"Astaga... kenapa bunyi terus sih ponselnya!" gerutu Agam, baru menyelesaikan pembayarannya di kasir.
Karena suara dering dari ponsel Inez, begitu keras membuatnya tak nyaman."Ponselku bunyi terus ya Pak?" tanya Inez, sudah berganti pakaian yang baru di belinya mengayunkan langkahnya mendekati Agam."Tuli ya kamu? pasang nada dering segini gedenya," sewot Agam."Iya maaf maaf," jawab Inez, tak ingin lagi berdebat, segera merogoh tas punggungnya untuk mencari ponselnya."Kak Abian," gumam Inez, sesaat sebelum menggeser layar ponselnya menerima panggilan telepon dari kakaknya."Kemana aja Nez? tahu nggak berapa kali Kakak telepon?" ucap Abian."Ah iya, maaf kak,""Dimana kamu?""Masih di mall, nonton sama Andine,""Ini Ada Andre di rumah," lanjut Abian, menciptakan helaan nafas di bibir adiknya."Sudah selesai kan nontonnya? tunggu di sana sajKenapa malam sekali kamu pulangnya Nez?" tanya Abian, membuat Inez gelagapan menyadari kesalahannya."Abian?" batin Agam, masih berdiri tegak di tempatnya menatap lekat."Ah itu Kak...," jawab Inez terpotong."Ayo masuk!" lanjut Abian, segera mengalihkan pandangannya, beradu pandang dengan lelaki yang berdiri di samping adiknya."Agam?" ucapnya pelan.Menyentakkan hati Inez, mengalihkan pandangannya reflek, melihat kebisuan Agam, beradu pandang dengan Kakaknya yang terkejut."Ya Tuhan...," pekik Abian, dengan senyum mengembangnya, bersamaan dengan senyum di bibir Agam, saling berhambur ke dalam pelukan.Karena perasaan senang di hati keduanya, tak menyangka dengan pertemuan keduanya setelah bertahun-tahun berpisah, akibat pendidikan Abian ke luar negeri selepas SMA.Mengerutkan kening Inez, masih tak mengerti dengan a
"Kerja?""Iya, hanya untuk satu Minggu, gantiin Pak Fahmi, Sekretaris Pak Agam yang sedang cuti kerja,""Kok bisa gitu?""Anggap saja sebagai tambahan untuk penelitian skripsiku Kak, tolong jangan bilang ke Papa ya Kak? nggak papa kan aku kerja sementara di kantornya Pak Agam?" tanya Inez.Dengan binar harapan di matanya menunggu jawaban Kakaknya."Boleh, Kakak nggak akan bilang apa-apa sama Papa, asal...,""Asal apa?""Kamu memberikan Andre kesempatan untuk bisa lebih dekat sama kamu," jawab Abian, beradu pandang dengan Inez yang terdiam, menghela nafas pelan menatapnya dalam."Hanya untuk pendekatan Nez, kasihan dia...,""Aku nggak suka Kak, aku nggak nyaman sama Andre," jawab Inez, dengan wajah memelasnya tak mengalihkan pandangannya."Selama dua tahun ini... apa kamu perna
Dua jam sudah waktu yang telah di tempuh Inez, mengendarai mobil Agam, berusaha mengacuhkan rasa bosan, akibat suana hening di dalam mobil tak ada obrolan.Di tambah dengan jalanan yang tak selalu lancar dan lenggang, namun beberapa kali macet dan merambat.Salah satunya akibat matinya lampu merah di perempatan yang di lewatinya, membuatnya begitu lelah.Ingin segera mengakhiri perjalanan, untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang empuknya, yang begitu di rindukannya."Berhentiin mobilnya! kita gantian!" seru Agam, mengalihkan pandangan Inez yang menguap, beradu pandang dengan Agam, dari balik kaca spion yang ada di depannya.Sebelum menganggukkan kepalanya pelan, seraya menurunkan kecepatan mobil yang di kendarai, untuk di hentikannya di tepi jalan."Kamu nggak papa kan? nggak pusing gitu kepalanya?" tanya Inez, sudah berpindah, duduk di kursi penumpang de
