Semua hanya angan, ketika kau hanya memberi kenangan.
Ralin merebahkan dirinya di kasur, tangannya sibuk memainkan ponsel, menuliskan pesan jawaban untuk Arga. Seperti biasa, masih mengenai revisi skripsi. Mengetuk pintu hati Arga bukanlah hal yang mudah. Ralin sangat lelah di setiap harinya mencoba terus mendekat dengan Arga. Jawaban Arga begitu dingin, tidak seperti biasanya.
Terakhir, pesan Arga yang membuat dada Ralin sesak, sulit untuk tidur.
Semua yang diperlukan di website, tolong semua kamu yang mengurus ya.
Ralin dengan senang hati membantu Arga, namun bagaimana dengan perasaannya? Apakah Arga menyukai dia?
Ralin masih mencoba menyimpan tanya dalam hati, tak berani mengungkapkannya. Dia menuju kampus esok harinya, mengumpulkan berkas milik Arga. Matanya menerawang jauh, sosok Farhan ada di sana. Dia tertawa riang dengan Damian.
"Farhan! sapa Ralin tersenyum riang. Kalau dipikir-pikir lagi semenjak dekat dnegan Arga
Aku tidak menyalahkanmu, sikap baik dan perhatianmu sama sekali tidak salah. Aku menyalahkan hatiku yang terlalu mudah cinta kepadamu. Terlalu mudah berharap bahagia bersamamu.Ralin menyetir pulang dengan mata kosong, Damian dan Farhan mengikutinya dari belakang. Mereka tau Fahmi keterlaluan, mengucapkan hal seperti itu kepada Ralin, namun semua itu demi kebaikan Ralin."Ral! Nyetir yang bener!" teriak Farhan. Ralin mengerjapkan matanya, dia hampir saja goyah. Dia lalu kembali fokus menatap ke jalanan. Ralin ingin menangis saat ini juga. Apa benar Arga memang tidak mencintainya?Untung saja ada Farhan dan Damian yang bersedia menjaga
Lara dan JinggaPenggunaan Bahasa: BakuAda yang aneh dengan sikap Ralin akhir-akhir ini, dia terlihat tidak ada semangat hidup, matanya kosong dan tidak ada hal lain yang dia lakukan selain tidur lalu makan. Ibunya menatap Ralin penuh dengan tanda tanya, bagaimana bisa anaknya seperti ini. Ralin terlihat seperti frustasi sekaligus kebingungan. Entah apa yang terjadi, berulang kali ibunya menanyakan kepadanya, namun Ralin hanya mengatakan dia ingin tidur karena lelah. Diajak pergi pun gadis itu tidak mau, dia memilih meringkuk di kamarnya.Setiap detiknya dia hanya menanti pesan dari Arga. Pertanyaan yang sama selaluberputar di kepalanya, kenapa Arga menjauhinya, kenapa Arga tidak membalas pesannya. Kenapa lelaki itu pergi? Kenapa dia tidak dihargai? Kenapa segala pengorbanannya terasa sia-sia. Ralin merasa kecewa sekaligus marah, namun tidak tau harus melampiaskan kemana. Setiap kali dia berdoa, dia hanya berharap A
Perpisahan terkadang menyakitkan, tapi perpisahan juga bisa menjadi pilihan terbaik.Berangkat sendirian, pulang diantar. Keluarga Ralin menunjukkan ekspresi penasaran siapa lelaki yang telah mengantarkannya sampai di depan rumah. Ketika Ralin baru saja masuk melangkah ke dalam, Dion menatapnya.“Siapa lelaki tadi?” tanya Dion. Ralin memperhatikan seluruh anggota keluarganya. Tatapan mereka seolah mendesak Ralin untuk menjawab.“Teman kuliah, Fahmi namanya.”Ralin lalu masuk ke kamar setelah menjawab semua itu, dia mengganti bajunya lalu ikut bermain dengan keponakannya. Kelihatannya mereka semua sedang asik bermain kartu. Ralin ikut duduk bermain dengan mereka karena kelihatannya kegiatan bermain kartu Uno membuatnya sibuk. Setelah satu jam kemudian, keadaan rumah kembali sepi, semua kakak dan keponakannya pulang. Dia langusng beringsut naik ke kamar, memeluk guling dan memejamkan mata. Bunyi notifikasi membuat Rali
