° >Kadang hal bahagia yang kita inginkan, bisa dengan cepat orang lain hancurkan!!!
Beberapa tahun lalu tepat orang tua Livia mulai berpisah. Pemandangan yang membuat hati sang anak begitu hancur, melihat kebisingan yang dihasilkan oleh kedua orang tuanya.
"Izinin orang tua lo cerai! Atau lo kehilangan Ibu, buat selama lamanya."
Ancaman yang datang dari benda tipis yang sering disebut handphone itu, selalu terbayang dibenaknya. Tepat beberapa kali wanita itu mengayunkan perkataan kasar terhadap anak perempuan yang masih berumur 7 tahun itu.
"Ma, Pa. J-jangan berantem," Pinta Livia yang gemetar menahan air matanya seakan berontak ingin keluar.
Raka sebagai Kaka kandung Livia, sedari tadi memberikan dekapan erat pada Adiknya itu. Berusaha menenangkan Livia karena situasi ini, mengelus berulang punggung kecil milik Livia.
"Bukannya aku ga mikirin anak-anak mas, tapi aku udah ga tahan liat sikap kamu yang selalu main hati sama Tiara."
Isakan tangis itu menggema di ruangan yang besar, entah itu berasal dari Livia atau sang Ibu. Livia dapat mendengar dengan jelas jika Ibunya menangis kesakitan, menahan nada bicaranya agar masih terlihat baik-baik saja. Itu semua benar-benar membuat hati nya begitu rapuh.
Rama sebagai Ayah dari Livia dan juga Raka, hanya menatap bingung terhadap Denia. Entah apa yang lelaki itu pikirkan sampai menatap Istrinya seperti itu.
"De, tapi aku sayang sama dia, dan sayang sama kamu juga," pungkasnya.
Jawaban yang diberikan itu seakan membuat semua orang di ruangan itu membesarkan matanya, tidak percaya sang Ayah mengucapkan semua itu dengan lantang. Ibu yang tidak habis pikir hanya mulai berfikir melalui otaknya yang sedang berasap itu.
"Oke, kalo gitu. Raka, Livia, kalian mau ikut ibu apa papa kalian?" tanyanya lantang.
Raka mulai menggeleng tak percaya, mulai memegang erat tangan mungil Adiknya. Menatap sendu seakan mengisyaratkan agar ingin selalu tetap bersama.
"De, ikut mama, yah," pinta Raka tetap memegang tangan Livia.
Livia yang mulai bingung hanya meneteskan air mata yang selama ini dia tahan, ingin rasanya mempertahankan keluarganya namun seperti sudah tidak mungkin. Keinginannya seakan dihancurkan oleh beberapa kalimat yang diciptakan oleh Mama dan Papanya. Otaknya mulai berfikir, bukan hal yang bagus jika meninggalkan Ayahnya sendiri bersama Tiara. Seberapa banyak harta yang mungkin bisa wanita itu rebut dari sang Ayah, namun yang paling Livia khawatirkan ketika Rama di salah gunakan. Bagaimana pun Livia sangat menyayangi Rama. bukan hal yang membahagiakan juga jika dia harus hidup bersama Ibu tanpa sang Ayah.
Livia mulai menggelengkan kepalanya, meneteskan lebih banyak air pada pipi manisnya. Semua itu berhasil membuat Raka kecewa, melepaskan genggamannya.
"Maaf ka," ujar Livia yang berusaha dengan sangat keras menahan rasa sakitnya.
Kini badan Raka mulai ditarik oleh Denia pergi meninggalkan rumah itu dengan wajah penuh kekecewaan. Larian kecil Livia segera menghentikan tubuh Denia, menyentuh pelan tangannya.
Memperhatikan arti sorotan mata seorang anak yang hendak ditinggalkan oleh ibunya.
Denia mulai merengkuhkan badannya jongkok, mendekap Putri kesayangannya dengan penuh cinta. Walapun dia kini sedang kecewa, namun Ibu mana yang sanggup berpisah dengan anak-anaknya."Yang baik ya, sayang, mama pergi dulu," pamit Denia mengusap sisa air mata di pipi Livia.
Denia mulai pergi membawa Raka, bahunya mulai menjauh dari keberadaan Livia kini. Pemandangan suram ini selalu sukses masuk ke dalam mimpinya setiap malam.
