“Sebenarnya selama seminggu ini, Aku tidak diberi uang saku. Katanya ibu tidak punya uang. Karena itu ia jualan gorengan di depan rumah saat sore hari.” Dila menunduk dan memainkan ujung kakinya. Tidak berani memandang ayahnya.
Tarno sangat kaget mendengar penuturan putri sulungnya. Jika benar yang Dila katakan berarti uang tabungan Susanti telah habis. Bahkan ia sampai berjualan gorengan.
Saat menjemput anak-anak tadi, Tarno melihat sebuah meja panjang yang ditaruh di halaman. Meja kayu jati yang dulu diletakkan di dapur itu penuh dengan bekas minyak di beberapa sudut. Ia sempat bertanya-tanya kenapa meja itu dikeluarkan di halaman. Ternyata meja itu digunakan oleh Susanti untuk berjualan.
Tarno pikir uang dalam rekening yang dibawa Susanti masih banyak. Ia terakhir kali melihat jumlah saldo dalam rekening tersebut sekitar setahun lalu. Waktu itu jumlah yang terkumpul sudah lumayan banyak. Cukup untuk membeli dua buah motor baru. Karena itu Tarno me
Tarno berkendara dengan kecepatan tinggi. Ia membayangkan senyum kedua putrinya untuk meredakan emosinya yang sempat meledak saat Joko mengajaknya berbicara tadi. Ia tahu lelaki itu sengaja memanas-manasinya dengan mengatakan hal tersebut. Dan sialnya, Tarno tetap terpancing meskipun ia sudah mengetahui niatnya. Hati dan perasaan adalah sesuatu yang sulit dikendalikan. Terkadang otak bisa mengatakan tidak namun tidak dengan hati. Tarno mencoba untuk tetap fokus. Ia tidak mau kejadian dulu terulang lagi. Menuruti emosi hanya akan membuatnya rugi. Ditariknya nafas dalam-dalam, mencoba meraup oksigen sebanyak mungkin lalu dihembuskannya dengan pelan. Dikuranginya laju motornya lalu berhenti saat ia melihat penjual es degan. Ia turun dari motor dan memesan segelas es degan. Segera diteguknya es degan yang baru saja diterimanya hingga tandas. Setelah itu ia duduk sembari melihat kendaraan yang lalu lalang di depannya. Setelah tenang, ia membayar es degan y
Joko yang baru pulang dari sawah langsung mengambil ponselnya yang berdering dari atas lemari. Tertulis nama Susanti di layar sedang menghubunginya.“Halo,” jawab Joko setelah menekan gambar gagang telepon berwarna hijau.“Mas, tolong Aku ... Sepertinya Aku keguguran ....” Suara Susanti terdengar lirih di telinganya.Joko mendengar Susanti menghela nafasnya seperti orang yang sedang menahan kesakitan.“Tunggu sebentar. Aku segera ke sana sekarang.” Joko mematikan panggilan telepon.Dengan terburu-buru, Joko berjalan ke kamar mandi. Membersihkan diri dan membasuh tubuhnya dalam waktu singkat. Setelah berpakaian rapi, ia mengambil kunci motor yang tergantung di dinding. Lalu melesat dengan cepat ke rumah Susanti dengan mengendarai motor ninja kesayangannya.Susanti masih duduk dengan memegangi perutnya yang terasa semakin sakit. Wajahnya terlihat pucat dan setetes keringat mengalir dari keningn
Kartu SIM Tarno sudah jadi beberapa hari yang lalu. Namun belum ada permintaan dari Lastri untuk mengantarkannya pergi ke mana pun. Saat berangkat dan pulang dari toko, Lastri masih disopiri oleh Anto.Tarno jadi bertanya-tanya dalam hati apakah Lastri merasa sungkan untuk menyuruhnya. Atau ia tidak nyaman bila harus satu mobil dengannya. Ia hanya bisa menebak-nebak dalam hati tanpa berani bertanya secara langsung.Sampai siang itu, Lastri datang menemuinya. Ia sedang duduk dengan Samsul di halaman toko menunggu pembeli yang datang.“Mas Tarno, kartu SIM nya sudah jadi kan?” tanya Lastri.“Iya, sudah Bu.” Tarno mengangguk mengiyakan.“Sebentar lagi, antarkan Aku ke suatu tempat ya. Ada suatu hal yang perlu kuurus.”“Iya, Bu. Siap.”“Kunci mobilnya dibawa Mas Anto. Minta saja padanya.” Lastri berlalu masuk ke toko untuk mengambil tas dan ponselnya di dalam toko.Sedangk
