Dunia Dea seperti meledak seketika.
“Ibu!” teriaknya, matanya melebar karena amarah yang tak bisa ia tahan lagi.
"Uang apa?" Jean merasa bingung, tapi sebelum situasi semakin buruk, Jean segera menarik tangannya. “Ayo pergi,” bisiknya tegas.
Dea masih terengah-engah karena kemarahannya, tapi ia tidak melawan saat Jean menyeretnya keluar dari ruang tunggu, menjauh dari tatapan tajam ibunya dan adiknya.
Mereka berjalan cepat melewati lorong rumah sakit, lalu tiba di kantin. Jean akhirnya melepaskan genggamannya, lalu menatap Dea dalam-dalam.
“Duduk,” perintahnya lembut.
Dea menurut. Ia baru menyadari betapa lelahnya ia. Betapa sesaknya dadanya. Betapa semuanya terasa begitu… menyakitkan.
Tiba-tiba dalam pikirannya terlintas saat Yama duduk bersama di kantin yang sama dan pria itu berakhir di ranjang rumah sakit karena alergi
Dea menoleh perlahan. Mata mereka bertemu. Dalam sorot mata Jean, Dea bisa melihat sesuatu yang tidak ia temukan di mata keluarganya.Kepercayaan. Kepedulian yang dalam. Seorang sahabat yang tulus.Tanpa kata, ia mengangguk.Jean tersenyum kecil dan menepuk tangannya, lalu menginjak pedal gas. Mobil melaju, menjauh dari rumah sakit. Menjauh dari semua luka yang ada di sana.Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Dea merasa ia bisa… bernapas. Tubuhya terasa sakit, lemas seperti kekurangan tenaga, tapi hatinya lebih sakit.Mobil Jean melaju di jalanan yang lengang. Hanya suara deru mesin yang terdengar di antara mereka. Dea menatap keluar jendela, matanya menerawang jauh.Jean tidak berkata apa-apa, hanya sesekali melirik sahabatnya yang masih terlihat tegang.Saat mereka tiba di rumah Jean, suasana terasa lebih tenang. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi
Tangis Dea pecah dalam pelukan Jean. Tidak ada lagi upaya menahan diri. Tidak ada lagi kepura-puraan untuk kuat.Jean hanya mendekapnya lebih erat, membiarkan sahabatnya meluapkan semua emosi yang selama ini ia pendam. Isakan Dea terdengar memilukan, seperti seseorang yang telah terlalu lama menahan luka tanpa bisa menyembuhkannya."Lalu apa yang terjadi pada Steven? Mereka tidak pernah mencari masalah lagi?"Dea menggeleng, "aku juga tidak tahu. Mereka hanya pernah sekali muncul di rumahku, tetapi aku belum membayar apa pun. Mungkin mereka masih akan mencari masalah di masa depan, tapi siapa yang tahu... aku, sangat pusing memikirkan segala kemungkinannya."Dea menghapus air mata dengan punggung tangan lalu melanjutkan kalimatnya, "Aku memang tidak berencana lebih terlibat dengan Yama, tetapi uang ini membuat hatiku sakit, terdengar seperti menjual diri, bukan?" isak tangis Dea.
Setelah makan dan mandi, Dea merasa tubuhnya sedikit lebih segar, meskipun pikirannya masih penuh dengan kekhawatiran. Namun, kelelahan akhirnya mengalahkannya.Begitu ia berbaring di ranjang tamu rumah Jean, matanya perlahan terpejam, membiarkan dirinya tenggelam dalam tidur yang jarang ia dapatkan dengan tenang.Sementara itu, Jean melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Begitu sampai, ia langsung menuju ruang tempat ayah Dea dirawat. Ia mengabaikan ibu dan adik Dea. Berdiri agak jauh untuk memantau kondisi terbaru.Saat, ia melihat seorang dokter keluar dari ruangan itu, lalu ia buru-buru menghampiri mereka, lebih mendekat untuk mendengar.“Dokter, bagaimana kondisi suami saya?” tanya Ibu Dea dengan nada penuh harap.Dokter itu tersenyum tipis. “Operasi berjalan sukses. Tapi beliau masih belum sadar. Kami akan terus memantau kondisinya dalam beberapa jam ke depan. Pastikan
“Saya selalu berada di ruang tunggu Hotel. Setahuku, nggak ada yang lihat dia keluar,” jawab Bob. “Tapi aku bisa tanya ke resepsionis untuk memeriksa CCTV kalau Anda mau.”Yama menghembuskan napas panjang. “Tidak perlu. Aku akan cari sendiri.”Ia menekan panggilan dan melirik ponselnya lagi, baru menyadari deretan panggilan tak terjawab dari neneknya. Puluhan panggilan.Dada Yama mulai terasa sesak. Ada apa ini? Jika neneknya sampai menelepon sebanyak ini, berarti ada sesuatu yang sangat penting. Atau lebih buruk lagi—ada sesuatu yang telah terjadi di belakangnya.Neneknya tidak akan berhenti mengomel bila dia tidak menanggapi lebih cepat.Tanpa membuang waktu, ia bangkit dari ranjang dan mengenakan pakaiannya dengan cepat.Di perjalanan menuju rumah, pikirannya terus dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Ke mana Dea perg