...
Kini dencingan alarm keras mulai terdengar, sontak Livia meraba ke arah suara itu berada. Dia mengangkat badannya agar bisa duduk dengan nyaman, mengucek mata kanannya."Again," keluhnya.Sudah 15 tahun berlalu, menjalani hidup dengan sangat membosankan. Tanpa adanya tawa didalam keluarga ini, tanpa tahu dimana keberadaan salah satu anggota keluarganya, atau mungkin tanpa seorang teman yang selalu berada disampingnya.
"Ayah!" ujarnyaRama yang hendak pergi ke perusahaannya terlihat sedang merapihkan dasi yang berada dilehernya. Livia mulai mendekati Rama berniat memberikan bantuan pada sang Ayah. Tangannya yang lincah kini mulai merapihkan dasi itu.
"Perfect," GumamnyaLivia mulai memberi salam pada Ayahnya, mengecup punggung tangan Rama dan hendak pergi untuk berangkat ke sekolah. Sebelum itu, sebenarnya Rama sempat memberikan pelukan hangatnya pada Livia. Semua itu sering dia lakukan pada Anak perempuannya, namun kadang tetap saja Livia merasa kurang.
*
Lorong di sekolah terdengar begitu ricuh seperti biasanya, kadang membuat Livia ingin berteriak dan bertegur sapa pada teman-temannya. Namun lagi-lagi dia tidak bisa melakukan hal yang mungkin tidak sulit bagi orang lain.Tanpa berfikir panjang dia hanya terus berjalan melangkahkan kaki menuju kelasnya, menghela nafasnya berat hingga masuk ke dalam kelas.
"Hey, lo Rafael kan?" tanya Aka yang tiba-tiba mendekati Rafael.
Waktu itu, hari pertama Rafael memasuki sekolah. Aka yang tiba-tiba mendekati Rafael yang tengah terduduk diam.
Rafael Saputra...
Cowo Badboy yang susah berbaur. Dia banyak ditakuti siswa lain hingga membuatnya juga jarang mendapatkan teman. Namun dia termasuk orang yang populer di kalangan kaum hawa, parasnya yang tampan membuat Rafael selalu menjadi contoh tipe boyfie para kaum hawa. Tak sedikit juga yang sudah berjuang hingga akhir, namun tidak ada yang berhasil. Rata-rata semua cewe pasti dia tolak oleh Rafael.Rafael hanya melihat sinis mendengar seorang lelaki tiba tiba berada dihadapannya, disetai duduk tepat di depan Rafael.
"Gosah sombong gitu, Masnya. Buruan kenalan sama gua! Jadi temen gua!" Pintahnya.
Entah siapa lelaki itu, tanpa rasa malu melontarkan kata-kata pada Rafael yang jelas-jelas selalu mengacuhkan orang lain.
"Lo bisu ya?" celetuk Aka kembali.Rafael yang kesal dengan berat hati mulai memberikan balasan.
"Siapa si lo? Gua gakenal sama lo!" jawab Rafael kesal."Hha, sante, masnya. Gue, Aka prawira, kita sekelas loh. Masa lo gamau punya temen kelas sih," sembari menjulurkan tangannya
"Gue ga butuh!" jawab Rafael singkat.
"Oke."
Aka Perwira...
Dia adalah salah satu siswa dengan nilai raport tertinggi dan juga populer. Tidak kalah dengan kepopuleran Rafael Saputra. Namun Rafael bukan salah satu siswa pintar itu.(Toktoktok!) Gembarakan meja paling depan berbunyi.
"5 menit lagi, PR Fisika tolong dikumpulkan!" umum Livia sebagai Ketua Kelas (KM).
Rafael yang kebingungan, karena buku PR Fisikanya sama sekali belum terisi. Dia hanya bisa kebingungan tanpa bisa mengisi soalan tersebut.
"Anjir, gimana nih?" gerutu Rafael sambil melihat buku PR Fisika yang belum terisi."Lo belum ngerjain yah?" teriak Aka.
Dengan tangan yang reflek Rafael menutup mulut Aka, teman sekelasnya mulai melihat kedua orang tersebut. Memandang aneh dengan posisi yang sekarang mereka lakukan.
