"Aline, ada keluarga kamu di depan asrama" , sahut pembina asrama yang datang mengabariku ke kamar.
"Bunda saya Bu?" tanya ku memperjelas ucapannya.
"Iya, silahkan ke depan ya supaya tidak menunggu terlalu lama" ucapnya kemudian berlalu meninggalkanku.
Aku kemudian bersiap-siap untuk menemui bunda karena sudah tidak sabar lagi. Hal yang paling seru dari sekolah asrama adalah dikunjungi keluarga secara tiba-tiba, perasaan dikasih kejutan seperti itu sungguh sangat luar biasa. Apalagi jika sudah lama tidak bertemu, bisa-bisa pas ketemu meneteskan air mata. Bahkan ada teman sekamarku yang sudah dari awal masuk sekolah tidak pernah dikunjungi keluarga ataupun pulang kampung, karena rumahnya yang sangat jauh dari kota Bogor, bukan beda kota lagi ataupun provinsi tapi sudah beda pulau dan jam.
Aku berlari menuju gerbang asrama dengan sangat cepat karena sudah tidak sabar memeluk bunda. Terlihat seorang laki-laki dengan sosok yang sangat familiar yaitu Ayah dan wanita tercantik yang kurindukan tiap harinya dia bunda. Sepertinya abang si tokoh cerita di kehidupanku yang rese itu tidak datang mengunjungiku.
"Uni.." panggil bunda sambil memelukku erat.
"Iya Bunda, tumben banget kesini. Ayah... uni rindu. Kok ga bilang-bilang sih Bunda sama Ayah mau kesini" jawabku sambil mencium tangan ayah dan bunda.
"Iya nak, Ayah sama Bunda lagi rindu kamu. Jadi kesini deh, sekaligus Ayah ada yang diurusin di sekolah kamu tadi"
"Abang mana Bund?, tumben ga ikut ".
"Abang lagi ada ujian di kuliahnya, cuman titip salam aja sama Uni tadi. Nanti kalau dia ga sibuk lagi, dan Ayah sempat kita kesini lagi bareng ngunjungin Uni yahh"
"Iyadeh Bunda, Ayah ada urusan apa di sekolah uni emangnya?" tanyaku pada Ayah penasaran dengan omongannya yang tidak selesai tadi.
"Nanti deh kita cerita, kamu masuk mobil dulu. Kita jalan-jalan sambil beli keperluan Uni yah"
"Tapi Uni belum ijin yah, sama pembina asrama"
"Udah Bunda izinkan tadi nak, sewaktu memanggil kamu", jawab Bunda memastikan diriku aman dari hukuman.
Aku membuka pintu mobil, tapi kagetnya ada seseorang yang aku kenali berada di mobil. Tapi dia juga bukan keluarga ataupun seseorang yang dikenali oleh Ayah dan Bunda. Kenapa keberadaannya jadi pertanyaan bagiku.
"Theo?.... Ngapain di mobilku?"
"Astaga bunda lupa bilang sama kamu, kalau kita pergi bukan bertiga saja"
Ayah menoleh ke belakang melihatku yang tercengang melihat Theo di mobil, "Uni gak ingat sama Theo?"
Pertanyaan ayah sedikit keliru di kepalaku. Aku bingung ingin menjawab apa, karena bukan tidak mengenal, tapi sepertinya untuk dia berada di mobil bersama Ayah dan Bunda yang mengenalinya itu terlihat asing bagiku.
"Dia teman sekolah uni yah, tapi juga bukan teman malahan", jawabku menjelaskan ke ayah, bahwa dia bukan siapa-siapa yang harus masuk ke dalam mobil ini.
"Lah kok bukan teman nak" tanya Bunda.
"Iya Uni juga baru kenal dia Bunda" jawabku sambil memberikan pandangan ketus pada Theo yang dari tadi tersenyum saja melihatku kebingungan. Aku langsung masuk saja karena tiba-tiba hujan turun. Kebingunganku tidak tertuntaskan, dan Bunda dan Ayah malah tersenyum-senyum melihatku kebingungan.
Kami sampai ke sebuah toko buku yang cukup terkenal di kota Bogor. Aku langsung turun mobil menggandeng Bunda agar segera masuk ke dalam toko buku. Aku memang sangat suka ke toko buku. Suasana di toko buku sekaligus aroma buku baru sudah seperti aromaterapi.
Theo turun bersama Ayah sambil mengobrol, seperti seseorang yang sudah kenal lama. Aku terlalu pusing memikirkan itu, karena sudah fokus dengan semua yang ada di toko buku. Dan seperti biasa lama kelamaan aku akan sibuk sendiri menjelajah buku-buku. Sehingga tanpa sadar, tangan bunda yang kugenggam tadi sudah lepas.
Aku menuju lantai dua, fokus kaki, mata dan gerakan tubuhku pertama pada sebuah komik favoritku yaitu Yamada Mikko. Dulu aku sangat tidak terlalu suka dengan komik, karena pusing melihat gerakan-gerakan dari gambar dan alur ceritanya. Tapi yamada Miko merupakan satu komik yang membuatku jatuh hati. Hanya satu komik ini, bahkan saat teman sekamarku punya puluhan series komik Detective Conan di lemarinya, yang lebih banyak daripada jumlah bajunya aku tetap tidak tertarik.
Setelah selesai mengambil terbitan komik yang belum dibeli sebelumnya, aku beralih ke buku-buku kedokteran. Mungkin ini belum bacaan seorang anak kelas 2 SMP, tapi dari kecil bacaanku sudah seperti ini. Buku kedokteran itu seperti ensiklopedia menarik bagiku. Tidak lama kemudian datanglah orang dengan karakter dan status misterinya itu.
"Sudah seperti bacaan kakakku saja Al" Theo menyela kefokusanku dalam memilih buku kedokteran.
"Kakakmu dokter?"
"Iyah, aku sudah bosan melihat buku kedokteran yang ada di rumah malahan"
"Dilihat atau dibaca?"
"Kadang aku baca sekali-kali tapi tidak paham, dan sepertinya itu bukan bacaan untuk anak SMP" jawabnya dengan sedikit percaya diri atas pendaptnya
"Tidak ada ketentuan umur di buku ini, selagi ilmu kenapa tidak boleh"
"Bukan tidak boleh Aline" sanggahnya sambil mengambil satu buku di tangan kanan ku. Karena nampaknya aku juga keberatan, dan di tangan kiri juga ada satu buku tebal yang lagi kupegang.
"Ya sudah" ketusku sambil mengambil kembali buku yang dia ambil di tanganku dan berjalan meninggalkannya kemudian menuju bunda dan ayah.
Melihat aku yang sudah kesal dan bingung Theo malahan tertawa. Dia juga tidak mengikuti dari belakang dan tampak dia sedang beralih menuju bagian alat tulis. Aku mencari ayah dan bunda untuk memastikan kepada mereka apakah aku boleh membeli semua buku yang kupegang ini.
"Ayah, uni beli ini yaa?" pintaku dengan wajah memohon agar dibolehkan.
"Iya nak, beli saja. Theo tadi mana?" tanya ayah padaku sambil melirik sekitarku yang menandakan tidak ada keberadaan dia.
"Ga tahu, tadi uni tinggalin aja,.. uni mau beli pena warna dulu ya yah"
"Yaudah sana, cepat yah. habis ini mau ke rumah sakit dulu sebentar trus kita makan deh"
"Ke rumah sakit?, ngapain? siapa yang sakit?", tanyaku panik memastikan bahwa tidak ada satupun yang sakit.
"Tidak nak, kita mau jemput seseorang dulu"
Aku meninggalkan ayah dan bunda untuk segera mengambil pena warna yang ingin kubeli setelah itu langsung berlari ke arah Bunda yang dari tadi menungguku di kasir. Terlihat Theo yang sedang ngobrol dengan Bunda, kemudian kulihat alat-alat lukis yang dibelinya. Dalam dugaanku sepertinya dia bisa melukis.
Setelah selesai berbelanja di toko buku aku kembali ke mobil berjalan duluan karena melihat Theo dan Bunda asik mengobrol di sepanjang jalan yang membuatku jadi jengkel dan cemburu. Kenapa bunda tiba-tiba jadi dekat dengan orang misterius ini. Pertanyaan ini terus mengganggu kepalaku.
