"Aku sedang menyiapkan hukumanmu."
"Apa salahku," ujarnya dengan tertawa kecil.
Randika tidak mengindahkan pertanyaan Arumi, tangannya mendekap pada pinggang mungil milik Arumi. Menarik botol kaca kecil berisikan selai di atas meja dan melumurinya pada bibir tipis Arumi.
"Ah hentikan! Itu jorok," pekik Arumi bergeliat.
"Kau yang memulainya bukan."
"Hentikan Ran! Jangan! itu tidak enak," teriak Arumi memalingkan wajahnya ke kiri dan kanan agar terhindar dari colekan tangan Randika yang penuh dengan selai nanas.
"Tidak! Kau harus menerima hukumannya karena melempari sisa makanan padaku."
"Jangan! Aku tidak menyukai selai nanas, itu asam. Hentikan Ran! Aku tidak suka!"
"Baiklah. Kalau begitu aku ganti dengan selai stroberry yang manis ini," ujar Randika dengan lirikan menggoda. Dia lalu menekuk wajah Arumi dan melumurinya dengan ciuman bertubi-tubi.
Tidak ada yang bisa Arumi lakukan mulutnya di bungkam oleh bibir y
"Maaf menunggu lama." Rilan tersenyum tipis. Dia menyambut Tuannya yang sedang kasmaran. "Adegannya sangat menggoda," ujarnya dengan menyenggol Randika. "Tidak sopan mengintip orang seperti itu." Rilan terkekeh dia melaju bersama Tuannya dengan Honda civic putih milik perusahaan yang selalu dia gunakan untuk menemani tugasnya sebagai seorang sekretaris. Mobil itu membela jalan Kota Quebec tanpa hambatan hingga sampai dengan manis pada salah satu perusahan terkuat di Kanada itu Amirta Grouper. Dulu perusahaan itu bernama Garret Company. Namun setelah ayahnya mengambil alih semua aset perusahaan di ubah menjadi Amirta Grouper. "Apa kau akan ikut Acara reuni nanti?" tanya Randika saat keduanya sedang berjalan menuju ruang kebesarannya. "Tentu saja kawan." jawab Rilan berbisik. Randika menatap Rilan dengan senyum di ujung bibirnya. Sudah sangat lama dia tidak berbicara secara formal dengan sahabatnya. Dia menetapkan aturan yang mengharuska
"Kita harus pergi Tuan, ini waktunya anda bertemu dengan Klien." Rilan Pria yang dengan setia menunggu Tuannya selesai melepaskan sesak di hatinya itu menyeru. Tatapan mata hitam Randika masih terpaku pada foto Evanya. Baru saja Randika menyuruh Clarisa membersihkan semua barang peninggalan Evanya yang masih tersisa di ruang kantornya. "Tuan." Randika mengambil tas dan map di atas meja dan berjalan tanpa berkata menuju mobil. "Di mana tempat pertemuannya?" "Restaurant Taniere." "Kenapa mereka memilih Restaurant gelap itu," ujarnya sedikit tidak menyukai. Butuh 30 menit untuk sampai ke tempat yang di maksud. Pria dengan manik mata hitam itu turun begitu Rilan membukakan pintu. begitu Pria itu mendongak dengan posisi tubuh berdiri sempurnah, matanya sudah di sambut dengan gaya tampilan Restaurant ala kontemporer yang menyajikan bebatuan tanpa warna tapi sangat berkelas. Namun tetap saja dia tidak menyukai tempat ini
"Evanya, aku mohon jangan pergi."Sepasang mata hitam itu terus menatap gadis di depannya, memohon untuk tetap tinggal bersamanya. Ramai orang lalu-lalang di sekitarnya tidak membuat dia segan atau malu untuk melakukan hal itu."Evanya!" teriaknya lagi hampir menghancurkan gendang telinga gadis yang di tariknya sedari tadi. Dia memeluk kakinya memohon agar tetap berada di sisinya. "Evanya aku mohon jangan lakukan ini padaku, apa salahku.""Lepaskan aku Ran!"Wanita berambut hitam lurus itu meronta-ronta bergeliat seperti cacing untuk melepaskan diri. Dia benar-benar merasa lelah karena keegoisan Randika yang tidak mau melepasnya. "Aku harus pergi Ran.""Aku mohon, jangan tinggalkan aku sendirian," pintanya dengan memelas."Ran! Aku tidak bisa," ucapnya penuh penekanan. Dia mengelus wajah kekasihnya yang sudah di penuhi keringat bercampur air mata. "Aku harus mengejar impianku.""Kau bisa melakukannya di sini.""Tidak! Aku harus
