Suara orang-orang dewasa yang tengah berbincang begitu terdengar memenuhi ruangan yang sangat luas itu. Bukan hanya perbincangan soal bisnis saja, tetapi keharmonisan keluarga pun menjadi topik yang paling asyik untuk diperbincangkan. Bahkan, sesekali mereka tertawa karena guyonan dari anak-anak mereka. Hingga pertanyaan seorang wanita paruh baya menghentikan perbincangan itu.
"Mayang, Ines ke mana? Kenapa nggak kamu ajak?" tanya wanita paruh baya bernama Kinar Anindya Erick, Ibu dari Dirgantara Erick dan Argiantara Erick.
Mayang menatap mertuanya itu. "Nggak tahu, Mi. Lagipula untuk apa mengajaknya? Dia bukan keluarga Erick, dan kalian semua pasti tidak suka dengannya."
Kinar mengembuskan napasnya dengan pelan. "Seenggaknya, kalau dia ada di sini, mami dan semuanya bisa nyuruh-nyuruh dia. Kan kalau nyuruh gadis itu, kita nggak perlu bayar. Gratis," sahut Kinar.
"Mami," peringat Argiantara dan suami Kinar, Ardiantara Zidan Erick.
"Mami bener, Dad, Gi. Kenapa kalian nggak bawa gadis itu," bela Dirgantara, membuat Kinar tersenyum penuh kemenangan.
Crystal mengangguk. "Iya, dia kan berguna, walau aku nggak sudi lihat mukanya."
"Crystal," tegur Ardiantara, membuat Crystal mengerucutkan bibirnya.
"Ck, Grandpa kenapa sih belain anak haram itu terus," gerutu Crystal yang dibalas tatapan tajam oleh pria paruh baya yang dipanggil kakek.
"Emang, Grandpa tuh selalu belain dia. Padahal dia bukan cucu Grandpa," tambah Erick.
Di antara keluarga Erick, hanya Ardiantara dan Argiantara yang tidak pernah suka dengan perlakuan keluarga besarnya terhadap Ines. Bukan hanya keduanya, tetapi ada satu orang lagi yang tidak pernah menyukai apa yang mereka lakukan pada gadis malang itu. Dia adalah Arka Erick, kakak Ines dan anak sulung dari Argiantara Erick dan Mayang Erick.
"Ines adalah bagian dari keluarga Erick, dia lahir dari rahim Bunda. Dia adik Arka," seloroh Arka seraya duduk di samping Argiantara.
"Ternyata pendukung gadis itu banyak juga, ya. Pake jampi-jampi apa sih dia?" Erick tersenyum miring.
"Banyak yang mendukung, karena dia baik. Tidak seperti kalian," celetuk seseorang dengan suara dinginnya.
Sean Adhitama Erick, adalah anak tertua dari Dirgantara Erick bersama istrinya, Thalita Erick. Pria itu juga tidak suka dengan sikap keluarga besarnya yang semena-mena pada Ines. Dia tidak mendukung atau berpihak pada gadis itu maupun keluarganya, tetapi selama Ines bersikap baik maka seharusnya mereka memperlakukan gadis itu dengan baik.
"Abang apa-apaan sih? Kita nggak salah kok buat benci dia. Asal-usulnya aja nggak baik, pasti dia juga nggak baik." Erick mendengkus sebal.
"Kamu yang nggak baik. Udah jarang sholat, suka ke club, maen perempuan lagi. Dosa numpuk, malaikat mungkin udah capek nyatat keburukan kamu," balas Sean tanpa perasaan, membuat Erick langsung terdiam.
Arka tersenyum miring. "Itu mah buruk banget."
"Ish, kenapa malah aku yang jadi sasaran kalian, gara-gara Si Lemot sih, jadi gue kan yang kena," gerutu Erick.
Arka menghela napasnya dengan pelan, lalu berdiri dari duduknya. "Makasih, Grandma, Grandpa. Makasih atas undangannya, walaupun Arka datang ke sini dengan setengah hati, karena paksaan dari Bunda. Lain kali, aku nggak usah diundang, ya. Biar aku bisa ajakin Ines pergi," ucap Arka, "kalau gitu Arka pamit," lanjutnya.
"Ines! Ines! Dan Ines! Sedari tadi kalian bahas dia terus?! Aku pusing dengernya! Apalagi kalian berempat terus puji dia, aku nggak terima!" teriak Mayang sambil menatap tajam ke arah Arka, Argiantara, dan Sean secara bergantian.
