Tarno kelabakan saat Wina tiba-tiba memanggil Lastri. Wanita berkacamata itu mengatakan pada Lastri ada sesuatu yang ingin disampaikan Tarno padanya.
Jika dulu ia memang benar-benar ingin berbicara dengan Lastri dan ragu untuk mengatakannya, tapi tidak sekarang. Ia hanya ingin memandang wajah yang mengisi relung hatinya dua hari terakhir. Karena itu ia bolak balik keluar masuk dari toko dan berpura-pura melakukan sesuatu agar tidak ada yang mencurigainya.
Namun sepertinya mata elang Wina tidak bisa dibohongi. Ia dengan mudah menyadari tingkah laku aneh Tarno. Wanita berkacamata itu pikir sepertinya ada yang ingin Tarno sampaikan pada Lastri seperti terakhir kali. Karena itu dia berinisiatif membantunya.
“Katakan, Mas. Apa yang ingin Kamu sampaikan pada Bu Lastri. Tidak usah ragu, anggap saja Aku tidak ada di sini dan tidak mendengarkan pembicaraan kalian,” kata Wina saat melihat Tarno kebingungan.
Ia pikir mungkin Tarno merasa malu seperti saa
Tangan kekar Tarno memegang erat tubuh Lastri agar tidak terjatuh. Tatapan mata keduanya bertemu sekarang.Satu detikDua detikTiga detikTatapan mata kedua insan yang berbeda jenis kelamin itu masih terpaku satu sama lain. Seakan ada kekuatan tak terlihat yang menarik agar kedua manik berwarna coklat itu tetap berpandangan satu sama lain. Sampai sebuah bunyi yang cukup keras menyadarkan mereka berdua.Perut Tarno berkeriut keras meminta untuk segera diisi. Rasa lapar yang ditahannya sejak tadi akhirnya muncul lagi.Tarno melepaskan tangannya segera setelah Lastri menarik tubuhnya dan berdiri dengan postur tubuh yang seimbang. Keduanya terlihat kikuk dan melemparkan pandangan ke sisi sebaliknya.Tangan Lastri sibuk mengipas wajahnya yang terasa panas. Sedangkan Tarno sibuk berdehem untuk menyembunyikan rasa malu akibat suara yang muncul dari perutnya. Dadanya berdebar sangat kencang sehingga rasanya hendak meledak. Ia menarik nafas p
Tarno masih memandang Lastri dengan penuh harap. Membuat wanita yang hari ini memakai kerudung merah itu menjadi semakin salah tingkah.“Mas Tarno tanya pendapatku?” tanya Lastri sekali lagi.Tarno mengangguk. Terdengar klakson dari sepeda motor di belakang mobil. Rupanya lampu merah sudah berganti menjadi lampu hijau. Tarno mulai menjalankan mobil secara perlahan.“Bagaimana menurutmu?” tanya Tarno dengan pandangan fokus ke depan.“Menurutku ... Gaya rambut apa pun cocok untukmu, Mas. Seperti kata Mbak Wina, saat rambutmu pendek Kamu mirip dengan Fedi Nuril. Lalu mirip Shahrukh Khan pas berambut gondrong. Aku setuju dengan apa yang dia katakan.” Lastri melirik lelaki yang sedang menyetir di sampingnya.Tarno tersenyum tipis mendengar perkataan Lastri. Jawaban itu sudah cukup menyenangkan baginya walaupun ia hanya menyampaikan apa yang diucapkan Wina, bukan pendapatnya sendiri. Sebenarnya ia sangat ingin mendenga
“Maafkan Aku, Las,” ucap Tarno.“Mas, Aku ... “ Lastri tidak bisa melanjutkan perkataannya. Ia bingung harus berkata apa.Lastri takut jika perkataannya keliru dan malah menyakiti perasaan Tarno. Jadi ia memilih untuk diam saja dan memandang keluar jendela. Suara penyiar radio yang ceria tidak mampu menghangatkan suasana dalam mobil yang tiba-tiba membeku.“Aku tahu. Dunia kita sudah jauh berbeda sekarang. Aku tidak pantas bersanding dengan wanita yang sangat sempurna sepertimu. Seharusnya Aku menyadarinya sejak awal. Aku yang tidak memiliki apa-apa seharusnya sadar diri dan tidak berharap lebih. Namun perasaan ini tidak bisa kukendalikan lagi. Aku minta maaf.”“Bukan, bukan itu maksudku. Aku hanya ... “ Lastri kembali terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia sendiri masih bingung dengan perasaannya.Selama ini, ia merasa nyaman berbicara dan bercerita dengan Tarno. Namun ia hanya menganggapn
