“Jangan berlebihan. Pegang ini!” Reno mengarahkan satu tangan Alina untuk menyatukan kedua sisi kemeja, selagi ia masuk ke kamar dan mengambil sebuah kaos besar. “Pakai ini!”
Alina tetap diam dengan mata merah dan berkaca-kaca. Melihat sikap memberontak yang Alina tunjukkan, Reno memasangkan kaosnya melewati kepala Alina hingga menutup hampir setengah pahanya. “Ganti bajumu.”
Alina menepis kasar tangan Reno yang menyentuh bahunya, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya hingga kaca rumah itu bergetar. Dua puluh menit Reno berdiri diam di depan pintu kamarnya, waspada bila terdengar suara-suara yang mencurigakan.
Tok tok tok.
“Alina.” Tidak ada jawaban. “Al, kau baik-baik saja?” Reno memegang gagang pintu, tapi tidak segera membukanya. Ia terlalu takut menghadapi kenyataan di dalam yang sedang menunggunya.
Bagaimana kalau Alina bersikap seperti tadi, nekat telanjang di hadapannya? Atau bahkan mungkin sekarang Alina sedan
Tiga puluh menit setelah Alina pergi. Reno berjalan bolak-balik di halaman rumahnya, berulang kali membuka dan menutup pintu mobilnya, berulang kali menghubungi ponsel Alina namun tidak ada jawaban. Dalam satu tarikan napas, Reno menarik gagang pintu mobil dan menyalakan mesinnya. “Pasti dia belum terlalu jauh,” gumam Reno menghibur diri. Alina bukan tipe pengendara yang suka kecepatan tinggi, maka akan lebih cepat terkejar bila Reno memacu mobilnya lebih cepat dari biasa. Beruntung jalanan lumayan sepi, jadi Reno bisa menambah kecepatannya. Setelah satu jam berkendara, Reno melihat seorang wanita sedang ditarik paksa keluar dari mobil. ‘Bertengkar di tepi jalan, sangat memalukan,’ ucapnya membatin. Namun, hati kecilnya menggerakkan matanya untuk melirik dari spion samping hanya sekedar ingin memastikan bahwa wanita yang sedang memakai kaos miliknya itu baik-baik saja. ‘Kaos milikku?!’ batin Reno tersentak menyadari hal penting yang te
“Apa yang membuatmu tersenyum?” heran Reno. “Apa kau sudah melihat wajah cemberutmu? Kau nampak sepuluh tahun lebih tua dari usiamu, Ren.” Alina terkikik membayangkan Reno berjalan dengan bantuan tongkat di tangannya. “Apa nyawamu bisa dipakai bahan candaan?!” bentak Reno marah. “Aku tidak bercanda dengan nyawaku, aku hanya merasa lucu melihat wajah pucatmu yang sedang cemberut itu.” Alina menarik lengan Reno. “Aku belum mati, Ren. Dan tidak akan mati semudah itu sebelum aku mendapatkan cintamu. Lagipula, ada kau yang akan menjagaku, bukan begitu?” Bruk. Reno menarik Alina. “Aku hampir mati rasanya saat menyadari bahwa wanita itu kamu, Al.” “Aku tahu,” bisik Alina seraya membalas pelukan Reno. “Aku pikir, aku tidak akan bisa melihat wajahmu lagi.” Alina bukan gadis cengeng, tapi berada dalam hangat pelukan Reno, membuat Alina rapuh. “Al, lihat aku.” Reno mangangkat dagu Alina. “Maafkan aku tentang hal tidak penting yang aku kat
Istri Asep, Cucun, sedang menggerus bumbu saat Maura turun ke dapur. Kepalanya hanya menoleh sejenak dan menyapa Maura kemudian kembali menekuni pekerjaannya.“Masak apa hari ini, Teh?” sapa Maura basa-basi.“Ini, Den Rangga minta dibuatkan ayam bakar madu dan sambal terasi untuk sarapan.”“Sini, Maura bantu.” Diraihnya sayuran segar yang baru selesai dicuci. “Ini mau dimasak apa, Teh?”“Mau dibikin salad Sunda, Neng.”“Hemm?” Maura mengernyit bingung. “Salad Sunda, maksudnya?”“Hehehe, lalapan, Neng. Ada yang dibiarkan mentah, ada yang direbus sampai matang. Nanti dimakan bareng sambal terasi dan ayam bakar, hmm ….” Cucun memperagakan salah satu iklan di TV lengkap dengan ekspresi yang membuat orang ingin mencoba.“Jadi ngiler,” ucap Maura setelah melihat aksi Cucun.“Iya, Neng. Memang menggugah selera. Ini