"Lihat saja nanti, aku tidak pernah setuju untuk menikah dengan Meisya," sahut Yama dengan wajah dingin dan suara ketus lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan Nenek.Neneknya hanya menghela napas kecil, lalu menggumam pelan, “Kita lihat saja seberapa jauh kau akan mengejarnya.”"Nenek pernah menyingkirkan Ibumu, wanita yang kebetulan mirip wajahnya itu hanya seekor semut bagiku," gumam Nenek seraya tersenyum kecil lalu mengangkat cangkir teh miliknya dan menyesapnya pelan-pelan.Yama kembali ke mobilnya, jari-jarinya mengepal kuat di atas kemudi.Dea menerima uang itu? Itu mustahil. Tapi kalau tidak, kenapa dia pergi? Pikirannya berantakan. Ia harus menemukannya.Ia meraih ponselnya dan mencoba menelepon Dea lagi, tapi tetap tidak ada jawaban. “Brengsek,” umpatnya.Dia melajukan mobilnya menuju rumah Dea, tetapi rumah itu kosong. Tidak tampak bayangan seseorang pun. Yama tidak tahu bahwa mereka semua berada di rumah sakit.Dengan kesal, Yama meraih ponsel untuk menghubungi Bob."Apa
Nada suara Jean berubah serius. Di seberang sana, ibunya terdengar sedikit terkejut. "Tentu saja, Jean. Ada apa?"Jean menggigit bibirnya sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara, "Aku butuh uang, Bu. Bisa pinjamkan aku?""Uang? Berapa, sayang?"Jean menarik napas dalam-dalam. "Satu miliar."Sejenak, keheningan menyelimuti pembicaraan mereka. Jean bisa membayangkan ekspresi terkejut di wajah ibunya saat ini."Satu miliar? Jean, itu jumlah yang sangat besar!" Ibunya berseru, terdengar jelas kebingungan dalam suaranya. "Untuk apa sebanyak itu? Apakah kamu sedang terlibat sesuatu yang sangat besar?""Hanya pinjam, Bu. Aku bukan meminta. Kalau tidak bisa, ya sudah," ujar Jean tegas, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.Ibunya terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Jean... Kamu tahu, ibu selalu ing
Pria itu tinggi dan mengenakan jaket coklat. Memakai kacamata tebal dan rambutnya sedikit berantakan, tetapi wajahnya menyiratkan ketegasan yang sulit diabaikan.Jean mengerutkan kening. Ia tidak mengenalnya, tetapi firasatnya mengatakan bahwa pria ini bukan sekadar orang biasa yang kebetulan lewat.Sedikit mencurigakan.Di sisi lain, Bob—juga tengah mengamati Jean. Ia datang ke tempat ini berdasarkan informasi yang diberikan oleh detektif khusus yang ia sewa. Sesuai perintah Yama, ia harus turun tangan langsung mencari keberadaan Dea.Bob melangkah mendekat dengan sikap waspada. Jean sudah berada di anak tangga paling bawah, tinggal satu langkah lagi, tetapi Bob menghalangi jalannya.Saat ini, dia berhadapan dengan Bob sehingga tubuh mereka hampir sama tinggi."Permisi, apakah Anda mengenal seseorang bernama Dea?"Jean sedikit terkejut, degup jantungnya mulai tidak beratur
Jean membelalakkan mata. Tubuhnya kaku di tempat, sementara Bob tetap menahan tengkuk lehernya agar tidak bisa bergerak. Rasa panas merambat ke wajahnya, antara amarah dan keterkejutan."Sial!" Itu adalah ciuman pertama baginya.Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu sebelum akhirnya Jean berhasil mendorong Bob dengan sekuat tenaga."Kau-kau gila!" teriaknya dengan wajah merah padam. Menaikkan tangannya untuk menampar Bob, tetapi tangannya malah di tahan pria itu.Bob hanya tertawa kecil, sementara Jean menatapnya dengan tatapan membunuh. Ini benar-benar awal yang buruk antara mereka berdua.Jean menatap tajam ke arah pria di depannya, napasnya masih tersengal akibat insiden sebelumnya. Dengan penuh amarah, ia bertanya, "Kau siapa?"Bob menghela napas, lalu merapikan jaketnya yang sedikit kusut. Wajahnya masih sedikit memerah akibat kejadian seb
