"Maaf nona bisakah anda bergeser?" tanya seorang pria dengan setelan jas rapih namun wajahnya terlihat frustasi.
"Randika?"
Wanita berambut pirang itu bergeser pindah ke kursi yang lain dan membiarkan pria yang di rindukannya itu duduk di sampingnya.
"Bukankah aku sudah melarangmu untuk masuk ke bar ini?"
"Ada apa denganmu Sayang, kau terlihat tidak baik."
"Berhenti memanggilku seperti itu."
"Bukankah kau suka?" Wanita itu lalu mengusap pelan pada jemari pria yang memiliki manik hitam itu, mengecup pipi Randika tanpa menyentuh tubuhnya.
Randika terlihat sedikit tidak nyaman. Namun, dia membiarkan Evanya melakukannya karena sedang tidak fokus. Rasa khawatirannya untuk Arumi membuat pikirannya melayang entah kemana.
Dan Evanya, dia tidak menyianyiakan kesempatan emas ini. Wanita dengan warna rambut pirang itu terus mela
Mansion di penuhi teriakan keras Claudia saat melihat Tuan mudanya kembali dengan tangan berlumuran darah. Sedangkan pria yang terluka itu terlihat tenang dengan satu tangan menggenggam tangan yang terluka."Apa Arumi sudah kembali?""Anda sedang terluka Tuan, sebaiknya obati dulu."Arumi yang baru saja selesai mandi berlari keluar dengan menggunakan kimono saat mendengar teriakan Claudia. Dia menuruni tangga tanpa takut akan terjatuh. "Ada apa Clau, kenapa kau berteriak."Arumi terkejut saat maniknya menangkap sosok pria berdiri dengan tangan berlumuran darah."Ra-Randika?"Tubuh Randika hampir jatuh saat wanita itu berlari menghampirinya. "Kau sudah kembali?""Apa yang terjadi, tanganmu berdarah."Gadis berambut panjang itu mengisyaratkan kekasihnya agar duduk. "Ambilkan kotak obat Claudia, cepat!"
Evanya yang sedari pagi menunggu Brian sudah lelah. Wanita itu berulang kali mengumpat karena panggilannya selalu di tolak oleh Brian. Umpatannya terhenti berganti dengan senyum saat nama Brian muncul pada layar ponselnya. 'Bonjour tampan.' Evanya menjawab dengan desahan dan tingkah menggoda seakan Brian ada di depan matanya. 'Kau selalu saja mengganggu ketenanganku, ada apa?' 'Aku punya sebuah kabar untuk mu, dan beberapa pertanyaan yang harus kau jawab.' 'Aku sedang tidak ingin mendengar atau mengatakan apapun,' ucap Brian datar dan itu membuat Evanya kesal hingga memutar kedua bola matanya. 'Randika terluka.' 'What! apa terjadi sesuatu yang tidak aku tahu?' 'No, dia memukuli dinding bar mu hingga tangannya mengeluarkan banyak darah.' 'Dinding bar? Maksudmu bar milik ku!' 'Tent
Pagi yang cerah, suara burung begitu ramai di luar sana. Mereka bersiul menemani sang matahari yang sedang naik ke peraduannya. Randika baru tersadar saat mendapatkan telepon deringan pada ponselnya. Evanya, nama si pemanggil tertera di sana, sudah seharian dia menolak panggilan wanita itu, kini dia memutuskan untuk mengangkatnya. Sebelum menekan tombol hijau, tatapan Randika beralih pada perempuan yang tertidur pulas di sampingnya. Dia mengecup sebentar pada puncak kepala kekasihnya lalu berjalan menuju pintu keluar untuk mengangkat telepon. "Hallo Evanya." "Kau baik-baik saja?" "Yah." "Aku mengkhawatirkanmu, bolehkah aku berkunjung ke Mansion untuk melihat keadaanmu? "Tidak perlu Evanya? Aku baik-baik saja." "Ayolah Sayang, apa kau tidak merindukan ku? aku menunggumu, merindukanmu dan ingin melihatmu
"Arumi?""Ran."Perempuan yang sedang mencicipi teh herbal itu menengok, menatap kekasihnya yang baru saja datang. "Dari mana saja kau?""Olahraga, aku berlari di sekitaran Mansion untuk mendapatkan sedikit keringat.""Apa tanganmu sudah membaik?""Tentu saja, berkat ciuman mu, ini sembuh dengan cepat."Randika meraih kursi dan duduk di samping Arumi, pria bermanik hitam itu menatap lamat wajah tunangannya hingga akhirnya memberi satu kecupan pada pipinya yang sedikit terasa dingin karena hembusan angin musim gugur."Apa yang kau lakukan di sini?""Minum teh.""Itu saja?""Aku sedang mendengar burung-burung kecil itu bernyanyi. Suaranya cukup bising, tapi aku menikmatinya.""Kau ingin aku menangkap mereka untukmu?""No! Biarkan mereka hidup bebas, mereka akan tersiksa di sangkar jika tertangkap.""Baiklah."Randika menengok menatap Arumi yang sedang asyik melihat burung-burung yang bete