Lastri menghela nafas. “Benar, Mas. Suamiku adalah Mas Santo, orang yang Kamu kenal. Teman dekatmu dulu.”Tarno mengangguk. Sebenarnya banyak hal yang ia ingin tanyakan pada Lastri, namun ia harus menahan diri. Jika salah ucap atau salah kata, ucapannya akan jadi senjata yang bisa menorehkan luka di hati wanita yang sedang duduk di sampingnya. Dan ia tidak mau hal itu sampai terjadi.Mengingat posisinya yang hanya pegawai Lastri, ia tidak ingin bertanya lebih jauh. Tidak ingin disebut sebagai orang yang tidak sopan karena ikut campur dengan masalah pribadi atasannya. Meskipun mereka pernah dekat sebagai kekasih dulu.Tarno tidak mau disebut sebagai pekerja yang tidak tahu diri dan membuat hubungan mereka menjadi tidak nyaman. Bagaimanapun, ia masih membutuhkan pekerjaan ini jadi ia harus sadar diri dan mengingat posisinya sekarang. Ia ingin menghentikan pembahasan mengenai hal ini dan membicarakan hal yang lain saja. Biarlah semua pertanyaan yang ter
Tarno tertegun memandang rumah besar dan megah di depannya. Rumah mewah bergaya klasik modern. Dua pilar besar menyangga atap bagian depan rumah yang menjorok ke depan. Di depan rumah terdapat sebuah taman kecil dengan kolam yang terdapat air mancur kecil. Dihiasi dengan lampu kerlap-kerlip yang menambah semarak suasana saat malam hari. “Masuklah, Mas. Istirahatlah di dalam sambil menunggu jemputan dari Mas Samsul,” ucap Susanti setelah keduanya turun dari mobil. Tarno yang masih terpana dengan rumah mewah Lastri langsung berjalan di belakang wanita tersebut, mengikutinya masuk ke dalam rumah. Ia memandang sekeliling dengan kagum. Matahari sudah tenggelam saat mereka tiba jadi ia tidak bisa melihat sekeliling dengan jelas karena kondisi gelap. Tarno yakin jika datang saat siang hari ia pasti akan dibuat lebih kagum lagi. Di dalam rumah, Tarno dibuat semakin kagum melihat isi ruang tamu. Tangga tinggi mengular dengan pegangan yang dicat warna emas. Sof
Tarno kelabakan saat Wina tiba-tiba memanggil Lastri. Wanita berkacamata itu mengatakan pada Lastri ada sesuatu yang ingin disampaikan Tarno padanya.Jika dulu ia memang benar-benar ingin berbicara dengan Lastri dan ragu untuk mengatakannya, tapi tidak sekarang. Ia hanya ingin memandang wajah yang mengisi relung hatinya dua hari terakhir. Karena itu ia bolak balik keluar masuk dari toko dan berpura-pura melakukan sesuatu agar tidak ada yang mencurigainya.Namun sepertinya mata elang Wina tidak bisa dibohongi. Ia dengan mudah menyadari tingkah laku aneh Tarno. Wanita berkacamata itu pikir sepertinya ada yang ingin Tarno sampaikan pada Lastri seperti terakhir kali. Karena itu dia berinisiatif membantunya.“Katakan, Mas. Apa yang ingin Kamu sampaikan pada Bu Lastri. Tidak usah ragu, anggap saja Aku tidak ada di sini dan tidak mendengarkan pembicaraan kalian,” kata Wina saat melihat Tarno kebingungan.Ia pikir mungkin Tarno merasa malu seperti saa
