Arka yang merasa bosan dengan topik pembicaraan keluarga besarnya, langsung beranjak meninggalkan ruang keluarga. Dia begitu terkejut saat melihat Ines tengah bersembunyi di balik tembok ruang keluarga.
Apa Ines mendengar semuanya? tanya Arka dalam hati.
Arka terus memperhatikan raut wajah Ines yang menunjukkan bahwa gadis itu tengah terluka, kecewa, dan sedih. Bahkan, mata dan pipinya sudah basah oleh air. Ines langsung menghapus air matanya, lalu mengucapkan kata-kata yang membuat Arka merasa sangat bersalah.
"Ines kira mereka bener-bener tulus, tapi ternyata bahagia itu disengaja. Bahagia yang disengaja karena kesepakatan bersama," gumam Ines sambil membalikkan badan untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Belum sempat gadis itu melanjutkan langkahnya, tiba-tiba Arka memanggil sang adik, membuat Ines langsung menghentikan langkahnya.
"Ines?" panggil Arka.
Panggilan Arka, membuat semua orang di sana langsung mengalihkan pandangan ke arah gadis itu dengan tatapan terkejut.
"Ines?" beo seseorang yaitu Nela.
Ines membalikkan badan, lalu melirik ke arah orang-orang yang tengah menatapnya. Gadis itu langsung mengulas senyum tidak enak.
"Eh, Ines ganggu obrolan kalian, ya? Kalau begitu maaf, Ines ke kamar dulu. Permisi," ucap Ines seraya berjalan menuju kamarnya dengan tergesa-gesa.
Argi meminta Arka untuk menyusul Ines. Dia memberikan isyarat pada sang anak lewat mata. Arka yang mengerti maksud sang ayah langsung menganggukkan kepala, lalu berjalan menuju kamar Ines. Sesampainya di sana, pria itu langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Namun, Ines tidak ada di kamarnya, ke mana gadis itu?
Samar-samar Arka mendengar suara gemericik air. Akhirnya pria itu memutuskan untuk menunggu sang adik keluar dari kamar mandi. Saat pintu tersebut baru saja terbuka, Ines terkejut melihat sang kakak sedang duduk di sisi ranjangnya.
"Abang? Kok di sini?" tanya Ines dengan penasaran.
"Abang-" Belum selesai Arka berbicara, Ines langsung menyela.
"Abang nggak usah khawatir, Ines nggak papa. Udah biasa kok, kan itu makanan Ines dari kecil, Bang," sela Ines.
"Maaf." Arka menundukkan kepala.
Ines mengulas senyum tulusnya. "Abang nggak perlu minta maaf, kalian semua nggak salah. Ines yang salah. Salah karna udah hadir di keluarga Erick, salah karna berharap disayang dengan tulus sama kalian. Maaf, ya."
Arka mengangkat kepalanya, lalu menatap sang adik dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana mungkin Ines masih mengulas senyum yang begitu tulus, di saat gadis itu tengah dikecewakan dan dibuat hancur.
Arka berdiri, lalu mendekati Ines. Saat akan memeluk gadis itu, tiba-tiba Ines menghindar. "Jangan, Bang. Ines udah wudhu, nanti batal."
"Kamu adik abang, mana mungkin batal?"
"Ines bukan adik Abang. Apa Abang lupa? Ines mau sholat, sebaiknya Abang keluar dulu." Arka terdiam beberapa saat, lalu menganggukkan kepala seraya berjalan keluar kamar Ines.
Gadis itu terus menatap lekat ke arah pintu yang ditutup oleh Arka. Setelah mengembuskan napasnya dengan kasar, kemudian Ines melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda beberapa saat, yaitu melaksanakan salat Ashar.
***
"Ines kira mereka bener-bener tulus, tapi ternyata bahagia itu disengaja. Bahagia yang disengaja karena kesepakatan bersama."
"Abang nggak perlu minta maaf, kalian semua nggak salah. Ines yang salah. Salah karna udah hadir di keluarga Erick, salah karna berharap disayang dengan tulus sama kalian. Maaf, ya."
"Ines bukan adik Abang. Apa Abang lupa? Ines mau sholat, sebaiknya Abang keluar dulu."