"Di mana kau.""Aku ... di Apartemen.""Kau berbohong! katakan di mana kau.""Aku sedang di Apartemen, memangnya ada apa?""Seseorang mengatakan melihat mu di sekitar Mansion milik Randika, apa yang kau lakukan di sana?"Evanya berdecak. "Kau menyewa orang untuk membuntutiku?"Brian mejamkan mata sejenak, menetralkan emosinya yang sebentar lagi akan meluap. Berbicara dengan wanita berambut pirang itu membutuhkan kesabaran. "Katakan, apa yang kau lakukan di sekitar Mansion.""Kau Sangat ingin tahu Tampan.""Evanya!!""Okey ... okey .... Aku mengunjungi Randika, kau tahu kan dia sedang terluka.""Untuk apa kau kesana. Arumi bisa melihatmu dan itu akan memperburuk hubungan mereka.""Nyatanya Randika mau menemuiku.""What?""Apa yang di pikirkan pria bodoh itu, apa dia akan membiarkan Arumi melihat kedekatannya dengan Evanya?"Hallo Brian, Brian apa kau masih di sana?" Evanya mengerutkan da
Ekspresi Rilan tidak seperti yang Randika bayangkan, pria bermanik cokelat itu tetap tenang tanpa ada rasa penasaran di raut wajahnya."Ada apa, kau terlihat biasa saja. apa kau sudah tahu apa yang akan aku ceritakan?""Obati dulu tanganmu."Rilan melakukannya dengan tenang. Kali ini dia sungguh berperan sebagai sahabatnya dekatnya."Apa yang kau ketahui.""Semuanya.""Clarisa memberi tahumu?""Tidak, Jenny bilang kau membutuhkan seseorang sebagai pelindungmu. Dia ingin aku mengawasimu agar kau tidak terpedaya oleh rayuan Evanya. Dan aku membayar seorang informan, dia cukup ahli dalam mencari informasih, meski sedikit tempramental.""Mom? apa yang dia katakan padamu?""Dia mengatakan kalau dia yang telah menghancurkan karier Evanya, dia juga membayar beberapa orang untuk mengusik keluarganya."Randika menyeringai, "Dia mengakui kesalahannya dengan baik, tanpa berfikir akan akibat yang akan aku tanggung.""D
"Apa yang kalian lakukan." ucap Grassy saat mendapati kedua pria tampan yang sedang berpelukan di hadapannya."Diam kau, katakan ada apa kau mandatangi kamarku.""Nona Arumi tidak berada di kamarnya Tuan.""Apa maksudmu tidak ada di kamarnya.""Ini sudah jam makan siang, aku pikir karena Nona tidak sarapan aku berniat membawakan makan siang untuknya, tapi saat membuka pintu aku tidak menemukan Nona di mana-mana. "Randika terlihat panik begitupun dengan Rilan. Kedua pria tampan itu berjalan tergesah-gesah menuju kamar Arumi untuk memastikan. Sambil berjalan Randika memberikan beberapa pertanyaan yang langsung di jawab oleh Grassy."Apa kau sudah mencarinya ke kamar mandi?""Sudah Tuan, tapi Nona tidak ada.""Apa Claudia ada.""Nona Clau sedang mengunjungi Toronto..""What? untuk apa dia ke sana.""Nyona Jenny menyuruhnya untuk menjengguk sahabat lamanya yang sedang sakit Tuan."Randika dan Rilan term
Menikmati angin pantai yang sangat menyejukan dari atas bukit De La Reine adalah keputusan yang tepat. Di tempat ini Arumi sering menghabiskan waktu untuk mengeluarkan segala keluh kesahnya.Bedanya hari ini dia datang masih terlalu siang, matahari masih sedang terik-teriknya hingga membuat mata Arumi sesekali harus memejamkan mata karena panasnya terik matahari yang menembus kulitnya. Wanita berambut cokelat itu bahkan tidak menyadari seseorang telah mendekatinya."Kenapa dia melakukannya?"Wanita bermanik cokelat itu kembali memejamkan mata hanyut dengan perasaan yang sedang kacau. Dia kembali membuka mata dan terkejut saat tangan seorang menyentuhnya."Hei! Siapa ka--- Aaaaaa."Bugh.Wanita itu dengan kuat mendorongnya dari atas bukit hingga terpental dan menabrak sebuah mobil soprt hitam yang melintas dengan kecepatan tinggi."Oh Mon Dieu! Ai-je frappé quelqu'un?
