Tarno berkendara dengan kecepatan tinggi. Ia membayangkan senyum kedua putrinya untuk meredakan emosinya yang sempat meledak saat Joko mengajaknya berbicara tadi. Ia tahu lelaki itu sengaja memanas-manasinya dengan mengatakan hal tersebut. Dan sialnya, Tarno tetap terpancing meskipun ia sudah mengetahui niatnya.
Hati dan perasaan adalah sesuatu yang sulit dikendalikan. Terkadang otak bisa mengatakan tidak namun tidak dengan hati.
Tarno mencoba untuk tetap fokus. Ia tidak mau kejadian dulu terulang lagi. Menuruti emosi hanya akan membuatnya rugi. Ditariknya nafas dalam-dalam, mencoba meraup oksigen sebanyak mungkin lalu dihembuskannya dengan pelan.
Dikuranginya laju motornya lalu berhenti saat ia melihat penjual es degan. Ia turun dari motor dan memesan segelas es degan.
Segera diteguknya es degan yang baru saja diterimanya hingga tandas. Setelah itu ia duduk sembari melihat kendaraan yang lalu lalang di depannya. Setelah tenang, ia membayar es degan y
Terima kasih sudah mampir dan membaca tulisaan ini. Semoga menghibur ya. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa komen dan berikan gem pada cerita ini jika kalian suka
Joko yang baru pulang dari sawah langsung mengambil ponselnya yang berdering dari atas lemari. Tertulis nama Susanti di layar sedang menghubunginya.“Halo,” jawab Joko setelah menekan gambar gagang telepon berwarna hijau.“Mas, tolong Aku ... Sepertinya Aku keguguran ....” Suara Susanti terdengar lirih di telinganya.Joko mendengar Susanti menghela nafasnya seperti orang yang sedang menahan kesakitan.“Tunggu sebentar. Aku segera ke sana sekarang.” Joko mematikan panggilan telepon.Dengan terburu-buru, Joko berjalan ke kamar mandi. Membersihkan diri dan membasuh tubuhnya dalam waktu singkat. Setelah berpakaian rapi, ia mengambil kunci motor yang tergantung di dinding. Lalu melesat dengan cepat ke rumah Susanti dengan mengendarai motor ninja kesayangannya.Susanti masih duduk dengan memegangi perutnya yang terasa semakin sakit. Wajahnya terlihat pucat dan setetes keringat mengalir dari keningn
Kartu SIM Tarno sudah jadi beberapa hari yang lalu. Namun belum ada permintaan dari Lastri untuk mengantarkannya pergi ke mana pun. Saat berangkat dan pulang dari toko, Lastri masih disopiri oleh Anto.Tarno jadi bertanya-tanya dalam hati apakah Lastri merasa sungkan untuk menyuruhnya. Atau ia tidak nyaman bila harus satu mobil dengannya. Ia hanya bisa menebak-nebak dalam hati tanpa berani bertanya secara langsung.Sampai siang itu, Lastri datang menemuinya. Ia sedang duduk dengan Samsul di halaman toko menunggu pembeli yang datang.“Mas Tarno, kartu SIM nya sudah jadi kan?” tanya Lastri.“Iya, sudah Bu.” Tarno mengangguk mengiyakan.“Sebentar lagi, antarkan Aku ke suatu tempat ya. Ada suatu hal yang perlu kuurus.”“Iya, Bu. Siap.”“Kunci mobilnya dibawa Mas Anto. Minta saja padanya.” Lastri berlalu masuk ke toko untuk mengambil tas dan ponselnya di dalam toko.Sedangk
Lastri menghela nafas. “Benar, Mas. Suamiku adalah Mas Santo, orang yang Kamu kenal. Teman dekatmu dulu.”Tarno mengangguk. Sebenarnya banyak hal yang ia ingin tanyakan pada Lastri, namun ia harus menahan diri. Jika salah ucap atau salah kata, ucapannya akan jadi senjata yang bisa menorehkan luka di hati wanita yang sedang duduk di sampingnya. Dan ia tidak mau hal itu sampai terjadi.Mengingat posisinya yang hanya pegawai Lastri, ia tidak ingin bertanya lebih jauh. Tidak ingin disebut sebagai orang yang tidak sopan karena ikut campur dengan masalah pribadi atasannya. Meskipun mereka pernah dekat sebagai kekasih dulu.Tarno tidak mau disebut sebagai pekerja yang tidak tahu diri dan membuat hubungan mereka menjadi tidak nyaman. Bagaimanapun, ia masih membutuhkan pekerjaan ini jadi ia harus sadar diri dan mengingat posisinya sekarang. Ia ingin menghentikan pembahasan mengenai hal ini dan membicarakan hal yang lain saja. Biarlah semua pertanyaan yang ter