Sesampai di rumah sakit Ayah dan Theo turun dan meninggalkan aku berdua bersama Bunda. Capek memikirkan kejutan apalagi yang akan membuatku bingung dan bertanya-tanya. Aku memutuskan mendengarkan ipodku dan menutup mata.
Setelah sekitar setengah jam Ayah muncul, tapiTheo tidak bersamanya. Aku tidak memutuskan untuk mengajukan rasa penasaranku lagi. Yang penting dia sudah tidak ada di sebelahku lagi. Jadi tidak akan ada yang mengganggu dengan memutar kepalaku dengan kebingungan.
Playlist warm fuzzy feeling yang kusetel di ipod benar-benar bisa membuatku terhanyut ke dalam tidur sebentar. Musik-musiknya bikin rileks dan segala yang ada disana sangat aku sukai. Untung saja ipod tidak salah satu benda yang akan dilarang untuk di bawa ke asrama. Kalau misalnya sempat saja itu dilarang aku tidak tahu lagi caranya menangani hari-hari dengan baik dan tenang.
"Uni bangun nak" panggil bunda membangunkanku yang tertidur sebentar.
"Hmm udah sampe di asrama Bunda?", jawabku sekaligus sambil mengulek melepaskan rasa nyaman ketiduran di mobil sebentar.
"Kita makan dulu nak" jawab bunda sambil memperbaiki rambutku yang acak-acakkan karena tidur.
Aku turun dari mobil, berjalan sambil menggandeng bunda karena posisiku yang masih setengah sadar. Aku melihat ayah yang sudah jauh duluan berjalan mendahului kami berdua. Seperti biasanya kami berhenti di restoran lasehan dengan suasana yang sangat nyaman. Karena posisi restorannya penuh dengan pohon-pohon kamboja yang sudah sangat tinggi.
Tapi kutemukan sosok yang tadi kusyukuri dia tidak ada, tapi masih ada tepat di sebelah ayah. kemudian ada orang baru lagi di samping kirinya. Seorang pria yang sepertinya seumuran dengan ayah. Aku langsung memutuskan asumsiku, bahwa beliau teman kerja ayah. Aku duduk di sebelah bunda setelah menyapa pria tadi dan bersalaman dengan beliau.
"Wah, sudah besar saja Aline", sapanya sambil memberikan senyuman yang cukup sumringah. Seperti sudah mengenaliku. Aku langsung duduk setelah tersenyum dengan ucapannya.
"Aline ga ingat ini siapa nak?" tanya Ayah memastikanku ingat atau tidak pada orang yang sepertinya pernah ku kenali.
"Hmm ga ingat yah, teman ayah kan?" jawabku ragu-ragu
"Ini om Suryo nak, yang Bunda pernah ceritakan waktu kita sedang telponan terakhir kali."
"Ehh, iyaa. Om Suryo?" aku langsung kaget mendengar bunda menyebut namanya. Yang berarti aku ingin bertanyaa dengan keberadaan Soma teman kecilku dulu. Teman pertamaku yang ingin berteman denganku saat tidak ada satupun anak yang mau.
"Ini Soma kamu ga ingat?"jawab om suryo menjelaskan dan menunjuk Theo yang disebelahnga. Secara spontan aku langsung batuk saat meminum jus jeruk setelah mendengar pernyaan dari Om suryo. Bahwa Theo bukanlah Theo tapi Soma teman kecilku dulu. Aku kaget seperti tidak percaya, aku memandangi Theo yang ternyata Soma, melihat aku yang kaget dia malah tertawa.
*******************
Terimakasih yang sudah mau membaca cerita ini,
Maaf untuk segala kekurangan
penulisan, maklum penulis pemula yang akan terus belajar dan memperbaikiagar menuju kata sempurna.Bantu cerita ini dengan cara vote dan comment ya, jangan lupa.