Semua orang menatap heran ke arah Arka yang hanya diam setelah kembali dari kamar Ines. Mayang mengerutkan dahi, lalu bertanya, "Abang kenapa? Kok malah bengong," tanya Mayang sambil menggoyangkan tangan Arka, membuat sang empu terkejut dan langsung menatap ke arah Mayang.
"Apa, Bun?"
"Abang kenapa bengong?" tanya Mayang dengan lembut.
"Abang nggak apa, Bun. Cuma lagi kepikiran sama berkas penting yang lupa naro. Di mana, ya?"
Mayang menggelengkan kepala. "Kebiasaan."
"Papi sudah menghubungi Mr Vallen. Dia bilang, perkiraan dia akan datang ke Indonesia itu akhir bulan. Usahakan Ines ada di rumah pada saat itu." Ucapan Ardi langsung menghentikan perbincangan Arka dan Mayang.
"Dan alangkah baiknya, kalian memberitahu Ines," tambah Ardi.
"Nggak perlu. Kalian nggak perlu ngobrol dengan anak itu, biar mami yang bicara sama dia!" ucap Kinar dengan tegas tak terbantahkan.
Semuanya hanya mampu menganggukkan kepala sekaligus menyetujui perintah Kinar, sedangkan Ardi hanya mengembuskan napasnya dengan berat. Niat untuk makan malam keluarga, ternyata malah membuat kesepakatan bersama.
"Ayo, sebaiknya kita pulang!"
"Iya, Pi."
Semuanya pamit untuk pulang. Mereka meninggalkan rumah Argi dan kembali ke rumah masing-masing. Argi menatap Arka yang kembali terdiam dan hanyut dalam pikirannya.
"Arka," panggil Argi sambil menepuk pundak Arka.
Arka langsung tersadar, lalu menyahut, "Iya, Ayah. Kenapa?"
"Kamu yang kenapa? Abis balik dari kamar gadis itu, kok sekarang banyak diem. Kenapa?" tanya Mayang dengan heran.
"Nggak ada apa-apa kok." Arka melenggang pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Begitupun dengan Argi yang membawa Mayang untuk masuk ke dalam kamar.
***
"Akhirnya siap juga," gumam Ines, membuat Mayang menatap gadis itu.
"Ines panggilin Ayah sama Abang, ya, Bun." Mayang hanya menatap datar ke arah Ines tanpa menjawab. Gadis itu hanya tersenyum miris seraya berjalan menuju ke kamar ayah dan kakaknya.
Ines mengetuk pintu kamar Arka, setelah mengetuk pintu kamar sang ayah dan meminta pria paruh baya itu untuk makan malam. Arka membuka pintu kamarnya, lalu menatap Ines.
"Ayah sama Bunda udah nungguin Abang, disuruh turun buat makan malam," ucap Ines dengan lembut.
Arka tersenyum manis, lalu mengusap lembut kepala Ines. "Ayo, kita turun!" ajak Arka dengan semangat.
Ines cengengesan tidak jelas. "Abang aja. Ines mau ke kamar, ngantuk," tolaknya dengan halus.
Ines pergi dari hadapan Arka sebelum mendengar jawaban dari sang kakak. Saat di dalam kamar, gadis itu langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang, kemudian memejamkan mata untuk tidur. Namun, suara notifikasi ponselnya membuat ia kembali membuka matanya.
Grandma
Heh, gadis pembawa sial! Ke Restaurant Setal sekarang! Saya tunggu!
Mau apa Grandma? Ines capek, besok aja ya Grandma?
Iya, Grandma. Ines ke sana
Ines dengan tergesa-gesa mengambil tas, lalu memasukkan ponsel serta dompet ke dalamnya. Gadis itu juga berlari menuruni anak tangga. Mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang untuk meminta tolong mengantarkannya ke Restaurant Setal.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya mobil yang ditunggu berhenti di hadapannya. Gadis itu langsung tersenyum manis, lalu masuk ke dalam.
"Fernan, nanti pas di sana. Fernan jangan ikut sama Ines. Fernan tunggu di luar atau cari tempat duduk lain aja," pinta Ines yang langsung dijawab dengan tatapan tidak suka oleh pria itu.
"Gue nggak mau, Nes! Lo tahu sendiri Grandma lo gimana?! Gue takut dia nyakitin lo, jadi jangan ngebantah. Gue nggak suka!"
