Samsul sampai melongo mendengar pertanyaan Wina yang lebih mirip orang marah daripada bertanya.
Lastri sampai menyenggol lengan Wina untuk menyadarkannya.
Wina yang merasa trauma dengan perceraiannya karena perselingkuhan suaminya, refleks bertanya bak wartawan yang sedang melakukan wawancara. Semua perkataan yang muncul dalam pikirannya langsung ia keluarkan tanpa jeda sedetik pun.
“Eh ... Maaf, Mas. Aku terbawa emosi tiap mendengar kata perselingkuhan,” ucap Wina setelah sadar.
“Iya, nggak papa, Mbak,” jawab Samsul.
“Jadi bagaimana ceritanya, Mas? Siapa yang selingkuh? Mas Tarno atau istrinya?” tanya Wina lagi. Rasa penasarannya benar-benar tidak terbendung. Meronta-ronta dalam pikirannya meminta untuk dilepaskan.
“Sebenarnya Aku nggak enak sama Mas Tarno, karena itu masalah pribadinya. Tapi daripada Mbak Wina menduga yang tidak-tidak akan kuberitahukan saja.”
“Iya, iya. Mas Tarno pasti paham kok. Dia nggak akan marah sama ka
Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan komen dan berikan gem jika kalian suka cerita ini
Sesuai dengan perkataan Lastri kemarin pada Wina, hari ini ia berniat mengumpulkan seluruh pekerja di tokonya untuk menyampaikan sesuatu. Saat toko sepi dan belum ada pembeli yang datang, Lastri menyuruh Wina untuk memanggil seluruh pekerja. Setelah semua berkumpul, Lastri segera mengawali pembicaraan tanpa menunggu lama. “Pasti kalian bertanya-tanya dengan apa yang akan kusampaikan. Bukan, ini bukan masalah kenaikan gaji. Tapi ada hal lain.” Lastri memandang Wina yang langsung memasang wajah kecewa saat mendengar perkataan pemilik toko tempatnya bekerja. “Jadi, selama beberapa bulan ini Aku berencana untuk membuka toko mebel. Nah sebelum pembukaan tentunya banyak hal yang perlu dipersiapkan. Dan untuk itu Aku membutuhkan seseorang yang bisa mengantarku dan membantuku mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk mengantarkanku yang sibuk pergi kesana kemari. Karena itu Aku membutuhkan seseorang yang bisa mengendarai mobil. Adakah yang bisa, selain Mas Anto? Kare
“Sebenarnya selama seminggu ini, Aku tidak diberi uang saku. Katanya ibu tidak punya uang. Karena itu ia jualan gorengan di depan rumah saat sore hari.” Dila menunduk dan memainkan ujung kakinya. Tidak berani memandang ayahnya.Tarno sangat kaget mendengar penuturan putri sulungnya. Jika benar yang Dila katakan berarti uang tabungan Susanti telah habis. Bahkan ia sampai berjualan gorengan.Saat menjemput anak-anak tadi, Tarno melihat sebuah meja panjang yang ditaruh di halaman. Meja kayu jati yang dulu diletakkan di dapur itu penuh dengan bekas minyak di beberapa sudut. Ia sempat bertanya-tanya kenapa meja itu dikeluarkan di halaman. Ternyata meja itu digunakan oleh Susanti untuk berjualan.Tarno pikir uang dalam rekening yang dibawa Susanti masih banyak. Ia terakhir kali melihat jumlah saldo dalam rekening tersebut sekitar setahun lalu. Waktu itu jumlah yang terkumpul sudah lumayan banyak. Cukup untuk membeli dua buah motor baru. Karena itu Tarno me
Tarno berkendara dengan kecepatan tinggi. Ia membayangkan senyum kedua putrinya untuk meredakan emosinya yang sempat meledak saat Joko mengajaknya berbicara tadi. Ia tahu lelaki itu sengaja memanas-manasinya dengan mengatakan hal tersebut. Dan sialnya, Tarno tetap terpancing meskipun ia sudah mengetahui niatnya. Hati dan perasaan adalah sesuatu yang sulit dikendalikan. Terkadang otak bisa mengatakan tidak namun tidak dengan hati. Tarno mencoba untuk tetap fokus. Ia tidak mau kejadian dulu terulang lagi. Menuruti emosi hanya akan membuatnya rugi. Ditariknya nafas dalam-dalam, mencoba meraup oksigen sebanyak mungkin lalu dihembuskannya dengan pelan. Dikuranginya laju motornya lalu berhenti saat ia melihat penjual es degan. Ia turun dari motor dan memesan segelas es degan. Segera diteguknya es degan yang baru saja diterimanya hingga tandas. Setelah itu ia duduk sembari melihat kendaraan yang lalu lalang di depannya. Setelah tenang, ia membayar es degan y