With Love, Aponi line❤️
Pertemuan tidak selalu tentang direncanakan,Tapi kadang ketidaksengajaan juga merupakan rencana semesta untuk kita ketemu lagi.Setelah kejutan yang sangat luar biasa kemarin kepalaku keram berputar-putar. Bahkan perasaan canggung juga muncul ketika bertemu Theo sepertinya. Sosok Soma yang selalu membuatku penasaran dia ada dimana sekarang selama ini. Ternyata dia begitu dekat, tapi tidak kusangka dia harus datang dengan membuatku jengkel terhadapnya untuk pertama kalinya.Tapi sekarang apapun yang terjadi mengenai Theo sebelumnya bisa kuleburkan saja. Kalau dilihat sebenarnya dia tidak begitu salah. Hanya saja aku yang terlalu jutek padanya saat pertemuan pertama kami di sekolah.Ternyata Theo adalah murid pindahan dari Jogja ke sekolahku. Rasa penasaran yang banyak serasa ingin kuhabiskan dengan bertanya kepadanya. Tapi mengingat awal pertemuan itu, kadang membuatku juga malu.Sulit mempercayai bahwa
Hal yang biasa sekarang suatu saat akan jadi kenangan luar biasa yang tidak bisa lagi diulang. Karena porsi dan kerjanya hanya untuk berada di masa lalu."Hampir saja", ucapku dengan napas yang tersengal-sengal karena hampir saja terlambat dan berdiri tepat di luar gerbang sekolah."Pak... buka dong pak",Terdengar suara Ian dari belakangku. Dia terlambat beberapa detik setelah gerbang sekolah ditutup. Tampak napasnya yang ikut ngos-ngossan kemudian melihatku. Mendengar itu, pak satpam menghiraukannya saja kemudian berlalu meninggalkan kami berdua."Terlambat, hampir saja tadi bisa masuk loh padahal.""Iya namanya juga usaha, udah lari tetap aja terlambat. Al bantuin aku dong"Melihat di sekitarku tidak ada guru dan satpam, Ian mencoba membujukku untuk membantunya sebelum jam pelajaran di kelas mulai. Tetapi gerbangnya sudah di gembok sama pak satpam yang pergi melewatiku tadi."Gimana
Untuk rasa bahagia yangberlalu-lalang.Jikalauinginmenetapberhentilah. Tapi jika hanyasinggahpergilah. Karena rasa bukan sepertibianglala yangdikemudikan.Aktifitas sekolah yang sudah mulai sibuk dengan ujian membuat semua punya wajah kusut kusam saat bel sekolah berbunyi. Rasa ingin membaringkan badan segera di kasur dan batal yang empuk sekarang adalah tujuan satu-satunya.Hari ini, pulang sekolah cukup telat daripada biasanya. Sudah banyak persiapan soal-soal ujian akhir semester yang harus dipelajari lagi. Tidak banyak tapi tidak juga sedikit untuk ditimbang mata dan kepala yang sudah merindukan senja dan r
Bahwa kaumenyukaiseseorang berarti, kau salahmemahamiorang itu dengancaramusendiri.Cuaca terlalu cerah untuk di cemberutkan rasa lelah. Rasa syukur bisa menatap langit malam penuh bintang yang didesain semesta hari ini amat sangat luar biasa lebih dari kata sempurna. Dari sudut kota Bogor dan jauh dari keluarga ternyata kehangatan itu masih ada walau tanpa ada mereka. Semua punya peran masing-masing dan warnanya sendiri seperti pelangi yang di jelaskan Ian kemarin. Di segala titik kehidupan dan proses yang kita lalui semesta telah menetapkan rencana kejutannya masing-masing untuk kita.Sebuah kertas yang sudah terlihat lusuh terlipat menjadi dua bagian ini diberikan Ian kemarin baru sempat kubaca. Karena secara cepat tubuh langsung
