Terlihat semua orang mengenakan busana serba hitam di rumah mewah ini, tak terkecuali akupun juga memakai gaun hitam selutut waktu itu. Saat itu umurku masih tujuh tahun ketika diajak ketempat duka, aku hanya menatap orang orang di sekelilingku bersedih, yang aku tahu orang yang telah tiada itu adalah teman almarhum kakekku. Beliau orang yang sangat baik begitu pun juga dengan istrinya yang biasa ku sapa Oma Lia. Ku lihat Oma Lia duduk dengan pandangan kosong menatap jenazah suaminya yang berada di depannnya.
Selesai berdoa beberapa orang mulai mengangkat jenazah Opa Jun ketempat peristirahatan terakhirnya. Di sudut lain aku menangkap sosok anak laki laki mungkin lebih tua dariku, hanya melihat dari kejauhan tapi nampak jelas raut kesedihan dan bulir air mata yang jatuh ke pipinya. Dia seperti ingin mendekati kerumunan ini, tapi langkahnya selalu terhenti ketika ingin bergerak maju. Tak adakah yang sadar akan keberadaannya. Semakin jenazah Opa Jun menjauhi rumah, sosok anak laki laki itu semakin menangis menjadi jadi. Barulah ku lihat seorang wanita yang mungkin seumuran Mama saat ini memeluk dan menenangkan anak laki laki tersebut.
*
"Wooyyyy..sadar Ingg..ngelamun terus kamu daritadi aku perhatikan,"ucap Uta.
"Sudah tiga kali di panggil juga,"Uta menarik sedikit rambutku.
" Nihh tugas menggambar dari Pak Jul, minggu depan harus selesai, besok tugas dari Bu Ika juga harus di kumpul, aaarghhh pusing aku Ingg banyak banget tugas kita."
Ku lirik sahabatku Uta, cepat atau lambat aku harus menceritakan ini ke Uta pikirku. Aku sengaja bolos kuliah hari ini, rasanya belajar hanya menambah beban di otakku sekarang.
"Ingg, kamu tumben bolos matkul (mata kuliah) Pak Jul hari ini?” tanya Uta kepadaku.
" Lagi males aku tuh Ta, ada masalah yang buat aku malessss tau."
"Masalah apa sih Ingg, bisa kelesss kamu cerita sama akyuuuu,"jawab Uta dengan nada di manja manjakan.
" Sono beli bakso sama es teh dulu, aku laper nunggu kamu setengah hari di kantin, nanti aku cerita,"
"Okeeeehh,, pesanan seperti biasa",Uta menjauh dari meja dan memesan makanan favorit kami.
Aku menghela nafas dengan berat, entah darimana aku akan mulai cerita. Uta kembali ke meja yang aku duduki sedari pagi. Dia memandangi dan mengangkat kedua alis matanya dengan antusias, pertanda dia siap mendengar keluhku.
"Sebelum ke inti cerita, kamu harus diam jangan terkejut apalagi teriak seperti biasa, kalau tidak aku gak mau lanjut cerita ke kamu ya Ta,"terdengar sedikit ancaman dari bicaraku. Uta hanya mengangguk pasti.
" Aku akan menikah Ta,"ucapku pelan tapi penuh penekanan. Entah ucapanku yang terlalu pelan atau Uta yang kadang memang loadingnya sedikit lambat, aku pun merasa gugup menunggu respon dari sahabat ku ini. Per sekian detik berikutnya, ku lihat ekspresi Uta dengan mata melotot ke arahku. Seakan tau dia akan menjerit, aku segera menutup mulut Uta dengan tangan.
Uta menggenggam tanganku, menurunkan perlahan tanganku yang menutupi mulutnya, ku lihat raut mukanya yang meyakinkakn bahwa dia tidak akan heboh. Lalu Uta berbisik.
"Kamu seriusssss Ingg?atau kamu ngerjain aku nih seperti sebelumnya?"selidik Uta.
" Aku serius Ta, kamu tau sendiri aku paling jarang bolos kuliah apalagi matkul Pak Jul kan,"ku coba meyakinkan Uta.
Mang Ujang lalu datang membawakan pesanan bakso dan es teh yang di pesan Uta tadi.
"Nihhh bakso urat untuk neng Ingga dan bakso telurrrrr untuk neng Uta, kalau gak kenyang Mang Ujang ada nasi ya,"kelakar Mang Ujang seperti biasa. Kami hanya tersenyum dan berterima kasih kepadanya.
