Setelah Seno pergi. Tanu langsung menghampiri Banyu. Kakek tua itu sepertinya ingin memastikan keadaan Banyu dari dekat.
"Hmp! Kasihan juga pemuda ini. Walau pun ia memiliki kekuatan yang luar biasa, tapi tubuhnya belum siap untuk menjadi wadah kekuatannya sendiri," bisik Tanu setelah ia berada di dekat Banyu.
Keadaan Banyu begitu perihatin, kulitnya terlihat hitam seakan gosong terbakar api. Setelah memeriksa keadaan Banyu dengan teliti, Tanu segera bertindak sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Secara diam-diam, ternyata Tanu telah mengembangkan kemampuannya di bidang pengobatan. Dengan kemampuan pengobatan yang dimilikinya Tanu mencoba untuk memulihkan Banyu yang hampir mati.
Kakek tua itu segera menyimpan telapak tangannya pada pundak Banyu yang tengah tergeletak. Mulutnya seakan membisikan sesuatu, setelah itu munculah cahaya biru di telapaknya menyerupai sarung tangan.
Entah apa yang tengah dirasakan Banyu. Setelah tubuhnya bersentuhan de
"Haha, akhirnya kau muncul juga Aqilla. Sudah lama aku tak melihatmu!" ucap Tanu pada burung elang yang berasal dari pedang banyu.Aqilla merupakan wujud asli dari pedang halilintar. Burung itu bersemayam di balik pedang besar selama ratusan tahun. Meskipun banyak manusia yang telah menguasai pedang halilintar, Aqillah tak pernah menunjukan wujud aslinya.Burung itu tak akan keluar jika tak menemukan tuannya. Terakhir ia menampakan diri pada saat peperangan Zubad yang berlangsung ribuan tahun lalu."Sial! Ternyata kau yang membantunya. Aku pikir kekuatan orang itu sudah layak menguasaiku," sahut Aqilla sedikit kesal."Burung sombong! Ternyata sifatmu masih seperti dulu. Aku mohon, jadikanlah dia sebagai tuanmu. Karena keadaan dunia sudah berubah. Bahkan peperangan besar, bisa saja terjadi," Tanu sepertinya membujuk Aqilla untuk taat pada Banyu."Haha, kau pikir aku bodoh! Peperangan memang akan terjadi. Mengapa aku harus terlibat dalam urusan
"Bagaimana kabarmu Darani?" tanya Tanu, pada salah satu hewan yang diam di dekatnya. Kakek tua itu memberi nama panggilan pada ular kobranya, ia merupakan perwujudan dari pusaka Ardun."Kabar ku saat ini tentu saja lebih baik dari pada sebelumnya. Tanu, mengapa kau memanggil ku. Padahal tidak ada pertempuran di sekitarmu?" ucap Darani."Ya, memang saat ini tak ada pertempuran. Tapi aku membutuhkan bantuanmu.""Hmp! Bantuan?""Benar, aku ingin kalian membuat Aqilla tunduk pada pemuda itu," pinta Tanu, sembari mengarahkan telunjuk pada Banyu."Haha, yang benar saja. Mengapa aku harus berjuang untuk orang itu? Memangnya siapa dia?" sahut Darani mengelak perintah Tanu. Walau kakek tua itu telah menaklukan perwujudan pusaka Ardun. Namun belum bisa menguasai seutuhnya."Jika kau tetap keras kepala! Aku akan memasukanmu lagi ke alam penjara."Tanu memang menguasai ribuan jurus rahasia. Bahkan dirinya telah menempuh perjalanan sepiritua
Saat pertarungan tiga mahluk perwujudan pusaka berlangsung, tiba-tiba Tanu menghentakkan kakinya. Akibat hentakan itu, goa tempat dirinya berada, jadi bergetar dengan hebat."A-apa yang terjadi?" tanya Banyu. Pemuda itu sampai saat ini belum mampu bebuat apapun. Terlebih semenjak tiga mahluk jelmaan pusaka bertarung, Banyu terlihat seperti anak kecil berusia dua tahun, yang menyaksikan orang dewasa unjuk kehebatan.Ternyata bukan hanya Banyu yang terkejut melihat peristiwa yang sedang terjadi. Aqilla yang sudah nampak dihujung kemenangan, seakan terkagum menyaksikan kekuatan yang dimiliki oleh Tanu."Tak ku sangka kakek tua itu memiliki kemampuan merubah diri, mungkinkah dia pewaris keturunan penguasa bumi selama ini?" puji Aqilla pada Tanu.Tanu tiba-tiba merubah wujudnya dengan kulit yang bercahaya.Setelah seluruh tubuh Tanu dipenuhi cahaya kuning menyilaukan, ia bergerak dengan cepat hendak mendekat dan melakukan penyerangan pada Aqilla.
