"Kita sama-sama anak perawan bukan? jadi nggak ada salahnya kalau kita saling serang sekarang," jawab Agam, kembali mengayunkan tangan kanannya ke depan, membulatkan mata Inez.
Plakkk
Plakkk
Plakkk
Tepisan demi tepisan, kembali terjadi di antara keduanya, dengan deru nafas mereka yang sama-sama memburu, hanya untuk bertahan tak ada yang ingin kena pukulan.
"Stop Pak! Stop...!" pekik Inez, terlihat begitu kepayahan, selain karena dirinya yang belum makan malam, tak menghentikan gerakan tangannya.
"Ahhhh," pekik Inez lagi, karena Agam, berhasil melumpuhkannya, memiting lehernya menghentikan perkelahian.
"Hanya sebatas ini kemampuanmu? sungguh aku ragu sama sabuk hitammu," ucap Agam, dengan intonasi meremehkan melepaskan tubuh Inez.
"Kamu terlihat lelah, kenapa kamu nggak bisa tidur? apa kamu butuh sesuatu?" tanya Inez, merasa khawatir dengan kondisi atasan sementaranya, lelaki pertama yang mampu membuat hatinya berbunga."Aku nggak bisa tidur semalaman Ka, aku terus mimpi buruk, kejadian itu terus saja melintas di kepalaku,"Kalimat Agam, kembali terngiang di kepala Inez, sewaktu berbicara dengan Haikal, teman sekaligus psikiater atasan sementarannya.Sebelum mengingat kembali, obat yang pernah di lihatnya di atas meja kerja Agam, membuatnya khawatir tak mengalihkan pandangannya, dari Agam yang membisu tak kunjung menjawab pertanyaanya."Kamu butuh sesuatu Pak? kenapa kamu diam begitu?""Kamu perhatian sama aku?" jawab Agam, balik bertanya, menciptakan helaan nafas di bibir Inez."Aku Sekretaris kamu sekarang, sudah menjadi tugasku untuk menjaga dan memastikan kesehatan kamu,"
Semilirnya angin membelai dedaunan yang tumbuh di halaman depan rumah sakit Dr. Subagyo.Bersama dengan sinar mentari yang masih hangat, belum terlalu terik. Terlihat sedan yang di kendarai Agam, melaju pelan menuju parkiran mobil yang tersedia di halaman depan rumah sakit."Kenapa parkir Pak?" tanya Inez, mengerutkan keningnya, duduk di kursi penumpang depan mengalihkan pandangan Agam."Aku akan mengantarkanmu ke dalam, di dalam ada orang tua kamu kan? aku harus minta maaf sama Papa dan Mama kamu," jawab Agam, seraya melepaskan seatbelt yang melindunginya."Mati!" batin Inez, tak kunjung melepaskan seatbelt di tubuhnya membuang pandangannya.Karena dirinya yang khawatir, dengan kemarahan Papanya, tak ingin di tampar Papanya di depan Bos sementaranya."Kenapa? ayo turun!""Aku bisa masuk sendiri, kamu juga nggak perlu minta maaf, kemarin
Semilirnya angin sepoi berhembus di waktu pagi hari, menemani cahaya dari sinar mentari yang masih hangat dan bersahabat.Tepat di saat pukul 10:00, terlihat sedan Agam, baru berhenti di dalam pelataran rumahnya berlantai dua.Tampak begitu bingung, tak bisa menghilangkan kalimat Papa Raimon yang terus saja terbayang dan berputar di kepalanya.Mengenai status Inez, wanita tomboi sekretaris sementaranya, yang selalu saja menguji kesabarannya, namun selalu peka terhadap kondisi dan sesuatu yang di butuhkannya.Membuatnya terdiam, hanya terpaku di tempatnya tak kunjung keluar dari mobil yang di naikinya."Calon suami? dia calon istri orang?" gumam Agam, menyandarkan kepalanya di sandaran kursi mobil, melipat kedua tangannya di atas dada."Tapi kenapa Mama ingin aku dekat sama dia? Andien juga bilang dia masih single?" gumamnya lagi.Berusaha
Di rumah sakit."Nez," panggil Andre, mengalihkan pandangan Inez, masih berdiri di sebelah ranjangnya.Bersamaan dengan Vanesa yang meremas tangannya perlahan, mencoba untuk bersikap tenang, tak ingin di kuasai oleh kobaran api cemburu di dada ikut mengalihkan pandangan."Tolong bantuin aku duduk Nez, punggungku sakit sekali," manja Andre."Biar saya bantu Pak," sela Vanesa, mengayunkan langkahnya spontan, mendekati Andre yang merajuk."Nggak perlu," jawab Andre cepat, segera memerintahkan Sekretarisnya kembali ke perusahaan, tak ingin kehilangan waktu kebersamaannya bersama dengan Inez.Menghentikan langkah Vanesa, kembali terdiam, dengan sorot mata kecewanya beradu pandang."Tarik dan putar saja tuasnya," timpal Inez, menunjuk tuas pengunci yang ada di belakang ranjang menatap Vanesa.Sebelum mengay
"Ceritakan sekarang Nez, telingaku sudah gatal ingin mendengarnya," ucap Andien, masih duduk di tempatnya.Menatap dalam temannya, baru selesai menyeruput minuman yang baru datang beradu pandang."Aku di jodohkan," jawab Inez.Dengan intonasi malasnya, membulatkan mata Andien, yang tersentak mencondongkan badannya reflek mendekatinya.Termasuk Agam, masih dengan sikapnya yang terlihat tenang cenderung acuh, membuang pandangannya ke sembarang arah."Ha? dijodohkan?" pekik Andien."Iya,""Sama siapa? sejak kapan? kok aku nggak tahu?""Dua tahun yang lalu, sama anak dari sahabat Papa, dan itu bukan berita bahagia yang bisa aku ceritakan ke kamu Ndien," jawab Inez.Kembali menyeruput minumannya beradu pandang, dengan Andien, yang menghela nafas, terlihat begitu kecewa kembali bersandar.