" Kok bisaaa Ingg?dengan siapa?kita kan masih kuliah Ingg,"Uta dengan cepat mencerca pertanyaan demi pertanyaan.
"Akkhh aku gak percaya, kamu pasti bohongkan Ingg?”Uta masih kekeh mengatakan kalau aku berbohong.
" Hufffht, jangankan kamu Ta, akupun masih gak percaya dengan lamaran ini,"ucapku lirih.
Aku menyentuh sendok garpu yang ada di mangkok bakso, tidak ku makan hanya memainkan mie yang ada di dalam mangkok. Uta masih menungguku untuk bercerita lebih lanjut.
"Sabtu kemarin aku di lamar, sebenarnya belum dapat keputusan dari aku Ta, cuma aku juga tidak bisa menolak langsung lamaran itu."
"Papa dan Mama juga menyerahkan semua keputusan di tanganku. Karena ini menyangkut hidupku sendiri."
"Kenapa gak kamu tolak langsung Ingg?terus siapa calonnya?" Tanya Uta penasaran.
"Aku tidak enak kalau harus langsung menolaknya Ta. Terpancar harapan di mata Oma ketika meminta aku menjadi menantu cucunya. Lagipula beliau meminta aku untuk bertemana dulu dengan cucunya. Tentang calonnya dia adalah cucu pemilik showroom mobil PT. Amelia Jaya Ta". Jawabku sedikit berbisik dan mendekatkan kepala ku ke arah mukanya, malu kalau terdengar anak anak yang nongkrong di kantin ini. Ku lihat Uta menutup mulutnya, raut mukanya tak kalah terkejut.
Handphoneku bergetar dan terdapat nomor asing di layarnya, hanya ada sebelas digit saja. Jarang sekali jaman sekarang orang menggunakan nomor seperti itu. Apakah ini nomor penipu seperti biasa atau hanya orang iseng saja pikirku. Tapi nomor yang berderet sangatlah cantik dan cukup mudah untuk di ingat. Yasudah coba saja ku angkat, kalaupun penipu akan langsung ku matikan.
"Ya, Halo,"ucapku tegas.
" Kamu Ingga kan?"terdengar suara berat seoarang pria di sebrang telepon.
"Ya betul, saya Ingga",ucapku singkat. Hening sesaat di sebrang telepon.
" Ini aku Bagas, Ngga,"jawaban dari sebrang telepon sontak membuatku kaget dan membuat jantung ini berpacu sedikit lebih cepat.
" Kamu pasti sudah dengar dari Oma, hari ini aku harap kita bisa bertemu dulu, bisa?"
"Emhhhh, bisa Mas, jam berapa?"entah kenapa aku menjawab pertanyaannya dengan cepat. Antara otakku yang tiba tiba blank atau karena gugup jadi aku menjawab tanpa berpikir dahulu.
"Jam tiga sore ini, tolong kerumahku saja. Maaf aku belum bisa untuk pergi keluar."ucapnya tenang namun ada sedikit getaran di nada biacaranya tadi.
" Oke, baik Mas." Telepon kami pun terputus setelah aku selesai berbicara.
"Wuihhhh mau ketemu calon nihhh," Uta mulai meledekku. Ku ambil sebuah pentol bakso lalu ku masukkan ke mulut Uta, agar dia tidak melanjutkan ledekkannya. Kami melanjutkan obrolan kami yang tertunda lalu berpamit pulang, hari sudah menunjukkan pukul satu siang. Aku harus segera pulang lalu bersiap siap untuk kerumah Oma Lia sekaligus tempat tinggal Mas Bagas.