"Wajar, Bun. Dia adik Arka, bagian dari keluarga ini," bela Arka.
"Dia bukan bagian keluarga ini! Dia itu orang asing! Dia bukan keturunan Erick, ngerti nggak kamu?!" Mayang semakin murka dengan balasan Arka.
"Tapi dia lahir dari rahim Bunda! Dia anak Bunda dan Ayah, adik Arka! Bahkan Sean yang bukan keturunan Erick pun, dianggap keluarga. Kenapa adik aku nggak?!" bentak Arka yang tersulut emosinya.
"Karena Ines lahir dari keterpaksaan, Bang! Bunda diperkosa mak-" timpal Crystal dengan berteriak marah pada Arka, membuat semua orang di sana terkejut bukan main atas ucapan Crystal.
"Crystal!" teriak Arka, Argi, Ardi, dan Sean. Sebelum gadis itu melanjutkan ucapannya.
Crystal langsung merapatkan bibirnya kala melihat Mayang yang diam mematung di tempatnya. Gadis itu melupakan fakta jika tidak ada yang boleh menceritakan masa kelam itu di depan Mayang, karena wanita itu akan histeris mengingat kejadian tersebut. Kejadian yang membuatnya trauma.
"Ayo, pulang Arka." Argi beranjak menghampiri Mayang, lalu mengajaknya pulang.
Arka dan Argi meninggalkan ruangan tersebut tanpa memberi salam. Berlama-lama di sana hanya membuat keduanya naik darah, mereka selalu menjadi provokator agar Mayang membenci Ines.
Mayang, Argi, dan Arka sudah masuk ke dalam mobil. Sebenarnya Arka membawa kendaraannya sendiri, tetapi sang bunda meminta ia untuk pulang bersama. Ucapan lirihnya, membuat Arka mengalah dengan menghubungi Pak Imat untuk membawa mobilnya.
Saat berada di dalam mobil, Arka berkata, "Abang mau cari Ines, ya."
"Ines ada di rumah," sahut Mayang dengan lirih, membuat Argi dan Arka sontak menatap ke arah Mayang yang sedang menatap lurus ke arah depan.
"Apa? Gimana Bunda bisa tahu?" tanya Arka.
Mayang mengembuskan napasnya dengan perlahan. "Bunda kunciin dia di kamar dari tadi sore," jawab Mayang.
"Apa?!" teriak kedua pria itu.
***
Setengah jam berjalan dari rumah Fernan, akhirnya Ines sampai di rumahnya. Rumah Fernan dengan rumahnya lumayan dekat, maka dari itu dia memutuskan berjalan kaki. Kenapa tidak naik taksi atau angkutan umum? Bagaimana mungkin? Uang saja dia tidak punya. Jika punya uang pun, mungkin sudah ia belikan makanan sedari tadi dan tidak perlu repot-repot datang ke rumah Fernan untuk menumpang makan. Ines memanggil satpam yang menjaga gerbang di rumahnya, lalu melangkahkan kaki setelah satpam itu mengizinkannya untuk masuk. Tentu saja diizinkan, memangnya siapa yang mau melarang. Ada-ada saja.
Gadis itu membuka pintu utama dan masuk ke dalam rumah. Ines melirik ke arah kiri dan kanan. Sepertinya rumah dalam keadaan sepi, pasti semua orang sudah tertidur. Setelah mengunci pintu utama, Ines kembali melanjutkan langkahnya menuju ke dalam kamar. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba suara seseorang menghentikannya.
"Kamu abis dari mana?" tanya sebuah suara.
Karena penasaran, gadis itu langsung berbalik menatap ke asal suara. Di sana Elma, kakak dari sang bunda sekaligus tantenya sedang berdiri sambil menatap tajam ke arah gadis itu.
"Mulai berani, ya, kamu? Mau jadi apa pulang malem?" Elma tersenyum miring.
"Ines abis dari rumah Fernan, Tante," ucap Ines.
"Alah, jangan bohong, kamu pikir saya anak kecil," sahut Elma.
"Ada apa ini, Kak?" tanya Mayang yang tiba-tiba sudah berdiri di anak tangga terakhir.
Elma menatap Mayang, lalu berkata, "Anak kamu, pulang malem-malem begini, abis ngapain coba. Apa jangan-jangan abis dibooking Om-om."
