"Nggak masalahkan Bi aku kesini?"
"Setiap hari juga nggak papa Gam," jawab Abian, mengalihkan kembali pandangan Agam menatap Inez.
"Dengarkan? nggak masalah!"
"Siapa juga yang bilang masalah," jawab Inez, mencebikkan bibir membuang pandangannya.
Tak mengetahui pandangan bingung kakaknya, yang terdiam memperhatikan perseteruannya.
"Kenapa kamu tadi nggak ke kantor? kamu nggak butuh lagi bantuanku?" tanya Agam, memulai percakapan ingin mengurai rasa penasaran di hatinya.
"Nggak papa, bantuan kamu sudah cukup, aku sudah bisa mengerjakannya sendiri, berbekal ilmu yang sudah aku pelajari, sewaktu menjadi Sekretaris kamu," jawab Inez.
Menyembunyikan alasan yang sebenarnya, mengenai perasaannya yang kecewa, tak ingin memperdalam rasa yang tak seharusnya ada.
Mengecewakan hati Agam, bukan ini jawaban yang di inginkannya.
"Selamat siang Mas," sapa wanita muda, terlihat cantik dengan gaun merahnya yang selutut.Berdiri dari duduknya, di salah satu kursi restoran yang ada di dalam mall, menyambut kedatangan Agam.Yang sudah berdiri di depannya mengangguk pelan."Selamat siang," jawab Agam, tak menunjukkan kehangatan di sorot matanya yang dingin, hanya berusaha bersikap biasa menekan rasa malas di hatinya.Sebelum mengulurkan tangannya, menyambut uluran tangan wanita yang ada di depannya."Zahra," ucap Zahra, memperkenalkan dirinya, seraya mengulaskan senyum di bibirnya, tak mengalihkan pandangannya dari Agam yang terdiam menatapnya enggan."Agam," jawab Agam akhirnya, segera melepaskan jabatan tangannya untuk duduk di atas kursi di seberang Zahra.Ingin segera mengakhiri pertemuannya, tak ingin banyak bicara, apalagi berbasa basi.Membis
"Apa kabar kamu?" suara Agam akhirnya, masih menikmati makanannya, dengan pandangannya lurus ke depan mengalihkan pandangan Inez."Aku? kamu tanya aku?" tanya Inez.Menciptakan decakan kesal di bibir Agam mengalihkan pandangannya beradu pandang."Kalau nggak kamu terus siapa? pelayan restoran?" sengit Agam."Masih tampan," batin Inez, mengulum senyumnya, memperhatikan wajah tampan Agam yang tak berubah. Masih sama, sama seperti waktu terakhir bertemu enam bulan yang lalu.Mengerutkan kening Agam, menyadari tatapan Inez yang tak biasa. "Ngapain kamu senyum senyum begitu?" sengitnya lagi.Menyadarkan Inez, segera membuang pandangan menghilangkan senyum di bibir tak lagi menatapnya."Aku nggak senyum!" kilah Inez."Bodoh sekali kamu Nez! bodoh bodoh bodoh!" batinnya, merutuki sikapnya sendiri yang tak terkendali.
"Sudah selesai, ayo," ucap Inez, baru menyelesaikan pengukuran tubuh untuk kebayanya, sudah berdiri di depan Agam."Aku antar kamu pulang sekarang," jawab Agam, seraya beranjak dari duduknya, menciptakan helaan nafas di bibir Inez.Mengalihkan pandangan Agam, "Butuh apalagi kamu?" tanya Agam, menyadari perasaan Inez yang tak ingin pulang beradu pandang."Butuh kamu," batin Inez, tertawa di dalam hatinya, benar benar ingin menghabiskan waktunya bersama dengan Agam tak ingin pulang."Kamu nggak butuh sesuatu? aku akan temani kamu, ya... itung-itung sebagai tanda terima kasihku, karena kamu sudah membantuku memesan kebaya," kilah Inez."Kamu ingin jalan denganku?" sahut Agam, membulatkan mata Inez, merasa tersentak dan ketahuan."Hahaha, tawa Inez, begitu garingnya."Apa segitu kentaranya? sialan!" batin Inez."Kita pula
"Berani sekali kamu...!" geram Agam, dengan deru nafasnya yang tersenggal dan...BUGHBUGHBUGHPukulan demi pukulan dan bertubi-tubi dari Agam, tak bisa lagi mengontrol emosi yang menguasai, menghajar lelaki yang sudah terlalu berani, bermain api dengan mencelakai Inez."Cukup Pak, Pak! cukup!" pekik Inez, menghentikan pukulan Agam yang tak terkendali, menahan lengan Agam."Bisa mati dia!" lanjut Inez, dengan deru nafasnya yang memburu, bersitatap dengan Agam yang telah berhenti menghajar, namun tak melepaskan cengkraman tangannya di krah Hoodie si lelaki penyerang, dan...Bruukk"Ahhh," rintih penyerang, menahan rasa sakit di punggungnya, akibat dorongan tangan Agam, yang begitu tiba-tiba, membuatnya menabrak dind