*Kejadian Dua Hari LaluAku sedang duduk di ruang tengah, mengerjakan tugas yang di berikan oleh dosen di kampus. Saat ini aku sudah memasuki semester empat jurusan teknik sipil, di salah satu perguruan tinggi dikotaku. Aku memang berniat masuk jurusan teknik sipil dimana sebagian besar di isi oleh kaum adam tersebut. Cita cita ku ingin membangun perumahan atau berbisnis property. Karena aku tahu bisnis tersebut cukup menghasilkan apalagi dengan jumlah penduduk yang bertambah banyak saat ini jadi kebutuhan tempat tinggal pun akan semakin naik.Tak lama ku dengar bel pintu berbunyi, ku lihat Mama masih asyik membereskan dapur setelah membuat beberepa kue. Mama memang biasa menerima pesanan kue dalam jumlah yang lumayan menurutku."Ingga, tolong lihat siapa tamu yang datang"ucap mama dari dapur. Aku meninggalkan sejenak tugas yang ku kerjakan. Lalu mengintip dari balik gorden siapa tamu gerangan, hah bukankah itu Oma Lia. Segera ku bukakan pintu rumah dan terlihat
"Mungkin ini permintaan yang mengejutkan, tapi sebenarnya sudah sangat lama Oma, Danar dan Mutia membahas hal ini. Juga ada alasan khusus mengapa Oma meminta kamu Ingga untuk menjadi pasangan Bagas."lanjut Oma menjelaskan." Maaf Bu Lia tapi kenapa Ingga yang Bu Lia lamar sebagai calon Bagas? Bukan bermaksud menyinggung, akan tetapi masih banyak pilihan yang lebih baik dari anak saya Ingga Bu,"jawab Papa dengan penuh kesopanan."Ya, betul itu Bu, belum lagi Ingga ini masih kuliah Bu, jangankan berpikir untuk menikah, mengajak teman Laki laki spesial saja belum pernah,"sahut Mama.Oma menatap lembut kepada kami dan juga tersenyum tipis paham maksud perkataan Papa dan Mama. Tapi sepertinya beliau juga sudah memperkirakan kondisi seperti ini."Ya..Ibu paham maksud kalian nak Yuda dan juga Ines, tapi memang saat ini kondisi Bagas sangat prihatin, mungkin kalian berdua mengerti bagaimana kondisi Bagas pasca kejadian waktu dulu."mata Oma memandang jauh se
*Kembali ke Waktu SekarangPukul dua lewat empat puluh lima menit aku tiba di rumah, ku parkirkan mobil di depan pagar rumah, sengaja tidak ku masukkan ke dalam garasi karena setelah berganti pakaian akan ku gunakan lagi mobilku untuk menuju kerumah Oma.Setiba di dalam rumah ku lihat Mama sedang bersantai nonton televesi di ruang tengah. Ku dekatkan tubuh ini duduk di samping Mama."Ma tadi Mas Bagas menelepon, mengajak bertemu di rumah Oma jam tiga nanti." Aku memulai obrolan dengan Mama.Mama yang tadinya fokus menonton serial favoritnya,seketika menoleh ke arahku."Hahh, Bagas sendiri yang telepon kamu dan meminta bertemu?" Tanya Mama seperti tidak percaya."Iya Ma, Dia minta aku datang jam tiga nanti. Haruskah aku datang Ma?" Tanyaku kembali."Cobalah untuk datang, mungkin setelah kalian berbicara berdua, kamu bisa menetapkan keputusan. Lagi pula tidak ada salahnya untuk berteman dengan Bagas terlebih dahulu. Setau Mama Dia
Ku putuskan untuk memarkirkan mobil di bagian samping rumah ini, lalu turun menjinjing kue dan buah yang telah ku bawa. Belum sampai ke teras rumah, Oma Lia dan asisten rumah tangganya yang ku kenal bernama Bik Minah menyambutku."Sini sayang mari masuk, haduh kamu pasti capek ya berkendara kesini sendiri. Bagas ini mendadak sekali baru memberitahu Oma kalau kamu mau datang, tau begitu Oma suruh sopir Oma buat jemput kamu tadi.""Gak papa Oma, Ingga sudah biasa menyetir sendiri, apalagi jarak ke kampus lebih jauh dari ini. Ohya ini bingkisan dari Mama buat Oma," Aku memyerahkan kue ke Oma dan buah di ambil oleh Bik Minah."Ya ampun kenapa repot repot sekali sih kamu dan Mamamu pake bawain Oma oleh oleh seperti ini, ngerepotin jadinya kan sayang",Oma menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumahnya.Aku tersenyum ramah kepada Oma dan mengiringi langkah kaki Oma untuk masuk ke dalam rumah. Rumah ini sangat besar ada beberapa ruang tamu di dalam, k