Jika ada satu kata yang punyasejutamaknadari setiap jiwaitulahPerasaan. Karena Perasaan ibaratgalaksidari semua rasa jatuh, sedih, bahagia, bingung, suka, luka bahkan cinta.Apakah ada sebuah alat untuk membaca dengan jelas segala perasaan yang membuat kebingungan bisa dilihat penyebabnya. Jika ada sepertinya aku adalah orang yang pertama yang akan jadi pembelinya. Sulitnya mengatasi kebingungan dari rasa yang kian gundah sampai pada detak jantung yang termakan waktu sehingga harus berdetak dengan begitu laju.Ketidaknyamanan yang seharusnya dilewatkan begitu saja, tapi tetap menetap seperti jamur yang membaur di segala dentangan jam detik maupun hari. Untuk siap menutup telinga bisa, tapi tidak menutup asumsi
Hampir saja tidak sempat untuk masuk ke perpustakaan sebelum Bu Dinda pegawai pustaka mengunci pintu karena sudah menunjukan waktu istirahat. Tapi untuk beberapa orang yang lebih memilih stay buat membaca buku diperbolehkan berada di dalam saja sampai pintunya di buka kembali sama Bu Dinda.Aku mulai sering ke perpustakaan karena beberapa target dari buku-buku kedokteranku terbang kalai. Untuk memenuhi dan mengebut supaya ga lost lagi sama planning yang udah aku susun. Duduk dan berdiam diri di perpustakaan adalah cara paling praktis menyelesaikan buku ini dengan cepat.Terlihat Soma yang sedang asik melukis. Aku mengagetkannya dari belakang tapi sebisa mungkin tidak akan membuatnya mengacaukan lukisan indahnya itu. Soma tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku yang usil."Usilnya masih sama ya kayak waktu kecil Al""Hehehe, habisnya fokus banget"Aku membuka buku kedokteran dan segera membacanya dengan sebuah pena warna yang akan
Ternyata perasaan tidak perlu izin untuk mencemaskan seseorang yang bukan siapa-siapa.Langit siang di kota Bogor hari ini cukup terik daripada biasanya. Tidak ada saupun tanda-tanda mendung dilihat dari beberapa awan yang hanya sedikit melindungi bumi dari matahari. Hal-hal yang seperti ini akan jadi momen langka tapi juga menguntungkan bagi beberapa orang seperti petani-petani yang berharap padi mereka akan cepat kering.Lokasi sekolahku yang cukup jauh dari pusat kota membuat sekolah ini punya kesan sendiri seperti berada di desa. Kanan kiri gedung sekolah masih dikelilingi oleh luasnya lahan sawah dari masyarakat disini.Hampir setiap pagi bahkan sampai menjelang siang udara disini masih sangat segar dihirup. Tidak ada polusi udara dan juga tidak banyaknya asap kendaran. Tapi karena banyak yang bersekolah disini, suasananya tidak pernah sepi.Aku mulai berangkat sekolah hari ini bersama Nana, Arum dan Tania. Tapi satu
Tidak semua perasaan bisa untuk disembunyikan begitu rapi. Tapi ada beberapa hal yang memaksanya cukup dalam diam sajaSetelah pelukan sore itu sampai sekarang kejadiannya masih terbayang-bayang di kepalaku ini. Aku mulai memikirkan beberapa hal yang akan membuatku canggung jika bertemu dengannya kembali.Bodohnya keberanian itu telah berhasil membuatku terperangkap dengan rasa malu. Memeluknya tanpa aba-aba bahkan sambil menangis di pelukannya, oh semesta sepertinya aku sudah kehilangan akal.Baiklah sekarang saatnya harus amnesia sekejap atas apa yang terjadi kemaren. Supaya dapat kukumpulkan sisa-sisa rasa berani itu untuk berangkat ke sekolah hari ini. Yang mau tidak mau, wajah Ian pasti akan kulihat, karena kami yang sekelas.Aku terlalu malu untuk kembali ke sekolah. Nana sudah memanggilku yang dari tadi yang sebeneranya sudah siap. Tapi hanya tidak siap untuk melangkahkan kaki ke sekolah. Rasa malu kali ini tidak bi
