pelan, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Semalaman penuh ia berkultivasi, tetapi hasilnya jauh dari harapannya. Energi dalam tubuhnya tetap stagnan, seolah ada dinding tak kasatmata yang menghalanginya untuk berkembang lebih jauh."Huh... aku perlu mencari solusi secepat mungkin," gumamnya, nada suaranya penuh ketidaksabaran.Tatapannya berubah tajam ketika mengingat satu hal. Hari ini, Paviliun Alkemis mengadakan pelelangan. Mungkin di sana, ia bisa menemukan sesuatu yang dapat membantunya menembus kebuntuan kultivasinya.Setelah membenahi pakaiannya, Du Shen segera meninggalkan kediamannya. Saat ia melangkah ke halaman utama, beberapa sosok sudah tampak menunggunya di sana. Kepala klan Hao, Hao Jifeng, berdiri tegap dengan senyum tipis di wajahnya. Di sam
Tanpa pikir panjang, Tetua Qin melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada para pelayan untuk segera membawa Murong Chen dan Xiao Mei keluar dari ruangan. Dua pemuda itu masih berusaha membantah, namun para pelayan bergerak cepat, menggiring mereka keluar tanpa banyak perlawanan."Kalian tak perlu membuang waktuku lagi dengan ocehan tak berguna," suara Tetua Qin terdengar tegas, wajahnya menampakkan ketidaksabaran yang jelas.Murong Chen mendengus kesal, sementara Xiao Mei menggertakkan giginya dengan tatapan penuh kebencian ke arah Du Shen. "Kau akan menyesalinya," gumamnya lirih sebelum akhirnya dipaksa keluar.Setelah ruangan kembali sunyi, Tetua Qin menarik napas panjang, merasakan kelegaan yang amat sangat. 'Walaupun mereka berasal dari keluarga terpandang di kota ini, mengabaikan keduanya lebih baik daripada kehilangan pemuda berbakat seperti ini,' pikirnya dengan mata berbinar.Begitu suasana menjadi lebih tenang, ia kembali menatap Du Shen, kali ini dengan tatapan lebih ra
"Khmm!" Tetua Qin terbatuk pelan, suaranya terdengar sedikit serak. Ia berusaha menenangkan diri, mencoba menyembunyikan keterkejutan yang masih bergemuruh dalam dadanya. Namun, tak peduli seberapa keras ia berusaha, matanya tak bisa menyembunyikan kilatan kagum yang masih tersisa.Sebelumnya, ia mengira dirinya telah melihat segalanya dalam dunia Artefak. Namun, pemuda yang tampak biasa-biasa saja di hadapannya ini telah membuktikan bahwa ia salah besar.Dengan langkah ringan namun penuh penghormatan, Tetua Qin merapatkan kedua genggaman tangannya di depan dada, lalu sedikit menundukkan kepalanya."Orang tua ini harus meminta maaf atas kebodohannya..." ucapnya penuh penghormatan. Kata-katanya bagaikan petir yang menyambar di tengah ruangan itu.Orang-orang yang menyaksikan langsung membelalakkan mata mereka, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.Tetua Qin… seorang tokoh terhormat dari Paviliun Seribu Harta… meminta maaf dan menunduk hormat?Kepala para pelayan dan or
"Biarkan aku melihatnya! Biarkan aku melihatnya!" seru Tetua Qin dengan nada penuh semangat, matanya berbinar seperti seorang sarjana yang baru saja menemukan gulungan kitab kuno yang hilang selama berabad-abad.Langkahnya maju dengan penuh antusiasme, seakan tidak sabar untuk merasakan sendiri energi dari belati yang baru saja diukir dengan inskripsi misterius oleh Du Shen.Namun, di tengah kegembiraannya, ekspresi gugup mulai muncul di wajah beberapa orang yang menyaksikan, terutama Xiao Mei dan Murong Chen. Mereka tidak menyangka bahwa Tetua Qin, seorang ahli Artefak yang selama ini dikenal penuh kehati-hatian, tiba-tiba menunjukkan minat yang begitu besar."Tetua Qin, sebaiknya Anda jangan terlalu mudah percaya pada pemuda ini. Bisa saja ini adalah jebakan yang dia rancang untuk menipu kita semua," ujar Murong Chen, segera melangkah maju untuk menghalangi niat Tetua Qin."Benar!" sambung Xiao Mei dengan suara sedikit gemetar, meskipu
Du Shen lalu mengeluarkan sebuah pena logam sederhana dari sakunya dan meletakkan sebotol kecil berisi darah binatang buas di atas meja kayu. Setelah itu, ia menaruh belati perak yang sebelumnya yang dia digunakan untuk memotong Belati Iblis Bulan.Tindakan itu langsung menarik perhatian semua orang, tetapi sebelum ada yang sempat mengutarakan pendapatnya, suara penuh sindiran terdengar dari arah sampingnya."Apa lagi yang kau coba lakukan?" Xiao Mei mencibir dengan nada penuh ejekan. "Mencoba menipu mata kami dengan trik licikmu lagi?"Ekspresinya berubah semakin jelek, matanya memancarkan ketidaksenangan yang nyata.Sejak awal, ia berharap bisa mempermalukan Du Shen dan membuktikan bahwa pemuda itu hanyalah seorang penipu. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Setiap kata dan tindakan Du Shen selalu membuatnya terkejut dan semakin frustrasi.Melihat pemuda itu dengan santai mengeluarkan alat-alat seperti ingin membuktikan sesuatu, Xiao Mei merasa tak bisa hanya berdiam diri dan mem