"Ines abis dari rumah Fernan," bentak Ines yang tidak tahan dengan perkataan dari Elma.
Plak!
Suara tamparan yang begitu keras menggema di ruangan tersebut. Mayang tanpa aba-aba berjalan cepat ke arah Ines, lalu menampar gadis itu dengan kuat.
"Udah berani kamu, ya! Berani bentak Kakak saya, siapa kamu di sini?! Apa kamu ada hak, hah?!" teriak Mayang.
"Maaf," lirih Ines dengan air mata yang sudah menggenang di matanya.
"Nggak tahu diri! Suami saya sekolahin kamu tinggi-tinggi, tapi kamu malah begini, nggak hormat sama orang yang lebih tua!" bentak Mayang.
"Wajar, sih, begitu. Kamu kan bukan keluarga Erick yang menjunjung tinggi etika, kamu cuma anak hasil perkosaan," desis Elma sambil tersenyum miring seakan mengejek Ines.
Gadis yang sedang menunduk itu langsung mengangkat kepalanya. "Maksudnya?"
"Maksudnya, kamu mau tahu maksudnya? Kamu itu bukan anak Mas Argi, tapi anak bajingan yang udah memperkosa adik saya. Seharusnya kamu itu ikut dia ke penjara, tapi sayangnya Argi malah pengen rawat kamu. Dasar bodoh," papar Elma.
Mayang yang mendengar ucapan Elma malah kembali mengingat kejadian kelam yang menimpa dirinya. Kejadian itu terus berputar bagai kaset yang rusak.
"Apa itu benar, Bun?" tanya Ines dengan lirih.
Wajah gadis itu sudah dipenuhi oleh air mata. Pertanyaan Ines sontak membuat Mayang menatap gadis itu. Wanita itu langsung menghampiri Ines, lalu memukul gadis malang tersebut dengan membabi buta.
"Iya, gara-gara ayah kamu yang brengsek itu, saya harus kehilangan kehormatan saya! Saya harus dihina oleh semua orang karena dituduh selingkuh! Saya harus menahan malu karena ayah kamu! Dan lebih parahnya, ternyata benihnya tumbuh di rahim saya! Seharusnya kamu mati waktu itu, saya nggak sudi! Saya nggak mau punya anak haram! Kamu lebih baik mati, atau masuk penjara sama ayah kamu yang brengsek itu!" Mayang berteriak dan terus memukul-mukul tubuh Ines dengan kuat, sedangkan yang dipukul hanya diam sambil menangis sesak karena baru mengetahui fakta ini. Fakta bahwa dia bukanlah anak dari ayahnya, melainkan orang lain. Dan lebih parahnya, dia ada karena sang bunda yang diperkosa oleh ayah kandungnya.
"Mayang!"
"Bunda!"
Arka dan Argi datang menghampiri Mayang yang sedang mengamuk. Argi menarik Mayang untuk masuk ke kamar mereka, sedangkan Arka menatap tajam ke arah Ines.
"Kamu apain Bunda sampai dia histeris begitu, hah?!" Ines menggelengkan kepala. "Kalau sampai Bunda kambuh lagi, kamu bakal tahu akibatnya. Abang nggak akan segan-segan buat kirim kamu ke penjara. Kamu emang nggak tahu terima kasih," sarkas Arka, membuat Ines diam.
Semua orang meninggalkan Ines untuk melihat keadaan Mayang.
Flashback off
"Ines," panggil seseorang yang baru saja membuka pintu kamar gadis itu tanpa mengetuknya.