Setelah Wina menggodanya kemarin, Lastri jadi memikirkan lagi bagaimana perasaannya yang sebenarnya terhadap Tarno. Apakah ia benar hanya menganggap lelaki itu sebagai temannya saja. Atau ada sesuatu yang lain lebih dari itu. Ia terus memikirkannya saat malam hari sampai akhirnya kelelahan dan jatuh tertidur.Paginya Lastri bangun dengan perasaan malas. Tidak bersemangat seperti biasanya. Tubuhnya terasa kurang segar karena ia tidur setelah jam dua belas malam. Lingkaran hitam di sekitar matanya bahkan terlihat sangat jelas saat ia mulai menyapukan bedak ke wajahnya pagi ini. Ia merasa malas untuk berangkat ke toko, apalagi saat mengingat Tarno tidak masuk kerja hari ini.Lastri berangkat dengan menghela nafas panjang. Di mobil ia kerap kali menghembuskan nafas dengan kasar sehingga Anto merasa heran saat melihatnya.“Bu Lastri, sakit?” tanya Anto saat ia melihat Lastri terlihat lesu.“Nggak, Mas. Kenapa?” jawab Lastri.&ldq
Lelaki itu memandang kepergian Lastri tanpa berkedip. Setelah mobil sedan hitam yang dikendarai Lastri hilang dari pandangannya, barulah ia masuk ke mobilnya dan pergi dari tempat itu.Seulas senyum muncul di wajahnya. Setitik harapan terbit kembali dari hatinya. Ia sangat senang saat Lastri menghubunginya dan meminta untuk bertemu tadi. Tanpa berpikir lama ia langsung pergi meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu dan menyerahkannya pada salah satu mandor kepercayaannya.Lelaki itu adalah Bambang Setiono, seorang pemborong bangunan yang diminta Lastri untuk merenovasi tokonya nanti. Ia cukup terkenal sebagai pemborong bangunan yang pekerjaannya efektif dan efisien. Karena itu banyak yang menyukainya dan rela mengantre untuk memperkerjakannya. Terkadang orang-orang harus menunggu lama agar bisa menggunakan jasanya. Hasil bangunan yang rapi dan tepat waktu membuat orang-orang merasa puas dengan hasil kerjanya dan kembali menggunakan jasanya saat mereka butuh.
“Bu Lastri. Kok malah bengong di tengah jalan,” panggil Wina saat melihat Lastri yang masih terdiam sambil memandangi Tarno yang berjalan ke luar toko.Lastri yang berdiri di depan pintu langsung tersentak kaget dan menyingkir dari tempatnya berdiri sekarang. Ia berjalan mendekati Wina yang tampak menyodorkan sebuah kardus putih padanya.“Apa ini?” tanya Lastri penasaran.“Pisang goreng. Mas Tarno yang ngasih tadi. Mumpung masih hangat, ayo dimakan, Bu.”Lastri mengambil sepotong pisang goreng yang masih teraba hangat. Ia menggigitnya sepotong kecil dan mengunyahnya dengan pelan.“Enak ya, Bu. Pisang raja nangka memang paling enak digoreng begini. Disantap saat masih hangat ditemani segelas kopi atau teh hangat. Mantap,” ucap Wina sambil mengangkat jempolnya.“Iya,” jawab Lastri sambil terus mengunyah pisang goreng yang masih separuh. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ia masih
Mobil pick up yang dinaiki Tarno dan Anto akhirnya sampai ke tempat tujuan setelah menempuh perjalanan selama 15 menit. Lokasi toko mebel memang tidak terlalu jauh dari toko bahan bangunan.Tarno dan Anto segera mengangkut bahan material dan memindahkan ke tempat yang ditunjukkan Bambang pada mereka.Saat selesai mengangkut, Lastri menyodorkan satu botol teh manis pada mereka berdua yang tengah duduk di teras toko. Beberapa anak buah Bambang tampak sibuk di dalam toko mengerjakan pekerjaan masing-masing.“Nanti pulangnya Aku bareng kalian ya,” ucap Lastri setelah keduanya menghabiskan teh botol yang ia berikan.“Bukannya diantar Pak Bambang pulang, Bu?” tanya Anton sambil menyeka keringat yang menetes dari pelipisnya.“Dia masih repot dengan pekerjaan di sini. Aku tidak mau merepotkannya,” ucap Lastri lirih. Seakan takut ada yang mendengarnya.“Siapa yang repot? Aku masih sempat kalau cuma mengantark
“Iya, Mas.” Lastri mengangguk pelan dengan berkata lirih sekali. Bahkan seperti berbisik.Tarno hampir tidak bisa mendengarkannya andai saja ia tidak melihat gerakan bibir Lastri.“Benarkah, Las? Kamu bersungguh-sungguh menerimaku? Menerima perasaanku?” Tarno memastikan sekali lagi agar tidak salah paham. Ia masih belum bisa percaya dengan jawaban Lastri barusan. Rasanya seperti mimpi di siang bolong.Lastri hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia mengangkat kepalanya sebentar untuk melihat ekspresi Tarno, lalu menunduk lagi sambil memainkan nasi yang masih tersisa di piringnya.Wajah Lastri memanas. Pipinya memerah semerah-merahnya. Ia merasa kepanasan padahal tepat di atas kepalanya terdapat kipas angin yang berputar dengan kecepatan maksimal.“Terima kasih, Las. Terima kasih karena sudah menerima perasaanku.” Tarno tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Bibirnya tersenyum lebar sehingga menampakka