"Bagaimana bisa…?" gumam Hong Xie. Suaranya terdengar lirih, nyaris tak terdengar. Matanya masih terpaku pada sisa-sisa Belati Iblis Bulan yang kini tergeletak tak berarti di atas lantai, terpotong menjadi dua bagian yang tak lagi memiliki daya tarik apa pun.'Apakah… belati itu memang Artefak cacat?' pikirnya dengan keraguan yang kini mulai menyelimuti benaknya.Beberapa saat lalu, ia adalah salah satu orang yang paling marah saat Du Shen terang-terangan menghina mahakarya pemimpin Paviliun mereka. Namun kini, dengan bukti yang begitu jelas di depan mata, pendiriannya mulai goyah.Sementara itu, Murong Chen dan Xiao Mei masih berdiri kaku, mata mereka membelalak dalam ketidakpercayaan. Apa yang mereka lihat barusan benar-benar di luar dugaan.Artefak tingkat tiga… hasil mahakarya seorang ahli terkemuka di Kota Danau Hitam… Hancur dalam satu tebasan oleh belati biasa.Itu tidak masuk akal. Tak mungkin benda sekuat itu bisa dihancurkan semudah membelah tahu dengan pisau dapur!Namun,
Xiao Mei menyilangkan tangan di depan dada, sudut bibirnya terangkat dalam senyum sinis. Matanya dipenuhi penghinaan saat menatap Du Shen.'Huh~ Orang ini? Mari lihat kebodohan apa lagi yang akan kau lakukan,' pikirnya, menikmati pertunjukan yang menurutnya hanya akan berakhir dengan Du Shen mempermlaukan dirinya sendiri.Di tengah suasana yang agak tegang itu, Du Shen dengan tenang mengulurkan tangannya dan meraih kembali Belati Iblis Bulan yang masih dipegang oleh Hong Xie.Cahaya temaram dari kristal di dinding-dinding kayu memantul pada bilah perak belati itu, menciptakan kilauan cahaya yang memancarkan aura tajam dan ganas.Tanpa ragu, Du Shen mengayunkan belati itu beberapa kali di udara.Gerakannya halus, tetapi penuh perhitungan. Setiap ayunan menciptakan suara desiran kecil, seolah bilah belati itu sedang membelah udara dengan kekuatan tersembunyi.Mata semua orang tertuju padanya. Namun, sebelum ada yang bisa mengerti maksud tindakannya, suara cemoohan terdengar."Apa yang c
Di tengah suasana tegangan yang menggelayuti ruangan itu, tiba-tiba suara serak nan berat bergema dari arah samping."Ada apa ini?" suara itu langsung memecah keheningan.Perlahan, seorang pria paruh baya berjalan dengan langkah anggun dan penuh wibawa mendekat ke arah mereka. Setiap gerakannya menunjukkan otoritas yang sulit dibantah, seakan hanya dengan kehadirannya saja, seluruh ruangan harus tunduk dan patuh.Tatapan tajamnya menyapu seluruh orang yang berkumpul di tempat itu.Mata beberapa pelayan dan orang-orang di dalam ruangan Paviliun Seribu Harta segera melebar dalam ketegangan. Sosok ini bukan orang biasa yang dapat diremehkan begitu saja.Dia adalah Tetua Qin Cong, wakil pemimpin Paviliun Seribu Harta.Begitu melihat pria itu muncul, Xiao Mei buru-buru melangkah maju, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini."T-Tetua Qin, anda akhirnya datang!" serunya dengan nada penuh hormat, bahkan mendahului para pelayan yang seharusnya menyambut pria itu lebih dulu.Qin Cong meng
Hong Xie mengangguk, meski ada sedikit keraguan di matanya. Dari interaksi yang berlangsung di depannya, ia mulai memahami beberapa hal. Tatapan matanya sesekali melirik ke arah Hao Yexin, yang gerak-geriknya tampak agak kaku, seolah menahan sesuatu dalam dirinya.Namun, sebagai pelayan yang terlatih, ia tetap mempertahankan ekspresi ramahnya. Dengan nada sopan, ia berkata,"Baiklah, Tuan. Saya akan menyiapkan Belati Iblis Bulan ini untuk Anda, dan untuk pembayarannya bisa—"Ucapan Hong Xie mendadak terhenti. Sebuah lambaian tangan yang tegas menghentikannya sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya.Du Shen. Pemuda itu berdiri tegak dengan ekspresi tidak senang. Tatapan tajamnya menusuk langsung ke arah pelayan tersebut, seakan menelanjangi setiap pikiran yang tersembunyi.Hong Xie merasakan dadanya sedikit bergetar. Ia menelan ludah, lalu menundukkan kepala dengan gugup. Ada sesuatu dalam tatapan pemuda itu yang berbeda—sebuah tekanan tak kasatmata yang membuatnya merasa kecil."A-