Randika mengerutkan keningnya melihat tingkah Arumi yang sedari tadi terus gelisah. "Nikmati sarapanmu dengan benar kenapa kau terus bergerak. Apa kursinya tidak nyaman.""Ti-tidak!""Lalu?"Randika mendorong pelan kursinya mendekat pada Arumi yang sepertinya tidak nyaman dengan dudukannya. "Ada apa Sayang? Apa tempat dudukmu tidak nyaman?""I-itu. Aku ...."Randika mengerutkan dahinya mencoba mengerti dengan ucapan istrinya. Sedangkan Amirta dan Jenny hanya tersenyum kecil melihat bagaimana Arumi malu-malu mengatakan akibat dari ulah anaknya. Untuk itu dia mengambil inisiatif untuk menyudahinya, agar Randika tidak terus bertanya dan membuat Arumi terus merasa malu."Sayang, istrimu hanya merasa tidak nyaman karena ulahmu semalam. Nukan begitu Sayang." Jenny menatap ke arah Arumi yang mulai tertunduk malu."Maksud mommy aku?" Randika menu
Fajar belum menunjukan dirinya, tetapi Randika sudah terjaga. Tatapannya terpaku pada wanita yang tidur di sampinganya. Punggung putih mulus Arumi membuat Randika tidak tahan untuk mengelusnya, yang kemudian membuat Arumi bergerak dengan mata yang masih terpejam."Sayang ...."Arumi terjaga, dia mengucak kedua matanya pelan agar penglihatannya tidak kabur. Perempuan yang baru saja melewatkan malam pertama bersama suaminya itu berusaha duduk. Namun, karena tubuh mungilnya tidak berbalutkan apapun, dia kembali ke posinya dengan kebih manikan selimutnya."Kau sudah bangun?" tanya Arumi saat mendapati pria yang baru saja resmi menjadi suaminya itu menatapnya dengan ternyum."Aku tidak bisa tidur jika keadaanmu seperti ini Sayang."Arumi mengerutkan kening, tidak mengerti dengan apa yang di bicarakan Randika. "Apa maksudmu dengan jeadaan sepert,i ini, Sayang. Memangnya apa yang terjad
"Kau sudah selesai membuka bajumu Sayang?"Randika keluar dari kaca pembatas antara bagian shower dan buthup dengan handuk yang melilit di pinggangnya, dada kekarnya membuat dia terlihat jantan dengan kulit yang basah.Cukup lama wanita itu mengagumi suaminya hingga tidak sadar pria itu kini sudah berdiri tetap di hadapannya. "Sayang?""Huh?"Randika tergelak melihat ekspresi istrinya yang malu-malu. "Berhenti merada malu, dan singkirkan tanganmu itu. Apa yang ingin kau tutupi, bukankah kita sudah sah."Arumi tidak bisa apa-apa, dia membiarkan Randika membersihkan dirinya, dan membuka sisa pakian dari tubuhnya. Sambil mandi, dia melihat bayangan Randika pada cermin besar yang sedang serius membersihkan bagian belakang tubuhnya. Tanpa sadar dia tersenyum dan bergumam. "Suami ku ternyata sangat tampan."Setelah selesai membersihkan tubuh, dan memakai handuk Ran
Meninggalkan keramaian pada Ballroom hotel, Randika dan Arumi memilih untuk lebih dulu beristirahat. Perempuan itu kelelahan karena lama berdansa bergantian dengan 3 pria. Randika, lalu Amirta, kemudian saudara laki-laki semata wayangnya, Mr Cool, Rilan Harrper. Dan Brian, dia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk berdansa dengan Arumi, karena sibuk menenangkan Aurela yang sedang merajuk.Randika menggendong Istri tercintanya ala-ala bridal. ( Biar kaya pengantin yang lain gengs 😆.)Arumi menyembunyikan kepalanya di dada Randika karena malu, beberapa orang yang berada di lobi memperhatikan keduanya karena Arumi yang masih memakai gaun pengantin."Sayang, turunkan aku. Banyak orang di sini.""Memangnya kenapa kalau banyak orang.""Aku malu," bisik Arumi."Tidak perlu malu, kita sudah sah.""Tetap saja, ini memalukan Randika." Arumi sedikit meront