Seorang pria bertubuh tinggi dan sedikit kurus memakai celana kaos panjang serta kaos polos putih perlahan menuruni tangga. Belum terlihat jelas wajahnya, dengan rambut hitam gondrong sedikit ikal yang terurai menutupi wajahnya. Ketika jarak kami hanya sekitar dua meter, sekarang cukup jelas terlihat wajahnya. Di tutupi dengan bulu bulu sepanjang pipi hingga dagu, dan juga kumis tipis yang kurang terawat. Tapi terlihat mata indahnya dengan bola mata coklat terang, bulu mata panjang dengan alis tersusun rapi melungkung simetris satu sama lain bahkan lebih rapi dari alisku.Hidung mancung serta bibir tipis yang agak sedikit pucat tidak mengurangi bahwa pria ini cukup tampan dengan penampilan sekarang. Mungkin bila bulu bulu yang memenuhi pipi ny di rapikan atau mencukur kumisnya, dia bahkan seperti pemeran utama pria di film T***nic. Sekilas dia memang mirip dengan Opa Jun, ya tak salah karena dia memang keturunannya.Oma menepuk bahuku, sedikit mengejutkan aku yang bena
Tiga hari berlalu, aku belum memutuskan kapan akan kembali kerumah Oma. Pulang dari rumah Oma kemarin aku menceritakan semua hal saat aku berkunjung kerumah Oma, ke Mama dan Papa yang kebetulan sudah pulang dari toko. Sebenarnya Papa agak keberatan, akan tetapi aku meyakinkan Papa apabila dalam waktu satu atau dua bulan tidak ada perubahan,maka aku akan berhenti sekaligus menolak lamaran dari Oma. Barulah Papa mengizinkan aku, meski masih nampak raut keraguan di wajahnya. Aku juga menceritakan hal ini kepada Uta, karena aku juga butuh saran darinya. "Ta, kalau nanti aku kerumah Oma, hal pertama yang harus aku lakukan untuk mendekati Mas Bagas kira kira apa ya?" Kami sedang istirahat makan siang di kantin kampus, aku memesan nasi soto ayam sedangkan Uta sedang melahap nasi ayam bakar. "Ehmmh, kenalan secara resmi mungkin," Jawab Uta setengah bercanda. "Utaaaaaa..",aku mencubit lengannya yang hendak memotong ayam. " Auuuuw, hahaha..oke oke hal pertama, setidaknya kamu harus cari tau
"Akhh..maaf Mas Bagas Ingga cuma ingin melihat permainan Monopoli ini rasanya sudah lama tidak melihat permainan ini", aku sedikit gugup sambil bergegas mengambil fragmen permainan Monopoli yang tidak sengaja ku jatuhkan. Aku takut kalau Mas Bagas marah karena aku lancang melihat mainannya secara dekat di tambah beberapa fragmennya jatuh ke lantai."Apa kamu mau bermain ini?",tunjuk Mas Bagas ke papan permainan Monopoli." Aku belum pernah bermain bersama orang lain kecuali dengan Mas Pram atau bik Minah",jelasnya singkat.Entah hatiku terasa sedikit sedih mendengar penjelasan Mas Bagas barusan, aku mengerti kenapa Mas Bagas hanya bisa bermain dengan kakaknya Mas Pram ataupun bik Minah karena kondisi traumatis yang dialaminya. Aku masih mematung di tempat aku menjatuhkan fragmen permainan Monopoli tadi, tanpa sadar Mas Bagas sudah membawa papan permainan ke meja lesehan yang berada di bawah jendela kaca besar. "Ehem..jadi mau bermain?”, suara berat Mas Bagas menyadarkan lamunanku."
"Akhh..maaf Mas Bagas Ingga cuma ingin melihat permainan Monopoli ini rasanya sudah lama tidak melihat permainan ini", aku sedikit gugup sambil bergegas mengambil fragmen permainan Monopoli yang tidak sengaja ku jatuhkan. Aku takut kalau Mas Bagas marah karena aku lancang melihat mainannya secara dekat di tambah beberapa fragmennya jatuh ke lantai."Apa kamu mau bermain ini?",tunjuk Mas Bagas ke papan permainan Monopoli." Aku belum pernah bermain bersama orang lain kecuali dengan Mas Pram atau bik Minah",jelasnya singkat.Entah hatiku terasa sedikit sedih mendengar penjelasan Mas Bagas barusan, aku mengerti kenapa Mas Bagas hanya bisa bermain dengan kakaknya Mas Pram ataupun bik Minah karena kondisi traumatis yang dialaminya. Aku masih mematung di tempat aku menjatuhkan fragmen permainan Monopoli tadi, tanpa sadar Mas Bagas sudah membawa papan permainan ke meja lesehan yang berada di bawah jendela kaca besar. "Ehem..jadi mau bermain?”, suara berat Mas Bagas menyadarkan lamunanku."