Rafael yang kaget, dengan cepat menjauhkan tangannya dari mulut Aka dan kembali duduk seperti biasa.
"Ehem," deham Rafael sambil memperbaiki seragamnya.
"Jangan teriak!" sambungnya setelah jeda."Oke sorry. Yauda, gue mau ngumpulin dulu. By," ucap Aka sambil beranjak.
Rafael pun sepertinya mulai panik, menahan Aka agar tidak segera mengumpulkan buku miliknya."Emm, gue nyontek dong," Gumam Rafael ragu.
"Tadi bilang ga butuh temen?" ledek Aka tetap maju.
"Engga, engga. Gue tarik ya. Gue butuh temen, gue butuh lo. Ayolah, gua nyontek boleh ya," dengan hati hati Rafael terus merayu Aka agar dia bisa membantunya.
Al hasil akhirnya dia berhasil merayu Aka."Ah, untung gua baik. Nih!" Aka mulai menyodorkan buku fisika miliknya.
Rafael yang mendapatkan pinjaman buku itu segera menyalin jawaban jawaban secara rinci. Lima menit pun berlalu, begitu cepat.
Ketua murid dari kelas itu membawa satu persatu buku milik siswa. Hingga saatnya buku Aka dan Rafael di bawa."Mana buku lo?" tanya Livia
"Ada bentar ya," jawab Aka memohon
"Cepetan Pa Arif udah nungguin."
Kini nada livia yang mulai memaksa. Tidak sengaja Livia melihat ke arah Rafael. Dia melihat Rafael yang sedang sibuk menyalin hasil jawaban Aka di bukunya.
"Oh jadi ini yang bikin lama tuh?" tanya kembali Livia sambil menarik buku salah satunya.
Rafael tidak menggubris Livia. Dia hanya melihat ke arahnya dan kembali menulis dengan cepat.
"Nih!" ujar Rafael memberikan buku buku yang selesai dia salin.
"Oke. Lain kali jangan lama lagi!" Tanpa permasalahan Livia hanya mengambil buku itu.
"Heran, ko dia biasa aja ya liat gue?"
Pikiran Rafael tiba tiba mulai bertanya tanya melihat sikap Livia yang tidak seperti gadis lain saat menatapnya.Tbc guys
Rafael dibuat keheranan setiap melihat Livia. Bagaimana tidak, secara, Rafael adalah laki-laki yang terkenal di satu sekolah. Untuk tatapannya saja bahkan sangat tajam, bisa membuat kaum hawa Mleyot!. Tapi anehnya, Livia bersikap biasa saja saat berhadapan dengannya. 'Kebal sekali dia!' Pasti semua orang bekata demikian. Rafael saja keheranan melihat tingkah Livia. Dia memberanikan diri untuk mendekati Livia terlebih dahulu. Kebetulan untuk diwaktu itu, Rafael tidak sengaja melihat Livia yang tengah terduduk di kursi taman. Dia berjalan menghampiri Livia dengan percaya diri. Duduknya Rafael di sebelah Livia, membuat dia mulai bertatap sinis terhadapnya. "Ngapain lo duduk disini?" lontar Livia kesal. 'gimana bisa orang ini main duduk duduk aja," pikir Livia, tidak masuk akal sekali seseorang mencoba berinteraksi dengannya. Satu sekolah saja tahu, bahkan mungkin sudah kesal menghadapi dinginnya sikap Livia.
