"Ahhh!" pekik Inez.
Karena suara petir yang menggelegar, tiba-tiba memekakkan telinga membuatnya terkejut.
Memejamkan matanya dalam, dengan degup jantungnya yang tak karuan menyembunyikan wajah cantiknya di lengan Agam.
"Astaga... ngagetin tahu nggak kamu!" spontan Agam, menyentuh dadanya sendiri menatap Inez.
Yang terdiam, menutup kedua telinga, masih membenamkan wajah di lengannya tak menghiraukannya.
"Julukannya saja atlit, tapi sama petir takut," ejek Agam, menyadari ketakutan di diri Inez.
Kembali mengalihkan pandangannya, fokus ke jalanan yang ada di depannya.
"Jangan ngejek kamu Pak, aku hanya terkejut!" protes Inez, masih dengan degup jantungnya yang tak beraturan.
Mencebikkan bibir Agam, tak ingin mengalihkan pandangannya, hanya membuka tangan kirinya.
"Alasan," jawab Agam, dengan intonas
"Kita sama-sama anak perawan bukan? jadi nggak ada salahnya kalau kita saling serang sekarang," jawab Agam, kembali mengayunkan tangan kanannya ke depan, membulatkan mata Inez.PlakkkPlakkkPlakkkTepisan demi tepisan, kembali terjadi di antara keduanya, dengan deru nafas mereka yang sama-sama memburu, hanya untuk bertahan tak ada yang ingin kena pukulan."Stop Pak! Stop...!" pekik Inez, terlihat begitu kepayahan, selain karena dirinya yang belum makan malam, tak menghentikan gerakan tangannya."Ahhhh," pekik Inez lagi, karena Agam, berhasil melumpuhkannya, memiting lehernya menghentikan perkelahian."Hanya sebatas ini kemampuanmu? sungguh aku ragu sama sabuk hitammu," ucap Agam, dengan intonasi meremehkan melepaskan tubuh Inez.
"Kamu terlihat lelah, kenapa kamu nggak bisa tidur? apa kamu butuh sesuatu?" tanya Inez, merasa khawatir dengan kondisi atasan sementaranya, lelaki pertama yang mampu membuat hatinya berbunga."Aku nggak bisa tidur semalaman Ka, aku terus mimpi buruk, kejadian itu terus saja melintas di kepalaku,"Kalimat Agam, kembali terngiang di kepala Inez, sewaktu berbicara dengan Haikal, teman sekaligus psikiater atasan sementarannya.Sebelum mengingat kembali, obat yang pernah di lihatnya di atas meja kerja Agam, membuatnya khawatir tak mengalihkan pandangannya, dari Agam yang membisu tak kunjung menjawab pertanyaanya."Kamu butuh sesuatu Pak? kenapa kamu diam begitu?""Kamu perhatian sama aku?" jawab Agam, balik bertanya, menciptakan helaan nafas di bibir Inez."Aku Sekretaris kamu sekarang, sudah menjadi tugasku untuk menjaga dan memastikan kesehatan kamu,"
Semilirnya angin membelai dedaunan yang tumbuh di halaman depan rumah sakit Dr. Subagyo.Bersama dengan sinar mentari yang masih hangat, belum terlalu terik. Terlihat sedan yang di kendarai Agam, melaju pelan menuju parkiran mobil yang tersedia di halaman depan rumah sakit."Kenapa parkir Pak?" tanya Inez, mengerutkan keningnya, duduk di kursi penumpang depan mengalihkan pandangan Agam."Aku akan mengantarkanmu ke dalam, di dalam ada orang tua kamu kan? aku harus minta maaf sama Papa dan Mama kamu," jawab Agam, seraya melepaskan seatbelt yang melindunginya."Mati!" batin Inez, tak kunjung melepaskan seatbelt di tubuhnya membuang pandangannya.Karena dirinya yang khawatir, dengan kemarahan Papanya, tak ingin di tampar Papanya di depan Bos sementaranya."Kenapa? ayo turun!""Aku bisa masuk sendiri, kamu juga nggak perlu minta maaf, kemarin