Tiga hari berlalu, aku belum memutuskan kapan akan kembali kerumah Oma. Pulang dari rumah Oma kemarin aku menceritakan semua hal saat aku berkunjung kerumah Oma, ke Mama dan Papa yang kebetulan sudah pulang dari toko. Sebenarnya Papa agak keberatan, akan tetapi aku meyakinkan Papa apabila dalam waktu satu atau dua bulan tidak ada perubahan,maka aku akan berhenti sekaligus menolak lamaran dari Oma. Barulah Papa mengizinkan aku, meski masih nampak raut keraguan di wajahnya. Aku juga menceritakan hal ini kepada Uta, karena aku juga butuh saran darinya. "Ta, kalau nanti aku kerumah Oma, hal pertama yang harus aku lakukan untuk mendekati Mas Bagas kira kira apa ya?" Kami sedang istirahat makan siang di kantin kampus, aku memesan nasi soto ayam sedangkan Uta sedang melahap nasi ayam bakar. "Ehmmh, kenalan secara resmi mungkin," Jawab Uta setengah bercanda. "Utaaaaaa..",aku mencubit lengannya yang hendak memotong ayam. " Auuuuw, hahaha..oke oke hal pertama, setidaknya kamu harus cari tau
Seorang pria bertubuh tinggi dan sedikit kurus memakai celana kaos panjang serta kaos polos putih perlahan menuruni tangga. Belum terlihat jelas wajahnya, dengan rambut hitam gondrong sedikit ikal yang terurai menutupi wajahnya. Ketika jarak kami hanya sekitar dua meter, sekarang cukup jelas terlihat wajahnya. Di tutupi dengan bulu bulu sepanjang pipi hingga dagu, dan juga kumis tipis yang kurang terawat. Tapi terlihat mata indahnya dengan bola mata coklat terang, bulu mata panjang dengan alis tersusun rapi melungkung simetris satu sama lain bahkan lebih rapi dari alisku.Hidung mancung serta bibir tipis yang agak sedikit pucat tidak mengurangi bahwa pria ini cukup tampan dengan penampilan sekarang. Mungkin bila bulu bulu yang memenuhi pipi ny di rapikan atau mencukur kumisnya, dia bahkan seperti pemeran utama pria di film T***nic. Sekilas dia memang mirip dengan Opa Jun, ya tak salah karena dia memang keturunannya.Oma menepuk bahuku, sedikit mengejutkan aku yang bena
Ku putuskan untuk memarkirkan mobil di bagian samping rumah ini, lalu turun menjinjing kue dan buah yang telah ku bawa. Belum sampai ke teras rumah, Oma Lia dan asisten rumah tangganya yang ku kenal bernama Bik Minah menyambutku."Sini sayang mari masuk, haduh kamu pasti capek ya berkendara kesini sendiri. Bagas ini mendadak sekali baru memberitahu Oma kalau kamu mau datang, tau begitu Oma suruh sopir Oma buat jemput kamu tadi.""Gak papa Oma, Ingga sudah biasa menyetir sendiri, apalagi jarak ke kampus lebih jauh dari ini. Ohya ini bingkisan dari Mama buat Oma," Aku memyerahkan kue ke Oma dan buah di ambil oleh Bik Minah."Ya ampun kenapa repot repot sekali sih kamu dan Mamamu pake bawain Oma oleh oleh seperti ini, ngerepotin jadinya kan sayang",Oma menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumahnya.Aku tersenyum ramah kepada Oma dan mengiringi langkah kaki Oma untuk masuk ke dalam rumah. Rumah ini sangat besar ada beberapa ruang tamu di dalam, k
