Share

Rumah Pohon

Author: Aponi Line
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Pertemuan tidak selalu tentang direncanakanTapi kadang ketidaksengajaan juga merupakan rencana semesta untuk kita ketemu lagi.

Setelah kejutan yang sangat luar biasa kemarin kepalaku keram berputar-putar. Bahkan perasaan canggung juga muncul ketika bertemu Theo sepertinya. Sosok Soma yang selalu membuatku penasaran dia ada dimana sekarang selama ini. Ternyata dia begitu dekat, tapi tidak kusangka dia harus datang dengan membuatku jengkel terhadapnya untuk pertama kalinya.

Tapi sekarang apapun yang terjadi mengenai Theo sebelumnya bisa kuleburkan saja. Kalau dilihat sebenarnya dia tidak begitu salah. Hanya saja aku yang terlalu jutek padanya saat pertemuan pertama kami di sekolah.

Ternyata Theo adalah murid pindahan dari Jogja ke sekolahku. Rasa penasaran yang banyak serasa ingin kuhabiskan dengan bertanya kepadanya. Tapi mengingat awal pertemuan itu, kadang membuatku juga malu. 

Sulit mempercayai bahwa Theo adalah Soma. Dan lagi-lagi kenapa namanya berbeda. Baiklah sepertinya aku tidak sepenuhnya salah, dia juga cukup ambil andil dari kesalahpahaman yang berdasar ini.

"Aline..." Teriak seseorang dari seberang kelas. Dia Theo kemudian berjalan menghampiriku yang berdiri sedari tadi di balkon kelas berkutat siapa yang salah. Theo berdiri di sampingku menoleh ke arahku kemudian bertanya sambil tersenyum jail, "Aline, gimana?".

"Gimana apanya?" jawabku dengan tidak penasaran. Padahal aku juga tahu maksud dia bertanya tentang itu.

"Ya gimana, percaya gak kalau aku dulu Soma teman kecilmu"

"Ya percaya, tapi sumpah demi apapun kamu nyebelin tahu. Kenapa ga langsung to the point ke aku kalau kita kenal. Kalau dari kemarin di kasih tahu, akunya juga ga jutek amat nanggepin kamu kan".

"Seperti biasa aku suka membuat kamu kebingungan dan kesal. Sudah lama bukan, kalau kita tidak bermain teka-teki seperti dulu lagi".

"Iyaa, tapi pokoknya kamu masih menyebalkan bagiku"

"Iyah aku minta maaf ya Tingker Bell".

"Ih kamu masih ingat yah tentang Tingker Bell."

"Bagaimana aku ga ingat, kamu kan Tingker Bell, yang mengumpulkan segala macam alat-alat yang sudah tidak dipakai sewaktu kita bermain dulu di rumah pohon."

"Wahh rumah pohon, aku jadi kangen buat kesana lagi."

"Next Time hayoo, kita kesana lagi bareng"

"Beneran nanti malah ngomong doang, ga di kerjain"

"Emang pernah aku ingkar janji sama kamu Al? Ga kan.."

"Iyah iyah aku ngalah deh".

Kami menikmati perbincangan sembari menunggu bel pulang sekolah berakhir. Banyak hal yang mau ditanyakan lagi dan lagi. Tapi tidak mau menghabiskan semuanya di hari ini. Soma bagiku adalah cerita istimewa sewaktu kecil. Banyak kenangan dengan dia yang membuat masa kecilku menjadi lebih indah.

Seorang anak rumahan yang tidak ada teman, dikunjungi dia dengan berani mengajakku bermain dahulu sekali. Itu hal yang tidak pernah kudapatkan lagi setelah berpisah dengan dia.

*****

Kita jalan-jalan kesembilan tahun lalu.

Setelah beres-beres pindahan kemarin ke rumah baru di Jogja membuatku bosan di rumah. Kebiasaan keluargaku dari dulu adalah sering pindah-pindah. Karena Ayah sering sekali berpindah-pindah dinas kerjanya. Hal itu yang membuatku kadang tidak punya teman yang banyak, bahkan yang sampai sekarang mengenalku ataupun aku mengenalnya tidak sampai punya hubungan yang lama dan terjaga. 

