Share

Bab 2

last update Last Updated: 2023-12-17 16:22:01

Aku dan Ibu saling melempar pandang. Banyak pertanyaan yang tersimpan dari tatapan Ibu.

”Iya benar. Mana Mas Beni? Sudah hampir sebulan Mas beni nggak pulang.”

”Memangnya Mas Beni tidak pernah cerita tentang aku? Kamu ini, bagaimana sih jadi istri? Makanya punya suami itu diurus, dirawat. Bukan sibuk ngurus diri sendiri!”

Mendengar ucapan wanita itu, aku dan Ibu kembali saling melempar pandang.

”Jangan asal ngomong, ya!” Rasa kesal membuatku menaikkan nada bicara. Ibu menarik tanganku. Meredam emosiku.

Suara motor Bapak menghentikan percakapan kami. Semua mata menatapnya.

”Kenapa berdiri di luar? Mau jadi tontonan tetangga, hah? Masuk!” perintah Bapak dengan mendorong tubuh Ibu yang berdiri di depan pintu.

Bapak, Ibu dan wanita itu duduk di ruang tamu. Sedangkan aku memilih masuk kamar. Aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dari kamar. Karena rumah kami tidak besar, hanya berukuran enam kali delapan meter persegi.

”Siapa dia, Mas?” tanya ibu pelan. Sepertinya rasa penasaran Ibu jauh lebih besar dari apa yang aku rasakan.

”Dia Mita, istriku,” sahut Bapak cepat.

Ada denging di kepalaku. Dinding batu berubah menjadi api, panas dan membuatku sesak napas. Kalimat Bapak seperti petir yang tiba-tiba menyambar, sebelum hujan turun ke bumi.

”Maksud, Mas?” 

”Tidak usah diperjelas. Mita akan tinggal di sini bersama kita, kamu bisa tidur dengan Vio, biarkan Mita tidur di kamarmu, dia sedang hamil.”

”Tapi, Mas?”

”Sudah, cukup! Sekarang buatkan Mita makan siang, dia belum makan.”

Cobaan apalagi, Tuhan? Bapak benar-benar membangun neraka di rumah ini. Satu orang istri saja tidak pernah ia cukupi. Sekarang? Ia membawa pulang seorang wanita hamil yang ia akui sebagai istrinya. Apa kata tetangga? Apa kata teman-temanku?

Aku ingin pergi dari rumah ini, tapi ke mana? Kalau aku pergi, bagaimana dengan Ibu?

Waktu berjalan sangat lama. Bapak dan wanita itu bercanda di depan televisi, mereka tertawa, sesekali wanita itu merengek manja, dan itu membuat dadaku sakit. Bagaimana dengan dada Ibu?

Lagi-lagi, aku bisa apa? Aku masih menjadi penonton dari drama rumah tangga yang Bapak sutradarai.

Ibu memindahkan barang-barangnya ke kamarku. Berulang aku melihatnya mengusap mata, tapi tak ada isak yang keluar dari bibirnya, dan itu membuatku sangat tersiksa.

Selepas asar, Dika pulang. Aku baru keluar dari kamar mandi. Dika berdiri di depan lemari es, meneguk botol minuman dingin, lalu menatapku tajam. Mita dan Bapak sudah tertidur di depan televisi.

”Siapa wanita itu?” 

”Istri Bapak.”

”Apa? Di mana Ibuk?”

”Belanja ke warung.”

”Setelah ini kita pergi dari rumah. Aku sudah muak melihat kelakuan Bapak. Aku tidak mau lepas kendali jika terus melihatnya seperti ini.”

”Kita mau ke mana?”

”Aku tahu tempat kontrakan yang aman dari Bapak. Kamu bantu Ibu bereskan barang-barang.”

”Bagaimana jika Bapak mengamuk? Bagaimana jika ...?”

”Biar aku yang menghadapi Bapak. Kamu bawa Ibu pergi.”

Dika mengambil gawai dari saku celana. Ia mengirimkan nomor telepon seseorang ke gawaiku.

”Hubungi nomor itu jika ada apa-apa. Mereka akan datang untuk menolongmu.”

”Mereka siapa?” 

”Tidak usah banyak tanya, mereka teman-temanku.”

Tak selang lama, Ibu kembali dari warung. Menaruh belanjaan di dapur lalu pergi ke kamar mandi. Suara dengkuran Bapak memenuhi seluruh isi rumah. Sementara wanita itu tidur sembari memeluk tubuh Bapak, dan itu terjadi di depan Ibu.

Selesai mandi Ibu masuk ke kamarku. Aku dan Dika sudah menunggu dengan dua tas besar yang berisi pakaian dan surat-surat berharga. Dika menceritakan rencana pelarian itu. Awalnya Ibu menolak, tetapi aku dan Dika terus memohon. Sampai akhirnya Ibu menyetujui permintaan kami.

Kami berjalan pelan menuju pintu belakang melalui dapur,  berharap tidak menimbulkan suara apa pun. Namun, malang tak dapat ditolak. Tas yang aku bawa menyenggol rak piring dan membuatnya ambruk.

Seketika Bapak dan Mita terbangun, mereka menemukan kami di pintu belakang. Sialnya, kakiku terkena pecahan piring. Dika menarik tanganku, tapi beling yang menancap di kakiku ternyata cukup dalam dan itu membuatku kesakitan.

”Bawa Ibuk lari, Dik. Tak usah pedulikan aku!” seruku.

”Jangan keluar! Berani kalian keluar dari rumah ini, aku pastikan kalian semua tidak bisa berjalan.” 

Bapak berjalan ke arah Ibu. Aku berusaha menghalangi dengan sisa tenaga yang aku miliki. ”Bawa Ibu pergi, Dik!” teriakku.

Seketika Bapak memukul mulutku, aku kehilangan keseimbangan, lalu terjatuh. Namun, kesadaranku belum hilang, aku meraih kaki Bapak, memeluknya erat, membuat Bapak sulit berjalan. Sekuat tenaga aku menahan, tetapi tetap kalah dengan tenaga Bapak. Ia menjambak rambutku, lalu melemparku, hingga tubuh kecilku membentur wastafel.

Pandanganku berkunang-kunang. Namun, aku masih bisa mendengar dengan jelas perkataan Ibu.

”Cukup, Mas. Aku tidak akan pergi, tapi biarkan Vio dan Dika pergi. Biarkan mereka hidup, sudah cukup kamu menyiksa mereka selama ini.”

Pandanganku kembali jelas. Aku melihat Dika berjalan mendekat ke arah Bapak yang masih mencengkeram tangan Ibu sambil mengeluarkan kata-kata kasar. Aku melihat Dika mengeluarkan pisau lipat dari jaketnya. