Share

Bab 3

Penulis: Gilva Afnida
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-19 13:05:34

Pagi menjelang, Max sudah bersiap mengenakan setelan kerjanya. Dia sudah keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ke ruang makan.

Sambil berjalan, dia melihat layar ponsel. Dia meneliti kembali beberapa panggilan yang masuk dalam ponselnya. Pekerjaan yang banyak, membuatnya terkadang melewatkan panggilan dari seseorang.

Saat menggulir layar, netranya langsung tertuju pada satu panggilan tak terjawab yang membuat jarinya berhenti. Itu panggilan dari Lily kemarin malam.

"Katakan, apa saja yang dilakukan si wanita lumpuh sepanjang hari kemarin?" ujar Max pada seorang pelayan begitu dia masuk ke dalam ruang makan.

Pelayan tersebut menundukkan kepala sambil berkata, "Seperti biasa, Tuan. Hanya terdiam di balkon kamar tanpa melakukan apa-apa."

Kening Max mengerut dalam. Selama tiga hari berturut-turut dia mendengar dari pelayan bahwa Lily hanya merenung di balkon kamar tanpa melakukan apa-apa.

Apa kiranya Lily sedang mengalami gangguan jiwa?

Tepat setelah dia berpikir seperti itu, Lily terlihat masuk ke dalam ruang makan dan berhenti di sudut meja, agak jauh dari Max--tepatnya berjarak tiga kursi dari tempat Max duduk.

Lily hanya terdiam, memperhatikan Max yang sudah sibuk pada ponsel dan makanan yang tersaji di atas piringnya. Max memang seperti itu, selalu menganggapnya seperti tak ada.

Sejenak Lily merasa ragu untuk menyampaikan keinginannya untuk bercerai. Dia hanya menatap Max cukup lama hingga membuat Max kesal.

"Apa kau tetap ingin seperti itu? Menatapku tanpa malu?" Ucapan Max membuat Lily menjadi kikuk.

"Ah, e... maaf."

Lily menundukkan kepalanya takut.

Namun sesaat kemudian, dia berpikir mengapa dirinya harus takut pada Max? Bukankah dia ingin bercerai dari Max? Tak perlu ada lagi yang harus dia takutkan.

"Max, ayo kita bercerai."

Max langsung tersedak makanan hingga terbatuk-batuk. Dia segera mengambil segelas air putih yang berada di depannya dan meminumnya hingga tandas. Lalu menatap Lily dengan kedua matanya yang nampak memerah. "Rupanya kau benar-benar sudah gila."

Kedua mata Lily membulat terkejut. "A-apa?"

"Apa ini yang membuatmu merenung selama tiga hari? Kau ingin bercerai dariku rupanya."

"Merenung? Tiga hari?" gumam Lily, tak mengerti dengan ucapan Max.

"Sepertinya kau sudah mulai tak waras karena terlalu lama mengurung diri di dalam kamar." Max mengelap mulutnya yang terkena sedikit makanan dengan tisu makan. "Mulai hari ini, kau harus berkunjung ke dokter spesialis jiwa. Aku tak ingin menghirup udara yang sama dengan orang gila sepertimu."

Mulut Lily menganga mendengarnya. Apa Max barusan menganggapnya sakit jiwa?

"Tapi aku tidak gila!" pekiknya tak terima.

"Lalu? Apa alasanmu tiba-tiba meminta cerai? Apa kau kekurangan uang akhir-akhir ini?"

Memang benar. Salah satu alasan Lily meminta cerai memang karena uang. Selama dua tahun ini dia tak menggunakan uang bulanan dari Max sepeserpun. Namun bukan hanya itu satu-satunya alasan dia meminta cerai.

"Diam darimu itu sudah membenarkan dari apa yang aku pertanyakan tadi." Max langsung mengetikkan sesuatu di ponselnya. Hanya dalam hitungan detik, ponsel Lily pun bergetar.

