“Silakan lapor, Tuan,” jawab Damar. “Saya rasa Pak Harris tidak akan langsung percaya tuduhan tersebut,” lanjut Damar. Pria muda itu tampak percaya diri dengan perkataannya, ia merasa jika atasannya itu akan memihaknya.Merasa tertantang Tuan Besar itu lantas meraih ponselnya, lalu menekan nomor telepon anaknya. Tak seperti Damar yang tenang, si sekretaris Harris tampak panik. Perempuan itu benar-benar takut jika sampai atasannya menindak mereka berdua.Tak perlu menunggu lama, Harris segera menjawab telepon tersebut. Tuan Setya membesar volume agar keduanya dapat mendengar percakapan di antara mereka.“Ris, Ayah mendapati kedua orang kepercayaanmu akan bertindak hal tidak senonoh di kantor,” lapor pria paruh baya tersebut. Terdengar suara Harris yang tidak mempercayai hal itu tetapi Tuan Setya tetap kekeuh pada pendiriannya.“Apa alasannya mereka melakukan hal itu di kantor?” tanya Harris.“Ayah juga tidak tahu, jika kamu mau tahu cepat datang ke kantor,” pungkas Tuan Besar itu lalu
“Apa maksudmu? Ayah benar-benar ingin menemuimu. Aku sama sekali tak tahu jika kau tak ada di kantor,Ris,” ujar Tuan Setya mencari pembenaran.“Kalau sudah tahu Pak Harris tak ada di kantor, lalu untuk apa Tuan berlama-lama di ruangan tersebut?” cecar Damar.“Tentu saja untuk menunggunya datang kembali ke kantor,” jawab Tuan Setya percaya diri.“Tuan tampak yakin jika Pak Boss akan segera kembali ke kantor, tahu dari mana? Apakah anda menghubungi Pak Harris?” lanjut Damar. Akibat perkataan Damar tersebut, semua mata tertuju pada pria paruh baya itu, menanti alasan apalagi yang akan diucapkannya.“Belum, karena perhatianku tertuju pada suara di luar,” ucapnya. Damar dan Harris saling bertatapan, mereka tahu bahwa pria itu tak akan mengakui perbuatannya.“Kita sudahi sampai di sini karena tak ada manfaatnya jika diteruskan,” ucap Harris mengakhiri huru-hara yang dibuat oleh ayahnya. Presdir muda itu meminta kedua pegawainya kembali bekerja. Mereka menuruti perintah bossya, baik Selvi da
“Karena Harris harus fokus pada urusan kantornya, untuk urusan perceraian lebih baik Ibu yang mengurusnya sendiri,” jawab Nyonya Besar itu.“Maaf Bu, jika Anin boleh berpendapat. Mas Harris tetap harus tahu mengenai rencana Ibu ini,” sela Anin.“Memang benar, Harris tahu tentang masalah ini karena menyangkut kedua orang tuanya. Tetapi nanti, setelah ibu mengurus seluruh berkasnya. Dan Ibu harap kamu membantu untuk merahasiakannya sementara,” kata Nyonya Setya, raut wajahnya terlihat tak ingin dibantah. Baru kali ini Anin melihat ekspresi wajah ibu Harris yang seperti itu, mau tak mau ia pun menurutinya.“Baik Bu,” jawab Anin singkat.Nyonya Setya menyuruh menantunya untuk istirahat di kamar begitu pula dengan dirinya. Anin pamit ke kamar dengan menggendong putra kesayangannya. Sepanjang jalan menuju kamarnya ia memikirkan bagaimana cara menyembunyikan hal tersebut dari Harris.“Aku harus menjaga lisanku, jika sampai aku keceplosan maka habislah riwayatku sebagai menantu keluarga Adija
“Tidak ada, Mas. Hanya saja aku yang tidak bisa menjelaskannya padamu. Belum saatnya aku bercerita sekarang,” jawab Anin.“Ayolah sayang, jangan main rahasiaan denganku,” bujuk Harris agar Anin mau memberitahunya.“Nanti pasti aku akan memberitahumu,” jawab Anin, ia tetap pada pendiriannya. “Bagaimana masalah kantor? Apakah kamu marah pada Damar dan sekretarismu?”“Tidak, kenapa harus marah. Mereka tak melakukan kesalahan apapun, ayah saja yang berlebihan,” kata Harris menjawab pertanyaan Anin, lelaki itu mengembalikan buku yang ia baca tadi pada tempatnya. “Kita kembali ke kamar, kasian Bhima kalau tidur di gendongan begitu,” ajak Harris. Anin menganggukkan kepala ia setuju dengan ucapan pria itu.Mereka meninggalkan ruang baca tersebut dan berjalan menuju kamar tidurnya. Harris membuka ppintu dan mempersilakan Anin untuk masuk dahulu. Sang Ibu muda itu lantas menidurkan bayi laki-laki kesayangannya di ranjang besar tersebut.“Mas Harris,” panggil seorang asisten rumah tangga pada a