"Ines," panggil seseorang yang baru saja membuka pintu kamar gadis itu tanpa mengetuknya.Gadis itu mengalihkan pandangannya. "Abang? Udah pulang? Kok Cepet banget, sih," tanya Ines dengan bertubi-tubi."Udah kok. Emang mau nginep di sana apa?""Ya kirain, Bang."Arka bergidik ngeri. "Nggak, ah. Di sana banyak setan."Ines mengerutkan dahi dengan bingung. "Hah? Setan? Sejak kapan di rumah mewah banyak setannya, Bang? Baru tahu Ines tuh. Ada hantu apa aja Bang di sana?" tanya Ines dengan penasaran.Arka menatap Ines dengan raut serius sambil menahan tawanya. "Di sana ada Tante Miskey, Poci, Dedek tuyul, dan Mr black. Abang mau minta Sara Wijayanto buat menelusuri, sekaligus ngusir mereka juga kalo bisa," jawab Arka dengan asal.Ines menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Itu Mr Black siapa, Bang? Kalau keduanya aku tahu
Fernan menatap penuh keheranan pada gadis di hadapannya. Bagaimana tidak? Dua minggu kemarin, gadis itu terus diam terkadang melamun. Sekarang, tidak-tidak bukan sekarang, tetapi lebih tepatnya seminggu ini, dia terus mengulas senyum dan terlihat bahagia. Ada apa dengannya?"Lo kenapa, sih? Gue jadi segan deket-deket lo, Nes." Fernan bergidik ngeri.Ines menatap Fernan dengan kerutan di dahinya. "Kok segan sih? Emangnya gue kenapa diseganin? Kek juragan aja disegani," ucap Ines sambil terkekeh pelan.Fernan berdecak sebal. "Iya, segan. Segan karena ngeri. Kemaren-kemaren diemin gue, kadang juga ngelamun. Sekarang, senyum-senyum kayak orgil," sahut Fernan."Ish, Fernan mah nggak tahu orang lagi bahagia. Emang Ines harus sedih terus apa?" balas Ines dengan mengulas senyum tanpa beban.Fernan menaikkan sebelah alisnya. "Lo bahagia kenapa, sih? Gue penasaran tahu. Lo kan udah janji sama gue, kalau
Arka yang merasa bosan dengan topik pembicaraan keluarga besarnya, langsung beranjak meninggalkan ruang keluarga. Dia begitu terkejut saat melihat Ines tengah bersembunyi di balik tembok ruang keluarga.Apa Ines mendengar semuanya? tanya Arka dalam hati.Arka terus memperhatikan raut wajah Ines yang menunjukkan bahwa gadis itu tengah terluka, kecewa, dan sedih. Bahkan, mata dan pipinya sudah basah oleh air. Ines langsung menghapus air matanya, lalu mengucapkan kata-kata yang membuat Arka merasa sangat bersalah."Ines kira mereka bener-bener tulus, tapi ternyata bahagia itu disengaja. Bahagia yang disengaja karena kesepakatan bersama," gumam Ines sambil membalikkan badan untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.Belum sempat gadis itu melanjutkan langkahnya, tiba-tiba Arka memanggil sang adik, membuat Ines langsung menghentikan langkahnya."Ines?" panggil Arka.
Seorang pria masuk ke dalam sebuah ruangan untuk menghadap sang bos yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Pria dengan setelan serba hitam itu menundukkan kepala sambil berdiri di hadapan bosnya."Tuan memanggilku? Right?" tanya pria itu, membuat pria yang dipanggil tuan menatap ke arahnya dengan menampilkan wajah datar dan dinginnya."Right, aku ingin ke Indonesia hari ini," ucap pria yang dipanggil tuan."Are you sure, Sir? But, you-" Belum sempat pria itu melanjutkan ucapannya, tetapi sang bos langsung menyela."Yes, I am sure. Why?" Sang bos mengangkat sebelah alisnya."No, Sir. Okay, aku akan mempersiapkan keberangkatanmu." Sang tuan hanya menganggukkan kepala."Gercep sekali dia. Mentang-mentang akan bertemu dengan calon istrinya, pekerjaan pun ditunda. Dasar bucin," gerutu pria yang diketahui adalah tangan kanan pria yang masih duduk di kursi kebesarannya."Aku mendengarnya."Mendengar, heh? batin pria yang akan keluar dari ru
Vallen melangkah masuk ke dalam rumah mewah keluarga Argiantara Erick sambil menggenggam tangan Ines. Iya, setelah menemukan Ines yang bersembunyi di balik salah satu mobil, Vallen langsung membawa gadisnya ke rumah besar itu. Semua keluarga Erick sudah berkumpul di ruang keluarga, menunggu kedatangan Vallen dan Ines. Bahkan, Kinar pun sudah berada di sana. Pria itu memerintahkan Gray agar menjadi sopir di mobil Kinar, sedangkan dia mengendarai mobilnya ditemani sang gadis pujaan yang duduk di sampingnya."Mr Vallen? Selamat datang, Mr," ucap Argi dengan canggung seraya mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Vallen.Semua orang pun ikut melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Argi. Setelah itu, Argi meminta Vallen dan tangan kanan pria itu untuk duduk di sofa. Semuanya menatap kagum dengan ketampanan Vallen, walaupun wajah pria itu nampak dingin dan datar."Saya tidak menyangka,
