"Mungkin ini permintaan yang mengejutkan, tapi sebenarnya sudah sangat lama Oma, Danar dan Mutia membahas hal ini. Juga ada alasan khusus mengapa Oma meminta kamu Ingga untuk menjadi pasangan Bagas."lanjut Oma menjelaskan.
" Maaf Bu Lia tapi kenapa Ingga yang Bu Lia lamar sebagai calon Bagas? Bukan bermaksud menyinggung, akan tetapi masih banyak pilihan yang lebih baik dari anak saya Ingga Bu,"jawab Papa dengan penuh kesopanan.
"Ya, betul itu Bu, belum lagi Ingga ini masih kuliah Bu, jangankan berpikir untuk menikah, mengajak teman Laki laki spesial saja belum pernah,"sahut Mama.
Oma menatap lembut kepada kami dan juga tersenyum tipis paham maksud perkataan Papa dan Mama. Tapi sepertinya beliau juga sudah memperkirakan kondisi seperti ini.
"Ya..Ibu paham maksud kalian nak Yuda dan juga Ines, tapi memang saat ini kondisi Bagas sangat prihatin, mungkin kalian berdua mengerti bagaimana kondisi Bagas pasca kejadian waktu dulu."mata Oma memandang jauh seolah sedang mengingat kejadian lampau, namun aku tidak begitu tau kejadian apa yang di maksud oleh Oma Lia.
"Ibu tidak meminta Ingga dalam waktu dekat, cuma Ibu mohon pertimbangkan lamaran Ibu. Dan untuk kalian kalau berkenan,bolehkah Ingga mengenal Bagas terlebih dahulu?"tanya Oma sambil menatapku sendu.
"Ehmmhh maaf sebelumnya Bu Lia, bukan maksud saya untuk langsung menolak lamaran ini, namun kami sebagai orang tua Ingga tidak berhak sepenuhnya atas keputusan ini,"terlihat Papa sedikit menarik nafas.
" Kami malah merasa tersanjung mendapatkan lamaran dari orang terpandang seperti keluarga Ibu."lanjut Papa menerangkan.
Aku hanya diam mencerna apa saja yang baru terjadi, tak pernah terbayang akan lamaran Oma. Apalagi melamar sebagai calon istri Bagas yang orangnya saja baru dua atau tiga kali aku melihatnya itupun hanya sekedar tau tidak pernah berbicara satu patah katapun ke dia.
"Ingga maaf kalau Oma membuat kamu merasa terbebani perihal lamaran Oma, tapi Oma berharap walau sedikit kamu mau mempertimbangkan permintaan Oma ya nak,"ucap Oma lembut kepadaku.
" Tidak perlu terburu buru memutuskan, cobalah untuk berteman dahulu dengan Bagas bahkan menunggu sampai kamu selesai kuliahpun juga tidak masalah bagi kami. Oma minta tolong kepada kamu Ingga jadilah teman untuk Bagas, cuma kamu harapan Oma satu satunya untuk menolong cucu Oma,"nampak mata Oma mulai sedekit berkaca kaca.
Ku pandangi Oma, masih bingung untuk berbicara apa kepada beliau, lidah ini terasa kelu untuk berucap. Tapi untuk menghargai Oma aku hanya bisa mengangguk pelan kepalaku lalu tersenyum tipis kepada Oma. Untunglah Oma tidak terlalu menuntut jawaban dari bibir ini, beliau mungkin sudah cukup mengerti dengan melihat raut wajah terkejut dan bingung dari mukaku. Untuk beberapa menit terasa hening,semua terenyuh dalam pikiran masing masing.
"Ibu..mbak Selly silahkan di minum dulu dan di cicip kuenya," Mama mencoba memecah keheningan diantara kami. Oma dan asistennya mbak Selly menyeruput minuman dan memakan sedkit kue buatan Mama. Sesaat aku tau bahwa Mama dan Papa sempat melirikku sekilas, mereka tau aku pasti sangat kebingungan saat ini.
"Ahh baiklah mungkin ini saja yang ingin Ibu sampaikan kepada kalian, maaf sekali lagi kalau permintaan Ibu ini seperti mendadak dan membuat kalian menjadi tidak enak. Tapi Ibu merasa lebih baik, mencoba lebih dahulu daripada Ibu tidak berbuat apa apa sekarang."