Tarno tertegun memandang rumah besar dan megah di depannya. Rumah mewah bergaya klasik modern. Dua pilar besar menyangga atap bagian depan rumah yang menjorok ke depan. Di depan rumah terdapat sebuah taman kecil dengan kolam yang terdapat air mancur kecil. Dihiasi dengan lampu kerlap-kerlip yang menambah semarak suasana saat malam hari. “Masuklah, Mas. Istirahatlah di dalam sambil menunggu jemputan dari Mas Samsul,” ucap Susanti setelah keduanya turun dari mobil. Tarno yang masih terpana dengan rumah mewah Lastri langsung berjalan di belakang wanita tersebut, mengikutinya masuk ke dalam rumah. Ia memandang sekeliling dengan kagum. Matahari sudah tenggelam saat mereka tiba jadi ia tidak bisa melihat sekeliling dengan jelas karena kondisi gelap. Tarno yakin jika datang saat siang hari ia pasti akan dibuat lebih kagum lagi. Di dalam rumah, Tarno dibuat semakin kagum melihat isi ruang tamu. Tangga tinggi mengular dengan pegangan yang dicat warna emas. Sof
Tarno kelabakan saat Wina tiba-tiba memanggil Lastri. Wanita berkacamata itu mengatakan pada Lastri ada sesuatu yang ingin disampaikan Tarno padanya.Jika dulu ia memang benar-benar ingin berbicara dengan Lastri dan ragu untuk mengatakannya, tapi tidak sekarang. Ia hanya ingin memandang wajah yang mengisi relung hatinya dua hari terakhir. Karena itu ia bolak balik keluar masuk dari toko dan berpura-pura melakukan sesuatu agar tidak ada yang mencurigainya.Namun sepertinya mata elang Wina tidak bisa dibohongi. Ia dengan mudah menyadari tingkah laku aneh Tarno. Wanita berkacamata itu pikir sepertinya ada yang ingin Tarno sampaikan pada Lastri seperti terakhir kali. Karena itu dia berinisiatif membantunya.“Katakan, Mas. Apa yang ingin Kamu sampaikan pada Bu Lastri. Tidak usah ragu, anggap saja Aku tidak ada di sini dan tidak mendengarkan pembicaraan kalian,” kata Wina saat melihat Tarno kebingungan.Ia pikir mungkin Tarno merasa malu seperti saa
Tangan kekar Tarno memegang erat tubuh Lastri agar tidak terjatuh. Tatapan mata keduanya bertemu sekarang.Satu detikDua detikTiga detikTatapan mata kedua insan yang berbeda jenis kelamin itu masih terpaku satu sama lain. Seakan ada kekuatan tak terlihat yang menarik agar kedua manik berwarna coklat itu tetap berpandangan satu sama lain. Sampai sebuah bunyi yang cukup keras menyadarkan mereka berdua.Perut Tarno berkeriut keras meminta untuk segera diisi. Rasa lapar yang ditahannya sejak tadi akhirnya muncul lagi.Tarno melepaskan tangannya segera setelah Lastri menarik tubuhnya dan berdiri dengan postur tubuh yang seimbang. Keduanya terlihat kikuk dan melemparkan pandangan ke sisi sebaliknya.Tangan Lastri sibuk mengipas wajahnya yang terasa panas. Sedangkan Tarno sibuk berdehem untuk menyembunyikan rasa malu akibat suara yang muncul dari perutnya. Dadanya berdebar sangat kencang sehingga rasanya hendak meledak. Ia menarik nafas p
Tarno masih memandang Lastri dengan penuh harap. Membuat wanita yang hari ini memakai kerudung merah itu menjadi semakin salah tingkah.“Mas Tarno tanya pendapatku?” tanya Lastri sekali lagi.Tarno mengangguk. Terdengar klakson dari sepeda motor di belakang mobil. Rupanya lampu merah sudah berganti menjadi lampu hijau. Tarno mulai menjalankan mobil secara perlahan.“Bagaimana menurutmu?” tanya Tarno dengan pandangan fokus ke depan.“Menurutku ... Gaya rambut apa pun cocok untukmu, Mas. Seperti kata Mbak Wina, saat rambutmu pendek Kamu mirip dengan Fedi Nuril. Lalu mirip Shahrukh Khan pas berambut gondrong. Aku setuju dengan apa yang dia katakan.” Lastri melirik lelaki yang sedang menyetir di sampingnya.Tarno tersenyum tipis mendengar perkataan Lastri. Jawaban itu sudah cukup menyenangkan baginya walaupun ia hanya menyampaikan apa yang diucapkan Wina, bukan pendapatnya sendiri. Sebenarnya ia sangat ingin mendenga
“Maafkan Aku, Las,” ucap Tarno.“Mas, Aku ... “ Lastri tidak bisa melanjutkan perkataannya. Ia bingung harus berkata apa.Lastri takut jika perkataannya keliru dan malah menyakiti perasaan Tarno. Jadi ia memilih untuk diam saja dan memandang keluar jendela. Suara penyiar radio yang ceria tidak mampu menghangatkan suasana dalam mobil yang tiba-tiba membeku.“Aku tahu. Dunia kita sudah jauh berbeda sekarang. Aku tidak pantas bersanding dengan wanita yang sangat sempurna sepertimu. Seharusnya Aku menyadarinya sejak awal. Aku yang tidak memiliki apa-apa seharusnya sadar diri dan tidak berharap lebih. Namun perasaan ini tidak bisa kukendalikan lagi. Aku minta maaf.”“Bukan, bukan itu maksudku. Aku hanya ... “ Lastri kembali terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia sendiri masih bingung dengan perasaannya.Selama ini, ia merasa nyaman berbicara dan bercerita dengan Tarno. Namun ia hanya menganggapn