Betapa besar keyakinan Aqilla dalam mengalahkan Tanu yang saat ini tiba-tiba kehilangan kekuatannya. Burung elang itu melesat bagaikan busur panah yang mendekati sasarannya. Namun laju cepatnya masih dapat terlihat. Sebab burung itu sudah mengeluarkan semua kekuatan untuk bertahan dari serangan Tanu. Andai saja kekuatannya masih utuh, mungkin siapapun tak bisa melihat kecepatan yang dimiliki perwujudan pusaka berupa burung itu. Di saat Aqilla meluncur dengan cepat, Tanu melihat percikan halilintar silih berganti seakan menyelimuti tubuh burung itu. "Bagaimana ini, jangan-jangan burung itu akan memakai jurus pamungkas miliknya. Jurus kilat dewa pencabut nyawa," gumam Tanu dalam batinnya. Jurus pamungkas ini memiliki beberapa keunggulan tersendiri jika dibandingkan dengan jurus Aqilla lainnnya. Siapa pun lawan Aqilla yang terkena jurus ini, pasti akan berakhir dengan kematian. Namun jurus ini pernah ditaklukan oleh seorang bocah yang dikenal
Suasana di gubuk tua yang Tanu buat, saat ini terasa begitu sesak. Hal itu dikarenakan Seno datang bersama tiga lelaki yang masih tak sadarkan diri. Dua diantaranya ialah Utar dan Jiro, kemudian satu lelaki lainnya bernama Andar. Selain tiga lelaki tersebut, Seno pun berhasil menemukan dua wanita desa yang bernama Mei dan Wina. Mengapa hanya lima orang?Kemana yang lainnya? Bukankah anggota pasukan desa tersebut berjumlah dua puluh orang? Ya, anggota pasukan desa memang berjumlah dua puluh orang, tapi hanya lima orang saja yang bisa dibawa Seno. Lima belas orang lainnya dinyatakan telah meninggal dunia. Saat Seno mendapati mereka, keadaan tubuh lima belas anggota pasukan desa tersebut, banyak mengalami cedera. Seperti patah tulang, tubuh berlumur darah dan warna kulit yang sudah nampak membiru. "Kek, mengapa kau melakukan semua ini?" tanya Seno. Pria itu menuduh Tanu sebagai penyebab dari kematian teman-temannya. "Jangan tanya
"Jika semua yang dikatakan kakek itu benar. Berarti dalam waktu dekat ini akan terjadi peperangan besar!" tutur Seno, kemudian ia menghampiri Tanu yang tengah berdiri di pintu masuk."Hmp, begitu ya. Dari mana kau mengetahui berita itu?" tanya Tanu."Dari kitab Kasyapi.""Hah! Apa kau bilang? Kasyapi!" sontak saja Tanu terkejut mendengar nama Kayapi. Itu merupakan kitab yang sedang dicarinya. Karena dalam kitab itu terdapat penjelasan kitab Azura yang masih sulit dimengerti.Sungguh beruntung orang yang memiliki kedua kitab ini, sebab kitab tersebut tidak mempunyai salinan. Dengan kata lain hanya ada satu di dunia."Berarti kau ....""Benar, aku merupakan keturunan dari orang yang sedang kakek ceritakan. Kemudian aku diberitahukan tanda-tanda akan terjadinya peperangan besar. Yaitu disaat satu kitab yang dipisahkan bertemu kembali."Perbincangan Tanu dan Seno terus berlangsung dari mulai terbit matahari, hingga menjelang s
"Guru! Guru!"Suara teriakan seorang pria, seakan mengguncang se-isi hutan.Saat ini hari sudah gelap gulita, karena tempat sang Surya telah digantikan oleh bulan sabit.Di gubuk sederhana yang dibangun oleh Tanu, saat ini nampak dipenuhi isak tangis. Entah apa yang sedang terjadi.Namun di sisi lain hutan gerbang kematian, seorang bocah terlihat sedang asik bermain di tengah malam.Tunggu!Bermain di tengah malam?Bukankan itu hal tak lazim?Ya, itu memang tak lazim. Tapi bocah yang sedang asik bermain itu tak lain ialah Sadarga Sae. Si bocah 11 tahun yang sudah menelusuri hutan selama beberapa hari terakhir.Saat ini Sadarga sedang bermain kejar-kejaran dengan Pusi, si kucing putih yang ditemuinya beberapa waktu lalu.Ternyata sesaat setelah kepergiannya dari Tanu, bocah itu langsung bertemu dengan Pusi. Akhirnya mereka selalu bersama kemana pun mereka pergi."Hei, Pusi. Apa kau sudah lelah?" tanya
