Mendengar Jenny berucap, Evanya langsung memalingkan wajah. Wanita berambut pirang itu menyembunyikan wajahnya di balik pelukan Emy, yang mana membuat Jenny semakin geram hingga mencengkeram dagu Evanya dan memaksa pemilik rambut pirang itu untuk menatapnya.
"Lihat! lihat video ini, kau akan hancur seperti mobil itu jika kau terus menyangkalnya Nona Evanya Mastaw."
Evanya menangis keras, dia menghempaskan tangan Jenny dengan sangat kuat.
"Tidak! Aku tidak melakukan-nya. Tidak! tidak!"
"Pada kenyataannya seperti itu Evanya, seberapa kuat kau menyangkalnya kenyataan tidak akan pernah berubah." Jenny kembali mencengkeram tangan Evanya menariknya dengan kuat hingga menjauh dari Emy.
"Dan yah, aku bisa membayar siapa pun untuk menghancurkan kalian. Ingat, kau yang telah mengangkat bendera perang denganku. Kau dan keluargamu akan merasakan akibat dari penyangkalan ini. Aku bersumpah kau akan me dapatkan penderitaan dari perbuatanmu."
Jenny melepas
Seharusnya Malam ini Evanya sedang bahagia bersama Randika, melewati setiap detik dengan belaian lembut dari kekasih hatinya. Namun kini berbanding terbalik, Evanya terbaring lemah pada lantai apartemennya. Darah segar terus mengalir dari tangannya akibat tembakan tadi. "Aakh ...." Evanya meringis kesakitan, kesadarannya semakin melemah karena darah yang keluar cukup banyak. Dia berjalan tertatih mencari ponsel yang dia buang saat sebelum mandi. Wanita yang kesakitan itu menarik napas dalam saat menemukan ponselnya, kembali dia menarik napas lalu fokus menekan beberapa tombol dan melakukan panggilan untuk seseorang. Tutt ... tutt ... tutt .... Seseorang di sana berkerut saat melihat nama pada layar ponselnya. "Akhirnya kau mencariku, ada apa?" "Ba-bantu a-aku ...." "Ada apa dengan suaramu, apa kau baik
Cerita ini sah milik Aurumi Sabbi, jangan plagiat apalagi ganti nama pena hanya karena ingin mendapatkan uang. Anda dosa ngambil tulisan orang tanpa ijin dan du publis dengan nama pena yang lain.....Arumi berteriak dengan histeris melihat dua pria itu tersungkur oleh senapan milik Rilan, matanya menatap ketiga pria itu penuh pertanyaan. "Sebenarnya ada apa ini?""Tenanglah," ucap Randika menarik perempuan itu kedalam pelukannya. Nakun, Arumi menolak dan mendorong Randika menjauh."Jangan mendekat! Aku membencimu!""Arumi ak--""Aku bilang jangan mendekat," teriak Arumi saat Randika akan menyentuhnya.Dengan tubuh bergetar Arumi menatap dua pria yang terbaring dengan peluruh yang di tembakan oleh Rilan. Darah yang terus mengalir membuat dia merasa pusing, sedetik setelahnya wanita berambut panjang itu pingsan. Ran
"Kau tidak tidur? ini sudah sangat malam." "Aku takut kau akan meninggalkanku setelah tertidur." Randika tertawa dan memeluk tubuh mungil kekasihnya. dia menaikan selimut untuk menutupi keduanya hingga batas dada. "Apa kaki mu masih sakit?" "Tidak, hanya sedikit nyeri pada bagian pahaku." Arumi memukul tangan Randika yang hendak menyentuh bagian itu, meski pernah melihatnya rasanya aneh jika dalam keadaan sadar. "Kenapa? kau malu?" Pipi Arumi memerah, dia menyembunyikan wajahnya di balik selimut membuat Randika kembali terkekeh dan mengeratkan pelukannya. Dia mengecup puncak kepala Arumi cukup lama. Randika yang bersandar di kepala ranjang itu menunduk mengelus lembut jemari Arumi dimana cincin pertunangan mereka tersemat di sana. Dari semua ini, Randika belajar bahwa jujur adalah nomor satu. Apapun yang akan terjadi, dia ha
"Aku tidak ingin di obati.""Hei, kau akan menderita, luka tembakan itu cukup dalam dan darah yang terus mengalir ini akanmembuat wajah cantikmu itu pucat.""Diam kau wanita gila.""Aku?" Aurela terkekeh. "Dengar Nona, kau sedang terluka sekarang, sebaiknya hentikan ocehan mu atau akan ku jahit mulutmu itu.""Benar kata Aurela, berhenti menolak dan duduklah dengan diam," ujar Brian."Kau penghianat.""Aku melakukan hal terbaik untuk sahabatku.""Dasar penghianat!"Brian memutar kedua bola matanya, berbicara dengan Evanya membuat kepalanya pusing. Dia memberi kode untuk Aurela agar melakukannya meski dia merontak. Namun sudah beberapa kali mencoba Evanya malah semakin berontak, wanita itu bahkan meneriakinya gila. Brian dan Rilan bahkan tidak mampu menenangkan-nya karena Evanya terus saja berontak dengan kata umpatan yang tiada henti."Kita harus bersihkan lukamu Evanya, darahnya terus keluar," ucap Brian menahan