"Ahhh!" pekik Inez.Karena suara petir yang menggelegar, tiba-tiba memekakkan telinga membuatnya terkejut.Memejamkan matanya dalam, dengan degup jantungnya yang tak karuan menyembunyikan wajah cantiknya di lengan Agam."Astaga... ngagetin tahu nggak kamu!" spontan Agam, menyentuh dadanya sendiri menatap Inez.Yang terdiam, menutup kedua telinga, masih membenamkan wajah di lengannya tak menghiraukannya."Julukannya saja atlit, tapi sama petir takut," ejek Agam, menyadari ketakutan di diri Inez.Kembali mengalihkan pandangannya, fokus ke jalanan yang ada di depannya."Jangan ngejek kamu Pak, aku hanya terkejut!" protes Inez, masih dengan degup jantungnya yang tak beraturan.Mencebikkan bibir Agam, tak ingin mengalihkan pandangannya, hanya membuka tangan kirinya."Alasan," jawab Agam, dengan intonas
"Kita sama-sama anak perawan bukan? jadi nggak ada salahnya kalau kita saling serang sekarang," jawab Agam, kembali mengayunkan tangan kanannya ke depan, membulatkan mata Inez.PlakkkPlakkkPlakkkTepisan demi tepisan, kembali terjadi di antara keduanya, dengan deru nafas mereka yang sama-sama memburu, hanya untuk bertahan tak ada yang ingin kena pukulan."Stop Pak! Stop...!" pekik Inez, terlihat begitu kepayahan, selain karena dirinya yang belum makan malam, tak menghentikan gerakan tangannya."Ahhhh," pekik Inez lagi, karena Agam, berhasil melumpuhkannya, memiting lehernya menghentikan perkelahian."Hanya sebatas ini kemampuanmu? sungguh aku ragu sama sabuk hitammu," ucap Agam, dengan intonasi meremehkan melepaskan tubuh Inez.
"Kamu terlihat lelah, kenapa kamu nggak bisa tidur? apa kamu butuh sesuatu?" tanya Inez, merasa khawatir dengan kondisi atasan sementaranya, lelaki pertama yang mampu membuat hatinya berbunga."Aku nggak bisa tidur semalaman Ka, aku terus mimpi buruk, kejadian itu terus saja melintas di kepalaku,"Kalimat Agam, kembali terngiang di kepala Inez, sewaktu berbicara dengan Haikal, teman sekaligus psikiater atasan sementarannya.Sebelum mengingat kembali, obat yang pernah di lihatnya di atas meja kerja Agam, membuatnya khawatir tak mengalihkan pandangannya, dari Agam yang membisu tak kunjung menjawab pertanyaanya."Kamu butuh sesuatu Pak? kenapa kamu diam begitu?""Kamu perhatian sama aku?" jawab Agam, balik bertanya, menciptakan helaan nafas di bibir Inez."Aku Sekretaris kamu sekarang, sudah menjadi tugasku untuk menjaga dan memastikan kesehatan kamu,"
Semilirnya angin membelai dedaunan yang tumbuh di halaman depan rumah sakit Dr. Subagyo.Bersama dengan sinar mentari yang masih hangat, belum terlalu terik. Terlihat sedan yang di kendarai Agam, melaju pelan menuju parkiran mobil yang tersedia di halaman depan rumah sakit."Kenapa parkir Pak?" tanya Inez, mengerutkan keningnya, duduk di kursi penumpang depan mengalihkan pandangan Agam."Aku akan mengantarkanmu ke dalam, di dalam ada orang tua kamu kan? aku harus minta maaf sama Papa dan Mama kamu," jawab Agam, seraya melepaskan seatbelt yang melindunginya."Mati!" batin Inez, tak kunjung melepaskan seatbelt di tubuhnya membuang pandangannya.Karena dirinya yang khawatir, dengan kemarahan Papanya, tak ingin di tampar Papanya di depan Bos sementaranya."Kenapa? ayo turun!""Aku bisa masuk sendiri, kamu juga nggak perlu minta maaf, kemarin
Semilirnya angin sepoi berhembus di waktu pagi hari, menemani cahaya dari sinar mentari yang masih hangat dan bersahabat.Tepat di saat pukul 10:00, terlihat sedan Agam, baru berhenti di dalam pelataran rumahnya berlantai dua.Tampak begitu bingung, tak bisa menghilangkan kalimat Papa Raimon yang terus saja terbayang dan berputar di kepalanya.Mengenai status Inez, wanita tomboi sekretaris sementaranya, yang selalu saja menguji kesabarannya, namun selalu peka terhadap kondisi dan sesuatu yang di butuhkannya.Membuatnya terdiam, hanya terpaku di tempatnya tak kunjung keluar dari mobil yang di naikinya."Calon suami? dia calon istri orang?" gumam Agam, menyandarkan kepalanya di sandaran kursi mobil, melipat kedua tangannya di atas dada."Tapi kenapa Mama ingin aku dekat sama dia? Andien juga bilang dia masih single?" gumamnya lagi.Berusaha