Kedua mata Lily terbelalak lebar mendapati notifikasi pesan masuk dari bank.

[Dana Rp 50.000.000 masuk ke dalam rekening...]

"Sudah cukup, bukan? Seharusnya itu sudah lebih dari cukup mengingat kau tidak melakukan apapun selama ini." Max segera berdiri setelah memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Mood-nya memburuk setelah berbicara dengan Lily barusan.

"Tunggu, kau mau kemana?" Seolah tuli, Max mengabaikan pertanyaan Lily dan terus berjalan.

Lily pun memutar balik kursi rodanya dan mengikuti langkah kaki Max. "Aku belum selesai bicara."

Gerakan dari kursi rodanya yang lamban cukup membuatnya sulit untuk mengejar Max yang memiliki langkah panjang.

"Max, dengarkan aku dulu!"

Max masih terus berjalan, enggan untuk berbalik badan.

"Bukankah kau ingin segera menikahi Olivia?" Hal itu berhasil membuat Max menghentikan langkahnya.

Lily tersenyum senang lalu mendekati Max. "Tuan Antony sudah meninggal. Jadi sebaiknya kita bercerai, lalu kau bisa-"

Ucapan Lily terhenti karena Max yang tiba-tiba membalikkan badan dan mendekatkan wajahnya. "Kau pikir semudah itu untuk bercerai?"

Lily mengerjapkan matanya, terkejut dengan bola mata hazel milik Max yang begitu menawan. Selama ini dia hanya memperhatikan Max dari kejauhan saja. Ini adalah kali pertama baginya menatap wajah Max begitu dekat.

"Bu-bukankah tinggal menandatangani surat cerai lalu kita bisa bercerai?"

Max menyipitkan kedua matanya, curiga jika Lily tidak tahu menahu soal isi perjanjian dua tahun yang lalu. "Apa kau benar-benar membaca isi dari surat perjanjian yang kau tanda tangani dua tahun lalu?"

"Untuk apa kau menanyakannya?"

Max mendecakkan lidahnya kesal lalu menjauhkan wajahnya. "Jawab saja. Kau membacanya sampai tuntas atau tidak?"

"Aku membaca, tapi hanya sampai di halaman depan saja." Jawaban dari Lily membuat Max menghela napasnya panjang.

"Memang apa hubungannya antara surat perjanjian dengan keinginanku untuk bercerai?"

"Di surat itu tertulis kalau kau meminta cerai, kau harus membayar sejumlah uang pada keluarga Kalandra."

"Se-sejumlah uang?"

"Ya. Tidak banyak, hanya dua puluh milyar."

Bab terkait

  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 4

    "Tidak mungkin..." lirih Lily bergumam. "Tapi kenapa-" Belum sempat Lily menanyakan alasannya, Max sudah berjalan jauh dari hadapannya. Lily merasa kesal tapi tak dapat berbuat apa-apa. Bagaimanapun, ini adalah kesalahannya sendiri yang tidak teliti.Drrrt. Drrrt.Ponselnya yang berada dalam saku terasa bergetar. Saat Lily melihat, itu panggilan dari Vina."Ada apa?" Suara Lily yang lirih membuat Vina bertanya-tanya."Kenapa suaramu begitu? Kau sakit?"Lily menghela napasnya lelah. "Vina, sepertinya meminta cerai dari Max tidak akan mudah.""Kenapa begitu?""Jika aku meminta cerai, maka aku harus membayar dua puluh milyar kepada keluarga Kalandra. Itu sudah tertulis dalam surat perjanjian dua tahun yang lalu dan aku telah menandatanganinya.""Br*ngs*k!" Umpatan Vina sedikit membuat Lily terkejut. "Kalandra memang keluarga bejat! Anak mereka telah membuatmu kehilangan ayah dan kedua kakimu. Tak hanya itu, mereka juga mengurungmu dalam mansion selama dua tahun. Lalu sekarang... mereka

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 5

    "Anda tidak diperbolehkan untuk keluar, Nyonya." Salah satu pelayan paruh baya bernama Mira tiba-tiba menghadang Lily untuk keluar."Aku akan pergi ke sebuah acara bersama Max. Dia sudah menyuruh seseorang untuk menjemputku di luar mansion." Lily berusaha merancang alasan palsu, seperti yang disuruh Vina."Tapi Tuan Max sama sekali tidak memberitahu apapun soal itu. Lebih baik Anda kembali masuk ke dalam kamar sebelum Tuan Max marah." Mira hendak mengambil alih Inda untuk mendorong kursi roda Lily namun segera dicegah oleh Inda."Biar aku saja yang mengantarnya," ujar Inda.Mira menatap tajam ke arah Inda."Tunggu, aku tidak akan kembali masuk ke kamar karena aku akan pergi!" kekeh Lily."Tapi, Nyonya..."Lily langsung menunjukkan ponsel. "Kalau kau masih mencegahku, aku akan menghubungi Max untuk mengadukan sikapmu."Alih-alih takut, Mira tersenyum sinis sambil berkata, "Apa Anda pikir saya takut? Tuan Max tidak pernah memperhatikan Anda. Lebih baik Anda tidak berbuat nekat atau Anda

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 6

    Setelah perdebatan dengan Mira, akhirnya Lily bisa keluar dari mansion. Dia menyerahkan soal Mira pada Inda karena dia sudah kehilangan banyak waktu untuk pergi. Saat menghirup udara luar, entah mengapa Lily merasakan aroma yang berbeda dibanding saat terkurung di dalam mansion, yaitu aroma kebebasan.Sebuah mobil mewah sudah terparkir rapi di jalanan depan mansion. Lily yakin jika mobil itu pasti dari Vina. Saat Lily hampir mendekat, seorang pria berseragam keluar dari mobil dan menghampirinya."Apa Anda Nyonya Lily Orlantha?" tanya pria itu dengan sopan."Betul.""Nona Vina sudah lama menunggu Anda." Kemudian pria itu meminta izin untuk mendorong kursi roda Lily lalu membukakan pintu mobil.Setelah Lily berhasil masuk dan siap, mobil segera melaju dengan kecepatan sedang. Lily mencoba menikmati suasana jalanan luar dengan membuka sedikit jendelanya untuk meredakan degup jantungnya yang terasa lebih kencang.Angin kencang dari arah luar yang mengenai wajah membuatnya sedikit tenang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 7

    Lily mengerjapkan matanya saat mendengar pria yang menyelamatkannya itu malah tertawa. "Apa aku terlihat seperti malaikat sampai kau mengira sudah mati?" tanya pria itu.Dalam hati Lily membenarkan. Wajah pria yang bernama Finley itu memang mirip seperti malaikat dalam cerita dongeng. Kulitnya putih pucat dengan bola mata hijau serta tatapan mata yang teduh. Garis rahangnya tegas dengan bentuk bibir yang sempurna. Finley memang lebih pantas disebut malaikat dibandingkan manusia."Oh maaf, aku kira tadi aku tertabrak mobil atau apa." Lily membetulkan anak rambutnya yang berantakan. "Terima kasih karena sudah menolongku.""Sama-sama." Finley menatap ke sekeliling. "Apa kau sendirian? Kau nyaris saja tertabrak mobil kalau aku tidak menahan kursi rodamu.""Ya, temanku sudah masuk ke dalam gedung itu." Lily menunjuk ke arah pintu utama gedung. "Aku ingin masuk tapi aku tidak bisa karena penjaga bilang aku tidak memiliki undangan." Lily memainkan jari-jemarinya untuk menenangkan perasaannya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 8

    Acara pesta sedang berlangsung saat Lily berhasil memasuki gedung. Alunan suara musik klasik yang menenangkan segera terdengar. Lily menatap takjub pada pertunjukan musik klasik yang terlihat mewah. "Sebenarnya ini acaranya siapa? Kenapa bisa begitu mewah?"Melihat wajah Lily yang terkagum-kagum membuat Vina terkekeh kecil. "Anniversary pernikahan Tuan Kenneth dan Nyonya Wina yang dua puluh lima. Kau tahu mereka bukan?""Tentu saja." Siapa yang tidak tahu tentang Kenneth Willem? Seorang pengusaha kaya raya kedua se-Asia yang terkenal sangat mencintai istrinya, Wina Atmaja."Dengar-dengar ini adalah acara di hari ketiga setelah sebelumnya mengadakan pesta besar-besaran selama dua hari di Dubai," bisik Vina yang membuat Lily terkejut."Pasti Nyonya Wina bahagia karena diperlakukan begitu istimewa oleh Tuan Kenneth. Lihat saja cara dia membuat acara pernikahan untuk istrinya yang begitu mewah," tukas Lily merasa iri.Vina menatap sahabatnya dengan prihatin

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 9

    Para tamu yang berkumpul menjadi berisik setelah mendengar ucapan Tamara. Beberapa diantaranya menunjuk ke arah Lily dan menatapnya tajam.Tangan Lily mengepal erat, menatap Tamara dengan kesal. Tamara layaknya provokator yang memanas-manasi situasi. Padahal memang pelayan itu sendiri yang terjatuh karena kakinya tersandung lantai. Bagaimana mungkin malah situasi ini menjadi kesialan bagi Lily hanya dengan kesaksian palsu dari Tamara Lim?"Tapi aku tidak menabraknya sama sekali. Aku yakin diantara orang-orang yang berkumpul di sini pasti ada yang melihatku tidak menabrak pelayan itu, bukan?" tanya Lily menatap ke semua orang.Namun respon orang-orang justru tak acuh pada ucapan Lily. Mereka masih saling berbisik, membicarakan sosok Lily yang belum pernah mereka lihat."Hei, kau..." Lily mendekati si pelayan yang masih bersimpuh sambil menundukkan kepalanya. "...aku tadi tidak menabrakmu kan? Kau sendiri yang tersandung lantai sampai terjatuh dan menumpahkan semu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 10

    "A-apa?" Lily terkejut mendengar ucapan Kenneth. "Tapi aku tidak bersalah.""Bersalah atau tidak. Biar polisi nanti yang menentukan."Vina yang tidak menyangka akan menjadi runyam pun ikut membuka suaranya. "Tuan, saya berani menjadi saksi jika Lily tidak membuat kekacauan. Pelayan itulah yang telah menuduh Lily.""Kau anak dari Vins Prajaya bukan? Apa kau ingin keluargamu juga ikut terseret dalam urusan ini? Aku tak menjamin jika ayahmu akan kuat menanggung akibatnya kalau kau ikut terlibat." Ucapan Kenneth membuat Vina menahan napasnya.Ayahnya memiliki hubungan kerja sama bisnis dengan Kenneth. Jika dia membuat kekacauan, sudah pasti hubungan bisnis mereka akan hancur. Vina tidak yakin keluarganya akan kuat menanggung akibat itu."Vina..." Lily menggenggam tangan Vina, menatapnya dalam sambil menggelengkan kepala seolah mengisyaratkan agar Vina tidak ikut campur.Vina menatap sedih pada sahabatnya karena tidak bisa berbuat apa-apa. "Maafkan aku, Lily," lir

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 11

    Max mengepalkan tangannya erat. "Entahlah, aku sendiri juga tidak menyangka."Tangan Olivia melingkar apik di lengan Max yang kekar lalu menyenderkan kepalanya di sana. "Bukankah harusnya istrimu itu ada di dalam mansion? Kenapa tiba-tiba ada di sini dan berbuat rusuh? Apa jangan-jangan selama ini dia sering keluar dari mansion tanpa meminta izin?" "Tidak mungkin." Max menurunkan tangan Olivia dari lengannya lalu menggenggamnya erat. "Aku sudah menyuruh salah seorang pelayan untuk terus mengawasinya dua puluh empat jam. Pelayan selalu bilang kalau Lily hanya berdiam diri di dalam kamar, tidak bepergian.""Kau percaya dengan pelayanmu?" Olivia menarik wajah Max dan menatap kedua matanya lurus. "Bisa jadi Lily menyogok mereka dengan sejumlah uang supaya pelayan itu diam."Kening Max mengerut dalam. "Tidak mungkin pelayan itu berani melakukannya.""Lalu? Bagaimana cara Lily bisa keluar malam ini kalau bukan karena pelayanmu yang mengizinkan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10

Bab terbaru

  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 105

    Olivia memegangi pipinya yang terasa panas dan berdenyut sakit. Dia membalas tatapan tajam Ernes dengan mata merah dan berkaca-kaca."Ernes, kau tahu apa yang kau lakukan barusan?" tanyanya dengan nada mengancam."Apa? Kenapa memangnya? Kau ingin mengancamku?" tanya Ernes menantang.Setelah itu dia mendekatkan wajahnya hingga dia dapat melihat dengan jelas kedua pupil mata Olivia yang sangat dia benci."Dengarkan aku baik-baik Olivia... aku sudah menantikan hari ini sejak lama. Aku sudah menemukan pendonor darah yang cocok untuk Alina."Kedua pupil mata Olivia melebar dan mulutnya terbuka setengah. Namun sedetik kemudian dia tertawa yang membuat Ernes mengerutkan keningnya."Ernes, kau hanya ingin mengancamku, bukan? Setahuku golongan darah Ab- itu sangatlah langka. Kau harusnya bersyukur karena aku sukarela mendonorkan darahku pada Alina disaat dia butuh."Sudut bibir Ernes berkedut. "Sukarela katamu? Aku telah membayar darahmu dengan perceraian dan perpisahan dengan keluarga yang ak

  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 104

    Kenapa ibu diam saja?" tanya Finley dengan marah. Sungguh dirinya tak tahu kalau sang ibu pernah di marahi oleh Olivia bahkan dimaki olehnya. Ibunya tidak memiliki permasalahan apapun, hanya tak sengaja menumpahkan minuman dan mengenai bajunya. Segitu sombongnya kah? Jika tahu begitu, Finley sudah akan membuat perhitungan dengannya lebih awal. "Terus memang harus apa? Aku tak ingin membesarkan masalah. Sangat merugikan untuk mengurusi hal-hal sepele dan orang yang tidak berguna sepertinya." Itu memang tipikal Donna Alberta. Wanita yang selalu menunjukkan kasih sayang dan kelembutan memang jarang memiliki sifat pendendam.Namun bukan berarti dia hanya akan diam jika seseorang yang berada di sekitarnya menjadi target kejahatan. "Tapi Lily, khusus untukmu, kamu tidak boleh diam saja. Aku tak sudi wanita itu tadi mengataimu semena-mena." Donna menatap ke arah Lily dengan menyipitkan matanya. "Kau harus membuktikan kalau dirimu tidak bersalah."Sejujurnya Lily pun tidak berniat untuk

  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 103

    "Hei, siapa yang kau sebut busuk, hah?" teriak Vina tak terima. "Justru yang busuk itu temanmu! Dia lah yang mencuri karya desain milik Lily."Dengan cepat Lily menarik lengan Vina dan menenangkannya. "Sudahlah, Vina. Jangan sampai ikut terpengaruh.""Kau tidak ingin membela diri? Dia sudah menjelek-jelekkanmu, Lily."Selain Vina, beberapa timnya yang mendengar keributan juga mulai keluar dan menunjuk wajah Olivia dengan berani."Iya, justru kalianlah yang menjiplak karya milik Nona Lily. Kalau bukan karena Nona Lily berbakat, kami pasti sudah dianggap plagiat. Padahal kalian lah yang mencuri karya desain milik Nona Lily secara diam-diam."Para tamu mulai gaduh karena saling berspekulasi.Seorang MC yang masih berada di situ pun nampak bingung dan berinisiatif menengahi permasalahan. "Mohon untuk tetap tenang. Acara ini bukan untuk ajang menjadi yang terbaik, jadi lebih baik tidak saling menyerang."Olivia ingin kembali bersuara untuk membuat para tamu terpengaruh ucapannya, namun ti

  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 102

    Beberapa jam setelahnya, acara sudah selesai dan berlangsung dengan lancar.Semua model dan para desainer berkumpul di tengah panggung untuk menikmati bagian akhir dari acara, yaitu penampilan salah satu dari penyanyi terkenal.Setelah musik berhenti, semua tamu mulai berdiri dan banyak diantara mereka mendatangi desainer kesukaan mereka.Diantara para desainer, terlihat Tamara dan Lily mendapat antusiasme tinggi."Hebat, aku sangat bangga kita memiliki desainer muda yang hebat.""Benar, aku yakin karya Tamara dan Lily bisa bersaing dengan karya desainer luar nantinya.Vina yang mendengar suara pujian-pujian itu hanya mampu memutar kedua bola matanya.Siapa yang bilang kalau itu karyanya Tamara? Itu semua adalah karya Lily yang dicuri oleh Tamara!"Lily, katakan apa yang sebenarnya terjadi tadi?" bisik Vina di telinga Lily.Masih dengan senyuman di wajahnya, Lily berbisik, "Nanti akan aku ceritakan waktu pulang. Ada banyak orang, tidak enak kalau

  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 101

    Setelah mendengar ucapan para karyawan yang setuju, Lily mulai menggenggam liontin kalung yang sudah lama dia kenakan saat hendak melakukan sesuatu yang besar.Kalung itu yang sempat dicuri oleh Mira dan kini mulai dia kenakan kembali karena ingin membuat ayahnya terus berada di sisinya di saat-saat yang genting.Dengan mengingat itu, Lily kembali tenang dan bisa berpikir dengan jernih."Baiklah, kita tidak boleh membiarkan lawan mengambil apa yang sudah kita kerjakan dengan keras. Siang dan malam sudah kita lalui dengan keringat bercucuran dan kedua tangan yang menjadi kapalan. Jangan sampai pihak lawan yang malah mengambil semua pujian dan keuntungan!""Itu benar!" Para tim mulai kembali bersemangat dan mendengarkan instruksi dari Lily.Setengah jam kemudian.Kini giliran Tamara untuk maju. Urutannya berada di nomor dua terakhir, itu sebelum milik Lily yang tampil menjadi penutup acara.Dengan percaya diri, Olivia memimpin para model untuk masuk.Pa

  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 100

    "Seseorang telah datang ke studio kita sebulan yang lalu." Lily duduk menghadap ke arah Vina yang tengah serius menatap layar laptop.Seketika Vina mendongak dengan tatapan bingung. "Seseorang? Siapa?"Lily menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Kemarin malam Linda memberitahu kalau pemilik ruko pernah memergoki seorang pria datang ke studio saat larut malam. Awalnya pemilik ruko mengira kalau pria itu bagian dari tim kita tapi akhirnya dia menyadari kalau tidak ada pria dalam tim kita."Wajah Vina semakin serius. "Kau sudah tanya ke pemilik ruko?""Sudah. Beliau bilang tidak terlalu memperhatikan sosoknya bagaimana. Hanya yakin kalau itu seorang pria. Pria itu mengenakan jaket dan wajahnya tertutupi masker."Vina menekan pangkal hidungnya. "Ini hal yang serius. Tim kita semuanya perempuan, akan sangat berbahaya jika sampai pria itu datang kembali lagi saat masih ada orang. Aku akan memasang kamera pengawas dan memberitahu para karyawan untuk jangan tinggal se