Semilirnya angin sepoi berhembus di waktu pagi hari, menemani cahaya dari sinar mentari yang masih hangat dan bersahabat.Tepat di saat pukul 10:00, terlihat sedan Agam, baru berhenti di dalam pelataran rumahnya berlantai dua.Tampak begitu bingung, tak bisa menghilangkan kalimat Papa Raimon yang terus saja terbayang dan berputar di kepalanya.Mengenai status Inez, wanita tomboi sekretaris sementaranya, yang selalu saja menguji kesabarannya, namun selalu peka terhadap kondisi dan sesuatu yang di butuhkannya.Membuatnya terdiam, hanya terpaku di tempatnya tak kunjung keluar dari mobil yang di naikinya."Calon suami? dia calon istri orang?" gumam Agam, menyandarkan kepalanya di sandaran kursi mobil, melipat kedua tangannya di atas dada."Tapi kenapa Mama ingin aku dekat sama dia? Andien juga bilang dia masih single?" gumamnya lagi.Berusaha
Di rumah sakit."Nez," panggil Andre, mengalihkan pandangan Inez, masih berdiri di sebelah ranjangnya.Bersamaan dengan Vanesa yang meremas tangannya perlahan, mencoba untuk bersikap tenang, tak ingin di kuasai oleh kobaran api cemburu di dada ikut mengalihkan pandangan."Tolong bantuin aku duduk Nez, punggungku sakit sekali," manja Andre."Biar saya bantu Pak," sela Vanesa, mengayunkan langkahnya spontan, mendekati Andre yang merajuk."Nggak perlu," jawab Andre cepat, segera memerintahkan Sekretarisnya kembali ke perusahaan, tak ingin kehilangan waktu kebersamaannya bersama dengan Inez.Menghentikan langkah Vanesa, kembali terdiam, dengan sorot mata kecewanya beradu pandang."Tarik dan putar saja tuasnya," timpal Inez, menunjuk tuas pengunci yang ada di belakang ranjang menatap Vanesa.Sebelum mengay
"Ceritakan sekarang Nez, telingaku sudah gatal ingin mendengarnya," ucap Andien, masih duduk di tempatnya.Menatap dalam temannya, baru selesai menyeruput minuman yang baru datang beradu pandang."Aku di jodohkan," jawab Inez.Dengan intonasi malasnya, membulatkan mata Andien, yang tersentak mencondongkan badannya reflek mendekatinya.Termasuk Agam, masih dengan sikapnya yang terlihat tenang cenderung acuh, membuang pandangannya ke sembarang arah."Ha? dijodohkan?" pekik Andien."Iya,""Sama siapa? sejak kapan? kok aku nggak tahu?""Dua tahun yang lalu, sama anak dari sahabat Papa, dan itu bukan berita bahagia yang bisa aku ceritakan ke kamu Ndien," jawab Inez.Kembali menyeruput minumannya beradu pandang, dengan Andien, yang menghela nafas, terlihat begitu kecewa kembali bersandar.
Sore beranjak senja, sudah berada di waktu jam pulang kerja, terlihat begitu banyaknya pegawai Dirgantara Property. Berjalan bergantian, keluar dari gedung melewati pintu loby.Tak termasuk Agam, masih duduk termenung, dengan tatapan kosongnya, menatap layar laptopnya yang menyala, tak bisa melepaskan pikirannya dari Inez, sekretaris sementaranya yang tak datang ke perusahaannya.Membuatnya penasaran, ingin mengetahui alasan Inez yang tak lagi bekerja tanpa alasan."Gam," panggil Fahmi, duduk di atas sofa di ruangan Agam, tak mengalihkan pandangan sabahatnya."Agam," panggil Fahmi lagi, masih tak membuat Agam tersadar membuatnya kesal."Agam!" pekik Fahmi akhirnya, menyentakkan Agam, yang tersadar mengalihkan pandangan cepat."Apa sih Fa?""Nglamunin apa sih kamu?""Siapa juga yang melamun!" kilah Agam, membenarkan po
"Nggak masalahkan Bi aku kesini?""Setiap hari juga nggak papa Gam," jawab Abian, mengalihkan kembali pandangan Agam menatap Inez."Dengarkan? nggak masalah!""Siapa juga yang bilang masalah," jawab Inez, mencebikkan bibir membuang pandangannya.Tak mengetahui pandangan bingung kakaknya, yang terdiam memperhatikan perseteruannya."Kenapa kamu tadi nggak ke kantor? kamu nggak butuh lagi bantuanku?" tanya Agam, memulai percakapan ingin mengurai rasa penasaran di hatinya."Nggak papa, bantuan kamu sudah cukup, aku sudah bisa mengerjakannya sendiri, berbekal ilmu yang sudah aku pelajari, sewaktu menjadi Sekretaris kamu," jawab Inez.Menyembunyikan alasan yang sebenarnya, mengenai perasaannya yang kecewa, tak ingin memperdalam rasa yang tak seharusnya ada.Mengecewakan hati Agam, bukan ini jawaban yang di inginkannya.