Ines begitu sungkan untuk berbincang dengan Vallen perihal pernikahannya. Bukan hanya itu, bahkan untuk bertemu pun dia tidak punya nyali. Bagaimana tidak? Gadis itu terus saja mengingat perlakuan Vallen yang menciumnya secara tiba-tiba. Padahal kejadian tersebut sudah seminggu yang lalu, tetapi entah kenapa Ines merasa malu pada Vallen.Seperti halnya saat ini, Ines yang seharusnya melakukan fitting baju pengantin, malah pergi ke rumah Fernan."Lo ngapain di sini? Mau cari mati?" tanya Fernan yang terkejut saat membuka pintu utama di rumah mewahnya."Ish, Fernan. Kalau asal jangan ngomong, Ines ke sini cari Tante bukan mati." Ines mendengkus sebal mendengar pertanyaan Fernan yang frontal.Fernan mengibas-ibaskan tangannya. "Pulang lo, pulang. Bikin hidup gue dalam bahaya aja lo, sana pulang! Terus temuin pangeran lo," usir Fernan."Jahat banget sih, orang ada tamu datang kok malah diusir suruh
Ines menatap pantulan dirinya di depan cermin. Biasanya ia akan tersenyum ceria sambil mengedipkan sebelah matanya. Namun, sekarang gadis itu malah murung, tidak bersemangat."Non Ines kenapa?" tanya seseorang yang tergesa-gesa masuk ke dalam kamar Ines, setelah para tukang rias pengantin itu pergi.Gadis yang mengenakan kebaya putih itu hanya menggelengkan kepala. Iya, hari ini adalah hari di mana Ines akan menikah dengan Vallen. Pernikahan Ines dan Vallen didasari oleh kemewahan."Non kalau nggak mau menikah, bilang saja, Non," ucap Bi Iis, membuat Ines menatapnya sambil mengulas senyum tulus."Ines nggak apa-apa, Bi."Bi Iis menganggukkan kepala. "Ya sudah, kalau begitu bibi kembali ke bawah, membantu pelayan-pelayan lain."Setelah kepergian Bi Iis, hanya keheningan yang menghinggap di ruangan Ines berada. Gadis itu masih terdiam sambil menatap pantulan dirinya, tetapi tiba-t
"Sedang apa kau di depan pintu kamar putriku?" tanya seseorang, membuat tubuh orang itu menegang.Reandra menatap penuh intimidasi ke arah gadis yang baru saja membalikkan badan dan juga tengah menatapnya dengan tajam. Iya, pria itu adalah Reandra, ayah kandung Ines, sedangkan gadis itu Reandra tidak mengetahui namanya. Dia akan menginap di sana beberapa hari sebelum berangkat ke Singapura, tempat tinggalnya sekarang."Bukan urusan lo," jawab gadis itu dengan ketus seraya pergi meninggalkan Reandra yang berdiri dengan penuh kecurigaan.Bagaimana tidak? Reandra melihat gadis itu tengah menutup pintu kamar putrinya, lalu mengatakan hal yang membuat jiwa penasaran pria paruh baya itu berkembang. Dia harus waspada dan mencari tahu.Saat akan membalikkan badannya. Tiba-tiba ada yang memanggil namanya. "Mas Andra," panggil seseorang dengan lembut.Reandra menatap orang yang memanggilnya
Vallen dan Ines turun ke lantai bawah dan menuju ke ruang makan. Mereka akan ikut sarapan bersama dengan keluarga Erick. Tidak hanya keduanya, tetapi papa Ines juga berada di sana.Vallen mengernyitkan dahinya ketika Ines tiba-tiba saja berhenti. Saat gadis itu akan memutar balik badannya, sang suami langsung menggenggam tangannya. Ines menatap penuh protes ke arah Vallen, tetapi pria itu tidak mendengarkan. Dia terus saja menarik Ines agar mengikutinya ke meja makan.Vallen meminta Ines untuk duduk di sampingnya dan gadis itu menurut. Namun, tiba-tiba saja Nela datang, dia meminta Ines untuk pindah tempat duduk karena itu adalah kursi yang biasa Nela tempati ketika tengah ikut makan bersama keluar Argiantara Erick."Ines? Kamu kenapa duduk di sini? Ini tempat aku, Nes. Aku biasanya duduk di sini, kalau makan di rumah Tante Mayang," ujar Nela seakan mengingatkan Ines."Bisa duduk di kursi yang lain bukan?" Bukan, bukan Ines yang menjawab melainkan Vallen.