Pertemuan yang singkat seperti persinggahan dari halte ke halte. Ketemu orang baru setiap pemberhentiannya membuat hal yang seharusnya bisa diingat bisa saja menjadi hal yang dilupakan. Singkat mengenal satu sama lain, membuat cerita yang seharusnya bakal punya episode baru, harus berakhir cepat dan  tiba-tiba ketika sudah waktunya untuk naik bus selanjutnya. Sudah waktunya untuk buat chapter baru lagi di pemberhentian selanjutnya.

Setiap pindahan pasti rumah yang dipilih papa adalah komplek perumahan, yang membuatku juga terbatas punya teman. Karena rata-rata orang yang berada di perumahan lebih sedikit tertutup dengan kehidupan mereka. Tidak seperti rumah nenek di kampung, satu rumah ke rumah lain aja sudah seperti keluarga. Seperti tidak ada kata tetangga, karena semuanya saling bantu dan selalu saling ada satu sama lain. 

Begitupun anak-anak kecil yang di kampung nenek, mereka kalau bermain sudah seperti bawa teman sekelas. Banyak sekali temannya, tidak sama seperti aku disini yang terbatas ruang dan jiwa sosialku yang  tidak cukup tinggi. Kadang hanya abang yang menjadi teman bermainku di rumah, tapi kalau lama-lama main sama dia bisa bosan bukan kepalang. 

"Halo tante, pagi" terdengar suara anak laki-laki menyapa Bunda yang sedang menyiram bunga di depan rumah. Aku melirik dia pelan-pelan dari sebalik pintu rumahku karena penasaran.

Bunda menoleh ke arah anak itu, sambil meletakkan selang air yang dari tadi dia pegang. "Pagi nak", jawab bunda sambil tersenyum padanya. "Ada apa nak, ada yang bisa tante bantu?".

"Kata papa aku bisa main sama anak tetangga kami yang baru"

"Owh iya, kamu anak Pak Suryo yah?"

"Iya tante, boleh aku ngajak main anaknya tante?"

Aku terkejut mendengar jawabannya, tiba-tiba ada perasaan senang tapi juga malu. Karena baru pertama kali ada seseorang langsung mengajakku bermain. Biasanya tidak pernah ada yang mau berteman denganku secara sukarela.

"Boleh, bentar tante panggilkan yah. Namanya siapa dulu nih, biar bunda juga bisa kenal"

"Soma tante"

"Udah panggil bunda aja ya"

"Hmm iya bunda"

Bunda menghentikan pekerjaan menyiram  bunganya, dan langsung masuk ke dalam rumah untuk memanggilku. Aku dengan perasaan takut dan malu, malah langsung berlari ke kamar dan masuk ke dalam selimutku. Lalu beberapa saat itu, bunda memangilku dan membuka selimutku.

"Aline, udah jangan sembunyi lagi. Bunda tahu kamu udah denger ada yang ngajakin main."

"Hmm takut bunda, malu..", jawabku melirih malu-malu sambil menggenggam erat selimutku.

"Gapapa, kan uni juga bosan di rumah kan. Itu anak teman papa" jawab bunda meyakinkanku.

"Beneran gapapa bunda?" aku memastikan terakhir kalinya. Karena di hati kecilku juga ada keinginan untuk bermainan dengannya.

"Iya gapapa nak"

Setelah diyakinkan bunda dan mengisi full rasa percaya diriku untuk bertemu dengan orang baru yang aku kenal. Aku keluar kamar mengikuti bunda dari belakang. Bersembunyi-sembunyi kecil sekaligus mengintip ke depan. Terlihat dia yang sedang duduk di depan rumah menunggu kehadiranku, supaya bisa main bareng.

"Hai" sapa dia yang langsung berdiri dari duduknya setelah melihat aku keluar dengan bunda. Posisiku masih berada tepat di belakang bunda dengan perasaan malu-malu. "Aku Soma", dia mengulurkan tangannya untuk mengajakku berkenalan. Upaya yang dia lakukan membuatku sedikit tidak canggung lagi.

Aku mengulurkan tanganku pelan-pelan dan menjawabnya "Aline". Kemudian langsung aku lepaskan. 

"Aline kamu main dulu sama Soma yah, bunda mau beres-beres dulu. Soma jangan jauh-jauh ya nak mainnya"

"Iya bunda", jawabnya memastikan kepada bunda

"Mau main kemana?"

"Ayo ke rumah pohon, ada rumah pohon di dekat sini"

"Rumah pohon?", jawabku dengan sangat senang, karena sudah dari lama keinginanku untuk punya rumah pohon selalu tidak kesampaian. Dilihat dari  kondisi dinas kerja papa yang suka pindah-pindah jadi tidak memungkinkan. "Ayo kita kesana"

Kami berjalan menuju rumah pohon yang tidak jauh dari rumah. Aku mulai membiasakan diri berteman dengan Soma, dia tidak jahat dan sangat baik sampai berani mengajakku bermain. Aku apresiasi keberaniannya itu. Setelah sampai di rumah pohon, terlihat olehku beberapa lukisan-lukisan di papan kayu, dan batang pohonnya. 

"Soma, Itu lukisan siapa?", tanyaku penasaran dengan lukisan indah itu.

"Itu lukisanku", aku kaget mendengarnya. Mengingat bahwasanya gambar-gambar yang pernah aku gambar jauh sekali dibanding lukisannya. Menggambar bunga saja kadang seperti ilalang yang tidak ada bunganya sama sekali. "Wahh, bagus sekali. Aku tidak bisa melukis, menggambar saja jelek", jawabku sedikit manyun sambil melihat lukisannya itu.

"Nanti aku ajarin yah Aline, kita naik ke rumah pohon dulu yok"

"Ayok", kami mendaki perlahan-lahan. Di rumah pohonnya sudah rapi dan ada lampu-lampu juga. Kemudian beberapa peralatan alat lukis juga ada disana. Bahkan ada teleskop untuk melihat bintang, yang selalu kulihat di dalam buku cerita.

Kami menikmati waktu di rumah pohon bersama sampai lupa waktu sudah mulai malam. Soma memperkenalkan alat-alat lukis dan seluruh mainannya yang ada disana. Aku sangat senang bertemu dengan Soma  dan juga segala hal yang dia perkenalkan padaku.

"Aline sudah mau malam, kita pulang dulu yok. Besok kita main lagi, takutnya bunda nyariin kamu"

"Ayok pulang dulu, besok kesini lagi yah Soma, aku senang main disini". Jawabku memastikan bahwa dia akan mengajakku lagi kesini. Kami meninggalkan rumah pohon dan balik ke rumah masing-masing.

*******************

Terimakasih yang sudah mau membaca cerita ini,

Maaf untuk segala kekurangan

penulisan, maklum penulis pemula yang akan terus belajar dan memperbaiki

agar menuju kata sempurna.

Bantu cerita ini dengan cara vote dan comment ya, jangan lupa.

With Love, Aponi line❤️

Related chapters

  • Lavender di Penghujung September   Taman

    Hal yang biasa sekarang suatu saat akan jadi kenangan luar biasa yang tidak bisa lagi diulang. Karena porsi dan kerjanya hanya untuk berada di masa lalu."Hampir saja", ucapku dengan napas yang tersengal-sengal karena hampir saja terlambat dan berdiri tepat di luar gerbang sekolah."Pak... buka dong pak",Terdengar suara Ian dari belakangku. Dia terlambat beberapa detik setelah gerbang sekolah ditutup. Tampak napasnya yang ikut ngos-ngossan kemudian melihatku. Mendengar itu, pak satpam menghiraukannya saja kemudian berlalu meninggalkan kami berdua."Terlambat, hampir saja tadi bisa masuk loh padahal.""Iya namanya juga usaha, udah lari tetap aja terlambat. Al bantuin aku dong"Melihat di sekitarku tidak ada guru dan satpam, Ian mencoba membujukku untuk membantunya sebelum jam pelajaran di kelas mulai. Tetapi gerbangnya sudah di gembok sama pak satpam yang pergi melewatiku tadi."Gimana