"Pa, aku pulang," ujarnya Kejadian di hari ini begitu sangat mengjengkelkan bagi Livia. Kekesalan yang meluap itu seakan membuat seluruh tubuhnya kepanasan. (HAH!?) Kini yang hanya dia lakukan, adalah mendesah memberikan helaan nafas berat, mengingat segala yang telah dia lalui. "Ayo! Para wartawan udah pada nunggu kamu," jawab Rama yang melihat Livia kembali. Belum juga sempat untuk merebahkan badannya di ranjang terempuk, dia sudah melihat beberapa orang menyiapkan baju ganti untuknya. Di lanjut dengan perintah yang Rama berikan. Livia yakin sesi potret kali ini akan lama, di tambah lagi para wartawan sudah berjajar rapi untuk mewawancarainya. "Gue cape ... " gumamnya mengikuti gerakan melangkah. Setelah berganti pakaian, dia dilanjutkan dengan harusnya merapihkan wajah. Ya, walaupun dia hanya duduk diam, tapi semua itu membuat hidup Livia menjadi sangat membos
"Jadi kan?" tanya Rafael kembali.Livia menyergit menanggapi semua pertanyaan Rafael."Jangan-jangan lo, lupa?" tanya kembali Rafael memastikan.Livia menggeleng,"Apa?" tanyanya kembali datar."Iya, kan, kamu beneran lupa," Rafael kini mengerang kesal, menampilkan raut wajah marahnya."Kan udah janji," sambungnya"Bentar ...," tahan Livia yang berusaha mulai mengingat, kapan dia menjanjikan sesuatu hal yang ekstrem. (HA!) Benar, dia menjanjikan semua itu saat berusaha mengusir Rafael kemarin malam.'Kenapa bisa gue ngomong gitu,' batin Livia merintih, karena ketakutannya pada malam itu, dia mulai berbicara omong kosong, dan semua itu Rafael anggap serius?.Livia menghela nafasnya prustasi,"Gue becanda, masa iya gue beneran!" tolak Livia datar.Rafael mengangkat satu alis kanannya, dia memegangi lengan Livia, menampilkan ra
>>> Hari berikutnya berjalan seperti biasa, sudah satu bulan berlalu. Semenjak hari itu, hari di saat Livia mulai membuka dirinya terhadap Rafael. Livia mengurungkan niatnya setelah mendapati pesan entah dari siapa itu. Dia kembali bersikap dingin juga acuh terhadap Rafael. Namun, laki-laki itu tak sedikitpun menyerah, dia selalu mengikuti Livia kemanapun dia pergi, membuat ricuh kehidupannya. Kemanapun Livia pergi, dia terus bertemu atau mungkin melihat Rafael yang selalu dia pergoki sedang mengikutinya. Rasanya jengkel juga, namun apalah daya. Sikap Rafael yang degil itu, membuat dia susah untuk di hentikan. "Livia!" teriak Rafael memanggil Livia yang sedang duduk di antara angin sepoi di siang hari. Livia meoleh datar, melihat Rafael yang sedang berlari mendekatinya. "Hem ... Apa?" tanya Livia setelah Rafael sampai. "Gausah judes, udah! Ga abis-abis
Sebelum mendengar penjelasan Livia. Rama, benar-benar pergi meninggalkan Livia di ruang pribadinya itu. Niat awal Livia adalah hendak pergi menuju sekolah, namun perkataan Rama dapat menyayat hatinya kecewa, Livia bahkan menahan tangisnya di sepanjang jalan menuju sekolah.'Andai Papa ngertiin gue sedikit aja ...,'' ... Gue udah cukup kesepian, semenjak Mama, sama Kaka pergi! Dan sekarang, di saat gue udah punya sumber kebahagiaan? Gue harus kembali jauh dengannya?'Matanya kini memerah, menggenang air mata yang dia tahan. Livia berusaha menekan kedua rahangnya, menahan semua rasa sakit yang dia lalui.'Udah cukup.'Livia seperti digiring dalam kesepian yang kekal, di paksa untuk berpisah dengan Rafael.Rafael yang melihat Livia, kini mulai tersenyum cerah,"Livia!" teriak Rafael dari kejauhan. Namun, entahlah Livia sama sekali tidak mengdengarnya, membuat Rafael mempercepat langkahnya."Heh! Sayang" ucapan