"Ines mohon, kali ini aja. Ines nggak akan kenapa-napa kok, serius." Ines menatap penuh permohonan pada Fernan, membuat pria itu mau tidak mau langsung mengalah.
Seperti biasa, inilah kelemahan Fernan, hanya dengan tatapan penuh permohonan dari gadis itu. Maka dia langsung luluh. Tidak terasa keduanya sudah sampai di tempat tujuan, Ines langsung turun dari mobil dan masuk ke dalam restoran. Tiba-tiba seorang pelayan mengahmpirinya dan meminta Ines untuk mengikuti pelayan tersebut.
"Lambat!" sinis Kinar.
Ternyata pelayan itu membawa Ines ke tempat di mana Kinar tengah menunggunya. Gadis itu menundukkan kepala sambil menggumamkan kata maaf.
"Duduk!"
Setelah Ines duduk, Kinar langsung berbicara pada intinya. Wanita tua itu tidak suka berbasa-basi, apalagi dengan gadis di hadapannya.
"Perusahaan suami saya hampir bangkrut, begitu pun dengan perusahaan Argi dan Dirga. Dengan terpaksa, kita meminta tolong pada Mr Vallen, seorang pengusaha muda dari Jerman. Tapi dia minta imbalan, yaitu dinikahkan dengan salah satu keturunan Erick. Sebenarnya saya ingin Crystal yang menikah, tapi setelah tahu kalau Mr Vallen itu punya kelainan emosi dan-" Kinar menghentikan ucapannya sejenak. "Agak gila, akhirnya saya mengusulkan agar kamu yang diserahkan padanya."
Ines membelalakkan matanya. "Ines mohon, Grandma. Ines tahu, kalau kehadiran Ines buat kalian susah, terutama Bunda. Tapi tolong jangan begini, Grandma. Ines janji, kalau Ines bakal pergi dari rumah dan nggak akan ganggu keluarga Erick lagi."
Plak!
Kinar menampar Ines dengan kuat. Dia sangat benci pada gadis di hadapannya. Apalagi setelah mendengar penolakan dari gadis itu. Berarti Ines lebih menginginkan keluarganya hidup dalam penderitaan dan kemiskinan, daripada mengorbankan dirinya sebagai tanda terima kasih.
"Di mana ucapan terima kasihmu, hah?! Dasar gadis pembawa sial, Tidak tahu diri! Kau ingin melihat keluargaku hidup dalam kemiskinan?! Kau ingin melihat keluargaku menderita?! Dasar berengsek, seharusnya kau rela berkorban demi keluarga Erick!" teriak Kinar, membuat Ines hanya mampu menangis dalam diam.
"Ingat ini baik-baik! Kau akan tetap menikah dengannya, dengan atau tanpa persetujuanmu. Kamu juga bisa pergi dari rumah anak saya, Anak Haram. Saya akan buat kamu menyesal, jika sampai menolak pernikahan ini. Bahkan saya tidak akan segan buat bunuh kamu. Dengar itu." Kinar menjentulkan kepala Ines.
"Jika kau membunuhnya, maka kau dan seluruh keluarga Erick juga akan aku bunuh!" ucap sebuah suara dengan tegas, membuat Ines dan Kinar langsung menatap ke asal suara.