Diantara detikkan jarum jam, Ralin masih setia menunggu nama Arga dipanggil. Debaran jantung keduanya tak bisa disembunyikan, raut wajahnya gelisah. Jemari Ralin mencoba menyembunyikan semuanya dengan menyentuh ponsel pintarnya. Menunduk, menyembunyikan kegelisahan. Sudah hampir satu jam mereka menunggu bapak penjaga tata usaha kampus kembali menyebutkan nama Arga. Hari ini seharusnya Arga mendapatkan surat keterangan lulusnya, mendapatkan surat bahwa dia telah meraih gelar sarjana. Seorang kakak tingkat mendekat, duduk di samping Arga dan mengajaknya berbincang. Membicarakan topik politik hangat meski bukan sesuatu yang menarik Arga dengar, tapi dengan seksama Arga mengikuti alur pembicaraan. Mereka asik berbincang, entah apa yang mereka diskusikan, tapi Ralin memilih untuk tidak mendengarkan. Politik bukan sesuatu yang ingin Ralin dengar, bahkan dia sangat membencinya. Bukan berarti dia tidak peduli pa
Antara luka dan bahagia, mana yang harus aku pilih? Semuanya sama-sama lebih baik daripada hampa.Hari terakhir Ralin menjalani masa Kuliah Kerja Nyata, dia sebagai tim humas dalam kelompok KKN harus menyerahkan hasil laporan KKN kepada dosennya. Dengan langkah sedikit tergesa-gesa karena mengejar waktu sebelum salat Jumat, Ralin berhasil masuk ke dalam ruang dosen, sayangnya di sana pak Halim sudah tidak lagi duduk di tempatnya. Kosong.Ralin mengehela napasnya dan duduk di ruang tunggu, sembari mengisi kekosongan dia membuka aplikasi instagram yang sedang booming untuk melihat postingan foto danstory.Dia mengambil foto gambar ruang tunggu dosen dan menuliskan caption 'Demi tugas negara' lalu mempostingnya. Selang beberapa menit, notifikasi tertera di layar handphone Ralin, nama Arga yang muncul dan memberi komentar, "Ngapain kamu ngampus Lin?". Pertanyaan Arga berlanjut hingga membuat obrolan singkat yang mampu membuat Ralin tersenyum se
Aku bumi dan kamu matahari, kita saling menatap, tapi tak bersatu.Aroma parfum Arga kian memenuhi indra penciuman Ralin, begitu menyeruak sampai membuat Ralin mabuk tak berkedip melihat Arga di sampingnya."Ral, aku pinjam laptop kamu ya? Mau ngetik buat surat keterangan," kata Arga.Ralin seketika mengangguk mengiyakan dan menyodorkan laptopnya kepada Arga."Thanks."Ralin mengambil camilan kacang garuda dari tasnya dan saat baru saja dia buka, Arga sudah meminta."Suapin," ucap Arga."Ha?" Ralin lalu mengambil beberapa kacang lalu menyuapkan ke mulut Arga"Enak," ucap Arga."Ehem." Farhan sengaja berdehem karena melihat tingkah mereka berdua yang lucu.Ralin menunduk malu, lalu dia menaruh kacang di tengah meja dan menawarkan kepada teman lainnya. Arga tidak lagi meminta suapan kedua, dia memilih mengambil sendiri. Antara risih dan bingung karena tatapan teman-temannya. Jujur saja, sejak dulu m