'Ektrem! Ekstrem!' Rafael yang mendengar perkataan Livia mulau tersenyum lembut, memandangi tingkah laku yang Livia berikan untuknya. *Getaran dalam gadgetnya bergetar, sebelum dirinya akan tertidur pulas pada ranjang yang ia miliki. Dia memutuskan untuk mengintip, apa yang datang pada gadgetnta. @FROG🐸Have a nice dream My Queen<3 Terlihat Rafael yang mengirimi pesan, di barengi dengan satu PAP yang Rafael lakukan. Dengan wajah yang datar, menatap camera, memberikan efek Damage di dalam fotonya. Livia saja hampir menjerit kesal."Aarrgghhhhh, kenapa kirim foto kaya gini!" @Myqueen<3Oke, you too. Rafael berdeham girang,'akhirnya Livia mulai luluh!' ...Pagi pun datang, Livia yang tampaknya sudah selesai mandi tiba-tiba dikejutkan. Barang-barangnya kini telah terkemas rapi, di dalam koper besar yang dia punya. Koper besar itu kini sedang digiring ke dalam mobil yang
Siulan itu semakin tedengar begitu jelas. Jelas saja Livia tidak ingin memutar badannya, melihat siapa yang kini sedang berada di belakangnya. Langkah demi langkah lelaki itu ajukan, terdengar suara langkah kaki yang mulai mendekat, Livia terlihat gemetar, walaupun menghiraukan suara itu. "DOR!!!" kejut Rafael menyorotkan wajahnya dengan lampu senter. Lelaki itu sengaja sekali membuat wajahnya menjadi seram, akibat serangan lighting dari smartphone nya itu. Kaget, semua itu benar-benar membuat sport jantung. Ekpresi Livia yang ketakutan, di tambah dengan terkejut oleh kejahilan Rafael. "Astaghfirullah!" teriak Livia kaget. Wajahnya mulai memucat, entahlah. Kini kejahilan Rafael sudah tak bermoral, untung saja Jantung Livia tidak jatuh ke jalanan. "Kebiasaaan banget sih lo. Gimana kalo lo beradapan sama orang yang punya riwayat jantung? Udah lah, kelar." kesal Livia yang mulai sadar siapa dalang dari semua ini. Rafael hanya terbahak mel
"Nah bener Liv, anggep aja kita tuh temen lo. Karena mulai hari ini kita temenan yah. Gila aja sih, kalo ga temenan sama cewe cakep kaya gini," serobot Iqbal. Betul-betul yah, sikapnya yang pecicilan itu membuat suasana menjadi kacau. Hari ini saja, sudah sukses membuat schedule Rafael berantakan. Dan semua ekspentasinya benar-benar jauh dari reality. Iqbal tersenyum manis merayu Livia, membuat Livia membalas senyumanya. "Hah, tipe-tipe buaya nih!" kekeh Livia.Lagi-lagi Rafael dibuatnya kesal, dia menghalangi wajah Livia dengan buku kecil agar Iqbal tidak melihat Livia, juga Livia tidak membalas senyuman Iqbal itu. "Iya temenan boleh, tapi sikap lo itu, gausah di keluarin ya!" ujarnya dengan nada di tekan kembali. Livia memperhatikan Rafael, tersenyum tipis melihat tingkah Rafael hari ini. Terlihat begitu jelas Rafael tidak menyukai Livia yang memberikan senyuman itu pada Iqbal. "
"Ya udah, gausah sedih. Makan siang nanti kaka traktir yah, makan yang banyak biar cepet gede. Nanti bisa aku akuin buat jadi pacar aku!" terkekehnya Alvaro sambil mengatakan semua itu. Dia mencubit pipi Livia perlahan, menyalipkan rambut panjang Livia pada telinganya.Livia menatap Alvaro kesal, dia pasti tau alasan Livia tidak menjawab. Hingga membuatnya berusaha menghibur Livia kini."Curang! Ka Al itu selalu tau isi hati aku," Livia mulai melipat bibirnya kecewa.Alvaro kembali terkekeh melihat ekspresi yang Livia keluarkan."Makannya, jadi orang jangan mudah di tebak dong!" lontar Alvaro.Livia menyergitkan keningnya mengerut. "Nggak. Cuman kamu aja yang bisa baca. Bahkan Papa aku sendiri ga bisa baca pikiran aku," Livia menampilkan wajahnya yang kembali suram. Alvaro mengangkat dagu Livia, mata mereka mulai berkontak saling menatap."Dengan cara ini aku bisa yakinin hati k