  • Lavender di Penghujung September   Rooftop

    Untuk rasa bahagia yangberlalu-lalang.Jikalauinginmenetapberhentilah. Tapi jika hanyasinggahpergilah. Karena rasa bukan sepertibianglala yangdikemudikan.Aktifitas sekolah yang sudah mulai sibuk dengan ujian membuat semua punya wajah kusut kusam saat bel sekolah berbunyi. Rasa ingin membaringkan badan segera di kasur dan batal yang empuk sekarang adalah tujuan satu-satunya.Hari ini, pulang sekolah cukup telat daripada biasanya. Sudah banyak persiapan soal-soal ujian akhir semester yang harus dipelajari lagi. Tidak banyak tapi tidak juga sedikit untuk ditimbang mata dan kepala yang sudah merindukan senja dan r

  • Lavender di Penghujung September   Surat

    Bahwa kaumenyukaiseseorang berarti, kau salahmemahamiorang itu dengancaramusendiri.Cuaca terlalu cerah untuk di cemberutkan rasa lelah. Rasa syukur bisa menatap langit malam penuh bintang yang didesain semesta hari ini amat sangat luar biasa lebih dari kata sempurna. Dari sudut kota Bogor dan jauh dari keluarga ternyata kehangatan itu masih ada walau tanpa ada mereka. Semua punya peran masing-masing dan warnanya sendiri seperti pelangi yang di jelaskan Ian kemarin. Di segala titik kehidupan dan proses yang kita lalui semesta telah menetapkan rencana kejutannya masing-masing untuk kita.Sebuah kertas yang sudah terlihat lusuh terlipat menjadi dua bagian ini diberikan Ian kemarin baru sempat kubaca. Karena secara cepat tubuh langsung

  • Lavender di Penghujung September   Perasaan

    Jika ada satu kata yang punyasejutamaknadari setiap jiwaitulahPerasaan. Karena Perasaan ibaratgalaksidari semua rasa jatuh, sedih, bahagia, bingung, suka, luka bahkan cinta.Apakah ada sebuah alat untuk membaca dengan jelas segala perasaan yang membuat kebingungan bisa dilihat penyebabnya. Jika ada sepertinya aku adalah orang yang pertama yang akan jadi pembelinya. Sulitnya mengatasi kebingungan dari rasa yang kian gundah sampai pada detak jantung yang termakan waktu sehingga harus berdetak dengan begitu laju.Ketidaknyamanan yang seharusnya dilewatkan begitu saja, tapi tetap menetap seperti jamur yang membaur di segala dentangan jam detik maupun hari. Untuk siap menutup telinga bisa, tapi tidak menutup asumsi

  • Lavender di Penghujung September   Kenangan

    Hampir saja tidak sempat untuk masuk ke perpustakaan sebelum Bu Dinda pegawai pustaka mengunci pintu karena sudah menunjukan waktu istirahat. Tapi untuk beberapa orang yang lebih memilih stay buat membaca buku diperbolehkan berada di dalam saja sampai pintunya di buka kembali sama Bu Dinda.Aku mulai sering ke perpustakaan karena beberapa target dari buku-buku kedokteranku terbang kalai. Untuk memenuhi dan mengebut supaya ga lost lagi sama planning yang udah aku susun. Duduk dan berdiam diri di perpustakaan adalah cara paling praktis menyelesaikan buku ini dengan cepat.Terlihat Soma yang sedang asik melukis. Aku mengagetkannya dari belakang tapi sebisa mungkin tidak akan membuatnya mengacaukan lukisan indahnya itu. Soma tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku yang usil."Usilnya masih sama ya kayak waktu kecil Al""Hehehe, habisnya fokus banget"Aku membuka buku kedokteran dan segera membacanya dengan sebuah pena warna yang akan