Di dalam kamar hotel yang mewah dengan lampu redup, Meisya duduk di atas sofa berlapis beludru berwarna lembut. Jemarinya yang ramping menggulung layar ponsel berisi setumpuk foto yang baru saja dikirimkan kepadanya. Bibirnya menipis, matanya menyipit menatap gambar-gambar itu.Dea tampak tersenyum di salah satu foto, duduk berdampingan dengan Sanjaya di sebuah kafe. Di foto lain, pria itu terlihat menatapnya dengan intensitas yang sulit diartikan. Meisya menggigit bibirnya, menahan amarah yang mendidih di dadanya. "Tatapan penuh cinta! Menggelikan pria munafik ini!"Dalam foto lain, Sanjaya terlihat sedang menikmati makanannya dengan Dea di kursi rumah sakit. Sebuah pemandangan yang menunjukkan keakraban mereka dalam berbagi moment kebersamaan, tetapi Meisya tidak merasa tertarik sama sekali."Cih! Foto yang membuang uang!" geram Meisya.Dia sangat kesal karena Yama tetap saja memikirkan Dea, meskipun ia telah me
Namun, secepat kilat, Dea melangkah mundur, kedua matanya melebar lalu berlari menjauh. “Aku bau sekali! Dan kau gila!” serunya tanpa menoleh lagi.Yama hanya bisa terpaku, menatap punggung Dea yang semakin menjauh, meninggalkannya dengan seribu pertanyaan yang belum terjawab. Yama bertempur dengan perasaannya sendiri, dia sangat membenci wanita itu sekaligus ingin menciumnya. "Ya, dia memang bau sekali saat ini, bau kuda! Tetapi aku benar-benar ingin menciumnya!" geram Yama dengan kedua mata mulai memerah bercampur amarah.“Bob!” panggilnya tiba-tiba.Asistennya yang selalu sigap itu segera menghampiri. “Ya, Tuan!”“Saya mengerti dan akan segera pergi mengikutinya untuk mencari tahu semua data!” kata Bob dengan penuh semangat.Yama sedikit terkejut. Menoleh, menatap Bob tanpa berkedip. Biasanya, ia harus memberi perintah lebih jelas,
Pagi di London masih diselimuti kabut tipis ketika Yama menatap ponselnya dengan wajah dingin. Sejauh ini, Bob belum mendapatkan kabar apa pun tentang Dea. Setiap upaya untuk melacak keberadaannya di Inggris selalu menemui jalan buntu. Sepertinya nenek telah menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi mereka mendapatkan informasi. Untuk saat ini, Yama memutuskan untuk fokus penuh pada proyek yang ditugaskan kepadanya.“Masih tidak ada kabar?” Yama bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela suite hotelnya.Bob menggeleng. “Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi tidak ada satu pun petunjuk. Sepertinya seseorang telah menutupi semua jejaknya dengan sangat rapi.”Yama menghela napas panjang, lalu merapikan dasinya. “Kalau begitu, kita mainkan dulu permainan ini sesuai aturan mereka.”Sesaat kemudian, Yama tiba di lapangan polo kerajaan dengan penuh persiapan. Ia mengenakan
{Laporkan bahwa kartu itu hilang dan lakukan pencarian terhadap tersangka pencurian kartu.}Beberapa menit kemudian, perintah itu dijalankan. Dea masih berdiri di depan meja kasir saat membayar biaya tambahan untuk ayahnya. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara mesin EDC yang berbunyi nyaring."Maaf, kartu Anda ditolak," ujar petugas administrasi dengan ekspresi meminta maaf dan wajah penuh kecurigaan."Apa? Itu tidak mungkin," gumam Dea panik. Dia mengeluarkan kartu itu lagi dan mencobanya sekali lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Kartu itu tidak dapat digunakan.Panik mulai menjalari tubuhnya. Dia mencoba menghubungi Meisya, tetapi jawaban dari mesin penjawab membuatnya semakin putus asa.Di saat yang sama, Meisya sedang berada di dalam pesawat ekonomi dan sedang berhadapan dengan beberapa hal yang membuatnya ingin muntah setiap saat."Maaf, Nona. Kartu ini telah dila