Ballroom hotel di penuhi dengan orang-orang berdansa. Dan Evanya, dia hanya bisa menahan kesalnya melihat dari jauh bagaimana Randika begitu lembut memperlakukan Arumi. Adegan ciuman keduanya bahkan membuat perempuan berdarah Jepang itu merasa jijik hingga meninggalkan titik di mana dia dan Damian bersembunyi untuk memantau keadaan.Kalimat janji suci yang di ucapkan Randika bahkan masih terngiang-ngiang di telinganya. Bagaimana pria itu kini menjadi milik orang lain, mengucapkan janji dengan sempurnah tanpa ada keraguan. Sedangkan dia, kini harus hancur dengan pata hati yang luar biasa. Kehancurannya itu semakin menjadi saat Damian mengatakan semua rencana mereka untuk menghancurkan pernikahan Randika dan Arumi telah gagal.Semua ranjau yang mereka siapkan ternyata sudah di bersihkan tetapi Evanya dan Damian tidak sadar akan hal itu, Detik setelah Arumi memasuki gedung, seharusnya perempuan itu jatuh pingsan karena terkena gas beracun di da
Cantiknya Arumi membisukan dunia Randika, wanita itu muncul dengan begitu anggun. Gaun putih yang melekat pada tubuh rampingnya, membuat dia semakin terlihat cantik. Gaun yang di gunakan Arumi memang terlihat polos. Namun, sangat memukau. Bagian dadanya terlihat sedikit terbuka, tetapi itu yang membuat Arumi terlihat mempesona karena terdapat beberapa swaroski yang menempel di bagian itu.Arumi datang di temani Daddy Amirtha sebagai pendampingnya. Mereka mendekat dan Daddy Amirta menyetahkan Arumi kepada Randika. Hal pertama yang di lakukan wanita itu adalahpp menatap manik Randika yang seperti kebingungan, lalu menggenggam jemarinya erat, agar pria yang memiliki manik mata hitam itu bisa meredahkan ketegangannya.Randika mulai tersadar ketika terdengar seseorang memberikan pertanyaan. "Apa kalian siap?"Keduanya pun menjawab secara bersamaan. "Ya, kami siap.""Baiklah! ... Randika Garrett, ête
Malam itu berakhir begitu kelam untuk Aurela dan Rilan. Gelapnya malam menemani kekecewaan Keduanya dengan angin dingin yang berhembus halus masuk ke dalam sela-sela jendela. Aurela menaikan selimutnya menghirup dalam-dalam aroma tubuh Rilan yang melekat di sana. Membayangkan jika sekarang dia sedang berada di pelukan pria itu, menghabiskan malam bersama hingga matahari terbit."I really miss you, my cold man." Dokter hewan itu menarik dalam-dalam napasnya, lalu membuangnya dengan pelan. "Aku tidak ingin hubungan kita kembali seperti dulu lagi. Please, mengertilah. Aku hanya takut kau melupakanku."Sedang di sisi lain, Rilan tengah gelisah dalam tidurnya, membalikan badan ke kiri lalu ke kanan. Sesekali, dia akan mendesah kemudian duduk lalu kembali mencoba menutup mata lagi. Namun, sekuat apapun usaha nya untuk bisa tertidur, tetap tidak bisa. Pikirannya melayang memikirkan permintaan Aurela untuk menjauhi Arumi.
"Apa kau sudah makan?"Aurela menengada, menggeleng menatap kekasihnya dengan wajah cemberut. "Bisakah kau tidak terlalu lama bekerja, aku tidak bisa terus menunggumu seperti ini, itu membosankan.""Maaf," ujar Rilan lalu mencium pada puncak kepala kekasihnya."Kau tidak ingin berhenti bekerja pada Randika?""Aku tidak bisa," jawab Rilan."Karena Arumi?"Rilan hanya diam, tidak ada satu katapun yang ia keluarkan saat mendengar ucapan Aurela."Jawablah!"Pria bermata elang itu mengeles dagu wanita di depannya. "Kau sangat tahu untuk apa aku tetap berada di dekat Randika, Aurela.""Aku tahu, karena ingin tetap menjaga Arumi.""Jadi untuk apa aku harus menjawab jika kau tahu alasannya.""Randika, bisa menjaganya, dia kekasih yang sebentar lagi akan menjadi su
"Berapa tamu yang akan hadir Tuan?""Entahlah, aku lupa. Bukankah semua undangan kau yang sebarkan?""Semua undangan di atur oleh Nyonya Jenny, Tuan.""Begitukah.""Oui monsieur."Randika mengangguk-ngangguk, dia duduk di salah satu kursi tamu yang di sediakan. "Aku sangat gelisah.""Evanya?""Aku takut Arumi akan tahu jika wanita itu masih berkeliaran, entah apa yang harus aku katakan padanya jika Evanya tiba-tiba muncul besok.""Apa aku perlu melakukan sesuatu padanya?""Jangan! Biarkan saja. Bukankah dia hanya ingin mengatakan selamat tinggal. Jika kita mengusiknya sekarang, dia akan kabur dan bersembunyi lagi.""Tapi Tuan, dia bersama Damian. Apa kau tidak takut jika mereka melukai Arumi atau menghancurkan acara pernikahanmu?""Itu bagianmu."&n