Seorang pria masuk ke dalam sebuah ruangan untuk menghadap sang bos yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Pria dengan setelan serba hitam itu menundukkan kepala sambil berdiri di hadapan bosnya."Tuan memanggilku? Right?" tanya pria itu, membuat pria yang dipanggil tuan menatap ke arahnya dengan menampilkan wajah datar dan dinginnya."Right, aku ingin ke Indonesia hari ini," ucap pria yang dipanggil tuan."Are you sure, Sir? But, you-" Belum sempat pria itu melanjutkan ucapannya, tetapi sang bos langsung menyela."Yes, I am sure. Why?" Sang bos mengangkat sebelah alisnya."No, Sir. Okay, aku akan mempersiapkan keberangkatanmu." Sang tuan hanya menganggukkan kepala."Gercep sekali dia. Mentang-mentang akan bertemu dengan calon istrinya, pekerjaan pun ditunda. Dasar bucin," gerutu pria yang diketahui adalah tangan kanan pria yang masih duduk di kursi kebesarannya."Aku mendengarnya."Mendengar, heh? batin pria yang akan keluar dari ru
Vallen melangkah masuk ke dalam rumah mewah keluarga Argiantara Erick sambil menggenggam tangan Ines. Iya, setelah menemukan Ines yang bersembunyi di balik salah satu mobil, Vallen langsung membawa gadisnya ke rumah besar itu. Semua keluarga Erick sudah berkumpul di ruang keluarga, menunggu kedatangan Vallen dan Ines. Bahkan, Kinar pun sudah berada di sana. Pria itu memerintahkan Gray agar menjadi sopir di mobil Kinar, sedangkan dia mengendarai mobilnya ditemani sang gadis pujaan yang duduk di sampingnya."Mr Vallen? Selamat datang, Mr," ucap Argi dengan canggung seraya mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Vallen.Semua orang pun ikut melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Argi. Setelah itu, Argi meminta Vallen dan tangan kanan pria itu untuk duduk di sofa. Semuanya menatap kagum dengan ketampanan Vallen, walaupun wajah pria itu nampak dingin dan datar."Saya tidak menyangka,
Ines begitu sungkan untuk berbincang dengan Vallen perihal pernikahannya. Bukan hanya itu, bahkan untuk bertemu pun dia tidak punya nyali. Bagaimana tidak? Gadis itu terus saja mengingat perlakuan Vallen yang menciumnya secara tiba-tiba. Padahal kejadian tersebut sudah seminggu yang lalu, tetapi entah kenapa Ines merasa malu pada Vallen.Seperti halnya saat ini, Ines yang seharusnya melakukan fitting baju pengantin, malah pergi ke rumah Fernan."Lo ngapain di sini? Mau cari mati?" tanya Fernan yang terkejut saat membuka pintu utama di rumah mewahnya."Ish, Fernan. Kalau asal jangan ngomong, Ines ke sini cari Tante bukan mati." Ines mendengkus sebal mendengar pertanyaan Fernan yang frontal.Fernan mengibas-ibaskan tangannya. "Pulang lo, pulang. Bikin hidup gue dalam bahaya aja lo, sana pulang! Terus temuin pangeran lo," usir Fernan."Jahat banget sih, orang ada tamu datang kok malah diusir suruh
Ines menatap pantulan dirinya di depan cermin. Biasanya ia akan tersenyum ceria sambil mengedipkan sebelah matanya. Namun, sekarang gadis itu malah murung, tidak bersemangat."Non Ines kenapa?" tanya seseorang yang tergesa-gesa masuk ke dalam kamar Ines, setelah para tukang rias pengantin itu pergi.Gadis yang mengenakan kebaya putih itu hanya menggelengkan kepala. Iya, hari ini adalah hari di mana Ines akan menikah dengan Vallen. Pernikahan Ines dan Vallen didasari oleh kemewahan."Non kalau nggak mau menikah, bilang saja, Non," ucap Bi Iis, membuat Ines menatapnya sambil mengulas senyum tulus."Ines nggak apa-apa, Bi."Bi Iis menganggukkan kepala. "Ya sudah, kalau begitu bibi kembali ke bawah, membantu pelayan-pelayan lain."Setelah kepergian Bi Iis, hanya keheningan yang menghinggap di ruangan Ines berada. Gadis itu masih terdiam sambil menatap pantulan dirinya, tetapi tiba-t
"Sedang apa kau di depan pintu kamar putriku?" tanya seseorang, membuat tubuh orang itu menegang.Reandra menatap penuh intimidasi ke arah gadis yang baru saja membalikkan badan dan juga tengah menatapnya dengan tajam. Iya, pria itu adalah Reandra, ayah kandung Ines, sedangkan gadis itu Reandra tidak mengetahui namanya. Dia akan menginap di sana beberapa hari sebelum berangkat ke Singapura, tempat tinggalnya sekarang."Bukan urusan lo," jawab gadis itu dengan ketus seraya pergi meninggalkan Reandra yang berdiri dengan penuh kecurigaan.Bagaimana tidak? Reandra melihat gadis itu tengah menutup pintu kamar putrinya, lalu mengatakan hal yang membuat jiwa penasaran pria paruh baya itu berkembang. Dia harus waspada dan mencari tahu.Saat akan membalikkan badannya. Tiba-tiba ada yang memanggil namanya. "Mas Andra," panggil seseorang dengan lembut.Reandra menatap orang yang memanggilnya