"Ingga mungkin ini sangat sangat membuat kamu terkejut nak, tapi yakinlah ini bukan sesuatu yang buruk. Harapan Oma ada padamu, Oma percaya kamu bisa membuat keputusan yang baik. Boleh Oma minta nomor telepon mu nak? Kalau berkenan Oma akan memberikan nomor kamu kepada Bagas. Nanti izinkan Bagas meneleponmu untuk kalian bertemu di rumah Oma, boleh sayang?" Oma bertanya lembut dan penuh harap kepadaku.
Sekedar bertemu bukanlah hal yang sulit semestinya apalagi bertemu di rumah Oma. Namun belum tau kapan akan bertemu jantung ini sudah berdetak lebih cepat, entah mengapa rasa gugup menyeruak kembali, membayangkan akan bertemu dengan Bagas. Setelah menunggu beberapa saat aku memberanikan diri untuk berbicara, rasanya kalau hanya diam saja seperti tidak menghormati orang tua yang sedari tadi mengajakku berbicara.
" Baiklah Oma, Ingga terlebih dahulu akan memikirkan hal ini baik baik bersama Mama dan Papa tentunya."lalu aku memberikan nomor handphoneku kepada Oma.
Tak lama mereka berpamitan untuk segera pulang karena sudah menyampaikan hal yang ingin di sampaikan. Tidak lupa Oma memelukku sebelum beliau keluar pintu rumah. Ku lihat sopir pribadi Oma sudah menunggu di depan pagar rumah kami, Oma kembali menoleh kepadaku melempar senyum ramah dan melambaikan tangannya.
Setelah masuk dan mengunci pintu rumah, Mama,Papa dan Aku kembali duduk di sofa ruang tamu. Sudah terduga apa yang akan di bicarakan selanjutnya.
"Ingga..Papa tau permintaan Oma barusan hal yang membuat kita sama sama terkejut. Tidak pernah terbesit di pikiran kami bahwa Oma akan melamar kamu," Papa sedikit mengernyitkan dahinya.
"Walaupun dulu almarhum Kakekmu dan Opa Jun masih hidup tidak pernah ada pembahasan perjodohon baik untuk anak ataupun cucunya, mereka membebaskan anak anaknya untuk menuntukan pilihan hidup mereka."lanjut Papa berbicara.
" Namun Papa juga tidak tega dan merasa segan untuk langsung menolak permintaan Oma. Seperti hanya kamu yang bisa di harapkan menjadi menantu cucunya."
"Tapi..Papa juga tidak bisa menerima lamaran ini karena kamu saja masih kuliah, apabila nanti menikah pastilah sudah sibuk mengurus suami dan rumah karena Papa tau kamu ingin membangun bisnis property perumahan, Papa sangat mendukung impian kamu Ngga. Haahhh..kamu juga pikirkanlah perlahan saja lanjutkan saja tugasmu tadi." Papa berlalu dan masuk kamar kembali.
"Ngga..sudah jangan dipikirkan dulu, kalau kamu memang mau menolak biar Mama dan Papa saja nanti yang bicara sama Oma Lia." Mamapun berlalu kembali ke dapur melanjutkan pekerjaan yang terjeda tadi.
