Setelah Wina menggodanya kemarin, Lastri jadi memikirkan lagi bagaimana perasaannya yang sebenarnya terhadap Tarno. Apakah ia benar hanya menganggap lelaki itu sebagai temannya saja. Atau ada sesuatu yang lain lebih dari itu. Ia terus memikirkannya saat malam hari sampai akhirnya kelelahan dan jatuh tertidur.
Paginya Lastri bangun dengan perasaan malas. Tidak bersemangat seperti biasanya. Tubuhnya terasa kurang segar karena ia tidur setelah jam dua belas malam. Lingkaran hitam di sekitar matanya bahkan terlihat sangat jelas saat ia mulai menyapukan bedak ke wajahnya pagi ini. Ia merasa malas untuk berangkat ke toko, apalagi saat mengingat Tarno tidak masuk kerja hari ini.
Lastri berangkat dengan menghela nafas panjang. Di mobil ia kerap kali menghembuskan nafas dengan kasar sehingga Anto merasa heran saat melihatnya.
“Bu Lastri, sakit?” tanya Anto saat ia melihat Lastri terlihat lesu.
“Nggak, Mas. Kenapa?” jawab Lastri.
&ldq
Lelaki itu memandang kepergian Lastri tanpa berkedip. Setelah mobil sedan hitam yang dikendarai Lastri hilang dari pandangannya, barulah ia masuk ke mobilnya dan pergi dari tempat itu.Seulas senyum muncul di wajahnya. Setitik harapan terbit kembali dari hatinya. Ia sangat senang saat Lastri menghubunginya dan meminta untuk bertemu tadi. Tanpa berpikir lama ia langsung pergi meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu dan menyerahkannya pada salah satu mandor kepercayaannya.Lelaki itu adalah Bambang Setiono, seorang pemborong bangunan yang diminta Lastri untuk merenovasi tokonya nanti. Ia cukup terkenal sebagai pemborong bangunan yang pekerjaannya efektif dan efisien. Karena itu banyak yang menyukainya dan rela mengantre untuk memperkerjakannya. Terkadang orang-orang harus menunggu lama agar bisa menggunakan jasanya. Hasil bangunan yang rapi dan tepat waktu membuat orang-orang merasa puas dengan hasil kerjanya dan kembali menggunakan jasanya saat mereka butuh.
“Bu Lastri. Kok malah bengong di tengah jalan,” panggil Wina saat melihat Lastri yang masih terdiam sambil memandangi Tarno yang berjalan ke luar toko.Lastri yang berdiri di depan pintu langsung tersentak kaget dan menyingkir dari tempatnya berdiri sekarang. Ia berjalan mendekati Wina yang tampak menyodorkan sebuah kardus putih padanya.“Apa ini?” tanya Lastri penasaran.“Pisang goreng. Mas Tarno yang ngasih tadi. Mumpung masih hangat, ayo dimakan, Bu.”Lastri mengambil sepotong pisang goreng yang masih teraba hangat. Ia menggigitnya sepotong kecil dan mengunyahnya dengan pelan.“Enak ya, Bu. Pisang raja nangka memang paling enak digoreng begini. Disantap saat masih hangat ditemani segelas kopi atau teh hangat. Mantap,” ucap Wina sambil mengangkat jempolnya.“Iya,” jawab Lastri sambil terus mengunyah pisang goreng yang masih separuh. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ia masih
Mobil pick up yang dinaiki Tarno dan Anto akhirnya sampai ke tempat tujuan setelah menempuh perjalanan selama 15 menit. Lokasi toko mebel memang tidak terlalu jauh dari toko bahan bangunan.Tarno dan Anto segera mengangkut bahan material dan memindahkan ke tempat yang ditunjukkan Bambang pada mereka.Saat selesai mengangkut, Lastri menyodorkan satu botol teh manis pada mereka berdua yang tengah duduk di teras toko. Beberapa anak buah Bambang tampak sibuk di dalam toko mengerjakan pekerjaan masing-masing.“Nanti pulangnya Aku bareng kalian ya,” ucap Lastri setelah keduanya menghabiskan teh botol yang ia berikan.“Bukannya diantar Pak Bambang pulang, Bu?” tanya Anton sambil menyeka keringat yang menetes dari pelipisnya.“Dia masih repot dengan pekerjaan di sini. Aku tidak mau merepotkannya,” ucap Lastri lirih. Seakan takut ada yang mendengarnya.“Siapa yang repot? Aku masih sempat kalau cuma mengantark