Tangan kekar Tarno memegang erat tubuh Lastri agar tidak terjatuh. Tatapan mata keduanya bertemu sekarang.Satu detikDua detikTiga detikTatapan mata kedua insan yang berbeda jenis kelamin itu masih terpaku satu sama lain. Seakan ada kekuatan tak terlihat yang menarik agar kedua manik berwarna coklat itu tetap berpandangan satu sama lain. Sampai sebuah bunyi yang cukup keras menyadarkan mereka berdua.Perut Tarno berkeriut keras meminta untuk segera diisi. Rasa lapar yang ditahannya sejak tadi akhirnya muncul lagi.Tarno melepaskan tangannya segera setelah Lastri menarik tubuhnya dan berdiri dengan postur tubuh yang seimbang. Keduanya terlihat kikuk dan melemparkan pandangan ke sisi sebaliknya.Tangan Lastri sibuk mengipas wajahnya yang terasa panas. Sedangkan Tarno sibuk berdehem untuk menyembunyikan rasa malu akibat suara yang muncul dari perutnya. Dadanya berdebar sangat kencang sehingga rasanya hendak meledak. Ia menarik nafas p
Tarno masih memandang Lastri dengan penuh harap. Membuat wanita yang hari ini memakai kerudung merah itu menjadi semakin salah tingkah.“Mas Tarno tanya pendapatku?” tanya Lastri sekali lagi.Tarno mengangguk. Terdengar klakson dari sepeda motor di belakang mobil. Rupanya lampu merah sudah berganti menjadi lampu hijau. Tarno mulai menjalankan mobil secara perlahan.“Bagaimana menurutmu?” tanya Tarno dengan pandangan fokus ke depan.“Menurutku ... Gaya rambut apa pun cocok untukmu, Mas. Seperti kata Mbak Wina, saat rambutmu pendek Kamu mirip dengan Fedi Nuril. Lalu mirip Shahrukh Khan pas berambut gondrong. Aku setuju dengan apa yang dia katakan.” Lastri melirik lelaki yang sedang menyetir di sampingnya.Tarno tersenyum tipis mendengar perkataan Lastri. Jawaban itu sudah cukup menyenangkan baginya walaupun ia hanya menyampaikan apa yang diucapkan Wina, bukan pendapatnya sendiri. Sebenarnya ia sangat ingin mendenga
Dokter yang rambutnya sudah memutih sebagian itu tidak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama sambil memandang Lastri dengan tatapan serius. Lalu pandangannya berpindah ke layar monitor, wajahnya tampak mengernyit sesaat lalu tersenyum hangat pada Lastri, “Selamat ya, Bu Lastri, Anda hamil. Saat ini usia janin sudah 10 minggu. Sepertinya bayinya kembar dilihat dari kantung kehamilan yang ada dua ini.”“K-kembar, Dok?” tanya Lastri tidak percaya. Perasaan cemas yang menderanya langsung hilang berubah menjadi rasa senang yang tidak terkira saat mendengar ada dua janin di dalam rahimnya. Ia menatap Tarno yang terlihat kaget juga saat mendengar penjelasan dokter.“Iya, karena masih kecil jadi belum terlihat jelas. Tapi ada dua kantung yang terlihat di sini, jadi kemungkinan besar bayinya kembar. Nah untuk lebih jelasnya nanti USG lagi saat kandungan lebih besar lagi.”Mata Lastri berkaca-kaca mendengar penjelasan Dokter mengenai
“Dek ... Ada apa?” Tarno mengetuk pintu dengan panik setelah mendengar teriakan Lastri dari dalam kamar mandi.Tidak ada jawaban dari Lastri. Merasa panik dan penasaran, Tarno mendekatkan kepala ke pintu. Mencoba mencari tahu apa yang terjadi di dalam kamar mandi. Isak tangis Lastri terdengar lirih dari dalam kamar mandi, membuat Tarno yang berada di luar tambah cemas.“Dek ... Buka pintunya. Kamu kenapa? Apakah ada yang sakit?” Tarno mengetuk pintu semakin keras setelah mendengar tangisan Lastri. Takut terjadi sesuatu pada Lastri di dalam, ia bersiap untuk mendobrak pintu kamar mandi. Saat berancang-ancang untuk mendobrak, daun pintu terbuka perlahan.Lastri keluar dari kamar mandi dengan kepala menunduk. Sementara tangan kirinya sibuk menghapus sisa-sisa air mata di pipi.“Dek, apa yang terjadi? Kamu sakit? Kita ke rumah sakit sekarang ya,” tanya Tarno cemas. Dipandanginya mata Lastri yang sembap sehabis menangis.