Setelah menangkap ikan untuk dibawa pada Tanu, Sadarga langsung bergegas melanjutkan perjalanannya."Kakek, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa bayangan wajahmu terus melintas di benak ku," gumam Sadarga. Sembari berlari bocah itu terus melamun. Rasa khawatir teramat sangat seperti mengganggunya.Setelah perjalanan yang cukup jauh. Akhirnya Sadarga tiba di tempat Tanu berada.Suasana kala itu seakan canggung tanpa kata, terlihat tiga pria dewasa sedang diam hendak menyalakan api pada tumpukan kayu dan ranting.Selain itu, Sadarga melihat dua wanita yang tak asing baginya.Sadarga bingung seribu bahasa, apa yang harus ia katakan pada orang-orang di depannya. Sebab bocah itu telah menyapa beberapa kali, tapi ia tak mendapat tanggapan sedikit pun.Walau Sadarga mengenal orang-orang di hadapannya, tapi entah mengapa. Mereka seperti baru bertemu."Paman, mengapa kalian terlihat sedih?" tanya Sadarga yang ke-sekian kalinya. Meski pu
"Hei, coba lihat! Bukankah dia utusan dari bumi?""Mungkin saja begitu.""Tapi, aku rasa ada yang tak biasa dengan bumi kali ini. Mengapa saat ini bumi mengutus seorang yang terlihat lemah seperti itu.""Ya, benar juga. Jika demikian maka karisma bumi seakan menjadi pudar.""Hahaha."Dari jarak yang lumayan jauh, terdengar percakapan beberapa orang yang sedang menggunjing. Sepertinya Sadarga belum peka terhadap percakapan tersebut. Karena sebenarnya yang sedang menjadi bahan pembicaraan adalah dirinya, sebagai utusan dari bumi."Apa yang harus aku lakukan? Mengapa tiba-tiba tempat ini menjadi ramai?" gumam Sadarga dalam batinnya. Pandangan lelaki itu terus menyisir setiap penjuru yang mampu dijangkaunya.Suasana di dataran lapang ini begitu riuh, kesunyian seakan lenyap dibuatnya. Bagaikan pesisir pantai yang jernih dan tiba-tiba dipenuhi buih yang teramat banyak. Hiruk pikuk para utusan dari berbagai penjuru alam semesta datang
Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya selesai juga. Sampailah di sebuah permukaan datar penuh debu dan pasir.Jika menengadahkan kepala ke langit, Sadarga bisa melihat puluhan bola berukuran besar. Terkadang Sadarga menyaksikan Kilauan cahaya di bola itu, tapi sisi lainnya berwarna gelap."Paman, jika boleh tahu siapa namamu?" tanya Sadarga sembari mengarahkan pandangan ke atas langit. Lelaki ini memang terbiasa menggunakan sebutan Paman, kepada siapapun yang dianggapnya lebih tua."Hmp, maafkan aku... karena hampir saja lupa memberitahunya. Perkenalkan namaku Brama Rangga Dewata. Tapi terserahmu saja, kau bisa panggil sesukamu," sahut Brama dengan senyuman ramahnya. Simpulan bibir pria itu seperti menyiratkan sifat aslinya."Wah, namamu bagus sekali dan sangat panjang Paman. Mungkin aku akan memanggilmu menggunakan nama depannya saja.""Baiklah nak, terima kasih atas pujiannya. Perlu kamu ketahui kita ini hampir sampai. Jangan s
