Tiga puluh menit setelah Alina pergi.
Reno berjalan bolak-balik di halaman rumahnya, berulang kali membuka dan menutup pintu mobilnya, berulang kali menghubungi ponsel Alina namun tidak ada jawaban. Dalam satu tarikan napas, Reno menarik gagang pintu mobil dan menyalakan mesinnya.
“Pasti dia belum terlalu jauh,” gumam Reno menghibur diri.
Alina bukan tipe pengendara yang suka kecepatan tinggi, maka akan lebih cepat terkejar bila Reno memacu mobilnya lebih cepat dari biasa. Beruntung jalanan lumayan sepi, jadi Reno bisa menambah kecepatannya.
Setelah satu jam berkendara, Reno melihat seorang wanita sedang ditarik paksa keluar dari mobil. ‘Bertengkar di tepi jalan, sangat memalukan,’ ucapnya membatin.
Namun, hati kecilnya menggerakkan matanya untuk melirik dari spion samping hanya sekedar ingin memastikan bahwa wanita yang sedang memakai kaos miliknya itu baik-baik saja.
‘Kaos milikku?!’ batin Reno tersentak menyadari hal penting yang te
“Apa yang membuatmu tersenyum?” heran Reno. “Apa kau sudah melihat wajah cemberutmu? Kau nampak sepuluh tahun lebih tua dari usiamu, Ren.” Alina terkikik membayangkan Reno berjalan dengan bantuan tongkat di tangannya. “Apa nyawamu bisa dipakai bahan candaan?!” bentak Reno marah. “Aku tidak bercanda dengan nyawaku, aku hanya merasa lucu melihat wajah pucatmu yang sedang cemberut itu.” Alina menarik lengan Reno. “Aku belum mati, Ren. Dan tidak akan mati semudah itu sebelum aku mendapatkan cintamu. Lagipula, ada kau yang akan menjagaku, bukan begitu?” Bruk. Reno menarik Alina. “Aku hampir mati rasanya saat menyadari bahwa wanita itu kamu, Al.” “Aku tahu,” bisik Alina seraya membalas pelukan Reno. “Aku pikir, aku tidak akan bisa melihat wajahmu lagi.” Alina bukan gadis cengeng, tapi berada dalam hangat pelukan Reno, membuat Alina rapuh. “Al, lihat aku.” Reno mangangkat dagu Alina. “Maafkan aku tentang hal tidak penting yang aku kat
Istri Asep, Cucun, sedang menggerus bumbu saat Maura turun ke dapur. Kepalanya hanya menoleh sejenak dan menyapa Maura kemudian kembali menekuni pekerjaannya.“Masak apa hari ini, Teh?” sapa Maura basa-basi.“Ini, Den Rangga minta dibuatkan ayam bakar madu dan sambal terasi untuk sarapan.”“Sini, Maura bantu.” Diraihnya sayuran segar yang baru selesai dicuci. “Ini mau dimasak apa, Teh?”“Mau dibikin salad Sunda, Neng.”“Hemm?” Maura mengernyit bingung. “Salad Sunda, maksudnya?”“Hehehe, lalapan, Neng. Ada yang dibiarkan mentah, ada yang direbus sampai matang. Nanti dimakan bareng sambal terasi dan ayam bakar, hmm ….” Cucun memperagakan salah satu iklan di TV lengkap dengan ekspresi yang membuat orang ingin mencoba.“Jadi ngiler,” ucap Maura setelah melihat aksi Cucun.“Iya, Neng. Memang menggugah selera. Ini
“Halo, Yuki.” Maura menyapa gadis kecil yang rambutnya selalu dikuncir ekor kuda itu dengan mata berbinar. Sosok Yuki mengingatkannya pada dirinya saat kecil. Rambut ekor kuda yang selalu bergerak mengikuti tubuhnya. Kuncir buatan mamanya yang menemani hari-harinya di sekolah. “Ini Yuki, anak teman baik Eddie. Dia berlibur bersama mamanya ke sini. Yuki, panggil mamanya, kita makan.” “Ya, Tante.” Yuki melesat masuk lagi ke dalam memanggil mamanya. Maura dan Rangga duduk, berbincang hal-hal ringan dan mengingat masa lalu bersama Riana dan Eddie. Riana tak kuasa menahan tawa saat menceritakan tentang Rangga muda yang angkuh dan sombong rela berkeringat tanding basket demi mempertahankan predikat the best student. “Mengingat itu, selalu berhasil membuatku tersenyum. Rangga yang selalu stand out hari itu berkeringat, bau dan kucel walau berhasil memenangkan pertandingan akhirnya.” Maura ikut tersenyum membayangkan Rangga m