*Kembali ke Waktu SekarangPukul dua lewat empat puluh lima menit aku tiba di rumah, ku parkirkan mobil di depan pagar rumah, sengaja tidak ku masukkan ke dalam garasi karena setelah berganti pakaian akan ku gunakan lagi mobilku untuk menuju kerumah Oma.Setiba di dalam rumah ku lihat Mama sedang bersantai nonton televesi di ruang tengah. Ku dekatkan tubuh ini duduk di samping Mama."Ma tadi Mas Bagas menelepon, mengajak bertemu di rumah Oma jam tiga nanti." Aku memulai obrolan dengan Mama.Mama yang tadinya fokus menonton serial favoritnya,seketika menoleh ke arahku."Hahh, Bagas sendiri yang telepon kamu dan meminta bertemu?" Tanya Mama seperti tidak percaya."Iya Ma, Dia minta aku datang jam tiga nanti. Haruskah aku datang Ma?" Tanyaku kembali."Cobalah untuk datang, mungkin setelah kalian berbicara berdua, kamu bisa menetapkan keputusan. Lagi pula tidak ada salahnya untuk berteman dengan Bagas terlebih dahulu. Setau Mama Dia
"Mungkin ini permintaan yang mengejutkan, tapi sebenarnya sudah sangat lama Oma, Danar dan Mutia membahas hal ini. Juga ada alasan khusus mengapa Oma meminta kamu Ingga untuk menjadi pasangan Bagas."lanjut Oma menjelaskan." Maaf Bu Lia tapi kenapa Ingga yang Bu Lia lamar sebagai calon Bagas? Bukan bermaksud menyinggung, akan tetapi masih banyak pilihan yang lebih baik dari anak saya Ingga Bu,"jawab Papa dengan penuh kesopanan."Ya, betul itu Bu, belum lagi Ingga ini masih kuliah Bu, jangankan berpikir untuk menikah, mengajak teman Laki laki spesial saja belum pernah,"sahut Mama.Oma menatap lembut kepada kami dan juga tersenyum tipis paham maksud perkataan Papa dan Mama. Tapi sepertinya beliau juga sudah memperkirakan kondisi seperti ini."Ya..Ibu paham maksud kalian nak Yuda dan juga Ines, tapi memang saat ini kondisi Bagas sangat prihatin, mungkin kalian berdua mengerti bagaimana kondisi Bagas pasca kejadian waktu dulu."mata Oma memandang jauh se
*Kejadian Dua Hari LaluAku sedang duduk di ruang tengah, mengerjakan tugas yang di berikan oleh dosen di kampus. Saat ini aku sudah memasuki semester empat jurusan teknik sipil, di salah satu perguruan tinggi dikotaku. Aku memang berniat masuk jurusan teknik sipil dimana sebagian besar di isi oleh kaum adam tersebut. Cita cita ku ingin membangun perumahan atau berbisnis property. Karena aku tahu bisnis tersebut cukup menghasilkan apalagi dengan jumlah penduduk yang bertambah banyak saat ini jadi kebutuhan tempat tinggal pun akan semakin naik.Tak lama ku dengar bel pintu berbunyi, ku lihat Mama masih asyik membereskan dapur setelah membuat beberepa kue. Mama memang biasa menerima pesanan kue dalam jumlah yang lumayan menurutku."Ingga, tolong lihat siapa tamu yang datang"ucap mama dari dapur. Aku meninggalkan sejenak tugas yang ku kerjakan. Lalu mengintip dari balik gorden siapa tamu gerangan, hah bukankah itu Oma Lia. Segera ku bukakan pintu rumah dan terlihat
Terlihat semua orang mengenakan busana serba hitam di rumah mewah ini, tak terkecuali akupun juga memakai gaun hitam selutut waktu itu. Saat itu umurku masih tujuh tahun ketika diajak ketempat duka, aku hanya menatap orang orang di sekelilingku bersedih, yang aku tahu orang yang telah tiada itu adalah teman almarhum kakekku. Beliau orang yang sangat baik begitu pun juga dengan istrinya yang biasa ku sapa Oma Lia. Ku lihat Oma Lia duduk dengan pandangan kosong menatap jenazah suaminya yang berada di depannnya. Selesai berdoa beberapa orang mulai mengangkat jenazah Opa Jun ketempat peristirahatan terakhirnya. Di sudut lain aku menangkap sosok anak laki laki mungkin lebih tua dariku, hanya melihat dari kejauhan tapi nampak jelas raut kesedihan dan bulir air mata yang jatuh ke pipinya. Dia seperti ingin mendekati kerumunan ini, tapi langkahnya selalu terhenti ketika ingin bergerak maju. Tak adakah yang sadar akan keberadaannya. Semakin jenazah Opa Jun menjauhi rumah, sosok anak