Quebec, Kanada...Pagi itu burung berkicau mengiringi kedipan mata seorang gadis yang baru saja terbangun dengan selimut yang masih melekat erat pada tubuhnya. Musim gugur di Quebec telah tiba. Bagi sebagian orang musim gugur atau fall di Kanada adalah yang paling indah. Dimana pohon-pohon mapel akan berubah warna dari hijau menjadi kuning lalu orange.Gadis itu menatap ke arah halaman belakang yang tertancap beberapa pohon mapel yang rindang dan kokoh. Pohon dengan warna daun yang indah itu kini berguguran di hempas angin yang meniupnya seolah mereka tahu akan kesedihan yang tengah di rasakan gadis itu.Arumi kembali menarik selimut. Saat mendengar derap langka mendekat ke arah kamarnya."Nona!""Nona, apa kau sudah bangun," teriak Minora dari balik pintu. "Siapa?""Aku, Minora."Ketika Arumi membuka pintu, dia melihat bukan hanya Minora di sana tapi juga Tuan Mud
Arumi baru saja menyelesaikan mandi, dia keluar dari kamar mandi dan mulai mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Handuk berwarna putih miliknya kini menempel membalut tubuhnya yang basah. Dia bersandar pada kursi pasangan meja rias nya yang berada di dekat jendela, menatap keluar sambil menyisir, hingga tak menyadari seseorang masuk ke kamarnya dan kini menatapnya dengan intens.Arumi tersentak kaget ketika puncak kepalanya di elus lembut. Tanpa melihat pun dia sudah tahu siapa yang kini berdiri di belakangnya. Arumi hanya diam, dia memilih untuk tetap menikmati guguran daun mapel yang sudah semakin banyak memenuhi halaman membiarkan Randika yang mengambil alih merapikan rambutnya."Maafkan aku.""Tidak." Gadis itu menggeleng dengan air mata yang mulai jatuh."Maaf aku selalu menyakitimu. Aku hanya tidak mau membuatmu terluka dengan kisah cintaku dengan Evanya."Arumi menahan
. . "Kau tahu bagaimana bahagianya aku saat bersamamu, kau adalah satu-satunya wanita yang akan mengisi semua ruang di hatiku." "Kau tidak akan meninggalkanku bukan?" Randika menggenggam erat tangan Arumi. "Kita akan menghabiskan segala masa bersama. Aku yakin kedua orang tuamu di surga akan bahagia melihat itu." Arumi tersenyum bahagia. "Je vous aime.( Aku mencintaimu.)" "Je suis le même cher. (Aku pun sama Sayang.)" Arumi melengkungkan senyum bahagianya. jauh di lubuk hatinya berharap, tidak akan ada wanita lain atau siapa pun yang merusak kebahagiaannya. "Semoga Tuhan selalu menjagamu hanya untuk ku" gumam Arumi di dalam hati. "Ayo sarapan, setelah itu kita lihat gaun mana yang pas untuk kau kenakan malam ini." "Gaun?" "Kau tidak l
Arumi memandang pantulan dirinya dalam cermin besar setinggi ukuran tubuhnya. Gaun berwarna biru gelap menempel dengan pas pada tubuhnya. rambut cokelat panjangnya di biarkan tergerai begitu saja. Tak lupa poni sebatas kening yang selalu membuat tampilannya terlihat seperti remaja yang baru saja masuk ke sekolah menengah atas. Gadis cantik milik Tuan muda dari keluarga Garret itu memang sangat menyukai dandanan ala korea yang terkesan Natural. Di tambah lagi dengan bibir tipisnya yang berbalut lipstik ombre membuat dia lebih percya diri untuk berada di samping Randika. Pemilik manik cokelat itu keluar dari kamarnya dan langsung di sambut seruan pujian dari Minora dan Grassy. "Wow ... Nona, anda terlihat sangat cantik," puji Minora. "Benar, malam ini anda sungguh berbinar," sambung Grassy. Arumi memberikan senyum tipis kepada kedua pelayannya lalu mendekati Randika yang sedari tadi sudah menunggu. "Apa aku terlalu lama?" "Ti-tidak," jawabnya gu
"Selamat datang Tuan." Para pelayan membuka pintu mempersilahkan untuk masuk. Begitu pintu terbuka suara musik keras menghantam pendengar mereka. Para pria dan wanita terlihat meliuk-liuk mengikuti irama dan sebagian lainnya sedang asyik berkerumun sambil menikmati alkohol."Randika Garret, apa kabarmu," ucap seorang Pria kekar dengan setelan jas abu-abu mendekat meninju tepat pada dada pria yang memiliki nama itu."Nigel, itu benar kau?" ujarnya membalas tepukan keras pada bahu teman lamanya itu."Wow, siapa ini. Rilan Harper. Kau masih setiap di samping pria mesum ini?""Tentu saja. Dia Majikan terbaik ku.""Dan siapa gadis manis ini." Nigel mengulurkan tangan hendak menyalami namun Randika dengan cepat menepisnya."Jangan pernah menyentuhnya.""Sial, kau ingin menyimpan barang yang indah ini sendiri?""Jangan menyentuhnya atau kau akan terbunuh?" bisik menarik mundur nigel untuk sedikit menjaga jarak."Memangnya siapa