*Kembali ke Waktu SekarangPukul dua lewat empat puluh lima menit aku tiba di rumah, ku parkirkan mobil di depan pagar rumah, sengaja tidak ku masukkan ke dalam garasi karena setelah berganti pakaian akan ku gunakan lagi mobilku untuk menuju kerumah Oma.Setiba di dalam rumah ku lihat Mama sedang bersantai nonton televesi di ruang tengah. Ku dekatkan tubuh ini duduk di samping Mama."Ma tadi Mas Bagas menelepon, mengajak bertemu di rumah Oma jam tiga nanti." Aku memulai obrolan dengan Mama.Mama yang tadinya fokus menonton serial favoritnya,seketika menoleh ke arahku."Hahh, Bagas sendiri yang telepon kamu dan meminta bertemu?" Tanya Mama seperti tidak percaya."Iya Ma, Dia minta aku datang jam tiga nanti. Haruskah aku datang Ma?" Tanyaku kembali."Cobalah untuk datang, mungkin setelah kalian berbicara berdua, kamu bisa menetapkan keputusan. Lagi pula tidak ada salahnya untuk berteman dengan Bagas terlebih dahulu. Setau Mama Dia
Ku putuskan untuk memarkirkan mobil di bagian samping rumah ini, lalu turun menjinjing kue dan buah yang telah ku bawa. Belum sampai ke teras rumah, Oma Lia dan asisten rumah tangganya yang ku kenal bernama Bik Minah menyambutku."Sini sayang mari masuk, haduh kamu pasti capek ya berkendara kesini sendiri. Bagas ini mendadak sekali baru memberitahu Oma kalau kamu mau datang, tau begitu Oma suruh sopir Oma buat jemput kamu tadi.""Gak papa Oma, Ingga sudah biasa menyetir sendiri, apalagi jarak ke kampus lebih jauh dari ini. Ohya ini bingkisan dari Mama buat Oma," Aku memyerahkan kue ke Oma dan buah di ambil oleh Bik Minah."Ya ampun kenapa repot repot sekali sih kamu dan Mamamu pake bawain Oma oleh oleh seperti ini, ngerepotin jadinya kan sayang",Oma menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumahnya.Aku tersenyum ramah kepada Oma dan mengiringi langkah kaki Oma untuk masuk ke dalam rumah. Rumah ini sangat besar ada beberapa ruang tamu di dalam, k
Seorang pria bertubuh tinggi dan sedikit kurus memakai celana kaos panjang serta kaos polos putih perlahan menuruni tangga. Belum terlihat jelas wajahnya, dengan rambut hitam gondrong sedikit ikal yang terurai menutupi wajahnya. Ketika jarak kami hanya sekitar dua meter, sekarang cukup jelas terlihat wajahnya. Di tutupi dengan bulu bulu sepanjang pipi hingga dagu, dan juga kumis tipis yang kurang terawat. Tapi terlihat mata indahnya dengan bola mata coklat terang, bulu mata panjang dengan alis tersusun rapi melungkung simetris satu sama lain bahkan lebih rapi dari alisku.Hidung mancung serta bibir tipis yang agak sedikit pucat tidak mengurangi bahwa pria ini cukup tampan dengan penampilan sekarang. Mungkin bila bulu bulu yang memenuhi pipi ny di rapikan atau mencukur kumisnya, dia bahkan seperti pemeran utama pria di film T***nic. Sekilas dia memang mirip dengan Opa Jun, ya tak salah karena dia memang keturunannya.Oma menepuk bahuku, sedikit mengejutkan aku yang bena
Tiga hari berlalu, aku belum memutuskan kapan akan kembali kerumah Oma. Pulang dari rumah Oma kemarin aku menceritakan semua hal saat aku berkunjung kerumah Oma, ke Mama dan Papa yang kebetulan sudah pulang dari toko. Sebenarnya Papa agak keberatan, akan tetapi aku meyakinkan Papa apabila dalam waktu satu atau dua bulan tidak ada perubahan,maka aku akan berhenti sekaligus menolak lamaran dari Oma. Barulah Papa mengizinkan aku, meski masih nampak raut keraguan di wajahnya. Aku juga menceritakan hal ini kepada Uta, karena aku juga butuh saran darinya. "Ta, kalau nanti aku kerumah Oma, hal pertama yang harus aku lakukan untuk mendekati Mas Bagas kira kira apa ya?" Kami sedang istirahat makan siang di kantin kampus, aku memesan nasi soto ayam sedangkan Uta sedang melahap nasi ayam bakar. "Ehmmh, kenalan secara resmi mungkin," Jawab Uta setengah bercanda. "Utaaaaaa..",aku mencubit lengannya yang hendak memotong ayam. " Auuuuw, hahaha..oke oke hal pertama, setidaknya kamu harus cari tau
"Akhh..maaf Mas Bagas Ingga cuma ingin melihat permainan Monopoli ini rasanya sudah lama tidak melihat permainan ini", aku sedikit gugup sambil bergegas mengambil fragmen permainan Monopoli yang tidak sengaja ku jatuhkan. Aku takut kalau Mas Bagas marah karena aku lancang melihat mainannya secara dekat di tambah beberapa fragmennya jatuh ke lantai."Apa kamu mau bermain ini?",tunjuk Mas Bagas ke papan permainan Monopoli." Aku belum pernah bermain bersama orang lain kecuali dengan Mas Pram atau bik Minah",jelasnya singkat.Entah hatiku terasa sedikit sedih mendengar penjelasan Mas Bagas barusan, aku mengerti kenapa Mas Bagas hanya bisa bermain dengan kakaknya Mas Pram ataupun bik Minah karena kondisi traumatis yang dialaminya. Aku masih mematung di tempat aku menjatuhkan fragmen permainan Monopoli tadi, tanpa sadar Mas Bagas sudah membawa papan permainan ke meja lesehan yang berada di bawah jendela kaca besar. "Ehem..jadi mau bermain?”, suara berat Mas Bagas menyadarkan lamunanku."