Pagi yang indah melupakan kesunyian yang telah terjadi di malam itu. Semuanya seperti kembali seperti sedia kala. Iqbal yang kembali dengan kekakuannya seperti biasa."Ka, masa kemarin Rafael kalah sampe 3 kali lawan gue. Gila noob banget kan dia?"ejek Iqbal yang berhasil mengalahkan Rafael saat main game.Aka yang sedang melahap segala makanan ringannya mulai terkekeh. "Kerakukan apa, lo bisa ngalahin Rafael? Biasa kan, lo yang noob?"Kenyataan pahit itu dapat sekaligus mematahkan kegembiraan dalam diri Iqbal. Dia melemparkan buku ke arah Aka."Jangan ngungkit masa lalu dong. Kan sekarang gue yang menang!""Udalah, kalau sama-sama noob gausah berantem kaya gitu," serobot Rafael.Seenaknya sekali dia berbicara semacam itu. Kini diantara Aka dan Iqbal saling memberikan kode dan berbicara melalui naluri mereka sebagai sahabat.'SERANG' tunjuk Iqbal dengan me
Dafa memperhatikan Livia yang tengah menertawakan dirinya. Bisa-bisanya seseorang yang baru saja bertemu dapat melakukan hal semacam ini. "Jadi, lo jadiin gue bahan percobaan?" kesal Dafa memelotot."Heem," jawab livia yang tengah memakan bubur buatan Dafa dengan nikmat."Kan gue ga kenal sama lo, gue harus hati-hati dong!" sambungnya."Ck. Gatau terimakasih banget ya jadi orang," Decak Dafa dengan jengkel."Jaga diri itu penting. Ada seseorang yang selalu ngingetin gue tentang itu." papar Livia.Dia terus memakan bubur yang Dafa buat untuknya sampai habis tak tersisa. "Makasi yah," ujar Livia setelah selesai memakan buburnya, dia meraih teh manis panas yang ada di sampingnya."Yauda, kayanya lo udah baikan deh. Gue balik dulu yah."Livia mengangguk, dia hendak mengantar Dafa untuk keluar dari apartemen mil
"Jangan pergi lagi ya, Raf!" pinta Clara.Waktu yang mulai begitu larut membuat suasana semakin sunyi. Clara terus memeluk erat Rafael sambil memejamkan matanya. Rafael berusaha menenangkan gadis itu, berusaha agar dia dapat kembali tenang. Setelah beberapa menit berlalu begitu lama, akhirnya Clara berhasil tenang. Rafael membawanya agar bisa duduk di kursi yang berada di ujung jalan."Gue pesenin taksi yah," ucap Rafael.Clara menggeleng perlahan."Gue pengen kaya gini. Sebentar lagi Raf," kepalanya kini ia sandarkan tepat di bahu Rafael, dia memeluk lengan kanan Rafael.Getaran dalam gadgetnya kini mulai terdengar. Rafael dengan segera menggerogoh mencari-cari keberadaan ponselnya kini. Dia mendapati panggilan suara dari Iqbal.'Iqbal? Jarang banget dia telepon gue malem malem,' pikirnya.Dia menggeser emoji untuk mengangkat telepon itu, mengayunkan gadgetnya agar s
"Gue mampir aja deh ke apartemen Papa. Gara-gara jadwal padet gue belum sempet ketemu sama dia," gerutu Livia.Dia berniat berkunjung ke mana tempat Rama berada.Kini Livia tepat berada di depan pintu masuk kamar Rama. Pintu apartemen itu sedikit terbuka, membuat Livia masuk tanpa mengetuknya."Paaaa. Livia nih!" panggil Livia.Baru saja kakinya hendak dia masukkan, namun pemandangan tidak mengasikkan terlihat oleh lensa matanya. Livia memejamkan matanya, berharap semua itu hanya mimpi buruk yang datang menghantuinya. Namun setelah di perhatikan dengan benar, kejadian itu kini mulai terulang kembali. Wanita paruh baya itu sedang duduk dipangkuang Rama. Kejadian itu sangat membuat hatinya hancur, klise masa lalu yang menyakitkan terulang kembali di depan matanya."Pa. Kenapa lakuin hal ini lagi?" Dengan kekesalannya Livia memasuki ruangan yang selama ini Rama tinggali."Papa. Lagi ngapain?" sentak