Sore beranjak senja, sudah berada di waktu jam pulang kerja, terlihat begitu banyaknya pegawai Dirgantara Property. Berjalan bergantian, keluar dari gedung melewati pintu loby.Tak termasuk Agam, masih duduk termenung, dengan tatapan kosongnya, menatap layar laptopnya yang menyala, tak bisa melepaskan pikirannya dari Inez, sekretaris sementaranya yang tak datang ke perusahaannya.Membuatnya penasaran, ingin mengetahui alasan Inez yang tak lagi bekerja tanpa alasan."Gam," panggil Fahmi, duduk di atas sofa di ruangan Agam, tak mengalihkan pandangan sabahatnya."Agam," panggil Fahmi lagi, masih tak membuat Agam tersadar membuatnya kesal."Agam!" pekik Fahmi akhirnya, menyentakkan Agam, yang tersadar mengalihkan pandangan cepat."Apa sih Fa?""Nglamunin apa sih kamu?""Siapa juga yang melamun!" kilah Agam, membenarkan po
"Nggak masalahkan Bi aku kesini?""Setiap hari juga nggak papa Gam," jawab Abian, mengalihkan kembali pandangan Agam menatap Inez."Dengarkan? nggak masalah!""Siapa juga yang bilang masalah," jawab Inez, mencebikkan bibir membuang pandangannya.Tak mengetahui pandangan bingung kakaknya, yang terdiam memperhatikan perseteruannya."Kenapa kamu tadi nggak ke kantor? kamu nggak butuh lagi bantuanku?" tanya Agam, memulai percakapan ingin mengurai rasa penasaran di hatinya."Nggak papa, bantuan kamu sudah cukup, aku sudah bisa mengerjakannya sendiri, berbekal ilmu yang sudah aku pelajari, sewaktu menjadi Sekretaris kamu," jawab Inez.Menyembunyikan alasan yang sebenarnya, mengenai perasaannya yang kecewa, tak ingin memperdalam rasa yang tak seharusnya ada.Mengecewakan hati Agam, bukan ini jawaban yang di inginkannya.
"Selamat siang Mas," sapa wanita muda, terlihat cantik dengan gaun merahnya yang selutut.Berdiri dari duduknya, di salah satu kursi restoran yang ada di dalam mall, menyambut kedatangan Agam.Yang sudah berdiri di depannya mengangguk pelan."Selamat siang," jawab Agam, tak menunjukkan kehangatan di sorot matanya yang dingin, hanya berusaha bersikap biasa menekan rasa malas di hatinya.Sebelum mengulurkan tangannya, menyambut uluran tangan wanita yang ada di depannya."Zahra," ucap Zahra, memperkenalkan dirinya, seraya mengulaskan senyum di bibirnya, tak mengalihkan pandangannya dari Agam yang terdiam menatapnya enggan."Agam," jawab Agam akhirnya, segera melepaskan jabatan tangannya untuk duduk di atas kursi di seberang Zahra.Ingin segera mengakhiri pertemuannya, tak ingin banyak bicara, apalagi berbasa basi.Membis
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk
Suasana yang sunyi, menyelimuti kamar presidential suite tempat Papa Raimon menginap, terlihat si empunya, sedang duduk di atas sofa menikmati secangkir kopi menunggu kedatangan menantunya, Agam."Duduk," dingin Papa Raimon, mengarahkan pandangannya ke aras sofa kosong di dekatnya, mempersilahkan Agam yang baru masuk ke dalam kamarnya memenuhi perintahnya. "Kopi buat kamu, minum kopi kan?"Baru pertama kalinya duduk dan ngobrol berdua dengan menantunya, setelah pernikahan Agam dan juga Inez. Selain karena dirinya yang lebih senang menyendiri, juga karena kepindahan Agam dan juga Inez ke Apartemen, semakin memperlebar jarak di antara keduanya."Terimakasih Pa," jawab Agam, menganggukkan kepalanya pelan, segera meraih kopi untuk di seruputnya perlahan, "kopi hitam kesukaan saya,"Dan tak membuat Papa Raimon bersuara, hanya membuang pandangan, kembali menikmati kopi di tangan."Terimakasih," suara Papa Raimon, setelah mem
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda
Sang Surya kembali menyapa, membawa hangat sinarnya yang masih bersahabat, tak menyengat kulit.Tepat di pukul sembilan pagi, mobil Agam melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Membawa Istrinya yang terlihat tegang, bersama dengan Mama dan juga Mama Mertuanya yang sedang duduk di kursi belakang.Di ikuti oleh mobil Abian yang melaju di belakangnya, ingin menemani Inez menjalani pengobatan."Meeting hari ini di pimpin sama Pak Raimon, kamu siapkan semua berkas dan materinya ya, berikan ke Pak Raimon sebelum jam setengah sepuluh," suara Abian, yang sedang melakukan panggilan telepon bersama dengan Sekretarisnya.Sesaat sebelum mematikan sambungan teleponnya, mendengar jawaban iya dari Sekretarisnya.Merasa begitu berdebar, di sela hatinya yang terus saja berdoa, meminta kelancaran di setiap proses pengobatan Adik kesayangannya.Pukul Sebelas siang, Inez suda