  • Lavender di Penghujung September   Tidak perlu izin

    Ternyata perasaan tidak perlu izin untuk mencemaskan seseorang yang bukan siapa-siapa.Langit siang di kota Bogor hari ini cukup terik daripada biasanya. Tidak ada saupun tanda-tanda mendung dilihat dari beberapa awan yang hanya sedikit melindungi bumi dari matahari. Hal-hal yang seperti ini akan jadi momen langka tapi juga menguntungkan bagi beberapa orang seperti petani-petani yang berharap padi mereka akan cepat kering.Lokasi sekolahku yang cukup jauh dari pusat kota membuat sekolah ini punya kesan sendiri seperti berada di desa. Kanan kiri gedung sekolah masih dikelilingi oleh luasnya lahan sawah dari masyarakat disini.Hampir setiap pagi bahkan sampai menjelang siang udara disini masih sangat segar dihirup. Tidak ada polusi udara dan juga tidak banyaknya asap kendaran. Tapi karena banyak yang bersekolah disini, suasananya tidak pernah sepi.Aku mulai berangkat sekolah hari ini bersama Nana, Arum dan Tania. Tapi satu

  • Lavender di Penghujung September   Diamku Hanya Memperhatikan

    Tidak semua perasaan bisa untuk disembunyikan begitu rapi. Tapi ada beberapa hal yang memaksanya cukup dalam diam sajaSetelah pelukan sore itu sampai sekarang kejadiannya masih terbayang-bayang di kepalaku ini. Aku mulai memikirkan beberapa hal yang akan membuatku canggung jika bertemu dengannya kembali.Bodohnya keberanian itu telah berhasil membuatku terperangkap dengan rasa malu. Memeluknya tanpa aba-aba bahkan sambil menangis di pelukannya, oh semesta sepertinya aku sudah kehilangan akal.Baiklah sekarang saatnya harus amnesia sekejap atas apa yang terjadi kemaren. Supaya dapat kukumpulkan sisa-sisa rasa berani itu untuk berangkat ke sekolah hari ini. Yang mau tidak mau, wajah Ian pasti akan kulihat, karena kami yang sekelas.Aku terlalu malu untuk kembali ke sekolah. Nana sudah memanggilku yang dari tadi yang sebeneranya sudah siap. Tapi hanya tidak siap untuk melangkahkan kaki ke sekolah. Rasa malu kali ini tidak bi

  • Lavender di Penghujung September   Perasaan itu menyebalkan

    Karena rasa itu tidak semestinya ada dan terlalu lama menetap Pagi sudah menyongsong rapi garis kerutan di gambar yang cemberut.Matahari menggelitik mataku yang melamun sedari tadi.Lamunanku buyar ketika suara seseorang dari belakang mulai mendekati perlahan.Aku yang peka dengan langkah kaki itu, sengaja tidak mempedulikan siapa yang berada di belakang.Langkahnya mendekat tapi lagunaku terlalu nikmat untuk dihentikan. "Dorr!!", ucap seseorang yang mencoba membuatku kaget tapi tidak denganku yang sudah tahu dia berada di belakang.Soma dengan wajah manisnya yang selalu melempar senyum membuat lamunan senduku tadi mulai buram dan perlahan tersingkirkan. "Somaa, aku udah nyadar loh daritadi kamu jalan pelan bu

Latest chapter

  • Lavender di Penghujung September   Bandara dan pria abu-abu

    Perasaan yang kuketahui melalui dirimuJiwa ini terlalu banyak diam meskipun mulut bersuara terbuka. Tapi hati dan jiwa menolak semua pintu untuk berani mengutarakan segala rasa yang dirasakan. Begitulah serba sulitnya menjadi seorang Aline. Jika boleh menarik diri sendiri untuk berani ngutarain apapun tolong aku mau banget. Karena capek sembunyi kayak kucing-kucingan dengan segala rasa yang kadang aku tahu ini bagaimana.Sehabis beranjak pergi dari kantin untuk menemui Ian kini mataku tertuju padanya. Banyak hal yang ingin diucapkan tapi yang jelas aku butuh satu jawaban yang benar-benar dari mulutnya saat ini.“Aline..” panggil Ian dengan nada sendu memandangiku yang dari tadi terpaku tidak berniat menjangkaunya lebih dekat.“Jadi gimana?, yang dikatakan Tania itu betul atau salah?”“Aku masih disini kok, belum kemana-mana.”“Bukan itu maksudku, kamu sudah tahu apa yang harus kamu jawab Ia