Dila menangis sesenggukan di pelukan Susanti. Menenangkan diri setelah keluar dari kantor polisi. Wajahnya tampak ketakutan dan pucat. Dengan tubuh gemetar, gadis kecil itu berjalan perlahan keluar dari kantor polisi. Andaikan Susanti tidak sigap menangkap, Dila pasti sudah ambruk ke lantai karena masih merasa kaget setelah diinterogasi polisi.Sesuai dengan janji sebelumnya, Lastri mencabut laporan segera setelah selesai berbicara dengan Susanti. Lastri menanyakan semua hal yang selalu menjadi pertanyaan di hatinya pada Susanti. Dengan terbata-bata Susanti menjawab semua pertanyaan yang diajukan Lastri secara jujur. Alasan ia menyuruh Dila untuk mencuri dan awal mula tercetusnya hal tersebut serta hal penting lainnya.Sebelum masuk ke kantor polisi untuk mencabut laporan, Lastri membuat kesepakatan dengan Susanti agar tidak mengulangi perbuatan ini lagi. Meminta uang secara tidak jujur, dengan alasan anak-anak. Padahal uang tersebut digunakan untuk kebutuhan yang lain
Setelah memarkirkan mobil, Tarno segera mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Susanti. Telepon tersambung tapi tidak diangkat. Tarno tidak menyerah dan mencoba mengirim pesan.[Aku sudah sampai ke lokasi yang kamu kirimkan, tapi malah tiba di kantor polisi. Benarkah ini? Kamu tidak keliru kan?]Tarno memastikan sekali lagi lokasi yang dikirimkan Susanti sudah benar. Lama menunggu masih belum ada balasan dari Susanti. Karena bosan ia akhirnya memutuskan turun dari mobil dan berjalan sambil melihat sekitar. Pandangannya terhenti pada sesosok yang sangat dikenalinya.Susanti dan Lastri sedang duduk di kursi di depan kantor polisi tampak membicarakan sesuatu yang serius. Dengan langkah cepat hampir berlari, Tarno mendatangi Lastri dan Susanti.“Sayang, kamu ke mana saja selama ini? Kenapa tidak pernah mengabariku? Apakah kamu tidak tahu betapa khawatirnya aku?” berondong Tarno setelah sampai di dekat Lastri dengan nafas menderu. Ia hampir kehab
Kepergian Lastri yang tidak meninggalkan kabar sama sekali membuat Tarno semakin cemas dan khawatir. Ia takut jika terjadi apa-apa dengan wanita yang sangat dicintainya itu. Ia panik dan gelisah, tidak bisa berpikir dengan jernih sehingga bingung harus melakukan apa. Setiap saat ia terus menerus memandang ponsel, berharap ada kabar dari Lastri.Karena takut jika Lastri akan menelepon atau mengabari sewaktu-waktu, Tarno membawa ponsel itu ke mana pun ia pergi. Bahkan saat ke kamar mandi sekalipun. Begitu pula saat tidur, ponsel itu terus digenggam dengan erat di tangan.Sudah dua hari Lastri pergi meninggalkan rumah. Tarno tampak kusut dan awut-awutan. Bahkan ia memakai sandal yang berbeda saat berangkat ke toko hari ini. Puluhan pesan sudah ia kirimkan, tapi tetap tidak ada balasan dari Lastri. Ia juga tidak menyerah dan terus menerus menghubungi nomor Lastri meskipun tetap tidak diangkat sampai sekarang.“Kok kusut banget, Pak? Ada masalah di rumah?&rdquo