Seorang gadis menghampiri wanita paruh baya yang tengah terduduk dengan angkuh di sebuah sofa, sambil menatap tajam ke arah gadis yang merupakan putrinya. Dia sudah mengetahui apa maksud dan tujuan sang putri datang padanya, tentu untuk meminta bantuannya.Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia tidak seperti dirinya? Bisa melakukan hal-hal jahat hanya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Bahkan, untuk membunuh seseorang pun dia mampu walau hanya sendiri."Mama, aku butuh bantuan Mama."Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas. "Kau itu bodoh sekali. Mengerjakan hal seperti itu saja tidak becus, kalau kau meminta bantuanku, maka Mr X akan mencurigai kita.""Lalu aku harus bagaimana, Ma?" tanya gadis itu."Dasar bodoh! Pakai otakmu! Aku melahirkanmu supaya kau bisa membantuku untuk balas dendam pada Mayang, dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita!" Bukannya men
Seorang gadis menghampiri wanita paruh baya yang tengah terduduk dengan angkuh di sebuah sofa, sambil menatap tajam ke arah gadis yang merupakan putrinya. Dia sudah mengetahui apa maksud dan tujuan sang putri datang padanya, tentu untuk meminta bantuannya.Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia tidak seperti dirinya? Bisa melakukan hal-hal jahat hanya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Bahkan, untuk membunuh seseorang pun dia mampu walau hanya sendiri."Mama, aku butuh bantuan Mama."Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas. "Kau itu bodoh sekali. Mengerjakan hal seperti itu saja tidak becus, kalau kau meminta bantuanku, maka Mr X akan mencurigai kita.""Lalu aku harus bagaimana, Ma?" tanya gadis itu."Dasar bodoh! Pakai otakmu! Aku melahirkanmu supaya kau bisa membantuku untuk balas dendam pada Mayang, dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita!" Bukannya men
Vallen dan Ines turun ke lantai bawah dan menuju ke ruang makan. Mereka akan ikut sarapan bersama dengan keluarga Erick. Tidak hanya keduanya, tetapi papa Ines juga berada di sana.Vallen mengernyitkan dahinya ketika Ines tiba-tiba saja berhenti. Saat gadis itu akan memutar balik badannya, sang suami langsung menggenggam tangannya. Ines menatap penuh protes ke arah Vallen, tetapi pria itu tidak mendengarkan. Dia terus saja menarik Ines agar mengikutinya ke meja makan.Vallen meminta Ines untuk duduk di sampingnya dan gadis itu menurut. Namun, tiba-tiba saja Nela datang, dia meminta Ines untuk pindah tempat duduk karena itu adalah kursi yang biasa Nela tempati ketika tengah ikut makan bersama keluar Argiantara Erick."Ines? Kamu kenapa duduk di sini? Ini tempat aku, Nes. Aku biasanya duduk di sini, kalau makan di rumah Tante Mayang," ujar Nela seakan mengingatkan Ines."Bisa duduk di kursi yang lain bukan?" Bukan, bukan Ines yang menjawab melainkan Vallen.
Vallen dan Ines turun ke lantai bawah dan menuju ke ruang makan. Mereka akan ikut sarapan bersama dengan keluarga Erick. Tidak hanya keduanya, tetapi papa Ines juga berada di sana.Vallen mengernyitkan dahinya ketika Ines tiba-tiba saja berhenti. Saat gadis itu akan memutar balik badannya, sang suami langsung menggenggam tangannya. Ines menatap penuh protes ke arah Vallen, tetapi pria itu tidak mendengarkan. Dia terus saja menarik Ines agar mengikutinya ke meja makan.Vallen meminta Ines untuk duduk di sampingnya dan gadis itu menurut. Namun, tiba-tiba saja Nela datang, dia meminta Ines untuk pindah tempat duduk karena itu adalah kursi yang biasa Nela tempati ketika tengah ikut makan bersama keluar Argiantara Erick."Ines? Kamu kenapa duduk di sini? Ini tempat aku, Nes. Aku biasanya duduk di sini, kalau makan di rumah Tante Mayang," ujar Nela seakan mengingatkan Ines."Bisa duduk di kursi yang lain bukan?" Bukan, bukan Ines yang menjawab melainkan Vallen.