Saat kau dekat, berhasil membuat aku terpikat.Sore ini adalah waktu yang pas bagi Ralin untuk berlari mengelilingi lapangan membakar kalori nasi goreng tadi pagi. Dengan sigap, Ralin mengenakan sepatu olahraganya dengan membawa hanphone dan berlari mengelilingi lapangan basket di dekat rumahnya. Putaran pertama masih terasa ringan, putaran kedua tubuhnya mulai memanas keringatnya bercucuran dan bajunya mulai basah.Putaran ketiga Ralin mulai merasakan napasnya tersengal, dia memilih duduk di pinggir lapangan. Tiba-tiba hanphonenya berdering, notifikasi line dari Arga. Entah kenapa akhir-akhir ini Arga semakin intens menghubungi Ralin. Dengan cepat Ralin membuka notifikasi itu dan bertanya kepadanya."Kamu enggak mau cari uang sediri ta Lin?"Ralin menyerngitkan dahinya, dia tidak memahami maksud Arga. Lalu dia membalas pesannya dengan bertanya apa maksud Arga. Selang lima menit kemudian Arga kembali membalas dengan memberikan gambar sebotol plas
Aku kira kita memiliki waktu yang lama. Tapi ternyata sangat singkat, sampai aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal.Ralin memutar-mutar ponsel yang ada di dalam genggamannya. Dia sangat gelisah menunggu Arga karena sejak sejam yang lalu dia belum juga memberi kabar keberadaannya. Mereka telah berjanji untuk bertemu pagi ini bersama dengan kelompok kewirausahaan dulu. Ralin melangkah keluar dari kelasnya, dan berjalan menuju Gazebo bersama Monica, dan Maria. Satu teman lainnya bernama April ijin untuk tidak bisa mengikuti diskusi karena belajar menari. Baru saja sampai di depan lorong G9 Arga muncul dan menunjukan gigi putihnya. Ralin hanya menghela napas karena ternyata dia menunggu seseorang yang sejak tadi sudah ada disini namun di gedung yang berbeda."Ral, tunggu dulu. Kamu tau cara ngisi penilaian di sistem online?" tanya Arga."Penilaian sistem online? Seperti apa? Sistem non akademik?" tanya Ralin."Ya, dosen penasihatku tidak bisa,
Perpisahan terkadang menyakitkan, tapi perpisahan juga bisa menjadi pilihan terbaik.Berangkat sendirian, pulang diantar. Keluarga Ralin menunjukkan ekspresi penasaran siapa lelaki yang telah mengantarkannya sampai di depan rumah. Ketika Ralin baru saja masuk melangkah ke dalam, Dion menatapnya.“Siapa lelaki tadi?” tanya Dion. Ralin memperhatikan seluruh anggota keluarganya. Tatapan mereka seolah mendesak Ralin untuk menjawab.“Teman kuliah, Fahmi namanya.”Ralin lalu masuk ke kamar setelah menjawab semua itu, dia mengganti bajunya lalu ikut bermain dengan keponakannya. Kelihatannya mereka semua sedang asik bermain kartu. Ralin ikut duduk bermain dengan mereka karena kelihatannya kegiatan bermain kartu Uno membuatnya sibuk. Setelah satu jam kemudian, keadaan rumah kembali sepi, semua kakak dan keponakannya pulang. Dia langusng beringsut naik ke kamar, memeluk guling dan memejamkan mata. Bunyi notifikasi membuat Rali
Lara dan JinggaPenggunaan Bahasa: BakuAda yang aneh dengan sikap Ralin akhir-akhir ini, dia terlihat tidak ada semangat hidup, matanya kosong dan tidak ada hal lain yang dia lakukan selain tidur lalu makan. Ibunya menatap Ralin penuh dengan tanda tanya, bagaimana bisa anaknya seperti ini. Ralin terlihat seperti frustasi sekaligus kebingungan. Entah apa yang terjadi, berulang kali ibunya menanyakan kepadanya, namun Ralin hanya mengatakan dia ingin tidur karena lelah. Diajak pergi pun gadis itu tidak mau, dia memilih meringkuk di kamarnya.Setiap detiknya dia hanya menanti pesan dari Arga. Pertanyaan yang sama selaluberputar di kepalanya, kenapa Arga menjauhinya, kenapa Arga tidak membalas pesannya. Kenapa lelaki itu pergi? Kenapa dia tidak dihargai? Kenapa segala pengorbanannya terasa sia-sia. Ralin merasa kecewa sekaligus marah, namun tidak tau harus melampiaskan kemana. Setiap kali dia berdoa, dia hanya berharap A
