"Kau menyukai bukit?"
"Tidak."
"Lalu kenapa Kau memilih bukit sebagai tempatmu melepas Rindu?"
"Biar aku selalu ingat, seberapa benci aku terhadapnya."
Arumi menghapus air matanya yang jatuh. Kehilangan kedua orang tua membuatnya hampa, tidak ada lagi seseorang yang akan meneriakinya ketika telat bangun, tidak ada lagi pria tampan yang selalu membela saat omelan ibu menggema. Mereka pergi begitu saja tanpa berkata apapun.
"Jangan menatap ku seperti itu Brian."
"Owh, kau melihatnya," ujarnya terkekeh.
"Apa kau punya kekasih?"
"Semua wanita yang mendekati ku hanya menginginkan kekayaan. Dan kau tahu bukan, aku tidak se-kaya kekasih mu."
"Bolehkah aku mencium mu?
Uhuk ... uhuk ....
Mendadak Pria yang sedang menatap matahari terbenam itu terbatuk, mendapati te
"Maaf nona bisakah anda bergeser?" tanya seorang pria dengan setelan jas rapih namun wajahnya terlihat frustasi."Randika?"Wanita berambut pirang itu bergeser pindah ke kursi yang lain dan membiarkan pria yang di rindukannya itu duduk di sampingnya."Bukankah aku sudah melarangmu untuk masuk ke bar ini?""Ada apa denganmu Sayang, kau terlihat tidak baik.""Berhenti memanggilku seperti itu.""Bukankah kau suka?" Wanita itu lalu mengusap pelan pada jemari pria yang memiliki manik hitam itu, mengecup pipi Randika tanpa menyentuh tubuhnya.Randika terlihat sedikit tidak nyaman. Namun, dia membiarkan Evanya melakukannya karena sedang tidak fokus. Rasa khawatirannya untuk Arumi membuat pikirannya melayang entah kemana.Dan Evanya, dia tidak menyianyiakan kesempatan emas ini. Wanita dengan warna rambut pirang itu terus mela
Mansion di penuhi teriakan keras Claudia saat melihat Tuan mudanya kembali dengan tangan berlumuran darah. Sedangkan pria yang terluka itu terlihat tenang dengan satu tangan menggenggam tangan yang terluka."Apa Arumi sudah kembali?""Anda sedang terluka Tuan, sebaiknya obati dulu."Arumi yang baru saja selesai mandi berlari keluar dengan menggunakan kimono saat mendengar teriakan Claudia. Dia menuruni tangga tanpa takut akan terjatuh. "Ada apa Clau, kenapa kau berteriak."Arumi terkejut saat maniknya menangkap sosok pria berdiri dengan tangan berlumuran darah."Ra-Randika?"Tubuh Randika hampir jatuh saat wanita itu berlari menghampirinya. "Kau sudah kembali?""Apa yang terjadi, tanganmu berdarah."Gadis berambut panjang itu mengisyaratkan kekasihnya agar duduk. "Ambilkan kotak obat Claudia, cepat!"
Evanya yang sedari pagi menunggu Brian sudah lelah. Wanita itu berulang kali mengumpat karena panggilannya selalu di tolak oleh Brian. Umpatannya terhenti berganti dengan senyum saat nama Brian muncul pada layar ponselnya. 'Bonjour tampan.' Evanya menjawab dengan desahan dan tingkah menggoda seakan Brian ada di depan matanya. 'Kau selalu saja mengganggu ketenanganku, ada apa?' 'Aku punya sebuah kabar untuk mu, dan beberapa pertanyaan yang harus kau jawab.' 'Aku sedang tidak ingin mendengar atau mengatakan apapun,' ucap Brian datar dan itu membuat Evanya kesal hingga memutar kedua bola matanya. 'Randika terluka.' 'What! apa terjadi sesuatu yang tidak aku tahu?' 'No, dia memukuli dinding bar mu hingga tangannya mengeluarkan banyak darah.' 'Dinding bar? Maksudmu bar milik ku!' 'Tent
Pagi yang cerah, suara burung begitu ramai di luar sana. Mereka bersiul menemani sang matahari yang sedang naik ke peraduannya. Randika baru tersadar saat mendapatkan telepon deringan pada ponselnya. Evanya, nama si pemanggil tertera di sana, sudah seharian dia menolak panggilan wanita itu, kini dia memutuskan untuk mengangkatnya. Sebelum menekan tombol hijau, tatapan Randika beralih pada perempuan yang tertidur pulas di sampingnya. Dia mengecup sebentar pada puncak kepala kekasihnya lalu berjalan menuju pintu keluar untuk mengangkat telepon. "Hallo Evanya." "Kau baik-baik saja?" "Yah." "Aku mengkhawatirkanmu, bolehkah aku berkunjung ke Mansion untuk melihat keadaanmu? "Tidak perlu Evanya? Aku baik-baik saja." "Ayolah Sayang, apa kau tidak merindukan ku? aku menunggumu, merindukanmu dan ingin melihatmu