Terlihat semua orang mengenakan busana serba hitam di rumah mewah ini, tak terkecuali akupun juga memakai gaun hitam selutut waktu itu. Saat itu umurku masih tujuh tahun ketika diajak ketempat duka, aku hanya menatap orang orang di sekelilingku bersedih, yang aku tahu orang yang telah tiada itu adalah teman almarhum kakekku. Beliau orang yang sangat baik begitu pun juga dengan istrinya yang biasa ku sapa Oma Lia. Ku lihat Oma Lia duduk dengan pandangan kosong menatap jenazah suaminya yang berada di depannnya. Selesai berdoa beberapa orang mulai mengangkat jenazah Opa Jun ketempat peristirahatan terakhirnya. Di sudut lain aku menangkap sosok anak laki laki mungkin lebih tua dariku, hanya melihat dari kejauhan tapi nampak jelas raut kesedihan dan bulir air mata yang jatuh ke pipinya. Dia seperti ingin mendekati kerumunan ini, tapi langkahnya selalu terhenti ketika ingin bergerak maju. Tak adakah yang sadar akan keberadaannya. Semakin jenazah Opa Jun menjauhi rumah, sosok anak
*Kejadian Dua Hari LaluAku sedang duduk di ruang tengah, mengerjakan tugas yang di berikan oleh dosen di kampus. Saat ini aku sudah memasuki semester empat jurusan teknik sipil, di salah satu perguruan tinggi dikotaku. Aku memang berniat masuk jurusan teknik sipil dimana sebagian besar di isi oleh kaum adam tersebut. Cita cita ku ingin membangun perumahan atau berbisnis property. Karena aku tahu bisnis tersebut cukup menghasilkan apalagi dengan jumlah penduduk yang bertambah banyak saat ini jadi kebutuhan tempat tinggal pun akan semakin naik.Tak lama ku dengar bel pintu berbunyi, ku lihat Mama masih asyik membereskan dapur setelah membuat beberepa kue. Mama memang biasa menerima pesanan kue dalam jumlah yang lumayan menurutku."Ingga, tolong lihat siapa tamu yang datang"ucap mama dari dapur. Aku meninggalkan sejenak tugas yang ku kerjakan. Lalu mengintip dari balik gorden siapa tamu gerangan, hah bukankah itu Oma Lia. Segera ku bukakan pintu rumah dan terlihat
"Akhh..maaf Mas Bagas Ingga cuma ingin melihat permainan Monopoli ini rasanya sudah lama tidak melihat permainan ini", aku sedikit gugup sambil bergegas mengambil fragmen permainan Monopoli yang tidak sengaja ku jatuhkan. Aku takut kalau Mas Bagas marah karena aku lancang melihat mainannya secara dekat di tambah beberapa fragmennya jatuh ke lantai."Apa kamu mau bermain ini?",tunjuk Mas Bagas ke papan permainan Monopoli." Aku belum pernah bermain bersama orang lain kecuali dengan Mas Pram atau bik Minah",jelasnya singkat.Entah hatiku terasa sedikit sedih mendengar penjelasan Mas Bagas barusan, aku mengerti kenapa Mas Bagas hanya bisa bermain dengan kakaknya Mas Pram ataupun bik Minah karena kondisi traumatis yang dialaminya. Aku masih mematung di tempat aku menjatuhkan fragmen permainan Monopoli tadi, tanpa sadar Mas Bagas sudah membawa papan permainan ke meja lesehan yang berada di bawah jendela kaca besar. "Ehem..jadi mau bermain?”, suara berat Mas Bagas menyadarkan lamunanku."