Aku tidak menyalahkanmu, sikap baik dan perhatianmu sama sekali tidak salah. Aku menyalahkan hatiku yang terlalu mudah cinta kepadamu. Terlalu mudah berharap bahagia bersamamu.Ralin menyetir pulang dengan mata kosong, Damian dan Farhan mengikutinya dari belakang. Mereka tau Fahmi keterlaluan, mengucapkan hal seperti itu kepada Ralin, namun semua itu demi kebaikan Ralin."Ral! Nyetir yang bener!" teriak Farhan. Ralin mengerjapkan matanya, dia hampir saja goyah. Dia lalu kembali fokus menatap ke jalanan. Ralin ingin menangis saat ini juga. Apa benar Arga memang tidak mencintainya?Untung saja ada Farhan dan Damian yang bersedia menjaga
Semua hanya angan, ketika kau hanya memberi kenangan.Ralin merebahkan dirinya di kasur, tangannya sibuk memainkan ponsel, menuliskan pesan jawaban untuk Arga. Seperti biasa, masih mengenai revisi skripsi. Mengetuk pintu hati Arga bukanlah hal yang mudah. Ralin sangat lelah di setiap harinya mencoba terus mendekat dengan Arga. Jawaban Arga begitu dingin, tidak seperti biasanya.Terakhir, pesan Arga yang membuat dada Ralin sesak, sulit untuk tidur.Semua yang diperlukan di website, tolong semua kamu yang mengurus ya.Ralin dengan senang hati membantu Arga, namun bagaimana dengan perasaannya? Apakah Arga menyukai dia?Ralin masih mencoba menyimpan tanya dalam hati, tak berani mengungkapkannya. Dia menuju kampus esok harinya, mengumpulkan berkas milik Arga. Matanya menerawang jauh, sosok Farhan ada di sana. Dia tertawa riang dengan Damian."Farhan! sapa Ralin tersenyum riang. Kalau dipikir-pikir lagi semenjak dekat dnegan Arga
Rindu datang ketika mata tak lagi menangkap bayangmuBaru saja Ralin masuk ke dalam rumah setelah olahraga pagi, notifikasi hpnya berdering lagi. Tanpa membukanya, dia sudah tau notifikasi dari seseorang yang dia cintai. Ralin sengaja memberikan nama Arga dengan bunyi notifikasi berbeda karena dia ingin lebih fast respon dengannya, meski tidak halnya dengan Arga. Lelaki itu pasti menjawab chat Ralin lam, bukan hanya satu jam atau dua jam, tapi dua hari.Terlihat no sense, tapi cinta begitu dalam membuat Ralin kehilangan logikanya. Arga kembali menanyakan tentang skripsi. Sudah tahun baru, topik chat mereka masih saja sama, tentang dunia perskripsian.Lama kelamaan Ralin menyadari satu hal, hubungan dia dengannya seolah tidak ada kemajuan meski tahun telah berganti. Kini dia mencoba menggunakan satu persen logika, apa benar Arga hanya memanfaatkannya.Kembali berdering, notifikasi kedua dari Arga, Ralin cepat membukanya."Ayo ikut aku temui