"Arumi?""Ran."Perempuan yang sedang mencicipi teh herbal itu menengok, menatap kekasihnya yang baru saja datang. "Dari mana saja kau?""Olahraga, aku berlari di sekitaran Mansion untuk mendapatkan sedikit keringat.""Apa tanganmu sudah membaik?""Tentu saja, berkat ciuman mu, ini sembuh dengan cepat."Randika meraih kursi dan duduk di samping Arumi, pria bermanik hitam itu menatap lamat wajah tunangannya hingga akhirnya memberi satu kecupan pada pipinya yang sedikit terasa dingin karena hembusan angin musim gugur."Apa yang kau lakukan di sini?""Minum teh.""Itu saja?""Aku sedang mendengar burung-burung kecil itu bernyanyi. Suaranya cukup bising, tapi aku menikmatinya.""Kau ingin aku menangkap mereka untukmu?""No! Biarkan mereka hidup bebas, mereka akan tersiksa di sangkar jika tertangkap.""Baiklah."Randika menengok menatap Arumi yang sedang asyik melihat burung-burung yang bete
"Di mana kau.""Aku ... di Apartemen.""Kau berbohong! katakan di mana kau.""Aku sedang di Apartemen, memangnya ada apa?""Seseorang mengatakan melihat mu di sekitar Mansion milik Randika, apa yang kau lakukan di sana?"Evanya berdecak. "Kau menyewa orang untuk membuntutiku?"Brian mejamkan mata sejenak, menetralkan emosinya yang sebentar lagi akan meluap. Berbicara dengan wanita berambut pirang itu membutuhkan kesabaran. "Katakan, apa yang kau lakukan di sekitar Mansion.""Kau Sangat ingin tahu Tampan.""Evanya!!""Okey ... okey .... Aku mengunjungi Randika, kau tahu kan dia sedang terluka.""Untuk apa kau kesana. Arumi bisa melihatmu dan itu akan memperburuk hubungan mereka.""Nyatanya Randika mau menemuiku.""What?""Apa yang di pikirkan pria bodoh itu, apa dia akan membiarkan Arumi melihat kedekatannya dengan Evanya?"Hallo Brian, Brian apa kau masih di sana?" Evanya mengerutkan da
Ekspresi Rilan tidak seperti yang Randika bayangkan, pria bermanik cokelat itu tetap tenang tanpa ada rasa penasaran di raut wajahnya."Ada apa, kau terlihat biasa saja. apa kau sudah tahu apa yang akan aku ceritakan?""Obati dulu tanganmu."Rilan melakukannya dengan tenang. Kali ini dia sungguh berperan sebagai sahabatnya dekatnya."Apa yang kau ketahui.""Semuanya.""Clarisa memberi tahumu?""Tidak, Jenny bilang kau membutuhkan seseorang sebagai pelindungmu. Dia ingin aku mengawasimu agar kau tidak terpedaya oleh rayuan Evanya. Dan aku membayar seorang informan, dia cukup ahli dalam mencari informasih, meski sedikit tempramental.""Mom? apa yang dia katakan padamu?""Dia mengatakan kalau dia yang telah menghancurkan karier Evanya, dia juga membayar beberapa orang untuk mengusik keluarganya."Randika menyeringai, "Dia mengakui kesalahannya dengan baik, tanpa berfikir akan akibat yang akan aku tanggung.""D
"Apa yang kalian lakukan." ucap Grassy saat mendapati kedua pria tampan yang sedang berpelukan di hadapannya."Diam kau, katakan ada apa kau mandatangi kamarku.""Nona Arumi tidak berada di kamarnya Tuan.""Apa maksudmu tidak ada di kamarnya.""Ini sudah jam makan siang, aku pikir karena Nona tidak sarapan aku berniat membawakan makan siang untuknya, tapi saat membuka pintu aku tidak menemukan Nona di mana-mana. "Randika terlihat panik begitupun dengan Rilan. Kedua pria tampan itu berjalan tergesah-gesah menuju kamar Arumi untuk memastikan. Sambil berjalan Randika memberikan beberapa pertanyaan yang langsung di jawab oleh Grassy."Apa kau sudah mencarinya ke kamar mandi?""Sudah Tuan, tapi Nona tidak ada.""Apa Claudia ada.""Nona Clau sedang mengunjungi Toronto..""What? untuk apa dia ke sana.""Nyona Jenny menyuruhnya untuk menjengguk sahabat lamanya yang sedang sakit Tuan."Randika dan Rilan term