Perasaan yang kuketahui melalui dirimuJiwa ini terlalu banyak diam meskipun mulut bersuara terbuka. Tapi hati dan jiwa menolak semua pintu untuk berani mengutarakan segala rasa yang dirasakan. Begitulah serba sulitnya menjadi seorang Aline. Jika boleh menarik diri sendiri untuk berani ngutarain apapun tolong aku mau banget. Karena capek sembunyi kayak kucing-kucingan dengan segala rasa yang kadang aku tahu ini bagaimana.Sehabis beranjak pergi dari kantin untuk menemui Ian kini mataku tertuju padanya. Banyak hal yang ingin diucapkan tapi yang jelas aku butuh satu jawaban yang benar-benar dari mulutnya saat ini.“Aline..” panggil Ian dengan nada sendu memandangiku yang dari tadi terpaku tidak berniat menjangkaunya lebih dekat.“Jadi gimana?, yang dikatakan Tania itu betul atau salah?”“Aku masih disini kok, belum kemana-mana.”“Bukan itu maksudku, kamu sudah tahu apa yang harus kamu jawab Ia
Karena rasa itu tidak semestinya ada dan terlalu lama menetap Pagi sudah menyongsong rapi garis kerutan di gambar yang cemberut.Matahari menggelitik mataku yang melamun sedari tadi.Lamunanku buyar ketika suara seseorang dari belakang mulai mendekati perlahan.Aku yang peka dengan langkah kaki itu, sengaja tidak mempedulikan siapa yang berada di belakang.Langkahnya mendekat tapi lagunaku terlalu nikmat untuk dihentikan. "Dorr!!", ucap seseorang yang mencoba membuatku kaget tapi tidak denganku yang sudah tahu dia berada di belakang.Soma dengan wajah manisnya yang selalu melempar senyum membuat lamunan senduku tadi mulai buram dan perlahan tersingkirkan. "Somaa, aku udah nyadar loh daritadi kamu jalan pelan bu
Tidak semua perasaan bisa untuk disembunyikan begitu rapi. Tapi ada beberapa hal yang memaksanya cukup dalam diam sajaSetelah pelukan sore itu sampai sekarang kejadiannya masih terbayang-bayang di kepalaku ini. Aku mulai memikirkan beberapa hal yang akan membuatku canggung jika bertemu dengannya kembali.Bodohnya keberanian itu telah berhasil membuatku terperangkap dengan rasa malu. Memeluknya tanpa aba-aba bahkan sambil menangis di pelukannya, oh semesta sepertinya aku sudah kehilangan akal.Baiklah sekarang saatnya harus amnesia sekejap atas apa yang terjadi kemaren. Supaya dapat kukumpulkan sisa-sisa rasa berani itu untuk berangkat ke sekolah hari ini. Yang mau tidak mau, wajah Ian pasti akan kulihat, karena kami yang sekelas.Aku terlalu malu untuk kembali ke sekolah. Nana sudah memanggilku yang dari tadi yang sebeneranya sudah siap. Tapi hanya tidak siap untuk melangkahkan kaki ke sekolah. Rasa malu kali ini tidak bi
Ternyata perasaan tidak perlu izin untuk mencemaskan seseorang yang bukan siapa-siapa.Langit siang di kota Bogor hari ini cukup terik daripada biasanya. Tidak ada saupun tanda-tanda mendung dilihat dari beberapa awan yang hanya sedikit melindungi bumi dari matahari. Hal-hal yang seperti ini akan jadi momen langka tapi juga menguntungkan bagi beberapa orang seperti petani-petani yang berharap padi mereka akan cepat kering.Lokasi sekolahku yang cukup jauh dari pusat kota membuat sekolah ini punya kesan sendiri seperti berada di desa. Kanan kiri gedung sekolah masih dikelilingi oleh luasnya lahan sawah dari masyarakat disini.Hampir setiap pagi bahkan sampai menjelang siang udara disini masih sangat segar dihirup. Tidak ada polusi udara dan juga tidak banyaknya asap kendaran. Tapi karena banyak yang bersekolah disini, suasananya tidak pernah sepi.Aku mulai berangkat sekolah hari ini bersama Nana, Arum dan Tania. Tapi satu