Sesuatu yang dilihat oleh Sadarga, sungguh membuatnya ingin muntah.Bagaimana tidak?Sebab saat ini terlihat dua orang lelaki dan tiga wanita yang sudah tak berpakaian. Lima orang itu masih memiliki wajah utuh, tapi dari leher hingga bagian kaki sudah tak nampak lazim.Bukan tanpa alasan keadaan lima orang itu menjadi sedemikian rupa. Hal tersebut ternyata diakibatkan ulah dari orang-orang yang mengerumuninya.Ya, lima orang bernasib buruk itu telah menjadi korban keganasan penyembah Pisaca.Karena tak tahan melihat tingkah orang-orang di sekelilingnya, dengan lantang Sadarga berteriak sekeras mungkin."Aaaaaaa!"Tak lama setelah teriakan menggema di ruang istana, pandangan pun berubah menjadi gelap. Sadarga hanya bisa melihat bintik cahaya bermacam warna, bagaikan pemandangan langit malam saat dilihat di atas gunung.Begitu terkejut Sadarga, setelah ia menyadari bahwa dirinya sudah berpindah tempat cepat sekali. Bu
"Tunggu! Ibu mau kemana?" teriak Sadarga setelah melihat Ningrum tiba-tiba pergi dengan cepat.Walaupun Sadarga berteriak sekerasnya dan tengah melakukan berulang kali.Sayang sekali!Ningrum terlihat acuh tak memberikan tanggapan.Begitu tergesa-gesa kepergian Ningrum. Entah apa yang membuatnya melakukan itu? Yang jelas saat ini Sadarga hanya seorang diri saja melayang menunggangi batu di lingkungan istana kerajaan.Ingin rasanya mengikuti sang ibu yang telah pergi meninggalkannya, tapi apa daya Sadarga? Batu yang ia tunggangi tak bisa bergerak sesuai keinginannya. Bahkan batu tersebut malah turun dari atas ketinggian, seakan meminta Sadarga tak menginjakan lagi kaki di atas permukaannya."Aaaaa!"Benar saja.Begitu terkejut Sadarga. Pria itu dibuat kaget oleh batu yang ditumpanginya. Tiba-tiba bongkahan batu itu melakukan putaran cepat, seakan memaksa Sadarga turun.Dari kejadian itu, menyebabkan Sada
Sampai saat ini, Utar terus melanjutkan perjalanannya hingga mencapai perut goa. Di kedalaman tersebut suara hujan deras sudah tak terdengar lagi.Bebatuan tajam yang bisa dirasakan alas kaki pun, sudah tak ditemui lagi. Entah apa yang bisa dilihat jika sepercik cahaya menerangi kegelapan saat ini."Hei, apa kalian baik-baik saja?"Suara Utar yang terpantul dinding goa, terdengar menggema. Entah berapa orang yang masih bersamanya, hanya suara langkah dan hembusan nafas saja yang didengarnya. Tak ada seorangpun yang berbicara saat ini.Mungkin rasa lelah karena perjalanan, menjadikan diam terasa lebih baik dari pada berbicara atau sekedar menggerakkan anggota tubuh."Baiklah, aku rasa di sini tempatnya cukup aman. Jadi, jika kalian ingin beristirahat silahkan saja,"Lelah. Lelah sekali. Sadarga yang merasakan suasana di dalam goa itu seakan tak berdaya lagi. Begitupun semua orang yang bersamanya.Hanya Utar dan Raka yang masih te
Setelah sampai di mulut goa, Sadarga merasakan keresahan dalam hatinya. Entah apa yang akan menimpanya kali ini. Namun itulah ungkapan dalam benaknya. Padahal sebelumnya Sadargalah orang paling ceria dan selalu menumbuhkan semangat bertahan hidup.Ya, semangat untuk tetap hidup.Karena sepanjang jalan menuju goa, angin kencang terus berhembus menumbangkan pepohonan hujan deras di iringi petir terus mengguyur membasahi tanah.Dari kejauhan terlihat laju tanah berjalan, terbawa arus air yang begitu kuat. Padahal itu hanyalah sebuah lumpur yang terbawa air dari hulu menuju hilir.Ada beberapa orang dari para pemuda desa Lanangjagat yang gugur melepaskan nyawanya akibat tak tahan lagi menahan gejolak amukan alam tersebut. Sungguh mengenaskan nasib mereka diterpa murka alam raya, yang datang secara tiba-tiba."Paman, sebaiknya kita mencari lagi tempat lain untuk berlindung," usul Sadarga pada Utar."Hei, bicara apa kau ini. Bukankah kamu yang men