  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 99

    Lily keluar dari rumah Serena dengan perasaan tidak puas. Sebenarnya dia masih ingin tahu apa yang sedang Max lakukan di rumah Serena.Bukan karena peduli dengan Max, melainkan karena khawatir dengan Serena. Lily tahu Max hanya mencintai Olivia, dia takut kalau Serena akan menjadi sasaran Max yang selanjutnya. Serena adalah wanita yang baik. Meski dia berstatus janda, tapi usianya belum terlalu tua dan masih produktif. Kulitnya masih sangat kencang dan wajahnya juga menarik serta mempesona, sangat disayangkan jika hanya menjalin hubungan dengan Max yang tidak pernah mau membuka hatinya untuk wanita lain.Tetapi Lily harus fokus ke studio desain. Tadi saat Serena pamit untuk ke kamar mandi, Lily mendapat pesan dari Linda. Ada satu gaun yang belum selesai karena ada bahan kain yang telah habis stoknya.Jadi Lily harus pergi untuk membelinya terlebih dahulu lalu kembali ke studio desain.Waktu pelaksanaan fashion week sudah tinggal tujuh hari lagi. Lily merasa

  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 98

    Saat ini Serena sudah membawa Max ke tempat yang lebih nyaman, yaitu di sebuah ruangan yang dulunya dijadikan ruang kerja milik Ernes.Semua perabotan masih tertata rapi di sana, hanya saja tidak ada berkas ataupun barang di dalam lemari ataupun atas meja karena tidak ada lagi yang menggunakan ruangan ini.Serena menyuruh pelayan membawakan minuman dingin untuk Max. Cuaca sedang sedikit panas, akan terasa menyegarkan jika meminum sesuatu yang dingin seperti es teh.Mereka duduk berseberangan di sofa panjang lalu Max membuka suaranya dengan tenang, "Sekarang aku sudah tahu alasan Ernes begitu patuh pada Olivia."Mendengar itu, sorot mata Serena nampak muram lalu tersenyum pahit. Kiranya Max akan menyampaikan sesuatu yang penting, rupanya hanya hal sepele.Dia berharap terlalu tinggi."Memangnya ada alasan lain selain cinta buta pada Olivia?"Serena memang tidak tahu apa-apa. Yang dia ingat, Ernes menceraikannya lewat pesan singkat dan tidak menjelaskan apapun soal alasannya.Namun sete

  • Layunya Cinta sang Nyonya   Bab 97

    "A-aku..." Max bingung bagaimana menjelaskannya pada Lily. Hubungannya dengan Serena sebenarnya hanya sekedar berteman saja. Tapi dia sudah membuat kesepakatan dengan Serena untuk menjadi kekasih pura-pura demi membalas dendam pada Olivia.Namun sejenak kemudian dia berpikir mengapa Lily menanyakan hal itu. Apa ada kemungkinan Lily masih peduli dengannya?"Tunggu, kenapa kau menanyakannya?" Max memiringkan kepalanya sembari berpikir.Lalu langkahnya sudah mendekat ke arah Lily begitu saja, mengikis jarak di antara mereka dengan perlahan. "Apa kau cemburu?" tanyanya sambil tersenyum menyeringai.Jarak mereka sudah sangat dekat namun Lily tak gentar. Meski dia dapat menghirup aroma napas Max yang segar dan juga melihat ketampanan Max yang begitu dekat. Dia harus tetap berdiri tegap.Sekilas, ingatan masa lalu saat Max pernah menjamah tubuhnya pun terlintas. Membuat Lily tanpa sadar memundurkan langkahnya."Aku hanya sekedar ingin bertanya, Max. Tidak ada hal lain." Lily berusaha bersi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status