Wanita itu bahkan membuang benihnya dengan menelan obat kontrasepsi, serendah itukah moralnya sebagai seorang wanita? Sejijik itukah dia untuk memiliki bayi bersamanya?Yama mendengus dan mengepalkan tangannya erat-erat! Sklera merah pada matanya membuat sorotan tatapannya tajam seperti elang yang hendak membunuh mangsanya. Dia membenci Dea!Setibanya di hotel, Yama langsung masuk ke suite mewahnya tanpa banyak bicara. Ia membuka laptop dan mulai membaca laporan-laporan yang dikirimkan Bob satu hari sebelumnya. Sementara Bob mengekori langkah majikannya sambil berulang kali meniup tangan dan menempelkannya ke telinga untuk mengatasi dengung akibat jetflag yang ia alami dalam setiap penerbangan.Setiap detail tentang proyek ini telah dipersiapkan dengan matang. Da membaca ulang daftar tamu yang akan menghadiri pesta kerajaan. Ada beberapa nama yang menarik perhatiannya—tokoh bisnis, politisi, serta anggota keluarga kerajaan
Bob tidak tahan lagi. Dengan cepat, ia melangkah maju, menarik Jean dari genggaman Ayah tirinya."Hei, kau siapa? Sekuriti!" teriak Ayah tiri Jean mulai marah."Aku pacarnya," kata Bob dengan nada tegas. "Dan kamu hanya ayah tirinya. Kamu tidak punya hak mengurusnya!"Semua orang di ruangan itu terkejut. Termasuk Jean yang kini berada dalam pelukan Bob."Ada apa ini?" Ibu Jean datang menghampiri mereka dan sedikit terkejut melihat keberadaan Bob dalam pesta mereka, "hei, bagaimana kamu bisa masuk kemari?"Ayah tiri Jean menyipitkan mata. "Apa maksudmu? Panggil sekuriti, lepaskan putriku!"Bob menarik napas dalam sebelum mengucapkan kalimat yang membuat ruangan membeku."Kami bahkan sudah tinggal bersama. Kita akan menikah dalam waktu dekat! Jean milikku! Dia bukan putri kecil milikmu lagi, mengerti!? "Suasana mendadak hening.
"Siapkan semua dokumen yang diperlukan untuk perjalanan ke Inggris. Aku ingin kita berangkat dalam tiga hari. Selain itu, selidiki bagaimana cara mendapatkan perhatian dari sang Pangeran dan Ratu. Kita tidak bisa datang begitu saja dan berharap mereka tertarik dengan proyek kita. Kita harus mencari cara yang lebih cerdas."Bob mengangguk, mencatat perintah itu dalam kepalanya. "Baik, Tuan. Saya akan segera menghubungi beberapa kontak di sana dan mencari tahu informasi lebih lanjut.""Bagus. Dan satu hal lagi, pastikan kita mendapatkan akses ke pesta perayaan yang diadakan oleh sang Ratu. Itu akan menjadi langkah pertama kita."Bob tersenyum kecil. "Saya mengerti, Tuan. Saya akan memastikan undangan itu ada di tangan Anda sebelum keberangkatan kita."Namun sebelum Bob keluar ruangan, ia tampak ragu sejenak. Yama yang peka terhadap perubahan ekspresi orang-orang di sekitarnya segera menyadarinya.
Yama masih menatap Neneknya. Dia tidak percaya sepenuhnya karena dia mengenal kedua wanita beda generasi itu dengan baik. Ada hal lain yang perlu dipastikan sebelum ia benar-benar memutuskan segalanya."Nek, kamu ingin aku segera menyelesaikan proyek di Inggris, bukan?" tanyanya, mencoba menegaskan posisinya dalam keputusan ini.Sang Nenek mengangguk lagi. "Ya, sesudah itu, kalian akan melangsungkan pernikahan. Hal itu sudah kusampaikan dari jauh hari sebelum kamu bertemu dengan Dea si murahan itu."Meisya menahan senyum kemenangan di balik ekspresi datarnya. Ini berjalan lebih lancar dari yang ia bayangkan."Baik," Yama akhirnya berkata. "Aku akan segera berangkat ke Inggris dan menyelesaikan semuanya.""Aku ikut," selak Meisya cepat, nadanya penuh ketegasan.Yama menoleh padanya dengan ekspresi kesal. "Terserah!" sahutnya ketus sebelum beranjak pergi.
“Jadi, kau baru menyadarinya sekarang?”Suara lembut itu menyusup masuk ke dalam ruangannya seperti angin dingin. Yama tidak menoleh. Bahkan tidak menegadahkan kepalanya. Ia tahu siapa yang berbicara. Meisya, wanita yang selama ini duduk di sisi sang nenek, menatapnya dengan senyum simpati yang penuh arti.“Aku sudah menduganya sejak awal,” lanjut Meisya, berdiri dengan anggun lalu melangkah mendekati Yama dan duduk di sampingnya dengan elegan.“Tapi aku tidak ingin ikut campur. Aku ingin kau sendiri yang menyadari siapa Dea sebenarnya.”"Namun, dari hari ke hari, dia malah semakin menjadi-jadi."Yama diam. Matanya masih terpaku pada bukti-bukti di hadapannya. Meisya bergerak perlahan, lalu dengan lembut mengambil salah satu foto yang ada di meja dan menatapnya dengan tatapan menyelidik.“Dia tidak pernah benar-benar mencintaimu, Yama,” bisiknya pelan,