Seorang gadis menghampiri wanita paruh baya yang tengah terduduk dengan angkuh di sebuah sofa, sambil menatap tajam ke arah gadis yang merupakan putrinya. Dia sudah mengetahui apa maksud dan tujuan sang putri datang padanya, tentu untuk meminta bantuannya.Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia tidak seperti dirinya? Bisa melakukan hal-hal jahat hanya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Bahkan, untuk membunuh seseorang pun dia mampu walau hanya sendiri."Mama, aku butuh bantuan Mama."Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas. "Kau itu bodoh sekali. Mengerjakan hal seperti itu saja tidak becus, kalau kau meminta bantuanku, maka Mr X akan mencurigai kita.""Lalu aku harus bagaimana, Ma?" tanya gadis itu."Dasar bodoh! Pakai otakmu! Aku melahirkanmu supaya kau bisa membantuku untuk balas dendam pada Mayang, dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita!" Bukannya men
Seorang gadis menghampiri wanita paruh baya yang tengah terduduk dengan angkuh di sebuah sofa, sambil menatap tajam ke arah gadis yang merupakan putrinya. Dia sudah mengetahui apa maksud dan tujuan sang putri datang padanya, tentu untuk meminta bantuannya.Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia tidak seperti dirinya? Bisa melakukan hal-hal jahat hanya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Bahkan, untuk membunuh seseorang pun dia mampu walau hanya sendiri."Mama, aku butuh bantuan Mama."Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas. "Kau itu bodoh sekali. Mengerjakan hal seperti itu saja tidak becus, kalau kau meminta bantuanku, maka Mr X akan mencurigai kita.""Lalu aku harus bagaimana, Ma?" tanya gadis itu."Dasar bodoh! Pakai otakmu! Aku melahirkanmu supaya kau bisa membantuku untuk balas dendam pada Mayang, dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita!" Bukannya men
"Sedang apa kau di depan pintu kamar putriku?" tanya seseorang, membuat tubuh orang itu menegang.Reandra menatap penuh intimidasi ke arah gadis yang baru saja membalikkan badan dan juga tengah menatapnya dengan tajam. Iya, pria itu adalah Reandra, ayah kandung Ines, sedangkan gadis itu Reandra tidak mengetahui namanya. Dia akan menginap di sana beberapa hari sebelum berangkat ke Singapura, tempat tinggalnya sekarang."Bukan urusan lo," jawab gadis itu dengan ketus seraya pergi meninggalkan Reandra yang berdiri dengan penuh kecurigaan.Bagaimana tidak? Reandra melihat gadis itu tengah menutup pintu kamar putrinya, lalu mengatakan hal yang membuat jiwa penasaran pria paruh baya itu berkembang. Dia harus waspada dan mencari tahu.Saat akan membalikkan badannya. Tiba-tiba ada yang memanggil namanya. "Mas Andra," panggil seseorang dengan lembut.Reandra menatap orang yang memanggilnya
Ines menatap pantulan dirinya di depan cermin. Biasanya ia akan tersenyum ceria sambil mengedipkan sebelah matanya. Namun, sekarang gadis itu malah murung, tidak bersemangat."Non Ines kenapa?" tanya seseorang yang tergesa-gesa masuk ke dalam kamar Ines, setelah para tukang rias pengantin itu pergi.Gadis yang mengenakan kebaya putih itu hanya menggelengkan kepala. Iya, hari ini adalah hari di mana Ines akan menikah dengan Vallen. Pernikahan Ines dan Vallen didasari oleh kemewahan."Non kalau nggak mau menikah, bilang saja, Non," ucap Bi Iis, membuat Ines menatapnya sambil mengulas senyum tulus."Ines nggak apa-apa, Bi."Bi Iis menganggukkan kepala. "Ya sudah, kalau begitu bibi kembali ke bawah, membantu pelayan-pelayan lain."Setelah kepergian Bi Iis, hanya keheningan yang menghinggap di ruangan Ines berada. Gadis itu masih terdiam sambil menatap pantulan dirinya, tetapi tiba-t