Hampir saja tidak sempat untuk masuk ke perpustakaan sebelum Bu Dinda pegawai pustaka mengunci pintu karena sudah menunjukan waktu istirahat. Tapi untuk beberapa orang yang lebih memilih stay buat membaca buku diperbolehkan berada di dalam saja sampai pintunya di buka kembali sama Bu Dinda.Aku mulai sering ke perpustakaan karena beberapa target dari buku-buku kedokteranku terbang kalai. Untuk memenuhi dan mengebut supaya ga lost lagi sama planning yang udah aku susun. Duduk dan berdiam diri di perpustakaan adalah cara paling praktis menyelesaikan buku ini dengan cepat.Terlihat Soma yang sedang asik melukis. Aku mengagetkannya dari belakang tapi sebisa mungkin tidak akan membuatnya mengacaukan lukisan indahnya itu. Soma tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku yang usil."Usilnya masih sama ya kayak waktu kecil Al""Hehehe, habisnya fokus banget"Aku membuka buku kedokteran dan segera membacanya dengan sebuah pena warna yang akan
Jika ada satu kata yang punyasejutamaknadari setiap jiwaitulahPerasaan. Karena Perasaan ibaratgalaksidari semua rasa jatuh, sedih, bahagia, bingung, suka, luka bahkan cinta.Apakah ada sebuah alat untuk membaca dengan jelas segala perasaan yang membuat kebingungan bisa dilihat penyebabnya. Jika ada sepertinya aku adalah orang yang pertama yang akan jadi pembelinya. Sulitnya mengatasi kebingungan dari rasa yang kian gundah sampai pada detak jantung yang termakan waktu sehingga harus berdetak dengan begitu laju.Ketidaknyamanan yang seharusnya dilewatkan begitu saja, tapi tetap menetap seperti jamur yang membaur di segala dentangan jam detik maupun hari. Untuk siap menutup telinga bisa, tapi tidak menutup asumsi
Bahwa kaumenyukaiseseorang berarti, kau salahmemahamiorang itu dengancaramusendiri.Cuaca terlalu cerah untuk di cemberutkan rasa lelah. Rasa syukur bisa menatap langit malam penuh bintang yang didesain semesta hari ini amat sangat luar biasa lebih dari kata sempurna. Dari sudut kota Bogor dan jauh dari keluarga ternyata kehangatan itu masih ada walau tanpa ada mereka. Semua punya peran masing-masing dan warnanya sendiri seperti pelangi yang di jelaskan Ian kemarin. Di segala titik kehidupan dan proses yang kita lalui semesta telah menetapkan rencana kejutannya masing-masing untuk kita.Sebuah kertas yang sudah terlihat lusuh terlipat menjadi dua bagian ini diberikan Ian kemarin baru sempat kubaca. Karena secara cepat tubuh langsung
Untuk rasa bahagia yangberlalu-lalang.Jikalauinginmenetapberhentilah. Tapi jika hanyasinggahpergilah. Karena rasa bukan sepertibianglala yangdikemudikan.Aktifitas sekolah yang sudah mulai sibuk dengan ujian membuat semua punya wajah kusut kusam saat bel sekolah berbunyi. Rasa ingin membaringkan badan segera di kasur dan batal yang empuk sekarang adalah tujuan satu-satunya.Hari ini, pulang sekolah cukup telat daripada biasanya. Sudah banyak persiapan soal-soal ujian akhir semester yang harus dipelajari lagi. Tidak banyak tapi tidak juga sedikit untuk ditimbang mata dan kepala yang sudah merindukan senja dan r
Hal yang biasa sekarang suatu saat akan jadi kenangan luar biasa yang tidak bisa lagi diulang. Karena porsi dan kerjanya hanya untuk berada di masa lalu."Hampir saja", ucapku dengan napas yang tersengal-sengal karena hampir saja terlambat dan berdiri tepat di luar gerbang sekolah."Pak... buka dong pak",Terdengar suara Ian dari belakangku. Dia terlambat beberapa detik setelah gerbang sekolah ditutup. Tampak napasnya yang ikut ngos-ngossan kemudian melihatku. Mendengar itu, pak satpam menghiraukannya saja kemudian berlalu meninggalkan kami berdua."Terlambat, hampir saja tadi bisa masuk loh padahal.""Iya namanya juga usaha, udah lari tetap aja terlambat. Al bantuin aku dong"Melihat di sekitarku tidak ada guru dan satpam, Ian mencoba membujukku untuk membantunya sebelum jam pelajaran di kelas mulai. Tetapi gerbangnya sudah di gembok sama pak satpam yang pergi melewatiku tadi."Gimana