Kau memberikan harapan, tapi semua hanyalah permainan."Udah selesai makannya? Pulang yuk." Arga mengulurkan tangannya. Bukan untuk membantu Ralin bangkit dari duduk tapi menjabat tangan Ralin, mengucapkan rasa terima kasih karena telah membantunya."Makasih ya Lin. Untung aku punya kamu, tanpa kamu aku enggak tau harus bagaimana.""Iya, sama-sama. Ini buat bayar makannya." Ralin mengeluarkan uang lembaran biru, namun Arga menggeleng, menolak pemberian Ralin.Sorot mata Arga seolah mengucapkan perpisahan, namun Ralin enggan berpisah saat urusan mereka telah usai, bukan ini yang Ralin mau."Kalau ada kesulitan, revisi atau apapun, langsung hubungi aku aja."Mencoba menawarkan bantuan adalah satu-satunya cara Ralin untuk bisa membuatnya dengan Arga dekat. Mungkin dengan cara seperti ini Ralin bisa mendapatkan Arga. Tidak salah kan jika berjuang mendapatkan hati seseorang dengan masuk ke dalam kehidupannya? Membantu sebisa
"Mencintai seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya, itu menyakitkan."Sebulan telah berlalu, tak ada kabar lagi dari Arga. Tidak pula ada lagi chat darinya, WhatsApp Ralin hanya dipenuhi canda tawa sahabatnya tanpa kehadiran Arga.Rasa rindu menggebu menguasai hati Ralin. Tidak seharusnya cinta tumbuh cepat begini. Bayangan wajah Arga memenuhi pikiran Ralin, dia tidak fokus mengerjakan skripsinya. Hari ini Ralin memutuskan memberanikan diri menghubungi Arga terlebih dulu. Meski satu kampus, bukan berarti mudah bertemu dengannya. Entah kemana sosoknya, Ralin tidak lagi melihat Arga.Dia merogoh sakunya, mengambil ponselnya, mengetikkan chat untuk Arga, singkat, sederhana namun sanggup membuatnya berdegup kencang. Aliran darahnya mengalir deras, tangannya mulai dingin karena gugup.Satu menit ...Dua menit ...Tiga menit ...Tidak ada balasan dari Arga, namun pesannya telah terbaca. Ralin menyerngitkan dahi. Kenapa tid
Jodoh, bukan hanya seseorang yang memberi janji, mendekat tanpa sekat. Tapi mendekat lalu akad.Pegal, sekujur tubuh Ralin sakit semua. Lelah, tubuhnya mengalami nyeri otot karena kelelahan. Jam menunjukkan pukul empat lebih, sudah waktunya dia salat subuh. Memaksakan diri untuk bangun, Ralin bangkit berdiri mengambil wudhu, tak luma dia sematkan doa menyebut nama Arga di sela sujudnya."Loh kok tidur lagi?" tanya ibu Ralin.Ralin hanya mengangguk lemah, dia kembali naik ke atas kasur dan meringkuk, badannya panas, tubuhnya kesakitan. Benar-benar payah, batin Ralin. Hanya bekerja keras selama dua hari saja membuatnya ambruk. Ralinmenutup mata, sebelumnya dia membayangkan wajah Arga yang tersenyum.Satu pukulan keras di pantat Ralin membuatnya bangun, dia meringis tertawa karena ibunya membangunkannya."Anak gadis abis subuh kok tidur, ayo bangun! Antar ibu ke pasar sekarang," ucap i
Cinta hadir tanpa diminta.Semakin malam bazar semakin ramai, panggung telah dipersiapkan untuk band. Pengunjung semakin ramai, namun sayangnya produk jualan mereka masih banyak. Ralin mengemasi tahu fantasy yang belum digoreng, masih ada sisa sekitar lima puluh buah, tidak mungkin jika membiarkan makanan terbuka, takut basi."Arga, anterin aku pulang dong. Ini tahu fantasynya dipulangin aja deh, biar masuk ke kulkas."Arga mengangguk, menyanggupi permintaan Ralin dan mengantarkannya pulang membawa satu kotak berisi tahu fantasy."Oke."Keduanya pulang, beberapa mahasiswa menggoda Ralin karena sekarang dekat dengan Arga, sekila Ralin melirik Arga, lelaki di sampingnya juga mengulas senyum. Entah senyum apa yang Arga maksud, namun hal itu membuat Ralin semakin berharap, dia memiliki perasaan yang sama.Seperti biasa, Arga bersikap manly, membuka footstep membiarkan Ralin naik. Manis, perilakunya sangat baik, membuat R