Manik cokelat itu perlahan membuka matanya, rasa sakit masih menghiasi tubuhnya terlebih hatinya. Setelah mendengar kenyataan tentang kematian kedua orang tuanya, Arumi, hampir tidak bisa memejamkan mata, dia terus saja memaksa dirinya untuk menerima semuanya dengan ikhlas. Namun, ternyata cukup sulit untuknya mendapati kenyataan bahwa Evanya adalah penyebab kematian kedua orang tuanya dan pria yang sangat dia cintai terlibat dalam kejadian itu. Entah siapa yang harus dia benci, dan kenapa tidak dari awal kenyataan ini di ungkapkan. Apakah karena Randika adalah anak sahabat mendiang ayahnya? atau kah karena tidak ingin Arumi membenci anak dari sahabat ayahnya, atau kah? Ah sudahlah, keadaan ini semakin membuat rumit hati gadis pemilik manik cokelat itu. Dari rasa benci menjadi cinta, kemudian berubah menjadi canggung. Sungguh kehidupan ini sangat tidak adil di rasanya. Namun, tetap harus dia lalui. Arumi berusaha untuk duduk, dia menatap jam yang menunjuk
Hal pertama yang di rasakan Randika adalah pegal, tidur dengan posisi Arumi yang berada pada lengannya membuat dia sesaat tidak bisa bergerak. Randika menarik napas dalam, perlahan dia menarik tangannya dari Arumi dan menggantikannya dengan bantal. Dia mencium kening Arumi sebelum beranjak keluar dari sana.Ketika membuka pintu dia terkaget dengan dua sosok pria yang menatapnya denga datar. Pria itu terkekeh, lalu mendekat. "Ada apa dengan wajah kalian?"Rilan menatap datar. "Apa kau menikmatinya Tuan muda Randika Garret?""Ya." Randika tertawa sambil berjalan pergi. "Dimana wanita itu?""Di ruang pengobatan," jawab Rilan mengikuti langkah Tuannya."Aku akan pulang, kalian membuat ku tidak bisa tidur dua hari ini.""Itu adalah hukumanmu karena menabrak kekasihku.""Aku menerimanya dengan senang hati," ujar Brian berlalu pergi.***Untuk kesekian kalianya Evanya mendapat tatapan sinis dari Randika, seakan mengisaratkan un
Randika mengangkat pandangan melihat ke ara wanita yang masih terlihat. Pria itu menatapnya khawatir seakan mengatakan jangan melakukan apapun. Sebagai jawaban Arumi menggeleng membuat Randika membuang napas kasar.Mata Arumi mengarah pada gadis dengan perban di tangannya, tatapan Arumi begitu tajam hingga membuat wanita itu kesal dan meronta ingin mendekatinya."Beraninya kau menatapku seperti itu wanita pungut.""Wanita gila.""Sial, beraninya kau mengatakan ku seperti itu. Kau pikir kau bisa lebih baik dariku? kau hanya anak pungut yang akan di buang saat tidak di butuhkan.""Jika bukan karena kegilaanmu aku tidak akan menjadi anak pungut, dan sekarang kau harus membayar mahal untuk itu."Evanya tertawa hambar. "Kau pikir bisa memenjarakan ku? Ak--""Cukup Evanya!""Ran?""Bawa dia dari sini.""Non, lepaskan aku!""Aku akan menemaninya agar dia tidak membuat ulah di kantor polisi.""Non! Rilan, ak
Senyuman menghiasi wajah Arumi saat Aurela menghampirinya. "Kau terlihat sangat bahagia pagi ini Arumi, bisa aku tebak?""Katakan.""Randika melamarmu?"Wanita berwajah pucat itu mengangguk. "Tapi kurasa dia hanya bercanda.""Kau bahagia saat dia mengatakannya?""Ya, aku sangat bahagia," ucapnya dengan mata berbinar."Kalau begitu itu adalah benar, kau akan segera menjadi Nyonya Randika Garret."Arumi memasang wajah datar. "Dia tidak akan melakukannya.""Pourquoi? (Kenapa?) Kau beruntung memiliki Randika, Rumi. Dia sangat mencintaimu."Arumi tidak menjawab, dia memilih fokus pada perban yang sedang di lepaskan Aurela. "Kau tidak tahu bagaimana dia memperlakukanku sebelum ini.""Bukankah semua sudah terbayarkan, kau punya orang tua dan kekasih yang sangat menyayangimu. Randika