“Kenapa kamu berkata begitu tadi? Aku sudah memberikan sinyal pada Riana dan Eddie bahwa kantor sedang tidak membutuhkan tenaga kerja baru. Kenapa kamu malah memberinya sebuah peluang untuk berharap?” tanya Rangga seraya mengganti pakaiannya dengan piyama satin.“Aku tidak memberinya peluang, hanya tidak ingin terkesan begitu takut bila dia berada di sekitarmu, Kak. Oh ya, apa Riana tidak tahu masa lalumu dengan Vivian?”“Kalau kamu berpikir bahwa Riana dan Eddie sengaja mendekatkan aku dan Vivian, kamu salah. Mereka belum tahu kisah antara aku dan Vivian, kalau pun tahu, Riana tidak akan berani mengusulkan hal seperti tadi.”“Kamu yakin, Kak?”“Sangat yakin. Walau tidak dekat, Riana tahu aku dengan baik. Dia tidak akan mengambil resiko besar untuk menciptakan masalah denganku.”“Lalu bagaimana selanjutnya? Dia sudah meminta bantuan Riana untuk membantunya mencari kerja agar dapat me
Maura duduk menyandarkan kepalanya di bahu Rangga dengan Yuki tertidur di pangkuannya. Bocah itu baru saja tertidur setelah hampir tiga puluh menit terus menangis. Riana sedang di dalam IGD menemani Vivian diperiksa.“Ayo, sebaiknya ku antar kamu pulang. Aku akan menyuruh Asep untuk menjemput Riana.”Maura menggeleng.“Ra, kita juga butuh istirahat. Sebentar lagi kakimu akan kebas dan kesemutan.” Rangga menunjuk dengan dagunya.“Yuki akan menangis begitu tahu kita membawanya jauh dari ibunya, Kak.”“Peduli setan dengan anak itu.”“Hush! Jaga ucapanmu, Kak.”“Ish!”Riana keluar dari pintu IGD. “Ra, sebaiknya kalian bawa Yuki pulang. Aku mungkin harus di sini sampai sepupu Vivian datang. Terima kasih sudah mengantar kami.”Maura hanya tersenyum dan mengangguk.“Rangga, tolong kamu hubungi sepupunya, minta dia untuk segera datan
Kediaman Keluarga Danutirta“Astaga, apa yang terjadi padamu, Al?! Ren?!” Hanna bergegas menghampiri putrinya. “Kenapa bisa begini?”“Alina hampir dirampok, Ma. Untung ada Reno lewat, jadi masih selamat.”“Kenapa pulang gak minta tolong Asep untuk antar? Kamu juga gak bilang kalau mau pulang. Ada apa, sih?”Reno yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Maaf, Bu. Sebenarnya Alina sudah sampai Jakarta sejak sebelum petang, tapi dia langsung ke rumah saya karena kami bertengkar.”“Bertengkar?” Hanna ingin bertanya lebih lanjut, tapi dia tahu itu bukan urusannya selama Reno dan Alina tidak saling melukai. “Lalu, perampoknya? Ini sudah diperiksa? Baru keluar dari Rumah Sakit kalian?”Kini giliran Alina yang diam. Hanna bukan orang kuno dan kolot, terlebih sejak Alina terjun ke dunia modeling. Namun, tetap ada batasan antara laki-laki dan perempuan yang tidak bo
Vila Ranggapati, Bandung Dari tempatnya duduk, Rangga melihat istrinya dan gadis kecil yang tiba-tiba hadir di antara mereka sedang bermain air di dalam kolam. Mereka begitu natural layaknya ibu dan anak yang sedang menghabiskan waktu bersama. Entah kenapa, sejak melihat Yuki dari dekat, Rangga yakin sekali bahwa gadis kecil itu bukan darah dagingnya. “Kak, sini.” Maura melambaikan tangan mengundang Rangga ikut bergabung. “Tidak, aku masih harus membaca beberapa laporan yang Reno kirimkan,” tolak Rangga setengah hati. Pria mana yang akan sanggup menolak ajakan Maura yang melambai dengan begitu menggoda ditambah tubuhnya yang basah dalam balutan baju renang warna merah. Tapi kali ini, Rangga harus meneguhkan hatinya untuk menolak. Ia tidak ingin Maura salah mengira bahwa dirinya bersedia masuk ke dalam air karena ingin lebih akrab dengan Yuki. ‘Tahan, Ranggapati. Akan ada banyak waktu lain untukmu bermain dengan Maura di dalam air.’ Rangga meng
Yuki sibuk memilih berbagai macam es krim yang tersedia di depannya bersama Maura, sedangkan Rangga hanya berdiri dengan tangan dilipat di depan dada sambil melihat interaksi antara Maura dan Yuki.“Masih lama? Atau kalian beli saja semua isinya.”Maura berpaling dengan kesal. “Kamu kenapa, sih? Dari tadi sewot. Diajak belanja bulanan sekalian ngomel, pilih mangga kelamaan ngedumel. Tadi yang minta ikutan siapa?”“Haish, cepat sedikit. Kakiku mulai pegel, mana bau keringat di mana-mana.”“Kak! Apaan, sih?!” Maura menurunkan Yuki yang sedang asyik memilih es krim. “Yuki, kita pulang saja. Paman Rangga sedang tidak enak badan.”Dalam perjalanan pulang, terjadi sebuah kecelakaan di jalan yang mereka lalui, menyebabkan lalu lintas padat merayap. Maura melirik wajah Rangga yang menggembung seperti ikan fugu dan mengulurkan tangannya menyentuh dahi lebar yang sedang berkerut menahan sesuatu.