“Iya, Mas.” Lastri mengangguk pelan dengan berkata lirih sekali. Bahkan seperti berbisik.Tarno hampir tidak bisa mendengarkannya andai saja ia tidak melihat gerakan bibir Lastri.“Benarkah, Las? Kamu bersungguh-sungguh menerimaku? Menerima perasaanku?” Tarno memastikan sekali lagi agar tidak salah paham. Ia masih belum bisa percaya dengan jawaban Lastri barusan. Rasanya seperti mimpi di siang bolong.Lastri hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia mengangkat kepalanya sebentar untuk melihat ekspresi Tarno, lalu menunduk lagi sambil memainkan nasi yang masih tersisa di piringnya.Wajah Lastri memanas. Pipinya memerah semerah-merahnya. Ia merasa kepanasan padahal tepat di atas kepalanya terdapat kipas angin yang berputar dengan kecepatan maksimal.“Terima kasih, Las. Terima kasih karena sudah menerima perasaanku.” Tarno tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Bibirnya tersenyum lebar sehingga menampakka
“Apa kamu punya pacar?” tanya emak langsung ke pokok masalah.Wajah Tarno langsung berubah pucat saat mendengar pertanyaan emak. Ketiga orang di depannya memandang dengan wajah penasaran. Membuat Tarno semakin tegang. Dadanya berdegup dengan cepat. Telapak tangannya terasa dingin tanpa bisa dicegah.“Siapa yang punya pacar? Aku? Pacar dari mana, Mak?” Tarno berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dengan mengusap pucuk hidungnya.“Benar Kamu nggak punya pacar?” Emak melihat Tarno dengan tatapan menyelidik. Seakan mencoba membaca isi kepalanya.“Sumpah, Mak. Aku baru saja bercerai, aktanya saja masih belum jadi. Mana ada pikiran untuk pacaran-pacaran. Sekarang Aku cuma ingin fokus mencari nafkah untuk anak-anak.”Emak menghembuskan nafas pelan. Wajahnya terlihat lega saat mendengar penjelasan Tarno.“Sebenarnya ada apa ini? Kenapa tiba-tiba bahas masalah pacar?” tanya Tarno penasaran.
Tarno sedang duduk di luar toko saat ponsel di saku celananya berdering. Sebuah lagu mengalun dari ponselnya memberitahukan bahwa seseorang sedang menghubunginya. Dirogohnya saku celananya.Ia segera bangkit dari duduknya saat melihat nama yang tertulis di layar telepon. Setelah berjalan menjauh dari pekerja yang lain dan merasa jaraknya cukup aman agar tidak terdengar yang lainnya, ia mengangkat teleponnya.“Ya, Halo, Las,” bisik Tarno.Ia terdiam mendengarkan suara dari ponselnya.“Sekarang?” tanya Tarno memastikan. “Baiklah. Aku kesana sekarang,” balas Tarno setelah terdiam sejenak.Dimasukkan lagi ponselnya ke dalam saku celananya. Lalu dengan langkah ragu ia berjalan dengan pelan memasuki toko.Pikirannya penuh dengan pertanyaan tentang telepon yang baru saja diterimanya. Lastri menghubunginya dan memintanya untuk masuk ke toko sekarang juga.Aneh. Itulah yang Tarno pikirkan saat ini. Jika butu
Tarno segera duduk di halaman toko bergabung bersama pekerja yang lainnya. Saat ia baru saja mendaratkan bokongnya pada kursi kayu tempat mereka biasa duduk, Anto sudah menyambutnya dengan sebuah pertanyaan.“Mas, apa yang dikatakan Mbak Wina di grup itu benar?” tanya Anto sambil memegangi ponselnya.Tarno melirik ponsel yang dipegang Anto. Layarnya masih menyala memperlihatkan ia sedang membaca pesan di grup percakapan yang dibuat khusus untuk pekerja toko. Anggotanya adalah semua orang yang bekerja di toko bahan bangunan Lastri. Lastri sendiri tidak masuk dalam grup karena dia bukan pekerja tapi pemilik, bos mereka semuaTarno menghembuskan nafas kasar. Ia tidak menjawab pertanyaan Anto dan segera memeriksa ponselnya sendiri untuk melihat sendiri apa saja yang sudah dikatakan Wina saat ini.Saat membuka aplikasi percakapan berwarna hijau itu, ia melihat grup yang biasanya sepi kini sangat ramai. Semua terlihat aktif mengetik kecuali Samsul y
Tarno disambut emak sesampainya di rumah. Tadinya ia pikir emak akan menanyainya juga tentang hubungannya dengan Lastri. Ia pikir Ratih yang sudah dikabari oleh Samsul sebelumnya, bergegas memberitahu emak kabar tentang cerita yang sedang beredar di toko. Rupanya ia salah duga.Wanita yang melahirkannya itu tengah duduk di ruang tamu saat ia dan Samsul tiba. Emak sedang menonton televisi bersama Ratih ditemani kerupuk sambal.“No, ada undangan buatmu,” panggil Emak saat melihat Tarno masuk ke rumah.“Undangan apa, Mak?” Tarno mendatangi emak yang mengangsurkan sebuah kertas undangan.Tarno langsung membacanya. Rupanya undangan pernikahan dari Edi, teman kerjanya saat di luar negeri kemarin.“Wah, undangan pernikahan dari siapa, Mas?” timpal Samsul yang ternyata sudah berdiri di dekatnya ikut melihat undangan yang dipegang Tarno.“Teman kerjaku pas di luar negeri dulu,” jawab Tarno.&ldqu