Joko yang baru pulang dari sawah langsung mengambil ponselnya yang berdering dari atas lemari. Tertulis nama Susanti di layar sedang menghubunginya.“Halo,” jawab Joko setelah menekan gambar gagang telepon berwarna hijau.“Mas, tolong Aku ... Sepertinya Aku keguguran ....” Suara Susanti terdengar lirih di telinganya.Joko mendengar Susanti menghela nafasnya seperti orang yang sedang menahan kesakitan.“Tunggu sebentar. Aku segera ke sana sekarang.” Joko mematikan panggilan telepon.Dengan terburu-buru, Joko berjalan ke kamar mandi. Membersihkan diri dan membasuh tubuhnya dalam waktu singkat. Setelah berpakaian rapi, ia mengambil kunci motor yang tergantung di dinding. Lalu melesat dengan cepat ke rumah Susanti dengan mengendarai motor ninja kesayangannya.Susanti masih duduk dengan memegangi perutnya yang terasa semakin sakit. Wajahnya terlihat pucat dan setetes keringat mengalir dari keningn
Kartu SIM Tarno sudah jadi beberapa hari yang lalu. Namun belum ada permintaan dari Lastri untuk mengantarkannya pergi ke mana pun. Saat berangkat dan pulang dari toko, Lastri masih disopiri oleh Anto.Tarno jadi bertanya-tanya dalam hati apakah Lastri merasa sungkan untuk menyuruhnya. Atau ia tidak nyaman bila harus satu mobil dengannya. Ia hanya bisa menebak-nebak dalam hati tanpa berani bertanya secara langsung.Sampai siang itu, Lastri datang menemuinya. Ia sedang duduk dengan Samsul di halaman toko menunggu pembeli yang datang.“Mas Tarno, kartu SIM nya sudah jadi kan?” tanya Lastri.“Iya, sudah Bu.” Tarno mengangguk mengiyakan.“Sebentar lagi, antarkan Aku ke suatu tempat ya. Ada suatu hal yang perlu kuurus.”“Iya, Bu. Siap.”“Kunci mobilnya dibawa Mas Anto. Minta saja padanya.” Lastri berlalu masuk ke toko untuk mengambil tas dan ponselnya di dalam toko.Sedangk
Lastri menghela nafas. “Benar, Mas. Suamiku adalah Mas Santo, orang yang Kamu kenal. Teman dekatmu dulu.”Tarno mengangguk. Sebenarnya banyak hal yang ia ingin tanyakan pada Lastri, namun ia harus menahan diri. Jika salah ucap atau salah kata, ucapannya akan jadi senjata yang bisa menorehkan luka di hati wanita yang sedang duduk di sampingnya. Dan ia tidak mau hal itu sampai terjadi.Mengingat posisinya yang hanya pegawai Lastri, ia tidak ingin bertanya lebih jauh. Tidak ingin disebut sebagai orang yang tidak sopan karena ikut campur dengan masalah pribadi atasannya. Meskipun mereka pernah dekat sebagai kekasih dulu.Tarno tidak mau disebut sebagai pekerja yang tidak tahu diri dan membuat hubungan mereka menjadi tidak nyaman. Bagaimanapun, ia masih membutuhkan pekerjaan ini jadi ia harus sadar diri dan mengingat posisinya sekarang. Ia ingin menghentikan pembahasan mengenai hal ini dan membicarakan hal yang lain saja. Biarlah semua pertanyaan yang ter
Tarno tertegun memandang rumah besar dan megah di depannya. Rumah mewah bergaya klasik modern. Dua pilar besar menyangga atap bagian depan rumah yang menjorok ke depan. Di depan rumah terdapat sebuah taman kecil dengan kolam yang terdapat air mancur kecil. Dihiasi dengan lampu kerlap-kerlip yang menambah semarak suasana saat malam hari. “Masuklah, Mas. Istirahatlah di dalam sambil menunggu jemputan dari Mas Samsul,” ucap Susanti setelah keduanya turun dari mobil. Tarno yang masih terpana dengan rumah mewah Lastri langsung berjalan di belakang wanita tersebut, mengikutinya masuk ke dalam rumah. Ia memandang sekeliling dengan kagum. Matahari sudah tenggelam saat mereka tiba jadi ia tidak bisa melihat sekeliling dengan jelas karena kondisi gelap. Tarno yakin jika datang saat siang hari ia pasti akan dibuat lebih kagum lagi. Di dalam rumah, Tarno dibuat semakin kagum melihat isi ruang tamu. Tangga tinggi mengular dengan pegangan yang dicat warna emas. Sof
Tarno kelabakan saat Wina tiba-tiba memanggil Lastri. Wanita berkacamata itu mengatakan pada Lastri ada sesuatu yang ingin disampaikan Tarno padanya.Jika dulu ia memang benar-benar ingin berbicara dengan Lastri dan ragu untuk mengatakannya, tapi tidak sekarang. Ia hanya ingin memandang wajah yang mengisi relung hatinya dua hari terakhir. Karena itu ia bolak balik keluar masuk dari toko dan berpura-pura melakukan sesuatu agar tidak ada yang mencurigainya.Namun sepertinya mata elang Wina tidak bisa dibohongi. Ia dengan mudah menyadari tingkah laku aneh Tarno. Wanita berkacamata itu pikir sepertinya ada yang ingin Tarno sampaikan pada Lastri seperti terakhir kali. Karena itu dia berinisiatif membantunya.“Katakan, Mas. Apa yang ingin Kamu sampaikan pada Bu Lastri. Tidak usah ragu, anggap saja Aku tidak ada di sini dan tidak mendengarkan pembicaraan kalian,” kata Wina saat melihat Tarno kebingungan.Ia pikir mungkin Tarno merasa malu seperti saa