“Sebenarnya apa Mbak?” tanya Anin“Tidak ada, lupakan saja,” jawab Clara santai. Anin tak ingin menganggap ucapan Clara sebagai sesuatu yang penting lantas melanjutkan kembali langkahnya. Ia menapaki tangga secara cepat. Ketika Anin hendak membuka pintu di saat yang bersamaan Harris juga berniat melakukan hal yang sama.“Kamu mau ke mana Mas?”“Turun ke bawah, menyusulmu. Kenapa kamu naik ke atas?”“Karena aku ingin melihat Bhima, lagipula Ibu sudah pulang,” ujar Anin. “Mas, tahu tidak katanya Mbak Clara datang untuk mengobrol denganku, bukannya tadi dia mencari Ibu,” lanjut Anin seraya mendorong tubuh Harris mundur ke belakang. Kini mereka duduk di tepi ranjang.“Benarkah dia mengatakan hal tersebut?”“Tentu saja, tadi dia aku memergoki dirinya berada di taman belakang, Mbak Clara mengintip kamar kita,” adu Anin.“Tenang saja, tak ada yang bisa dilihat dari taman belakang,” timpal Harris. Ia mengerti kekesalan Anin, ia juga merasa privasi mereka terganggu. “Karena dia sudah berbuat
“Jika itu bukan sesuatu yang penting, katakan lain kali saja,” ujar Harris dingin. Ia tak mau mendengar omong kosong dari ayahnya.“Tetapi apa yang aku katakan adalah sesuatu yang penting, ini menyangkut tentang –““Kamu baru pulang, Mas. Lebih baik kamu membersihkan diri dulu baru mengajak kami berbicara,” ujar Nyonya Setya memotong perkataan suaminya. Apa yang dilakukan oleh kedua ibu dan anak itu membuat Anin menjadi bingung. Seolah mereka berdua tak ingin Tuan Setya menyampaikan kalimatnya.“Kita ke kamar saja, Nin,” ajak Harris seraya menarik tangan perempuan itu. Anin pun hanya bisa menuruti kemauan lelaki tersebut.“Pastikan kalian berdua ada di meja makan ketika jam makan malam tiba,” ucap lelaki paruh baya itu kepada Harris dan Anin.“Baik,” jawab Harris singkat, dari nada bicaranya ia terkesan meremehkan undangan tersebut. Harris dan Anin terus menapaki anak tangga satu persatu hingga tiba di lantai dua. Anin memaksa Harris untuk menghentikan langkah mereka.“Mas, aku penasa
“Oh ternyata masalah perusahaan,” sela Harris. “Kita sudah membicarakan masalah ini di kantor, yah. Jadi untuk apa dibahas lagi?”“Aku yakin kau belum mengatakannya pada Ibu ‘kan, jadi aku berinisitif untuk mengatakannya,” jawab Tuan Besar itu.“Lakukan apa yang ingin kau lakukan, meski itu perusahaan dari ayahku tetapi kau juga punya andil membesarkannya,” kata sang istri. Anin hanya bisa diam, menyimak apa akhir dari pembicaraan tersebut.“Aku berniat untuk mengambil alih cabang perusahaan yang ada di surabaya,” imbuh Tuan Setya.“Ada banyak anak perusahaan di kota lain, kenapa memilih kota tersebut?” tanya Nyobya Setya, raut wajahnya tampak penasaran. Sebenarnya tak hanya perempuan itu saja yang ingin tahu melainkan Harris dan Anin juga merasa demikian.“Ada banyak faktor, salah satunya adalah aku rasa jika perusahaan itu bisa kembali stabil maka dapat dijadikan conttoh untuk anak perusahaan yang lain,” jawab pria paruh baya itu. Ia mencoba untuk bersikap santai ketika melihat tata
“Kenapa pindah ke surabaya? Ada urusan apa?” tanya Harris, ia merasa jika kepergian Clara sangat mendadak. Bahkan terkesan kebetulan sekali dengan keinginan ayahnya untuk pindah tugas.Pertanyaan Harris tadi membuat istri palsunya menoleh ke arahnya, sebagai orang yang mencurigai Clara, Anin merasa jika sekarang ia memiliki teman. Memang benar, kepindahan Clara ini secara mendadak dan mencurigakan.“A –aku ada urusan keluarga di sana,” jawab Clara santai.“Keluarga yang mana? Setahuku kamu tidak punya keluarga di sana,” sambung Harris.“Keluargaku yang di Bandung pindah ke surabaya dan terlibat sedikit masalah di sana sehingga aku perlu membantu mereka,” kata Clara, perempuan itu mencoba bersikap santai menjawab cecaran pertanyaan dari Harris.“Tante tak bisa memberikan apapun kecuali doa agar kamu sampai di tempat tujuan dengan selamat dan apa yang kamu kerjakan lancar dan terselesaikan dengan baik,” ujar Nyonya Besar itu seraya memegang bahu Clara, tatapan terlihat sangat tulus. Cla