Sebenarnya banyak hal yang ingin Tarno tanyakan pada Dila mengenai masalah pencurian uang yang telah dilakukannya tersebut. Namun, melihat putri sulungnya masih menangis terus sepanjang perjalanan pulang, hal itu membuat Tarno terpaksa menahan keinginannya tersebut. Ia hanya sempat menanyakan dua hal yang dijawab dengan jawaban kurang jelas dan tidak bisa dipahami karena dijawab sambil menangis.Akhirnya Tarno memutuskan untuk diam dan menunggu Dila menenangkan diri terlebih dulu. Setelah menangis hampir sejam, Dila terlihat mulai tenang dan berhenti menangis. Dari kaca depan, Tarno bisa melihat Dila sibuk melihat pemandangan di luar sambil menyeka sisa air mata yang mengalir di pipi. Sesekali suara isak tangis masih terdengar lirih di telinga Tarno.“Dil,” panggil Tarno pelan tapi masih cukup terdengar.Dila yang sudah berhenti menangis langsung menangis lagi saat mendengar panggilan Tarno. Membuat Tarno urung bertanya lagi. Sampai mereka tiba di de
Sesuai perkataannya di mobil tadi, Lastri memanggil Dila dan Dinda untuk berkumpul di ruang tamu untuk membicarakan sesuatu yang membuat Tarno sangat penasaran dari tadi.Setelah semua berkumpul, Lastri tidak segera memulai pembicaraan dan malah diam sembari memperhatikan Dila dengan tatapan tajam. Membuat gadis kecil itu jadi salah tingkah dan menunduk, tidak berani membalas tatapan Lastri.Sepertinya Dila sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan Lastri. Ia terus menunduk sambil memainkan kedua tangan yang ditaruh di atas paha. Kakinya digoyang-goyangkan untuk mengurangi rasa gelisah dan rasa cemas yang menyerangnya.“Dek, apa yang ingin kamu bicarakan? Katanya ada hal penting yang mau kau tunjukkan padaku. Kenapa harus mengajak anak-anak juga?” bisik Tarno ke telinga Lastri.Ia pikir Lastri tidak serius saat mengatakan akan mengajak anak-anak untuk berbicara. Ternyata dugaannya keliru, Lastri benar-benar serius dengan perkataannya. Membu
Lastri bertekad untuk mencari bukti dan menyelidiki masalah uang yang selalu berkurang setiap kali Dila dan Dinda menginap di rumahnya. Saat anak-anak berkunjung, ia memindah letak penyimpanan uang di tempat yang lain. Ia juga mengamati pergerakan Dila dan Dinda, ke mana pun mereka berdua pergi tak luput dari perhatiannya.Tidak ada yang aneh yang bisa ditemukan. Dila dan Dinda bersikap seperti biasanya. Malah Lastri yang terlihat aneh karena selalu memperhatikan mereka berdua. Dan anehnya saat setor uang ke bank keesokan harinya, uang tetap berkurang.“Lihat, Mas. Uangnya berkurang lima ratus ribu setelah anak-anak menginap kemarin. Padahal minggu sebelumnya tidak.” Lastri memberitahukan masalah itu pada Tarno sekali lagi untuk membuktikan kecurigaannya.“Masa sih, Dek. Kamu salah ngitung mungkin.” Tarno melihat kertas setruk dari bank dan membandingkan dengan catatan kecil yang ditulis Lastri. Selisih lima ratus ribu, sesuai ucapan Last
“Apakah Kamu butuh sesuatu? Atau sudah lapar?” tanya Lastri sambil berjalan mendekat pada Dila.“Eh ... Aku baru saja dari kamar mandi,” jawab Dila dengan gugup. Ia berbalik untuk melihat Lastri yang tengah tersenyum menatapnya.“Aku mau ke kamar dulu,” imbuh Dila lirih.Tidak ingin berlama-lama berdua saja dengan Lastri, Dila segera berjalan menuju kamar yang ditempatinya karena Lastri tidak mengatakan apa pun setelahnya.Lastri hanya mengangguk sambil tersenyum dan membatin dalam hati, “Apakah Dila masih marah padaku? Kenapa dia tidak mau menatap mataku saat berbicara denganku.”“Sepertinya wanita itu tidak melihatku keluar dari kamarnya. Buktinya dia diam saja, tidak mengatakan apa pun tadi. Atau ada sesuatu yang direncanakannya?” pikir Dila sambil berjalan dengan cepat.Ternyata hal yang ditakutkan Dila tidak terjadi. Lastri tidak membahas atau menanyakan apa pun mengenai ia yan