Rafael yang mendengar perkataan Livia mulau tersenyum lembut, memandangi tingkah laku yang Livia berikan untuknya.
*
Getaran dalam gadgetnya bergetar, sebelum dirinya akan tertidur pulas pada ranjang yang ia miliki. Dia memutuskan untuk mengintip, apa yang datang pada gadgetnta.@FROGđ¸
Have a nice dream My Queen<3Terlihat Rafael yang mengirimi pesan, di barengi dengan satu PAP yang Rafael lakukan. Dengan wajah yang datar, menatap camera, memberikan efek Damage di dalam fotonya.
Livia saja hampir menjerit kesal.
"Aarrgghhhhh, kenapa kirim foto kaya gini!"@Myqueen<3
Oke, you too.Rafael berdeham girang,
'akhirnya Livia mulai luluh!'...
Pagi pun datang, Livia yang tampaknya sudah selesai mandi tiba-tiba dikejutkan. Barang-barangnya kini telah terkemas rapi, di dalam koper besar yang dia punya. Koper besar itu kini sedang digiring ke dalam mobil yang telah di panasi sedari tadi pagi."Kalian ngapain? Ngapain bawa koper aku?!" teriak Livia kaget juga kesal.
"Maaf, Non, kami hanya menjalankan tugas dari Pa Rama," jawabnya.
Memang Livia tidak dapat memarahi semua pegawainya, dia hanya bisa mendatangi Rama, mulai bertanya apa maksud dari semua ini. Tangannya mengepal kesal, amarahnya seakan telah naik di pagi yang indah ini. Livia menuruni satu demi satu anak tangganya, namun, terlihat Rama yang juga sedang duduk di meja kerjanya, menantikan kedatangan Livia.
"Pa? Kenapa?" tanya Livia kesal.
"Papa kan udah bilang, jangan berurusan lagi sama cowo atau siapalah. Tapi ga nurut kan?" jawabnya dengan santai juga datar.
"Itu bukan alesan Papa, buat kirim aku tanpa sepengetahuan aku, Pa! Aku itu masih sekolah, gimana mungkin aku pergi tanpa pamitan," lontar Livia menekan nada suaranya.
"Sejak kapan kamu peduli? Sejak kapan kamu ngebangkang?"
"Cepetan siap-siap! Pagi ini kita berangkat!" pintah Rama menghiraukan semua perkataan Livia sebelumnya. Dia beranjak dari kursinya, meninggalkan Livia begitu saja.Satu tetes, dua tetes, air matapun mulai berjatuhan tanpa ijinnya. Dia hanya bisa terus terusan menghapus air mata yang berjatuhan itu, bersiap-siap menuruti apa yang Rama perintahkan kepadanya.
"Livia! Cepetan, Papa tunggu kamu di mobil!"
Terdengar teriakan Rama yang menyuruhnya agar cepat-cepat turun dan menemuinya. Livia menghela nafasnya sejenak sebelum menuruni anak tangga itu,
"Maafin gue Raf," gumam Livia.
Di samping itu, Rafael yang berencana ingin datang ke rumah Livia, untuk memberikan surprise pada sang kekasih, mengajaknya pergi ke sekolah bersama.
"Sekarang, gue tinggal dateng rumahnya, ajak dia pergi bareng. Kan, seneng tuh di jemput sama Mas pacar," gumam Rafael yang melangkah pergi menuju perumahan Livia.
[HA?!] Rafael sempat terkejut melihat beberapa koper yang masuk ke dalam mobil sport, dia melihat beberapa orang yang nampaknya sedang sibuk mengangkat beberapa koper besar.
'Mungkin Rama mau keluar negeri lagi kali, ya?' pikirnya.
Namun, matanya mulai memelotot ketika melihat Livia yang berdiri menatapi mobil itu, membawa koper kecil yang belum sempat dia masukan. Livia melangkahkan kakinya berat, membuat Rafael benar-benar terkejut.
"Livia?"
Panggilan itu berhasil menghentikan langkah Livia. Sesegera mungkin dia menoleh saat mendengar panggilan itu, membalikkan badannya dan terkejut. Melihat Rafael yang kini tengah berdiri di hadapannya dengan mata sendunya. Lelaki itu mulai melangkah menghampiri Livia.
"Ngapain?" tanya Rafael khawatir.
"Raf. Maafin gue, Kita putus aja yah," lontar Livia. Yang membuat air matanya jatuh, dan segera menghapusnya kembali.
"Ko, gitu?" tanya Rafael, dia benar-benar tidak mengerti apa maksud dari perkataan yang Livia lontarkan.
"Gue harus pergi ke Australia. Pa-papa udah ga mau dengerin lagi apa kata gue, gue udah bingung banget dengan situasinya. Gue ga bisa nego sama dia, gue kesel, tapi ga bisa apa-apa. Gue cuman mau lo baik-baik aja, dan lo harus tetep jalanin hidup lo dengan bahagia. Makasih atas kebahagiaan yang udah lo kasih sama gue," jelas Livia. Kini nada gemetar sayup-sayup terdengar dari bibir Livia.
Rafael mengelak tidak terima,
"Ngomong apa sih lo?""Gausah putus juga dong. Distance cannot separate our love! Oke." jelasnya."Tapi, lo mungkin ga bakal bahagia, Raf. Jelas-jelas gue pergi ninggalin lo, disini. Dan lo, harus jalanin hidup lo, tanpa gue!"
"Kan gue udah bilang. Kita bakalan hadepin semuanya bareng-bareng!" Rafael menekan kesal, dia memastikan Livia agar tetap mempertahankan semuanya.
"Lo, inget kan?" sambungnya."Tapi Raf, gue ga mungkin bisa, gue ga bisa liat lo, nungguin gue tanpa kepastian kaya gini. Lo juga pantes buat bahagia!"
"Gua bahagia Liv, gue bener-bener bahagia bisa sama lo."
"Engga Raf. Sekarang lo bisa ngomong gini, tapi setaun? Dua tahun? Lo bakalan kesepian dan sedih. Ada waktunya temen-temen lo punya pacar, dan lo ga mungkin terus nunggu gue,"
"Udah ya, dengerin gue! Gue gamau denger sepatah kata, apapun itu dari mulut lo! Lo harus bahagia," ucapnya sembari terus mengusap air mata yang berjatuhan pada pipi cubynya."Oke, kalo itu mau lo. Gue bakal bahagia dengan cara gue sendiri ...,"
' ... Dan bahagia gue adalah mencintai, lo.' sambungnya dalam batin Rafael."Makasih, Seeyou, Frog Prince!" pamit Livia yang mulai membelakangi Rafael, sebelum melanjutkan langkahnya kembali.
Dia di kejutkan dengan lengan yang Rafael lingkarkan pada badan kecilnya, mendekap erat Livia untuk perpisahnya kini.
"Gue harap, lo bisa pertimbangin semuanya. Di saat kita ketemu lagi, persaan gue gaakan pernah berubah buat lo, Liv. Seeyou again!" bisik Rafael dengan suara beratnya.
Livia saja yang mendengar bisikan itu, hanya bisa menangis dan mengusap air matanya. Tanpa membalik badannya, dia mulai melepaskan pelukan yang Rafael berikan, lalu melangkah kembali menuju mobilnya, dengan air mata yang terus terjatuh.
Rafael kini hanya melihat beberapa mobil yang mulai menjauh dari pandangannya. Dan berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Namun kenyataan memberitahukan bahwa ini nyata benar-benar nyata.
Setelah hari itu, hari dimana kisah Rafael dan Livia berakhir. Kehidupan masih tetap berjalan. Rafael telah berjanji agar tidak menyiksa dirinya, dan tetap bahagia. Namun, dalam satu waktu, semua itu tetap saja sempat datang ke dalam hari-harinya, dia menjadi pemurung.
'Ahhh, gue ga boleh murung, Livia ga disini, bukan berarti dia lupa sama gue!' batin Rafael selalu menghibur dirinya sendiri. Menjadikan Rafael lebih semangat dalam menjalani hari-harinya.
Selama itupun, hampir dua tahun telah dia lalui tanpa adanya Livia, berjalan juga hidup dengan kehidupannya yang terasa kurang. Menunggu kepulangan Livia kembali ke dalam hidupnya. Kini sekolah perguruan tinggipun telah dimulai. Sudah setengah tahun dia menjadi Maba dalam kampus besar ternama itu, bersama dengan Iqbal, Aka dan beberapa teman lainnya yang dia kenali.
"Lo, nanti siang ada pemotretan. Jangan lupa!" ujar Rainy yang mengingatkan Rafael tentang schedule nya.
"Oke."
Kini Rafael sering kali mendapatkan pekerjaan menjadi ambasador di beberapa toko online shop. Dia kerap ditawari menjadi model iklan untuk baju yang mereka punya. Mungkin semua itu membuat Rafael sedikit demi sedikit menjadi terkenal, menjadikannya seorang selebgram, bahkan sampai mendapatkan fans. Juga dia mendapatkan nilai yang baik, karena prilakunya yang sopan.
Setelah Rainy pergi, terlihat Aka yang menghampiri Rafael yang sedari tadi menghilang tanpa jejak.
"Dari mana lo, Raf?" tanya aka sambil menoleh ke arahnya.
"Abis ketemu Rainy, tadi dia ngabarin tentang pemotretan," jawabnya.
"Emm emang sih, temen gue keren abis. Udah jadi orang terkenal," puji Aka sembari menepuk pundaknya.
"Hha, siapa dulu?" jawab Rafael terkekeh, dia mengangkat satu alis kanannya.
"Oh, iya. Jadi sore ini gimana? Dia jadi balik kesini? Setelah 2 tahun ngilang gitu aja?" tanya Aka.
Dia mendapatkan kabar, jika Livia akan berlibur ke negara asalnya. Memberikan kabar baik itu pada Rafael. Mereka kadang sesekali saling memberi kabar terbaru tentang kehidupannya masing-masing.
"Oo iya, dia balik sini ya? Udah lama, tapi gue seneng. Gue udah kangen banget sama dia," jawabnya dengan tersenyum lebar.
"Emm, seneng gitu xixi," ledek Aka.
"Bentar ...,"
Rafael menggerogoh ponselnya, mengetikkan beberapa kalimat dan mengirim pesannya pada Livia.
@FROGđ¸
Gue jemput ya?Aka yang melihat gelagat Rafael mulai bertanya, "Kirim pesen?"
"Yoi."
Bergetarnya ponsel Rafael, menandakan Livia yang memebalas pesan singkatnya.
@Myqueen<3
Gausah, nanti gue ke rumah lo aja ya. Seeyou!@FROGđ¸
Ga cape?@Myqueen<3
Nggak, Raf. Gapapa ko,@FROGđ¸
Yaudah, hati-hati. Seeyou too!Rafael memasukan gadgetnya kedalam satu celananya, dia menghela nafasnya.
'Akhirnya ...'Aka yang tahu jika Rafael telah selesai, segera bertanya. "Gimana?"
"Ketemu di rumah aja katanya,"
"Lo jangan ganggu!" ancamnya mengingatkan."Sip. Insyaallah," jawab Aka tersenyum.
*
@Myqueen<3Rumah lo dimana? Ini gue nyasar deh, kayanya.Gimana dong?Beberapa pesan dari Livia datang pada ponsel milik Rafael. Rafael membukanya terkekeh, mengingat kelakuan sebenarnya yang Livia punya.
@FROGđ¸
Gue kan udah bilang, biar gue jemput!Salah sendiri. Lo kan emang belum pernah ke rumah gue, xixi. Lawak banget anjir,@Myqueen<3
Mana gue inget,Terus sekarang gimana?@Frogđ¸
PAP jalannya, nanti gue kesana, ya!Tungguin, jangan kemana mana!.Livia mengirim jalanan yang Rafael minta, menunggu Rafael, sendirian di tengah gelapnya langit malam. Dia mendengar beberapa siulan dari lelaki yang berlalu lalang melewati keberadaannya. Untuk yang terakhir, lelaki itu terhenti, bayangan yang dia lihat membuat Livia ketakutan, bingung harus melakukan apa.
'Apa lagi, ini? ....'
Siulan itu semakin tedengar begitu jelas. Jelas saja Livia tidak ingin memutar badannya, melihat siapa yang kini sedang berada di belakangnya. Langkah demi langkah lelaki itu ajukan, terdengar suara langkah kaki yang mulai mendekat, Livia terlihat gemetar, walaupun menghiraukan suara itu. "DOR!!!" kejut Rafael menyorotkan wajahnya dengan lampu senter. Lelaki itu sengaja sekali membuat wajahnya menjadi seram, akibat serangan lighting dari smartphone nya itu. Kaget, semua itu benar-benar membuat sport jantung. Ekpresi Livia yang ketakutan, di tambah dengan terkejut oleh kejahilan Rafael. "Astaghfirullah!" teriak Livia kaget. Wajahnya mulai memucat, entahlah. Kini kejahilan Rafael sudah tak bermoral, untung saja Jantung Livia tidak jatuh ke jalanan. "Kebiasaaan banget sih lo. Gimana kalo lo beradapan sama orang yang punya riwayat jantung? Udah lah, kelar." kesal Livia yang mulai sadar siapa dalang dari semua ini. Rafael hanya terbahak mel
"Nah bener Liv, anggep aja kita tuh temen lo. Karena mulai hari ini kita temenan yah. Gila aja sih, kalo ga temenan sama cewe cakep kaya gini," serobot Iqbal. Betul-betul yah, sikapnya yang pecicilan itu membuat suasana menjadi kacau. Hari ini saja, sudah sukses membuat schedule Rafael berantakan. Dan semua ekspentasinya benar-benar jauh dari reality. Iqbal tersenyum manis merayu Livia, membuat Livia membalas senyumanya. "Hah, tipe-tipe buaya nih!" kekeh Livia.Lagi-lagi Rafael dibuatnya kesal, dia menghalangi wajah Livia dengan buku kecil agar Iqbal tidak melihat Livia, juga Livia tidak membalas senyuman Iqbal itu. "Iya temenan boleh, tapi sikap lo itu, gausah di keluarin ya!" ujarnya dengan nada di tekan kembali. Livia memperhatikan Rafael, tersenyum tipis melihat tingkah Rafael hari ini. Terlihat begitu jelas Rafael tidak menyukai Livia yang memberikan senyuman itu pada Iqbal. "
"Ngapain?" tanya Livia mengangkat satu alisnya. "Naik!" titah Rafael. Perintah itu membuat Livia terdiam sejenak, memandangi punggung Rafael yang samar-samar terlihat kekar. Rafael menoleh ke arah belakang, menatapi Livia yang melihat punggungnya, lalu menggeleng kesal. Tanpa mendengarkan penolakan apapun yang keluar dari mulut Livia, Rafael mulai menggendongnya memaksa. Sempat kaget, Livia melihat kelakuan Rafael kini, dia sampai memukul-mukul pelan bahu lebarnya berulang. Namun pukulan itu terhenti, ketika kepalanya mulai pusing dan terasa seperti nut-nut tan. "Raf, Raf. Gue ga kuat ini, pusing banget," ujar Livia menghentikan langkah Rafael. Livia menidurkan kepalanya tepat pada bahu milik lelaki itu. Berbicara semakin membisik, karena rasa sakitnya yang mungkin membuat Livia tidak sanggup berbicara seperti biasa. "Pulang aja ya, gausah ke tempat makan. Nanti makan di rumah aja!" pinta Livia lirih. Livia mulai memejamkan matan
"Sabar bro!" Iqbal mulai mengingatkan Rafael agar bisa bersabar, mendapatkan teman seperti ini."Sabar banget gue!" tekan Rafael kesal.Iqbal merangkul bahu Aka, menyekiknya pelan. "Gatau sitkon banget yah lo" ujarnya tidak sadar diri.Livia kini sedang asik memakan makanan yang Iqbal berikan. Dengan ekspresi datar, seperti sedang menonton sebuah serial drama tentang pertemanan itu."Siniiiiii!" ujarnya memegang dagu Rafael memutar, membuat lensa matanya saling bertemu. Livia kini memberikan satu suapan kecil untuk pangeran kodoknya itu."Nih, lo mau kan? AAA" sambungnya memberi aba-aba.Rafael tersenyum puas, menikmati satu suapan ini. Iqbal tersenyum melihat teman kecilnya yang manja, berhasil mendapatkan suapan pertama dari seorang wanita setelah ibunya. Aka tidak mengerti apa yang sedang mereka senyumi, tak paham dibuatnya Aka hanya memutuskan untuk duduk dan berusaha melepaskan lengan Iqbal yang masih merangkulnya.Ringtone dari sa
Menurut Kiara Awal petemuan diantara mereka, tidak dapat dia lupakan. Awal pertemuan yang menumbuhkan rasa cinta di dalamnya. .FLASHBACK ON. "IQBAL, KA IQBAL DIMANA?" teriak Kiara mencari-cari Iqbal. Waktu itu Iqbal hanya meninggalkan Kiara untuk membelikan ice cream. Iqbal sempat berpesan, untuk menunggunya kembali dan jangan pergi kemana-mana. Namun, kupu-kupu yang indah menghampiri Kiara secara tidak sengaja. Membuat Kiara menatap gemas melihat kupu-kupu itu, terus memperhatikannya. Sampai kupu-kupu itu pergi, terus dan terus, Kiara mengekornya. Disitulah awal Kiara sampai bisa terpisah dengan Iqbal. Saat Iqbal kembali, Kiara sudah tidak ada di tempat yang sempat dia duduki. "RARA, DIMANA?" teriak Iqbal mencari-cari. Iqbal mulai cemas mencari kembarannya itu, umur mereka memang tidak selisih berjauhan. Namun Kiara tidak sepintar Iqbal dalam menjaga dirinya. Kiara berlari mencari-cari dimana Iqbal berada sambil menangis
Kiara pun mulai melepaskan kedua tangan dari matanya. Dia pun mulai berbalik, melihat keberadaan Dafa yang tengah menahan buku-buku itu agar tidak terjatuh. "Gapapa?" Dafa mulai bersuara setelah memandangi Kiara beberapa saat. "Iya," Kiara mengangguk tersipu, dia benar-benar salah tingkah oleh perlakuan Dafa. "Hati-hati!" Ingat Dafa pada Kiara. "Iya, makasi," Kiara memperlihatkan wajah malunya, lalu pergi meninggalkan Dafa. Membuat Dafa tersenyum manis melihat tingkah laku anak satu ini. Setelah benerapa lama menunggu, akhirnya satu jam pelajaran pun berakhir. Kiara memutuskan memasuki kelas tanpa mengajak Dafa. Dia masih mengingat kejadian yang membuatnya malu, sekaligus sangat senang. Diapun pergi meninggalkan Dafa yang tengah duduk di perpustakaan. "Lo mau kemana?" tanya Dafa melihat Kiara yang pergi tanpa permisi. Sontak Kiara pun menoleh, tanpa menjawab pertanyaan Dafa dan hanya kembali melanjutkan langkahnya. Dafa seseger
Iqbal menggeleng tak percaya. Satpam itu hendak menutup gerbangnya, meninggalkan Kiara yang masih di luar gerbang. Kiara kini berjalan mendekati mobilnya, masuk kedalamnya dengan wajah tertekuk. Kiara terdiam tak percaya di dalam mobil itu. Menatap Iqbal bingung dengan mata yang menggenang air di dalamnya. Iqbal juga benar-benar tak percaya, dia mendesah pelan menyebut nama Dafa. Kiara menatap Iqbal kembali, meneteskan air matanya yang sedari tadi dia tampung. Tak habis pikir dengan semua ini, Iqbal akhirnya memeluk Kiara erat. "Gapapa. Rara, gaboleh nangis ya, kan ada gue," ucap Iqbal menegelus pelan Kiara berusaha menenangkan Kiara. Kiara mengangguk, berhenti menangis. Dia memejamkan matanya sesaat. 'Dafa, Dafa jahat banget,' batinnya menggerutu. Pelukan itu terhenti, Iqbal menghapus semua air mata Kiara yang terjatuh. Dafa benar-benar tidak ber hati, untuk urusan sepenting ini saja, dia tidak berbicara.Mereka memutuska
Jelas sekali kemarin Iqbal mendengar jeritan Kiara memanggil nama Dafa. Itu semua kadang membuat Iqbal khawatir, dia takut hal yang sama terulang kembali. Waupun mereka sangat dekat. Tapi terlihat dari tatapan Dafa, dia hanya menganggap Kiara sebagai seorang teman. Kenyataan itu sangatlah berbeda dengan Kiara, dia terus memendam perasannya sehingga menjadi sangat dalam. Waktu itu saja Kiara hampir mengangis di setiap malam yang gelap memikirkan Dafa. Iqbal tidak dapat membantu banyak, apapun yang Iqbal katakan. Satu perkataan pun tidak ada yang Kiara dengar, dia hanya berfokus terus mencintai Dafa."Iqbal, jangan marah," ujar Kiara merayu."Ternyata bener," desah Iqbal."Iqbal gu-gue kangen Dafa dan nyoba hubungin dia. Ternyata dia angkat telepon gue, lo jangan marah ya. Jangan marah ka," jelas Kiara terbata-bata."Gue ga marah Ra, gue gapapa kalo lo mau berhubungan sama Dafa. Tapi apa lo tau perasan Dafa ke elo gimana? Apalagi setelah 3 tahun ga ada kaba
"Ya udah, gausah sedih. Makan siang nanti kaka traktir yah, makan yang banyak biar cepet gede. Nanti bisa aku akuin buat jadi pacar aku!" terkekehnya Alvaro sambil mengatakan semua itu. Dia mencubit pipi Livia perlahan, menyalipkan rambut panjang Livia pada telinganya.Livia menatap Alvaro kesal, dia pasti tau alasan Livia tidak menjawab. Hingga membuatnya berusaha menghibur Livia kini."Curang! Ka Al itu selalu tau isi hati aku," Livia mulai melipat bibirnya kecewa.Alvaro kembali terkekeh melihat ekspresi yang Livia keluarkan."Makannya, jadi orang jangan mudah di tebak dong!" lontar Alvaro.Livia menyergitkan keningnya mengerut. "Nggak. Cuman kamu aja yang bisa baca. Bahkan Papa aku sendiri ga bisa baca pikiran aku," Livia menampilkan wajahnya yang kembali suram. Alvaro mengangkat dagu Livia, mata mereka mulai berkontak saling menatap."Dengan cara ini aku bisa yakinin hati k
Pagi yang indah melupakan kesunyian yang telah terjadi di malam itu. Semuanya seperti kembali seperti sedia kala. Iqbal yang kembali dengan kekakuannya seperti biasa."Ka, masa kemarin Rafael kalah sampe 3 kali lawan gue. Gila noob banget kan dia?"ejek Iqbal yang berhasil mengalahkan Rafael saat main game.Aka yang sedang melahap segala makanan ringannya mulai terkekeh. "Kerakukan apa, lo bisa ngalahin Rafael? Biasa kan, lo yang noob?"Kenyataan pahit itu dapat sekaligus mematahkan kegembiraan dalam diri Iqbal. Dia melemparkan buku ke arah Aka."Jangan ngungkit masa lalu dong. Kan sekarang gue yang menang!""Udalah, kalau sama-sama noob gausah berantem kaya gitu," serobot Rafael.Seenaknya sekali dia berbicara semacam itu. Kini diantara Aka dan Iqbal saling memberikan kode dan berbicara melalui naluri mereka sebagai sahabat.'SERANG' tunjuk Iqbal dengan me
Dafa memperhatikan Livia yang tengah menertawakan dirinya. Bisa-bisanya seseorang yang baru saja bertemu dapat melakukan hal semacam ini. "Jadi, lo jadiin gue bahan percobaan?" kesal Dafa memelotot."Heem," jawab livia yang tengah memakan bubur buatan Dafa dengan nikmat."Kan gue ga kenal sama lo, gue harus hati-hati dong!" sambungnya."Ck. Gatau terimakasih banget ya jadi orang," Decak Dafa dengan jengkel."Jaga diri itu penting. Ada seseorang yang selalu ngingetin gue tentang itu." papar Livia.Dia terus memakan bubur yang Dafa buat untuknya sampai habis tak tersisa. "Makasi yah," ujar Livia setelah selesai memakan buburnya, dia meraih teh manis panas yang ada di sampingnya."Yauda, kayanya lo udah baikan deh. Gue balik dulu yah."Livia mengangguk, dia hendak mengantar Dafa untuk keluar dari apartemen mil
"Jangan pergi lagi ya, Raf!" pinta Clara.Waktu yang mulai begitu larut membuat suasana semakin sunyi. Clara terus memeluk erat Rafael sambil memejamkan matanya. Rafael berusaha menenangkan gadis itu, berusaha agar dia dapat kembali tenang. Setelah beberapa menit berlalu begitu lama, akhirnya Clara berhasil tenang. Rafael membawanya agar bisa duduk di kursi yang berada di ujung jalan."Gue pesenin taksi yah," ucap Rafael.Clara menggeleng perlahan."Gue pengen kaya gini. Sebentar lagi Raf," kepalanya kini ia sandarkan tepat di bahu Rafael, dia memeluk lengan kanan Rafael.Getaran dalam gadgetnya kini mulai terdengar. Rafael dengan segera menggerogoh mencari-cari keberadaan ponselnya kini. Dia mendapati panggilan suara dari Iqbal.'Iqbal? Jarang banget dia telepon gue malem malem,' pikirnya.Dia menggeser emoji untuk mengangkat telepon itu, mengayunkan gadgetnya agar s
"Gue mampir aja deh ke apartemen Papa. Gara-gara jadwal padet gue belum sempet ketemu sama dia," gerutu Livia.Dia berniat berkunjung ke mana tempat Rama berada.Kini Livia tepat berada di depan pintu masuk kamar Rama. Pintu apartemen itu sedikit terbuka, membuat Livia masuk tanpa mengetuknya."Paaaa. Livia nih!" panggil Livia.Baru saja kakinya hendak dia masukkan, namun pemandangan tidak mengasikkan terlihat oleh lensa matanya. Livia memejamkan matanya, berharap semua itu hanya mimpi buruk yang datang menghantuinya. Namun setelah di perhatikan dengan benar, kejadian itu kini mulai terulang kembali. Wanita paruh baya itu sedang duduk dipangkuang Rama. Kejadian itu sangat membuat hatinya hancur, klise masa lalu yang menyakitkan terulang kembali di depan matanya."Pa. Kenapa lakuin hal ini lagi?" Dengan kekesalannya Livia memasuki ruangan yang selama ini Rama tinggali."Papa. Lagi ngapain?" sentak
Tepat semenjak Livia kembali meninggalkan Rafael. dia kembali menjadi orang yang pemurung, dan sangat datar terhadap siapapun. Rafael seperti disulap begitu saja, sikapnya berubah dengan sekejap. Sama seperti awal permulaan Livia yang meninggalkan Rafael pada masa SMA. "Bal. Lo, ngerasain kan sikap Rafael yang kaya dulu? Dia jadi pemurung setiap kali Livia pergi," ujar Aka sembari memasukan makanan ringan pada mulutnya. "Hah. Gue ngeh ko, tapi mau gimana lagi. Emang kehilangan sesuatu yang berharga itu bener-bener berat. Lo tau kan seberapa keras dia jalanin hidup sampe bisa bertahan kaya gini?" jawab Iqbal yang sedang asik memainkan stik PS nya itu. "Nah, gue denger cerita masa lalu dia aja ga nyangka. Ko bisa orang yang di kira perfect sama orang lain punya masalah hidup segitu besar?" "Dia hebat. Walaupun dia terpuruk dia bisa bangkit lagi. Emang ga gampang lewatin semua itu, cuman setau gue dia mulai bangkit lagi pas dia kenal sama Livia, mungkin
"Raf, lo kenapa sih kemarin malah tinggalin gue. Mana bilang gue yang bantu cewe itu?" protes Iqbal mengingat dua hari lalu yang telah Rafael lakukan.Rafael mengaduk minumannya pelan, dengan wajahnya yang datar tanpa ekspresi."Gue ga kenal siapa cewe itu. Dan gue gamau berhubungan sama cewe lain. Males!" jawabnya datar."Tapi Raf, bener-bener deh. Gue canggung banget, dan lagi dia kemarin nanya ke gue. Kayanya dia inget deh, kalo lo yang bawa dia,""Ga peduli ah!" acuhnya tidak mau tau.Rafael betul-betul acuh jika mengenai wanita manapun, seperti tidak ingin berurusan dengan mereka. Wajah datarnya sudah menjelaskan semuanya. Tertahan semua pertanyaan Iqbal, dia mengurungkan semua apa yang ingin dia tanyakan."Yauda deh.""Rafel?" panggil Clara yang ternyata sedari tadi berada di belakang Rafael.Rafael melirik heran,
"Ge, ngapain disitu?" tanya Aka yang baru saja merapihkan badannya.Gea yang panik hanya membuat alasan klasik yang tengah dia pikirkan."Nggak, gue nyari angin aja ko," jawabnya.Aka benar-benar tak percaya, dia menggeleng dan mulai bertanya dengan senyum gelinya."Jangan-jangan, lo ngintipin mereka yah?" lontar Aka.Gea benar-benar dibuat panik oleh Aka. dia bingung mengenai apa yang harus dia katakan."Hah? Siapa? Gue?" jari telunjuknya kini menunjuk ke arah dirinya."Iya, lo nguping kan dan merhatiin mereka?""Hah engga. Buat apa kaya gitu?" ujar Gea mengelak."Hha. Gue tau ko," Aka mulai terkekeh tanpa suara, menertawakan Gea.Semua tebakan Aka sangat mengenai hati Gea, semua itu sukses membuat Gea kesal.'Ngapain sih anak ini? Kenapa tiba-tiba so paling tau?' keluh Gea dalam hatinya.
Pagi telah datang, percakapan berat tadi malam itu berakhir begitu saja. Semua kecemasan Rafael kadang menghilang begitu saja, namun juga kembali ketika dia menginginkannya. Iqbal berhasil memberikan saran terhadap Rafael, semua itu membuat Rafael dapat berfikir jernih. Kini Aka terlihat bangun terlalu dini, dia mulai membangunkan Rafael yang tengah tertidur pulas."Raf, Rafael! Bangun dong, jogging yu!" teriak Aka membangunkna Rafael."Iya Liv, ayo," jawab Rafael meracau.Aka benar-benar keheranan di buatnya. Dia memukul Rafael, agar dia segera bangun dari ranjangnya."Gue Aka anjim, ko Livia sih? Bangun ga!" Aka menarik paksa lengan Rafael berniat mendudukan Rafael yang tengah tertidur.Rafael benar-benar dibuat kaget, dia kesakitan saat Aka menarik lengan kanannya. Dia membuka matanya, melihat Aka yang sedang berusaha membangunkannya."Heh anjim lo?" teriak Rafael yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dia benar-benar kaget, bagai