Seorang gadis menghampiri wanita paruh baya yang tengah terduduk dengan angkuh di sebuah sofa, sambil menatap tajam ke arah gadis yang merupakan putrinya. Dia sudah mengetahui apa maksud dan tujuan sang putri datang padanya, tentu untuk meminta bantuannya.Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia tidak seperti dirinya? Bisa melakukan hal-hal jahat hanya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Bahkan, untuk membunuh seseorang pun dia mampu walau hanya sendiri."Mama, aku butuh bantuan Mama."Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas. "Kau itu bodoh sekali. Mengerjakan hal seperti itu saja tidak becus, kalau kau meminta bantuanku, maka Mr X akan mencurigai kita.""Lalu aku harus bagaimana, Ma?" tanya gadis itu."Dasar bodoh! Pakai otakmu! Aku melahirkanmu supaya kau bisa membantuku untuk balas dendam pada Mayang, dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita!" Bukannya men
Seorang gadis menghampiri wanita paruh baya yang tengah terduduk dengan angkuh di sebuah sofa, sambil menatap tajam ke arah gadis yang merupakan putrinya. Dia sudah mengetahui apa maksud dan tujuan sang putri datang padanya, tentu untuk meminta bantuannya.Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia tidak seperti dirinya? Bisa melakukan hal-hal jahat hanya seorang diri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Bahkan, untuk membunuh seseorang pun dia mampu walau hanya sendiri."Mama, aku butuh bantuan Mama."Wanita paruh baya itu memutar bola matanya malas. "Kau itu bodoh sekali. Mengerjakan hal seperti itu saja tidak becus, kalau kau meminta bantuanku, maka Mr X akan mencurigai kita.""Lalu aku harus bagaimana, Ma?" tanya gadis itu."Dasar bodoh! Pakai otakmu! Aku melahirkanmu supaya kau bisa membantuku untuk balas dendam pada Mayang, dan merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita!" Bukannya men
"Sedang apa kau di depan pintu kamar putriku?" tanya seseorang, membuat tubuh orang itu menegang.Reandra menatap penuh intimidasi ke arah gadis yang baru saja membalikkan badan dan juga tengah menatapnya dengan tajam. Iya, pria itu adalah Reandra, ayah kandung Ines, sedangkan gadis itu Reandra tidak mengetahui namanya. Dia akan menginap di sana beberapa hari sebelum berangkat ke Singapura, tempat tinggalnya sekarang."Bukan urusan lo," jawab gadis itu dengan ketus seraya pergi meninggalkan Reandra yang berdiri dengan penuh kecurigaan.Bagaimana tidak? Reandra melihat gadis itu tengah menutup pintu kamar putrinya, lalu mengatakan hal yang membuat jiwa penasaran pria paruh baya itu berkembang. Dia harus waspada dan mencari tahu.Saat akan membalikkan badannya. Tiba-tiba ada yang memanggil namanya. "Mas Andra," panggil seseorang dengan lembut.Reandra menatap orang yang memanggilnya
Ines menatap pantulan dirinya di depan cermin. Biasanya ia akan tersenyum ceria sambil mengedipkan sebelah matanya. Namun, sekarang gadis itu malah murung, tidak bersemangat."Non Ines kenapa?" tanya seseorang yang tergesa-gesa masuk ke dalam kamar Ines, setelah para tukang rias pengantin itu pergi.Gadis yang mengenakan kebaya putih itu hanya menggelengkan kepala. Iya, hari ini adalah hari di mana Ines akan menikah dengan Vallen. Pernikahan Ines dan Vallen didasari oleh kemewahan."Non kalau nggak mau menikah, bilang saja, Non," ucap Bi Iis, membuat Ines menatapnya sambil mengulas senyum tulus."Ines nggak apa-apa, Bi."Bi Iis menganggukkan kepala. "Ya sudah, kalau begitu bibi kembali ke bawah, membantu pelayan-pelayan lain."Setelah kepergian Bi Iis, hanya keheningan yang menghinggap di ruangan Ines berada. Gadis itu masih terdiam sambil menatap pantulan dirinya, tetapi tiba-t