  • Lavender di Penghujung September   Perasaan itu menyebalkan

    Karena rasa itu tidak semestinya ada dan terlalu lama menetap Pagi sudah menyongsong rapi garis kerutan di gambar yang cemberut.Matahari menggelitik mataku yang melamun sedari tadi.Lamunanku buyar ketika suara seseorang dari belakang mulai mendekati perlahan.Aku yang peka dengan langkah kaki itu, sengaja tidak mempedulikan siapa yang berada di belakang.Langkahnya mendekat tapi lagunaku terlalu nikmat untuk dihentikan. "Dorr!!", ucap seseorang yang mencoba membuatku kaget tapi tidak denganku yang sudah tahu dia berada di belakang.Soma dengan wajah manisnya yang selalu melempar senyum membuat lamunan senduku tadi mulai buram dan perlahan tersingkirkan. "Somaa, aku udah nyadar loh daritadi kamu jalan pelan bu

  • Lavender di Penghujung September   Diamku Hanya Memperhatikan

    Tidak semua perasaan bisa untuk disembunyikan begitu rapi. Tapi ada beberapa hal yang memaksanya cukup dalam diam sajaSetelah pelukan sore itu sampai sekarang kejadiannya masih terbayang-bayang di kepalaku ini. Aku mulai memikirkan beberapa hal yang akan membuatku canggung jika bertemu dengannya kembali.Bodohnya keberanian itu telah berhasil membuatku terperangkap dengan rasa malu. Memeluknya tanpa aba-aba bahkan sambil menangis di pelukannya, oh semesta sepertinya aku sudah kehilangan akal.Baiklah sekarang saatnya harus amnesia sekejap atas apa yang terjadi kemaren. Supaya dapat kukumpulkan sisa-sisa rasa berani itu untuk berangkat ke sekolah hari ini. Yang mau tidak mau, wajah Ian pasti akan kulihat, karena kami yang sekelas.Aku terlalu malu untuk kembali ke sekolah. Nana sudah memanggilku yang dari tadi yang sebeneranya sudah siap. Tapi hanya tidak siap untuk melangkahkan kaki ke sekolah. Rasa malu kali ini tidak bi

  • Lavender di Penghujung September   Tidak perlu izin

    Ternyata perasaan tidak perlu izin untuk mencemaskan seseorang yang bukan siapa-siapa.Langit siang di kota Bogor hari ini cukup terik daripada biasanya. Tidak ada saupun tanda-tanda mendung dilihat dari beberapa awan yang hanya sedikit melindungi bumi dari matahari. Hal-hal yang seperti ini akan jadi momen langka tapi juga menguntungkan bagi beberapa orang seperti petani-petani yang berharap padi mereka akan cepat kering.Lokasi sekolahku yang cukup jauh dari pusat kota membuat sekolah ini punya kesan sendiri seperti berada di desa. Kanan kiri gedung sekolah masih dikelilingi oleh luasnya lahan sawah dari masyarakat disini.Hampir setiap pagi bahkan sampai menjelang siang udara disini masih sangat segar dihirup. Tidak ada polusi udara dan juga tidak banyaknya asap kendaran. Tapi karena banyak yang bersekolah disini, suasananya tidak pernah sepi.Aku mulai berangkat sekolah hari ini bersama Nana, Arum dan Tania. Tapi satu

  • Lavender di Penghujung September   Kenangan

    Hampir saja tidak sempat untuk masuk ke perpustakaan sebelum Bu Dinda pegawai pustaka mengunci pintu karena sudah menunjukan waktu istirahat. Tapi untuk beberapa orang yang lebih memilih stay buat membaca buku diperbolehkan berada di dalam saja sampai pintunya di buka kembali sama Bu Dinda.Aku mulai sering ke perpustakaan karena beberapa target dari buku-buku kedokteranku terbang kalai. Untuk memenuhi dan mengebut supaya ga lost lagi sama planning yang udah aku susun. Duduk dan berdiam diri di perpustakaan adalah cara paling praktis menyelesaikan buku ini dengan cepat.Terlihat Soma yang sedang asik melukis. Aku mengagetkannya dari belakang tapi sebisa mungkin tidak akan membuatnya mengacaukan lukisan indahnya itu. Soma tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku yang usil."Usilnya masih sama ya kayak waktu kecil Al""Hehehe, habisnya fokus banget"Aku membuka buku kedokteran dan segera membacanya dengan sebuah pena warna yang akan