Tiga hari berlalu, aku belum memutuskan kapan akan kembali kerumah Oma. Pulang dari rumah Oma kemarin aku menceritakan semua hal saat aku berkunjung kerumah Oma, ke Mama dan Papa yang kebetulan sudah pulang dari toko. Sebenarnya Papa agak keberatan, akan tetapi aku meyakinkan Papa apabila dalam waktu satu atau dua bulan tidak ada perubahan,maka aku akan berhenti sekaligus menolak lamaran dari Oma. Barulah Papa mengizinkan aku, meski masih nampak raut keraguan di wajahnya. Aku juga menceritakan hal ini kepada Uta, karena aku juga butuh saran darinya. "Ta, kalau nanti aku kerumah Oma, hal pertama yang harus aku lakukan untuk mendekati Mas Bagas kira kira apa ya?" Kami sedang istirahat makan siang di kantin kampus, aku memesan nasi soto ayam sedangkan Uta sedang melahap nasi ayam bakar. "Ehmmh, kenalan secara resmi mungkin," Jawab Uta setengah bercanda. "Utaaaaaa..",aku mencubit lengannya yang hendak memotong ayam. " Auuuuw, hahaha..oke oke hal pertama, setidaknya kamu harus cari tau
Seorang pria bertubuh tinggi dan sedikit kurus memakai celana kaos panjang serta kaos polos putih perlahan menuruni tangga. Belum terlihat jelas wajahnya, dengan rambut hitam gondrong sedikit ikal yang terurai menutupi wajahnya. Ketika jarak kami hanya sekitar dua meter, sekarang cukup jelas terlihat wajahnya. Di tutupi dengan bulu bulu sepanjang pipi hingga dagu, dan juga kumis tipis yang kurang terawat. Tapi terlihat mata indahnya dengan bola mata coklat terang, bulu mata panjang dengan alis tersusun rapi melungkung simetris satu sama lain bahkan lebih rapi dari alisku.Hidung mancung serta bibir tipis yang agak sedikit pucat tidak mengurangi bahwa pria ini cukup tampan dengan penampilan sekarang. Mungkin bila bulu bulu yang memenuhi pipi ny di rapikan atau mencukur kumisnya, dia bahkan seperti pemeran utama pria di film T***nic. Sekilas dia memang mirip dengan Opa Jun, ya tak salah karena dia memang keturunannya.Oma menepuk bahuku, sedikit mengejutkan aku yang bena
Ku putuskan untuk memarkirkan mobil di bagian samping rumah ini, lalu turun menjinjing kue dan buah yang telah ku bawa. Belum sampai ke teras rumah, Oma Lia dan asisten rumah tangganya yang ku kenal bernama Bik Minah menyambutku."Sini sayang mari masuk, haduh kamu pasti capek ya berkendara kesini sendiri. Bagas ini mendadak sekali baru memberitahu Oma kalau kamu mau datang, tau begitu Oma suruh sopir Oma buat jemput kamu tadi.""Gak papa Oma, Ingga sudah biasa menyetir sendiri, apalagi jarak ke kampus lebih jauh dari ini. Ohya ini bingkisan dari Mama buat Oma," Aku memyerahkan kue ke Oma dan buah di ambil oleh Bik Minah."Ya ampun kenapa repot repot sekali sih kamu dan Mamamu pake bawain Oma oleh oleh seperti ini, ngerepotin jadinya kan sayang",Oma menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumahnya.Aku tersenyum ramah kepada Oma dan mengiringi langkah kaki Oma untuk masuk ke dalam rumah. Rumah ini sangat besar ada beberapa ruang tamu di dalam, k