Tak terasa tiga hari berlalu begitu saja. Semenjak peristiwa pertempuran Sadarga dan manusia berbulu, kini tak ditemukan lagi kekacauan yang mengganggu kehidupan di istana dan di berbagai wilayah lainnya.Suasana amanpun seakan dirasakan semua orang, termasuk para penduduk desa Lanangjagat yang kini berada di tempat pengungsian sementara.Di pagi hari yang sangat cerah, Sadarga terlihat berjalan dan membawa kayu bakar. Entah dari mana ia? Sebab Sadarga tak ditemani siapapun."Tuan, dari mana kayu bakar ini?" ucap Reni menyambut kedatangan Sadarga. Wanita ini merupakan seseorang yang menaruh simpati pada Sadarga.Ya, beberapa hari terakhir prasangka orang disekeliling Sadarga seakan terbagi. Ada yang menaruh simpati, ada juga yang berburuk sangka."Aku baru saja turun gunung, semalam aku tak bisa tidur. Jadi ku putuskan saja untuk mencari angin segar di malam hari."Sadarga terlihat berjalan terus tanpa melihat wajah Reni, pandangannya
"Ti-tidak. Aku hanya terkesima saja, melihat seranganmu yang begitu cepat. Sampai mengalahkan mahluk itu dengan mudah," kata Utar. Nampaknya ia tak bisa menyembunyikan isi hatinya. Sehingga segala perkataan batinnya diwujudkan dengan kata-kata yang keluar dari mulut.Bukan hanya itu, selain Utar masih banyak juga yang tak sanggup menahan isi hatinya. Begitu juga dengan Raka, si pria paling tangguh dari desa Lanangjagat.Kali ini Sadarga mendapatkan berbagai pujian yang mengangkat derajatnya. Berbeda dengan sebelumnya, disaat orang di sekeliling masih bertanya-tanya dan ragu dengan tingkah yang dilakukan Sadarga.Ya, terkadang Sadarga bertingkah diluar prasangka orang lain. Seperti perkataannya yang nyeleneh, tapi akhirnya orang lain dapat memahami maksud dari perkataan itu.Kemudian selama kebersamaannya dengan puluhan penduduk dari desa Lanangjagat, Sadarga sering kali memerintahkan hal yang tak masuk akal. Namun selang beberapa saat dari per
Setelah Sadarga menggenggam pedang milik Utar, ia bingung harus melakukan apa? Sebab seumur hidupnya Sadarga belum pernah menggunakan benda tajam itu.Semua orang yang melihat Sadarga tentu saja keheranan. Dalam benak mereka bertanya, apakah Sadarga tidak bisa menggunakan pedang? Lalu untuk apa ia meminjamnya?Ya, benar sekali. Sadarga memang belum mempelajari jurus dan seni menggunakan pedang. Namun sesekali ia menemukan keterangan dalam kitab Azura. Pada kitab itu terdapat satu bab husus yang membahas tentang berbagai jurus pedang. Tapi apa gunanya? Karena Sadarga hanya membaca ilmu pedang itu, tanpa mencobanya.Menyadari jika dirinya sedang diperhatikan banyak orang, Sadarga langsung memejamkan mata. Pria itu mencoba mengingat semua tulisan pada kitab Azura, yang membahas tentang ilmu dan seni menggunakan pedang."Jurus pedang angin!" bisik Sadarga sembari memasang kuda-kuda menyerang.Sontak saja, Utar terkejut. Sebab ia melihat Sadarga layakny