Ines begitu sungkan untuk berbincang dengan Vallen perihal pernikahannya. Bukan hanya itu, bahkan untuk bertemu pun dia tidak punya nyali. Bagaimana tidak? Gadis itu terus saja mengingat perlakuan Vallen yang menciumnya secara tiba-tiba. Padahal kejadian tersebut sudah seminggu yang lalu, tetapi entah kenapa Ines merasa malu pada Vallen.Seperti halnya saat ini, Ines yang seharusnya melakukan fitting baju pengantin, malah pergi ke rumah Fernan."Lo ngapain di sini? Mau cari mati?" tanya Fernan yang terkejut saat membuka pintu utama di rumah mewahnya."Ish, Fernan. Kalau asal jangan ngomong, Ines ke sini cari Tante bukan mati." Ines mendengkus sebal mendengar pertanyaan Fernan yang frontal.Fernan mengibas-ibaskan tangannya. "Pulang lo, pulang. Bikin hidup gue dalam bahaya aja lo, sana pulang! Terus temuin pangeran lo," usir Fernan."Jahat banget sih, orang ada tamu datang kok malah diusir suruh
Vallen melangkah masuk ke dalam rumah mewah keluarga Argiantara Erick sambil menggenggam tangan Ines. Iya, setelah menemukan Ines yang bersembunyi di balik salah satu mobil, Vallen langsung membawa gadisnya ke rumah besar itu. Semua keluarga Erick sudah berkumpul di ruang keluarga, menunggu kedatangan Vallen dan Ines. Bahkan, Kinar pun sudah berada di sana. Pria itu memerintahkan Gray agar menjadi sopir di mobil Kinar, sedangkan dia mengendarai mobilnya ditemani sang gadis pujaan yang duduk di sampingnya."Mr Vallen? Selamat datang, Mr," ucap Argi dengan canggung seraya mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Vallen.Semua orang pun ikut melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Argi. Setelah itu, Argi meminta Vallen dan tangan kanan pria itu untuk duduk di sofa. Semuanya menatap kagum dengan ketampanan Vallen, walaupun wajah pria itu nampak dingin dan datar."Saya tidak menyangka,
Seorang pria masuk ke dalam sebuah ruangan untuk menghadap sang bos yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Pria dengan setelan serba hitam itu menundukkan kepala sambil berdiri di hadapan bosnya."Tuan memanggilku? Right?" tanya pria itu, membuat pria yang dipanggil tuan menatap ke arahnya dengan menampilkan wajah datar dan dinginnya."Right, aku ingin ke Indonesia hari ini," ucap pria yang dipanggil tuan."Are you sure, Sir? But, you-" Belum sempat pria itu melanjutkan ucapannya, tetapi sang bos langsung menyela."Yes, I am sure. Why?" Sang bos mengangkat sebelah alisnya."No, Sir. Okay, aku akan mempersiapkan keberangkatanmu." Sang tuan hanya menganggukkan kepala."Gercep sekali dia. Mentang-mentang akan bertemu dengan calon istrinya, pekerjaan pun ditunda. Dasar bucin," gerutu pria yang diketahui adalah tangan kanan pria yang masih duduk di kursi kebesarannya."Aku mendengarnya."Mendengar, heh? batin pria yang akan keluar dari ru
Arka yang merasa bosan dengan topik pembicaraan keluarga besarnya, langsung beranjak meninggalkan ruang keluarga. Dia begitu terkejut saat melihat Ines tengah bersembunyi di balik tembok ruang keluarga.Apa Ines mendengar semuanya? tanya Arka dalam hati.Arka terus memperhatikan raut wajah Ines yang menunjukkan bahwa gadis itu tengah terluka, kecewa, dan sedih. Bahkan, mata dan pipinya sudah basah oleh air. Ines langsung menghapus air matanya, lalu mengucapkan kata-kata yang membuat Arka merasa sangat bersalah."Ines kira mereka bener-bener tulus, tapi ternyata bahagia itu disengaja. Bahagia yang disengaja karena kesepakatan bersama," gumam Ines sambil membalikkan badan untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.Belum sempat gadis itu melanjutkan langkahnya, tiba-tiba Arka memanggil sang adik, membuat Ines langsung menghentikan langkahnya."Ines?" panggil Arka.