*Kembali ke Waktu SekarangPukul dua lewat empat puluh lima menit aku tiba di rumah, ku parkirkan mobil di depan pagar rumah, sengaja tidak ku masukkan ke dalam garasi karena setelah berganti pakaian akan ku gunakan lagi mobilku untuk menuju kerumah Oma.Setiba di dalam rumah ku lihat Mama sedang bersantai nonton televesi di ruang tengah. Ku dekatkan tubuh ini duduk di samping Mama."Ma tadi Mas Bagas menelepon, mengajak bertemu di rumah Oma jam tiga nanti." Aku memulai obrolan dengan Mama.Mama yang tadinya fokus menonton serial favoritnya,seketika menoleh ke arahku."Hahh, Bagas sendiri yang telepon kamu dan meminta bertemu?" Tanya Mama seperti tidak percaya."Iya Ma, Dia minta aku datang jam tiga nanti. Haruskah aku datang Ma?" Tanyaku kembali."Cobalah untuk datang, mungkin setelah kalian berbicara berdua, kamu bisa menetapkan keputusan. Lagi pula tidak ada salahnya untuk berteman dengan Bagas terlebih dahulu. Setau Mama Dia
"Mungkin ini permintaan yang mengejutkan, tapi sebenarnya sudah sangat lama Oma, Danar dan Mutia membahas hal ini. Juga ada alasan khusus mengapa Oma meminta kamu Ingga untuk menjadi pasangan Bagas."lanjut Oma menjelaskan." Maaf Bu Lia tapi kenapa Ingga yang Bu Lia lamar sebagai calon Bagas? Bukan bermaksud menyinggung, akan tetapi masih banyak pilihan yang lebih baik dari anak saya Ingga Bu,"jawab Papa dengan penuh kesopanan."Ya, betul itu Bu, belum lagi Ingga ini masih kuliah Bu, jangankan berpikir untuk menikah, mengajak teman Laki laki spesial saja belum pernah,"sahut Mama.Oma menatap lembut kepada kami dan juga tersenyum tipis paham maksud perkataan Papa dan Mama. Tapi sepertinya beliau juga sudah memperkirakan kondisi seperti ini."Ya..Ibu paham maksud kalian nak Yuda dan juga Ines, tapi memang saat ini kondisi Bagas sangat prihatin, mungkin kalian berdua mengerti bagaimana kondisi Bagas pasca kejadian waktu dulu."mata Oma memandang jauh se
*Kejadian Dua Hari LaluAku sedang duduk di ruang tengah, mengerjakan tugas yang di berikan oleh dosen di kampus. Saat ini aku sudah memasuki semester empat jurusan teknik sipil, di salah satu perguruan tinggi dikotaku. Aku memang berniat masuk jurusan teknik sipil dimana sebagian besar di isi oleh kaum adam tersebut. Cita cita ku ingin membangun perumahan atau berbisnis property. Karena aku tahu bisnis tersebut cukup menghasilkan apalagi dengan jumlah penduduk yang bertambah banyak saat ini jadi kebutuhan tempat tinggal pun akan semakin naik.Tak lama ku dengar bel pintu berbunyi, ku lihat Mama masih asyik membereskan dapur setelah membuat beberepa kue. Mama memang biasa menerima pesanan kue dalam jumlah yang lumayan menurutku."Ingga, tolong lihat siapa tamu yang datang"ucap mama dari dapur. Aku meninggalkan sejenak tugas yang ku kerjakan. Lalu mengintip dari balik gorden siapa tamu gerangan, hah bukankah itu Oma Lia. Segera ku bukakan pintu rumah dan terlihat
Terlihat semua orang mengenakan busana serba hitam di rumah mewah ini, tak terkecuali akupun juga memakai gaun hitam selutut waktu itu. Saat itu umurku masih tujuh tahun ketika diajak ketempat duka, aku hanya menatap orang orang di sekelilingku bersedih, yang aku tahu orang yang telah tiada itu adalah teman almarhum kakekku. Beliau orang yang sangat baik begitu pun juga dengan istrinya yang biasa ku sapa Oma Lia. Ku lihat Oma Lia duduk dengan pandangan kosong menatap jenazah suaminya yang berada di depannnya. Selesai berdoa beberapa orang mulai mengangkat jenazah Opa Jun ketempat peristirahatan terakhirnya. Di sudut lain aku menangkap sosok anak laki laki mungkin lebih tua dariku, hanya melihat dari kejauhan tapi nampak jelas raut kesedihan dan bulir air mata yang jatuh ke pipinya. Dia seperti ingin mendekati kerumunan ini, tapi langkahnya selalu terhenti ketika ingin bergerak maju. Tak adakah yang sadar akan keberadaannya. Semakin jenazah Opa Jun menjauhi rumah, sosok anak