Ines begitu sungkan untuk berbincang dengan Vallen perihal pernikahannya. Bukan hanya itu, bahkan untuk bertemu pun dia tidak punya nyali. Bagaimana tidak? Gadis itu terus saja mengingat perlakuan Vallen yang menciumnya secara tiba-tiba. Padahal kejadian tersebut sudah seminggu yang lalu, tetapi entah kenapa Ines merasa malu pada Vallen.Seperti halnya saat ini, Ines yang seharusnya melakukan fitting baju pengantin, malah pergi ke rumah Fernan."Lo ngapain di sini? Mau cari mati?" tanya Fernan yang terkejut saat membuka pintu utama di rumah mewahnya."Ish, Fernan. Kalau asal jangan ngomong, Ines ke sini cari Tante bukan mati." Ines mendengkus sebal mendengar pertanyaan Fernan yang frontal.Fernan mengibas-ibaskan tangannya. "Pulang lo, pulang. Bikin hidup gue dalam bahaya aja lo, sana pulang! Terus temuin pangeran lo," usir Fernan."Jahat banget sih, orang ada tamu datang kok malah diusir suruh
Vallen melangkah masuk ke dalam rumah mewah keluarga Argiantara Erick sambil menggenggam tangan Ines. Iya, setelah menemukan Ines yang bersembunyi di balik salah satu mobil, Vallen langsung membawa gadisnya ke rumah besar itu. Semua keluarga Erick sudah berkumpul di ruang keluarga, menunggu kedatangan Vallen dan Ines. Bahkan, Kinar pun sudah berada di sana. Pria itu memerintahkan Gray agar menjadi sopir di mobil Kinar, sedangkan dia mengendarai mobilnya ditemani sang gadis pujaan yang duduk di sampingnya."Mr Vallen? Selamat datang, Mr," ucap Argi dengan canggung seraya mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Vallen.Semua orang pun ikut melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Argi. Setelah itu, Argi meminta Vallen dan tangan kanan pria itu untuk duduk di sofa. Semuanya menatap kagum dengan ketampanan Vallen, walaupun wajah pria itu nampak dingin dan datar."Saya tidak menyangka,
Seorang pria masuk ke dalam sebuah ruangan untuk menghadap sang bos yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Pria dengan setelan serba hitam itu menundukkan kepala sambil berdiri di hadapan bosnya."Tuan memanggilku? Right?" tanya pria itu, membuat pria yang dipanggil tuan menatap ke arahnya dengan menampilkan wajah datar dan dinginnya."Right, aku ingin ke Indonesia hari ini," ucap pria yang dipanggil tuan."Are you sure, Sir? But, you-" Belum sempat pria itu melanjutkan ucapannya, tetapi sang bos langsung menyela."Yes, I am sure. Why?" Sang bos mengangkat sebelah alisnya."No, Sir. Okay, aku akan mempersiapkan keberangkatanmu." Sang tuan hanya menganggukkan kepala."Gercep sekali dia. Mentang-mentang akan bertemu dengan calon istrinya, pekerjaan pun ditunda. Dasar bucin," gerutu pria yang diketahui adalah tangan kanan pria yang masih duduk di kursi kebesarannya."Aku mendengarnya."Mendengar, heh? batin pria yang akan keluar dari ru
Arka yang merasa bosan dengan topik pembicaraan keluarga besarnya, langsung beranjak meninggalkan ruang keluarga. Dia begitu terkejut saat melihat Ines tengah bersembunyi di balik tembok ruang keluarga.Apa Ines mendengar semuanya? tanya Arka dalam hati.Arka terus memperhatikan raut wajah Ines yang menunjukkan bahwa gadis itu tengah terluka, kecewa, dan sedih. Bahkan, mata dan pipinya sudah basah oleh air. Ines langsung menghapus air matanya, lalu mengucapkan kata-kata yang membuat Arka merasa sangat bersalah."Ines kira mereka bener-bener tulus, tapi ternyata bahagia itu disengaja. Bahagia yang disengaja karena kesepakatan bersama," gumam Ines sambil membalikkan badan untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.Belum sempat gadis itu melanjutkan langkahnya, tiba-tiba Arka memanggil sang adik, membuat Ines langsung menghentikan langkahnya."Ines?" panggil Arka.