“Halo, Yuki.” Maura menyapa gadis kecil yang rambutnya selalu dikuncir ekor kuda itu dengan mata berbinar. Sosok Yuki mengingatkannya pada dirinya saat kecil. Rambut ekor kuda yang selalu bergerak mengikuti tubuhnya. Kuncir buatan mamanya yang menemani hari-harinya di sekolah. “Ini Yuki, anak teman baik Eddie. Dia berlibur bersama mamanya ke sini. Yuki, panggil mamanya, kita makan.” “Ya, Tante.” Yuki melesat masuk lagi ke dalam memanggil mamanya. Maura dan Rangga duduk, berbincang hal-hal ringan dan mengingat masa lalu bersama Riana dan Eddie. Riana tak kuasa menahan tawa saat menceritakan tentang Rangga muda yang angkuh dan sombong rela berkeringat tanding basket demi mempertahankan predikat the best student. “Mengingat itu, selalu berhasil membuatku tersenyum. Rangga yang selalu stand out hari itu berkeringat, bau dan kucel walau berhasil memenangkan pertandingan akhirnya.” Maura ikut tersenyum membayangkan Rangga m
“Kenapa kamu berkata begitu tadi? Aku sudah memberikan sinyal pada Riana dan Eddie bahwa kantor sedang tidak membutuhkan tenaga kerja baru. Kenapa kamu malah memberinya sebuah peluang untuk berharap?” tanya Rangga seraya mengganti pakaiannya dengan piyama satin.“Aku tidak memberinya peluang, hanya tidak ingin terkesan begitu takut bila dia berada di sekitarmu, Kak. Oh ya, apa Riana tidak tahu masa lalumu dengan Vivian?”“Kalau kamu berpikir bahwa Riana dan Eddie sengaja mendekatkan aku dan Vivian, kamu salah. Mereka belum tahu kisah antara aku dan Vivian, kalau pun tahu, Riana tidak akan berani mengusulkan hal seperti tadi.”“Kamu yakin, Kak?”“Sangat yakin. Walau tidak dekat, Riana tahu aku dengan baik. Dia tidak akan mengambil resiko besar untuk menciptakan masalah denganku.”“Lalu bagaimana selanjutnya? Dia sudah meminta bantuan Riana untuk membantunya mencari kerja agar dapat me
Maura duduk menyandarkan kepalanya di bahu Rangga dengan Yuki tertidur di pangkuannya. Bocah itu baru saja tertidur setelah hampir tiga puluh menit terus menangis. Riana sedang di dalam IGD menemani Vivian diperiksa.“Ayo, sebaiknya ku antar kamu pulang. Aku akan menyuruh Asep untuk menjemput Riana.”Maura menggeleng.“Ra, kita juga butuh istirahat. Sebentar lagi kakimu akan kebas dan kesemutan.” Rangga menunjuk dengan dagunya.“Yuki akan menangis begitu tahu kita membawanya jauh dari ibunya, Kak.”“Peduli setan dengan anak itu.”“Hush! Jaga ucapanmu, Kak.”“Ish!”Riana keluar dari pintu IGD. “Ra, sebaiknya kalian bawa Yuki pulang. Aku mungkin harus di sini sampai sepupu Vivian datang. Terima kasih sudah mengantar kami.”Maura hanya tersenyum dan mengangguk.“Rangga, tolong kamu hubungi sepupunya, minta dia untuk segera datan
Kediaman Keluarga Danutirta“Astaga, apa yang terjadi padamu, Al?! Ren?!” Hanna bergegas menghampiri putrinya. “Kenapa bisa begini?”“Alina hampir dirampok, Ma. Untung ada Reno lewat, jadi masih selamat.”“Kenapa pulang gak minta tolong Asep untuk antar? Kamu juga gak bilang kalau mau pulang. Ada apa, sih?”Reno yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Maaf, Bu. Sebenarnya Alina sudah sampai Jakarta sejak sebelum petang, tapi dia langsung ke rumah saya karena kami bertengkar.”“Bertengkar?” Hanna ingin bertanya lebih lanjut, tapi dia tahu itu bukan urusannya selama Reno dan Alina tidak saling melukai. “Lalu, perampoknya? Ini sudah diperiksa? Baru keluar dari Rumah Sakit kalian?”Kini giliran Alina yang diam. Hanna bukan orang kuno dan kolot, terlebih sejak Alina terjun ke dunia modeling. Namun, tetap ada batasan antara laki-laki dan perempuan yang tidak bo
Vila Ranggapati, Bandung Dari tempatnya duduk, Rangga melihat istrinya dan gadis kecil yang tiba-tiba hadir di antara mereka sedang bermain air di dalam kolam. Mereka begitu natural layaknya ibu dan anak yang sedang menghabiskan waktu bersama. Entah kenapa, sejak melihat Yuki dari dekat, Rangga yakin sekali bahwa gadis kecil itu bukan darah dagingnya. “Kak, sini.” Maura melambaikan tangan mengundang Rangga ikut bergabung. “Tidak, aku masih harus membaca beberapa laporan yang Reno kirimkan,” tolak Rangga setengah hati. Pria mana yang akan sanggup menolak ajakan Maura yang melambai dengan begitu menggoda ditambah tubuhnya yang basah dalam balutan baju renang warna merah. Tapi kali ini, Rangga harus meneguhkan hatinya untuk menolak. Ia tidak ingin Maura salah mengira bahwa dirinya bersedia masuk ke dalam air karena ingin lebih akrab dengan Yuki. ‘Tahan, Ranggapati. Akan ada banyak waktu lain untukmu bermain dengan Maura di dalam air.’ Rangga meng
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s