Tepat semenjak Livia kembali meninggalkan Rafael. dia kembali menjadi orang yang pemurung, dan sangat datar terhadap siapapun. Rafael seperti disulap begitu saja, sikapnya berubah dengan sekejap. Sama seperti awal permulaan Livia yang meninggalkan Rafael pada masa SMA. "Bal. Lo, ngerasain kan sikap Rafael yang kaya dulu? Dia jadi pemurung setiap kali Livia pergi," ujar Aka sembari memasukan makanan ringan pada mulutnya. "Hah. Gue ngeh ko, tapi mau gimana lagi. Emang kehilangan sesuatu yang berharga itu bener-bener berat. Lo tau kan seberapa keras dia jalanin hidup sampe bisa bertahan kaya gini?" jawab Iqbal yang sedang asik memainkan stik PS nya itu. "Nah, gue denger cerita masa lalu dia aja ga nyangka. Ko bisa orang yang di kira perfect sama orang lain punya masalah hidup segitu besar?" "Dia hebat. Walaupun dia terpuruk dia bisa bangkit lagi. Emang ga gampang lewatin semua itu, cuman setau gue dia mulai bangkit lagi pas dia kenal sama Livia, mungkin
"Raf, lo kenapa sih kemarin malah tinggalin gue. Mana bilang gue yang bantu cewe itu?" protes Iqbal mengingat dua hari lalu yang telah Rafael lakukan.Rafael mengaduk minumannya pelan, dengan wajahnya yang datar tanpa ekspresi."Gue ga kenal siapa cewe itu. Dan gue gamau berhubungan sama cewe lain. Males!" jawabnya datar."Tapi Raf, bener-bener deh. Gue canggung banget, dan lagi dia kemarin nanya ke gue. Kayanya dia inget deh, kalo lo yang bawa dia,""Ga peduli ah!" acuhnya tidak mau tau.Rafael betul-betul acuh jika mengenai wanita manapun, seperti tidak ingin berurusan dengan mereka. Wajah datarnya sudah menjelaskan semuanya. Tertahan semua pertanyaan Iqbal, dia mengurungkan semua apa yang ingin dia tanyakan."Yauda deh.""Rafel?" panggil Clara yang ternyata sedari tadi berada di belakang Rafael.Rafael melirik heran,
"Ge, ngapain disitu?" tanya Aka yang baru saja merapihkan badannya.Gea yang panik hanya membuat alasan klasik yang tengah dia pikirkan."Nggak, gue nyari angin aja ko," jawabnya.Aka benar-benar tak percaya, dia menggeleng dan mulai bertanya dengan senyum gelinya."Jangan-jangan, lo ngintipin mereka yah?" lontar Aka.Gea benar-benar dibuat panik oleh Aka. dia bingung mengenai apa yang harus dia katakan."Hah? Siapa? Gue?" jari telunjuknya kini menunjuk ke arah dirinya."Iya, lo nguping kan dan merhatiin mereka?""Hah engga. Buat apa kaya gitu?" ujar Gea mengelak."Hha. Gue tau ko," Aka mulai terkekeh tanpa suara, menertawakan Gea.Semua tebakan Aka sangat mengenai hati Gea, semua itu sukses membuat Gea kesal.'Ngapain sih anak ini? Kenapa tiba-tiba so paling tau?' keluh Gea dalam hatinya.
Pagi telah datang, percakapan berat tadi malam itu berakhir begitu saja. Semua kecemasan Rafael kadang menghilang begitu saja, namun juga kembali ketika dia menginginkannya. Iqbal berhasil memberikan saran terhadap Rafael, semua itu membuat Rafael dapat berfikir jernih. Kini Aka terlihat bangun terlalu dini, dia mulai membangunkan Rafael yang tengah tertidur pulas."Raf, Rafael! Bangun dong, jogging yu!" teriak Aka membangunkna Rafael."Iya Liv, ayo," jawab Rafael meracau.Aka benar-benar keheranan di buatnya. Dia memukul Rafael, agar dia segera bangun dari ranjangnya."Gue Aka anjim, ko Livia sih? Bangun ga!" Aka menarik paksa lengan Rafael berniat mendudukan Rafael yang tengah tertidur.Rafael benar-benar dibuat kaget, dia kesakitan saat Aka menarik lengan kanannya. Dia membuka matanya, melihat Aka yang sedang berusaha membangunkannya."Heh anjim lo?" teriak Rafael yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dia benar-benar kaget, bagai