Semilirnya angin di pagi hari, membelai lembut dedaunan yang tumbuh di depan gedung yang menjulang tinggi, tempat Sukmajaya Group berdiri, tempat Papa Galang memimpin.Terlihat begitu sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang duduk di atas sofa loby, dan juga resepsionis perempuan yang telihat begitu rapi dengan setelan blazer hitam. Sedang berdiri dari duduknya, seraya mengulaskan senyum termanisnya menyambut kedatangan Papa Raimon dan juga Abian, yang sedang mengayunkan langkah dari arah pintu utama mendekatinya."Selamat Pagi Pak Abian, Pak Raimon,""Selamat Pagi, Galang ada kan?" jawab Papa Raimon, menganggukkan kepalanya pelan, di susul dengan anggukan kepala Abian."Ada Pak, di tunggu sebentar ya?" jawab Resepsionis itu, dengan begitu sopannya, segera meraih gagang telepon berwarna putih tulang yang ada di atas meja di dekatnya. Hendak melakukan panggilan intercom meminta izin.
"Hahaha, kenapa sih? kok pada kompakan batuknya?" tanya Inez."Hubungan apa?" suara Fahmi, di sela batuknya merasa begitu terkejut.Tak mengalihkan pandangannya dari Inez yang kembali tertawa, begitu garingnya menyesap soda di tangan tak segera menjawab pertanyaannya."Hubungan apa Nez? Agam? hubungan apa?" tanya Fahmi lagi, tak bisa membendung rasa penasarannya yang meninggi, meletakkan soda yang ada di tangannya di atas meja."Apa sih Fa?" spontan Agam."Nggak ada hubungan apa-apa Pak Fa, hanya hubungan persaudaraan, seiman dan seagama," jawab Inez terkekeh, seraya mengalihkankan pandangannya, menatap Agam yang membisu tak bersuara."Iya kan Pak?" lanjut Inez.Hanya mengedikkan bahu Agam, kembali menyesap soda yang ada di tangannya."Aku hanya senang Pak Fa, mulai sekarang dan hari ini, aku bisa mencari pasangan seb
"Aku, aku..minta maaf," jawab Andre sebelum..."Aaakkk," rintihnya, karena cengkraman tangan Abian yang begitu kuatnya, hingga membuatnya susah untuk bernafas, membuang pandangan Vanesa tak berani melihat."Kamu sudah gagal Lang, semuanya hancur," batin Papa Galang, tak mengalihkan pandangannya untuk menatap putranya yang terdengar kesakitan, segera memejamkan matanya dalam menguatkan hatinya.Sebelum membuka kembali matanya, mendengar suara Papa Raimon yang sedari tadi diam membuka suara."Cukup Bi, kita pulang," kata Papa Raimon, merasa tak tega dengan raut wajah dan juga kondisi hati sahabatnya, mengalihkan pandangan Abian."Apanya yang cukup Pa?" sewot Abian, tak melonggarkan cengkraman tangannya, masih dengan deru nafasnya yang memburu, segera memutar posisi berdirinya, membawa Andre membelakangi Papanya."Aaakkk," rintih Andre lagi, berusaha melepaskan
Waktu telah beranjak siang, mentaripun semakin terik tak lagi bersahabat dengan sinarnya yang menyengat kulit.Tepat di pukul 12:00, masih di ruangan kerja Agam di Dirgantara Property, terlihat Inez, tak lagi duduk memperhatikan kekasihnya bekerja, melainkan telah tertidur di atas sofa panjang di seberang Agam dan juga Fahmi.Berselimutkan jas kerja Agam, akibat tak bisa menahan rasa kantuknya yang menyerang merasa bosan."Bangunin Gam, ajak makan siang," suara Fahmi, mengedikkan dagunya ke arah Inez, sesaat setelah menutup layar laptopnya di atas meja menganggukkan kepala Agam."Iya," jawab Agam."Aku mau ke kantin dulu," lanjut Fahmi."Nggak barengan sama kami?""Nggak, habiskan saja waktu kalian berdua, ambil kesempatan biar bisa lebih dekat lagi." Tolak Fahmi, segera mencondongkan kepalanya, mendekatkan bibirnya untuk berbisik ke teli
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda