"Jadi kan?" tanya Rafael kembali.
Livia menyergit menanggapi semua pertanyaan Rafael.
"Jangan-jangan lo, lupa?" tanya kembali Rafael memastikan.
Livia menggeleng,
"Apa?" tanyanya kembali datar."Iya, kan, kamu beneran lupa," Rafael kini mengerang kesal, menampilkan raut wajah marahnya.
"Kan udah janji," sambungnya"Bentar ...," tahan Livia yang berusaha mulai mengingat, kapan dia menjanjikan sesuatu hal yang ekstrem. (HA!) Benar, dia menjanjikan semua itu saat berusaha mengusir Rafael kemarin malam.
'Kenapa bisa gue ngomong gitu,' batin Livia merintih, karena ketakutannya pada malam itu, dia mulai berbicara omong kosong, dan semua itu Rafael anggap serius?.
Livia menghela nafasnya prustasi,
"Gue becanda, masa iya gue beneran!" tolak Livia datar.Rafael mengangkat satu alis kanannya, dia memegangi lengan Livia, menampilkan raut wajah yang sangat marah kepadanya. Lensa mata diantara mereka saling bertemu.
"Matanyaaaa! Gue colok, baru tau rasa, lo!" tantang Livia.
Bukannya alih-alih membuat Livia menurut, itu semua hanya menjadikan Livia lebih menantang. Kini yang Rafael bisa lakukan adalah menampilkan raut wajah kekecewaan dalam dirinya.
"Oke. Ternyata, lo itu type orang yang ga suka tepatin janji," lontarnya pergi meninggalkan Livia sendiri.
"Rafael!" teriak Livia, sebelum Rafael betu-betul menjauh. Ternyata ucapan itu berhasil mengguncang dirinya, bagaimana mungkin ucapan mengesalkan itu, sanggup Livia tahan.
Rafael tersenyum sebelum membalik badannya,
'Kena, kan, lo!' pikir Rafael yang kini merasakan keberhasilan dalam dirinya, kali ini dia dapat membuat Livia meng iyakan ajakannya."Iya, kenapa?" jawab Rafael.
"Y-yaudah ayo!"
"Nanti malem gue tunggu, di taman yah!" papar Rafael girang, dia kembali berjalan dengan melompat senang.
"Skakmate," decak Livia kesal.
>>>
Malam telah datang, bersama indahnya bulan purnama yang terang, dihiasi bintang-bintang yang bertaburan. Berkali-kali getaran dari gadget Livia datang, namun belum satu pun yang Livia lihat."Untung aja, malam ini Papa ada tugas di luar kota," gumam Livia yang sedang bersiap-siap.
"Gue aman!" sambungnya.Livia mengambil gadgetnya, berniat memeriksa siapa saja yang memberinya pesan, sampai-sampai getaran itu tak berhenti bergetar.
@FROG đ¸
Liv!Udah siap kan?
Hati-hati di jalannya,
Gue tungguin di tempat janjian, yah!
Cepet ... Gue kangen!
Oh iya, jangan dandan terlalu cantik, gue takut sesek,
Seeyou, My Prince<3.
Yang benar saja, semua getaran itu berasal dari pesan Rafael seorang. Livia menggeleng tidak percaya, dia mulai terkekeh melihat kelakuan lelaki satu itu.
@Liv
Heh! Berisik! Gue otw sekarang.Livia kini mulai melangkah menjauhi rumah gedongnya, berjalan ke arah taman. Mencari-cari sosok Rafael yang menyebalkan di seluruh taman itu.
"Disini, Liv!" teriak Rafael yang tengah terduduk di square table, pemandangan malam hari memang sangat berbeda. Melihatnya saja membuat Livia takjub. Rafael memberikan senyuman lembutnya, tersorotnya wajah itu dengan remang-remang lampu taman ini membuat Rafael sangat manis. Livia saja sempat terdiam sejenak, sebelum melangkahkan kakinya kembali.
Dari sudut pandang Rafael, Livia juga tak kalah cantik dari hari-hari biasanya, atau foto-foto hasil potret Livia yang biasa Rafael lihat di papan Billboard. Dirinya mulai terkesima, takjub. Sempat ternganga, sebelum kembali tersenyum.
Kecanggungan hampir saja menguncang keduanya, namun Rafael tidak menginginkan hal itu mengganggu waktu teristimewa dalam hidupnya.
"Kangennnn," ujar Rafael memanjang, bersikap manja pada Livia.
"Hah! Udah gede juga? Kaya bocah," jawab Livia ketus.
'Syukurlah, semua kembali' pikir Rafael tersenyum manis.
Livia yang memperhatikannya saja sampai menyergitkan keningnya heran.
"Kenapa?" tanya Livia.
"Lo, cantik banget," papar Rafael secara terang-terangan.
Wajah Livia mulai memerah, sepertinya dia tersipu malu, sampai detik ini pun tidak ada seseorang yang senekat ini dengannya.
Dia memejam sesaat,
"Ka, gue pengen pesen dong!" teriak Livia mengangkat tangannya, memanggil waiter.Memperhatikam gelagat Livia, begitu membuat Rafael senang, untuk pertama kalinya dia merasakan jatuh cinta pada seorang gadis. Dengan hatinya yang tulus juga pengorbanan yang menyusahkan.
'Ahhhh, gemes.'
Batin Rafael, pikirannya hanya terus memutar raut wajah gemas Livia saat tersipu, wajahnya yang mulai memerah seperti tomat, dan sikapnya yang seolah salah tingkah.
'Cewe ini gemes banget please! Gue nyaman sama lo, Liv.'
"Raf!" panggil Livia, suara itu seperti tidak terdengar saat Rafael memandangi Livia. Benar-benar fokus dengan satu tujuan (xixi), Livia mengencangkan suaranya, memukul Rafael kesal "Raf, ih!"
Rafael akhirnya tersadar, dan mengedipkan matanya, mulai bertanya kembali apa yang Livia katakan, "Hah? Kenapa?"
"Lo, ngelamun yah? Pesen apa?"
"E-enggak. Samain aja deh," jawab Rafael mengelak sebisanya.
Sambil menunggu pesanan, Rafael mulai melontarkan beberapa obrolan ringan, dengan suasana malam yang sangat indah, membuat keduanya sangat releks menikmati pemandangan itu. Setelah minuman yang mereka pesan datang, mereka tetap meneruskan obrolannya sambil menikmati minuman segar itu. Juga sesekali saling memandang takjub dengan wajah yang berada di hadapannya. Keseruan itu terus berjalan, melibatkan waktu menjadi berlajan lebih cepat.
"Udah malem, pulang yu!" ujar Rafael.
Waktu seakan memaksa untuk memisahkan mereka berdua, menghentikan keseruan yang mereka obrolkan. Tak banyak, cuman obrolan receh yang sesekali membuat terkekeh karena tak dapat di mengerti.
"Sebenernya gue gamau pulang. Tapi ini udah malem, lo harus istirahat," ujar Rafael.
Kejujuran Rafael sangat berharga, Livia kadang memalingkan wajahnya untuk tersenyum, tanpa memperlihatkannya pada Rafael.
"Yaudah sih, besok juga ketemu kan?"
Rafael kembali tersenyum mendengar jawaban yang Livia berikan, jawaban itu terdengar seperti mulai membuka diri untuknya.
"Yauda."
*
"Jangan tidur terlalu malem yah, Liv!" ujarRafael mulai melambaikan tangannya. Dia berhendak pulang, namun sebelumnya sempat terus-terusan melambai tersenyum memperhatikan Livia."Gue pulang dulu, jangan kangen yaaaa," sambungnya."Heh, siapa juga yang bakal kangen sama lo? Gaada!"
"Yaudah, gue pulang dulu yah, babay My Prince!" pamit Rafael.
Kali ini dia benar-benar berjalan untuk pulang, meninggalkan Livia yang tengah berdiri di depan pintu rumahnya. Setelah Rafael mulai tak terlihat, Livia menarik bibirnya tersenyum.
'Lo, udah berhasil ... bikin gue mulai buka hati ya, Raf."
Masuknya Livia ke dalam rumah, di barengi dengan getaran gadgetnya kembali, Livia benar-benar menarik bibirnya tersenyum, memikirkan bahwa pengirim pesan ini adalah Rafael.
@+62XXXX
LO GA BERHAK BUAT BAHAGIA ... LO INGET KAN MAMA SAMA KAKA LO PERGI, DAN ENTAH TINGGAL DI TEMPAT YANG NYAMAN ATAU ENGGA. ITU SEMUA GARA-GARA KEEGOISAN LO, KAN ....Senyuman di bibir Livia mulai pudar, matanya bergetar membaca isi pesan yang ada dalam gadgetnya.
"Ma ... Mama apa marah sama aku? Ma ...."
*****
>>> Hari berikutnya berjalan seperti biasa, sudah satu bulan berlalu. Semenjak hari itu, hari di saat Livia mulai membuka dirinya terhadap Rafael. Livia mengurungkan niatnya setelah mendapati pesan entah dari siapa itu. Dia kembali bersikap dingin juga acuh terhadap Rafael. Namun, laki-laki itu tak sedikitpun menyerah, dia selalu mengikuti Livia kemanapun dia pergi, membuat ricuh kehidupannya. Kemanapun Livia pergi, dia terus bertemu atau mungkin melihat Rafael yang selalu dia pergoki sedang mengikutinya. Rasanya jengkel juga, namun apalah daya. Sikap Rafael yang degil itu, membuat dia susah untuk di hentikan. "Livia!" teriak Rafael memanggil Livia yang sedang duduk di antara angin sepoi di siang hari. Livia meoleh datar, melihat Rafael yang sedang berlari mendekatinya. "Hem ... Apa?" tanya Livia setelah Rafael sampai. "Gausah judes, udah! Ga abis-abis
Sebelum mendengar penjelasan Livia. Rama, benar-benar pergi meninggalkan Livia di ruang pribadinya itu. Niat awal Livia adalah hendak pergi menuju sekolah, namun perkataan Rama dapat menyayat hatinya kecewa, Livia bahkan menahan tangisnya di sepanjang jalan menuju sekolah.'Andai Papa ngertiin gue sedikit aja ...,'' ... Gue udah cukup kesepian, semenjak Mama, sama Kaka pergi! Dan sekarang, di saat gue udah punya sumber kebahagiaan? Gue harus kembali jauh dengannya?'Matanya kini memerah, menggenang air mata yang dia tahan. Livia berusaha menekan kedua rahangnya, menahan semua rasa sakit yang dia lalui.'Udah cukup.'Livia seperti digiring dalam kesepian yang kekal, di paksa untuk berpisah dengan Rafael.Rafael yang melihat Livia, kini mulai tersenyum cerah,"Livia!" teriak Rafael dari kejauhan. Namun, entahlah Livia sama sekali tidak mengdengarnya, membuat Rafael mempercepat langkahnya."Heh! Sayang" ucapan
'Ektrem! Ekstrem!' Rafael yang mendengar perkataan Livia mulau tersenyum lembut, memandangi tingkah laku yang Livia berikan untuknya. *Getaran dalam gadgetnya bergetar, sebelum dirinya akan tertidur pulas pada ranjang yang ia miliki. Dia memutuskan untuk mengintip, apa yang datang pada gadgetnta. @FROGđ¸Have a nice dream My Queen<3 Terlihat Rafael yang mengirimi pesan, di barengi dengan satu PAP yang Rafael lakukan. Dengan wajah yang datar, menatap camera, memberikan efek Damage di dalam fotonya. Livia saja hampir menjerit kesal."Aarrgghhhhh, kenapa kirim foto kaya gini!" @Myqueen<3Oke, you too. Rafael berdeham girang,'akhirnya Livia mulai luluh!' ...Pagi pun datang, Livia yang tampaknya sudah selesai mandi tiba-tiba dikejutkan. Barang-barangnya kini telah terkemas rapi, di dalam koper besar yang dia punya. Koper besar itu kini sedang digiring ke dalam mobil yang
Siulan itu semakin tedengar begitu jelas. Jelas saja Livia tidak ingin memutar badannya, melihat siapa yang kini sedang berada di belakangnya. Langkah demi langkah lelaki itu ajukan, terdengar suara langkah kaki yang mulai mendekat, Livia terlihat gemetar, walaupun menghiraukan suara itu. "DOR!!!" kejut Rafael menyorotkan wajahnya dengan lampu senter. Lelaki itu sengaja sekali membuat wajahnya menjadi seram, akibat serangan lighting dari smartphone nya itu. Kaget, semua itu benar-benar membuat sport jantung. Ekpresi Livia yang ketakutan, di tambah dengan terkejut oleh kejahilan Rafael. "Astaghfirullah!" teriak Livia kaget. Wajahnya mulai memucat, entahlah. Kini kejahilan Rafael sudah tak bermoral, untung saja Jantung Livia tidak jatuh ke jalanan. "Kebiasaaan banget sih lo. Gimana kalo lo beradapan sama orang yang punya riwayat jantung? Udah lah, kelar." kesal Livia yang mulai sadar siapa dalang dari semua ini. Rafael hanya terbahak mel
"Nah bener Liv, anggep aja kita tuh temen lo. Karena mulai hari ini kita temenan yah. Gila aja sih, kalo ga temenan sama cewe cakep kaya gini," serobot Iqbal. Betul-betul yah, sikapnya yang pecicilan itu membuat suasana menjadi kacau. Hari ini saja, sudah sukses membuat schedule Rafael berantakan. Dan semua ekspentasinya benar-benar jauh dari reality. Iqbal tersenyum manis merayu Livia, membuat Livia membalas senyumanya. "Hah, tipe-tipe buaya nih!" kekeh Livia.Lagi-lagi Rafael dibuatnya kesal, dia menghalangi wajah Livia dengan buku kecil agar Iqbal tidak melihat Livia, juga Livia tidak membalas senyuman Iqbal itu. "Iya temenan boleh, tapi sikap lo itu, gausah di keluarin ya!" ujarnya dengan nada di tekan kembali. Livia memperhatikan Rafael, tersenyum tipis melihat tingkah Rafael hari ini. Terlihat begitu jelas Rafael tidak menyukai Livia yang memberikan senyuman itu pada Iqbal. "
"Ngapain?" tanya Livia mengangkat satu alisnya. "Naik!" titah Rafael. Perintah itu membuat Livia terdiam sejenak, memandangi punggung Rafael yang samar-samar terlihat kekar. Rafael menoleh ke arah belakang, menatapi Livia yang melihat punggungnya, lalu menggeleng kesal. Tanpa mendengarkan penolakan apapun yang keluar dari mulut Livia, Rafael mulai menggendongnya memaksa. Sempat kaget, Livia melihat kelakuan Rafael kini, dia sampai memukul-mukul pelan bahu lebarnya berulang. Namun pukulan itu terhenti, ketika kepalanya mulai pusing dan terasa seperti nut-nut tan. "Raf, Raf. Gue ga kuat ini, pusing banget," ujar Livia menghentikan langkah Rafael. Livia menidurkan kepalanya tepat pada bahu milik lelaki itu. Berbicara semakin membisik, karena rasa sakitnya yang mungkin membuat Livia tidak sanggup berbicara seperti biasa. "Pulang aja ya, gausah ke tempat makan. Nanti makan di rumah aja!" pinta Livia lirih. Livia mulai memejamkan matan
"Sabar bro!" Iqbal mulai mengingatkan Rafael agar bisa bersabar, mendapatkan teman seperti ini."Sabar banget gue!" tekan Rafael kesal.Iqbal merangkul bahu Aka, menyekiknya pelan. "Gatau sitkon banget yah lo" ujarnya tidak sadar diri.Livia kini sedang asik memakan makanan yang Iqbal berikan. Dengan ekspresi datar, seperti sedang menonton sebuah serial drama tentang pertemanan itu."Siniiiiii!" ujarnya memegang dagu Rafael memutar, membuat lensa matanya saling bertemu. Livia kini memberikan satu suapan kecil untuk pangeran kodoknya itu."Nih, lo mau kan? AAA" sambungnya memberi aba-aba.Rafael tersenyum puas, menikmati satu suapan ini. Iqbal tersenyum melihat teman kecilnya yang manja, berhasil mendapatkan suapan pertama dari seorang wanita setelah ibunya. Aka tidak mengerti apa yang sedang mereka senyumi, tak paham dibuatnya Aka hanya memutuskan untuk duduk dan berusaha melepaskan lengan Iqbal yang masih merangkulnya.Ringtone dari sa
Menurut Kiara Awal petemuan diantara mereka, tidak dapat dia lupakan. Awal pertemuan yang menumbuhkan rasa cinta di dalamnya. .FLASHBACK ON. "IQBAL, KA IQBAL DIMANA?" teriak Kiara mencari-cari Iqbal. Waktu itu Iqbal hanya meninggalkan Kiara untuk membelikan ice cream. Iqbal sempat berpesan, untuk menunggunya kembali dan jangan pergi kemana-mana. Namun, kupu-kupu yang indah menghampiri Kiara secara tidak sengaja. Membuat Kiara menatap gemas melihat kupu-kupu itu, terus memperhatikannya. Sampai kupu-kupu itu pergi, terus dan terus, Kiara mengekornya. Disitulah awal Kiara sampai bisa terpisah dengan Iqbal. Saat Iqbal kembali, Kiara sudah tidak ada di tempat yang sempat dia duduki. "RARA, DIMANA?" teriak Iqbal mencari-cari. Iqbal mulai cemas mencari kembarannya itu, umur mereka memang tidak selisih berjauhan. Namun Kiara tidak sepintar Iqbal dalam menjaga dirinya. Kiara berlari mencari-cari dimana Iqbal berada sambil menangis
"Ya udah, gausah sedih. Makan siang nanti kaka traktir yah, makan yang banyak biar cepet gede. Nanti bisa aku akuin buat jadi pacar aku!" terkekehnya Alvaro sambil mengatakan semua itu. Dia mencubit pipi Livia perlahan, menyalipkan rambut panjang Livia pada telinganya.Livia menatap Alvaro kesal, dia pasti tau alasan Livia tidak menjawab. Hingga membuatnya berusaha menghibur Livia kini."Curang! Ka Al itu selalu tau isi hati aku," Livia mulai melipat bibirnya kecewa.Alvaro kembali terkekeh melihat ekspresi yang Livia keluarkan."Makannya, jadi orang jangan mudah di tebak dong!" lontar Alvaro.Livia menyergitkan keningnya mengerut. "Nggak. Cuman kamu aja yang bisa baca. Bahkan Papa aku sendiri ga bisa baca pikiran aku," Livia menampilkan wajahnya yang kembali suram. Alvaro mengangkat dagu Livia, mata mereka mulai berkontak saling menatap."Dengan cara ini aku bisa yakinin hati k
Pagi yang indah melupakan kesunyian yang telah terjadi di malam itu. Semuanya seperti kembali seperti sedia kala. Iqbal yang kembali dengan kekakuannya seperti biasa."Ka, masa kemarin Rafael kalah sampe 3 kali lawan gue. Gila noob banget kan dia?"ejek Iqbal yang berhasil mengalahkan Rafael saat main game.Aka yang sedang melahap segala makanan ringannya mulai terkekeh. "Kerakukan apa, lo bisa ngalahin Rafael? Biasa kan, lo yang noob?"Kenyataan pahit itu dapat sekaligus mematahkan kegembiraan dalam diri Iqbal. Dia melemparkan buku ke arah Aka."Jangan ngungkit masa lalu dong. Kan sekarang gue yang menang!""Udalah, kalau sama-sama noob gausah berantem kaya gitu," serobot Rafael.Seenaknya sekali dia berbicara semacam itu. Kini diantara Aka dan Iqbal saling memberikan kode dan berbicara melalui naluri mereka sebagai sahabat.'SERANG' tunjuk Iqbal dengan me
Dafa memperhatikan Livia yang tengah menertawakan dirinya. Bisa-bisanya seseorang yang baru saja bertemu dapat melakukan hal semacam ini. "Jadi, lo jadiin gue bahan percobaan?" kesal Dafa memelotot."Heem," jawab livia yang tengah memakan bubur buatan Dafa dengan nikmat."Kan gue ga kenal sama lo, gue harus hati-hati dong!" sambungnya."Ck. Gatau terimakasih banget ya jadi orang," Decak Dafa dengan jengkel."Jaga diri itu penting. Ada seseorang yang selalu ngingetin gue tentang itu." papar Livia.Dia terus memakan bubur yang Dafa buat untuknya sampai habis tak tersisa. "Makasi yah," ujar Livia setelah selesai memakan buburnya, dia meraih teh manis panas yang ada di sampingnya."Yauda, kayanya lo udah baikan deh. Gue balik dulu yah."Livia mengangguk, dia hendak mengantar Dafa untuk keluar dari apartemen mil
"Jangan pergi lagi ya, Raf!" pinta Clara.Waktu yang mulai begitu larut membuat suasana semakin sunyi. Clara terus memeluk erat Rafael sambil memejamkan matanya. Rafael berusaha menenangkan gadis itu, berusaha agar dia dapat kembali tenang. Setelah beberapa menit berlalu begitu lama, akhirnya Clara berhasil tenang. Rafael membawanya agar bisa duduk di kursi yang berada di ujung jalan."Gue pesenin taksi yah," ucap Rafael.Clara menggeleng perlahan."Gue pengen kaya gini. Sebentar lagi Raf," kepalanya kini ia sandarkan tepat di bahu Rafael, dia memeluk lengan kanan Rafael.Getaran dalam gadgetnya kini mulai terdengar. Rafael dengan segera menggerogoh mencari-cari keberadaan ponselnya kini. Dia mendapati panggilan suara dari Iqbal.'Iqbal? Jarang banget dia telepon gue malem malem,' pikirnya.Dia menggeser emoji untuk mengangkat telepon itu, mengayunkan gadgetnya agar s
"Gue mampir aja deh ke apartemen Papa. Gara-gara jadwal padet gue belum sempet ketemu sama dia," gerutu Livia.Dia berniat berkunjung ke mana tempat Rama berada.Kini Livia tepat berada di depan pintu masuk kamar Rama. Pintu apartemen itu sedikit terbuka, membuat Livia masuk tanpa mengetuknya."Paaaa. Livia nih!" panggil Livia.Baru saja kakinya hendak dia masukkan, namun pemandangan tidak mengasikkan terlihat oleh lensa matanya. Livia memejamkan matanya, berharap semua itu hanya mimpi buruk yang datang menghantuinya. Namun setelah di perhatikan dengan benar, kejadian itu kini mulai terulang kembali. Wanita paruh baya itu sedang duduk dipangkuang Rama. Kejadian itu sangat membuat hatinya hancur, klise masa lalu yang menyakitkan terulang kembali di depan matanya."Pa. Kenapa lakuin hal ini lagi?" Dengan kekesalannya Livia memasuki ruangan yang selama ini Rama tinggali."Papa. Lagi ngapain?" sentak
Tepat semenjak Livia kembali meninggalkan Rafael. dia kembali menjadi orang yang pemurung, dan sangat datar terhadap siapapun. Rafael seperti disulap begitu saja, sikapnya berubah dengan sekejap. Sama seperti awal permulaan Livia yang meninggalkan Rafael pada masa SMA. "Bal. Lo, ngerasain kan sikap Rafael yang kaya dulu? Dia jadi pemurung setiap kali Livia pergi," ujar Aka sembari memasukan makanan ringan pada mulutnya. "Hah. Gue ngeh ko, tapi mau gimana lagi. Emang kehilangan sesuatu yang berharga itu bener-bener berat. Lo tau kan seberapa keras dia jalanin hidup sampe bisa bertahan kaya gini?" jawab Iqbal yang sedang asik memainkan stik PS nya itu. "Nah, gue denger cerita masa lalu dia aja ga nyangka. Ko bisa orang yang di kira perfect sama orang lain punya masalah hidup segitu besar?" "Dia hebat. Walaupun dia terpuruk dia bisa bangkit lagi. Emang ga gampang lewatin semua itu, cuman setau gue dia mulai bangkit lagi pas dia kenal sama Livia, mungkin
"Raf, lo kenapa sih kemarin malah tinggalin gue. Mana bilang gue yang bantu cewe itu?" protes Iqbal mengingat dua hari lalu yang telah Rafael lakukan.Rafael mengaduk minumannya pelan, dengan wajahnya yang datar tanpa ekspresi."Gue ga kenal siapa cewe itu. Dan gue gamau berhubungan sama cewe lain. Males!" jawabnya datar."Tapi Raf, bener-bener deh. Gue canggung banget, dan lagi dia kemarin nanya ke gue. Kayanya dia inget deh, kalo lo yang bawa dia,""Ga peduli ah!" acuhnya tidak mau tau.Rafael betul-betul acuh jika mengenai wanita manapun, seperti tidak ingin berurusan dengan mereka. Wajah datarnya sudah menjelaskan semuanya. Tertahan semua pertanyaan Iqbal, dia mengurungkan semua apa yang ingin dia tanyakan."Yauda deh.""Rafel?" panggil Clara yang ternyata sedari tadi berada di belakang Rafael.Rafael melirik heran,
"Ge, ngapain disitu?" tanya Aka yang baru saja merapihkan badannya.Gea yang panik hanya membuat alasan klasik yang tengah dia pikirkan."Nggak, gue nyari angin aja ko," jawabnya.Aka benar-benar tak percaya, dia menggeleng dan mulai bertanya dengan senyum gelinya."Jangan-jangan, lo ngintipin mereka yah?" lontar Aka.Gea benar-benar dibuat panik oleh Aka. dia bingung mengenai apa yang harus dia katakan."Hah? Siapa? Gue?" jari telunjuknya kini menunjuk ke arah dirinya."Iya, lo nguping kan dan merhatiin mereka?""Hah engga. Buat apa kaya gitu?" ujar Gea mengelak."Hha. Gue tau ko," Aka mulai terkekeh tanpa suara, menertawakan Gea.Semua tebakan Aka sangat mengenai hati Gea, semua itu sukses membuat Gea kesal.'Ngapain sih anak ini? Kenapa tiba-tiba so paling tau?' keluh Gea dalam hatinya.
Pagi telah datang, percakapan berat tadi malam itu berakhir begitu saja. Semua kecemasan Rafael kadang menghilang begitu saja, namun juga kembali ketika dia menginginkannya. Iqbal berhasil memberikan saran terhadap Rafael, semua itu membuat Rafael dapat berfikir jernih. Kini Aka terlihat bangun terlalu dini, dia mulai membangunkan Rafael yang tengah tertidur pulas."Raf, Rafael! Bangun dong, jogging yu!" teriak Aka membangunkna Rafael."Iya Liv, ayo," jawab Rafael meracau.Aka benar-benar keheranan di buatnya. Dia memukul Rafael, agar dia segera bangun dari ranjangnya."Gue Aka anjim, ko Livia sih? Bangun ga!" Aka menarik paksa lengan Rafael berniat mendudukan Rafael yang tengah tertidur.Rafael benar-benar dibuat kaget, dia kesakitan saat Aka menarik lengan kanannya. Dia membuka matanya, melihat Aka yang sedang berusaha membangunkannya."Heh anjim lo?" teriak Rafael yang baru saja terbangun dari tidurnya.Dia benar-benar kaget, bagai