  • Lavender di Penghujung September   Perasaan

    Jika ada satu kata yang punyasejutamaknadari setiap jiwaitulahPerasaan. Karena Perasaan ibaratgalaksidari semua rasa jatuh, sedih, bahagia, bingung, suka, luka bahkan cinta.Apakah ada sebuah alat untuk membaca dengan jelas segala perasaan yang membuat kebingungan bisa dilihat penyebabnya. Jika ada sepertinya aku adalah orang yang pertama yang akan jadi pembelinya. Sulitnya mengatasi kebingungan dari rasa yang kian gundah sampai pada detak jantung yang termakan waktu sehingga harus berdetak dengan begitu laju.Ketidaknyamanan yang seharusnya dilewatkan begitu saja, tapi tetap menetap seperti jamur yang membaur di segala dentangan jam detik maupun hari. Untuk siap menutup telinga bisa, tapi tidak menutup asumsi

  • Lavender di Penghujung September   Surat

    Bahwa kaumenyukaiseseorang berarti, kau salahmemahamiorang itu dengancaramusendiri.Cuaca terlalu cerah untuk di cemberutkan rasa lelah. Rasa syukur bisa menatap langit malam penuh bintang yang didesain semesta hari ini amat sangat luar biasa lebih dari kata sempurna. Dari sudut kota Bogor dan jauh dari keluarga ternyata kehangatan itu masih ada walau tanpa ada mereka. Semua punya peran masing-masing dan warnanya sendiri seperti pelangi yang di jelaskan Ian kemarin. Di segala titik kehidupan dan proses yang kita lalui semesta telah menetapkan rencana kejutannya masing-masing untuk kita.Sebuah kertas yang sudah terlihat lusuh terlipat menjadi dua bagian ini diberikan Ian kemarin baru sempat kubaca. Karena secara cepat tubuh langsung

  • Lavender di Penghujung September   Rooftop

    Untuk rasa bahagia yangberlalu-lalang.Jikalauinginmenetapberhentilah. Tapi jika hanyasinggahpergilah. Karena rasa bukan sepertibianglala yangdikemudikan.Aktifitas sekolah yang sudah mulai sibuk dengan ujian membuat semua punya wajah kusut kusam saat bel sekolah berbunyi. Rasa ingin membaringkan badan segera di kasur dan batal yang empuk sekarang adalah tujuan satu-satunya.Hari ini, pulang sekolah cukup telat daripada biasanya. Sudah banyak persiapan soal-soal ujian akhir semester yang harus dipelajari lagi. Tidak banyak tapi tidak juga sedikit untuk ditimbang mata dan kepala yang sudah merindukan senja dan r

  • Lavender di Penghujung September   Taman

    Hal yang biasa sekarang suatu saat akan jadi kenangan luar biasa yang tidak bisa lagi diulang. Karena porsi dan kerjanya hanya untuk berada di masa lalu."Hampir saja", ucapku dengan napas yang tersengal-sengal karena hampir saja terlambat dan berdiri tepat di luar gerbang sekolah."Pak... buka dong pak",Terdengar suara Ian dari belakangku. Dia terlambat beberapa detik setelah gerbang sekolah ditutup. Tampak napasnya yang ikut ngos-ngossan kemudian melihatku. Mendengar itu, pak satpam menghiraukannya saja kemudian berlalu meninggalkan kami berdua."Terlambat, hampir saja tadi bisa masuk loh padahal.""Iya namanya juga usaha, udah lari tetap aja terlambat. Al bantuin aku dong"Melihat di sekitarku tidak ada guru dan satpam, Ian mencoba membujukku untuk membantunya sebelum jam pelajaran di kelas mulai. Tetapi gerbangnya sudah di gembok sama pak satpam yang pergi melewatiku tadi."Gimana

DMCA.com Protection Status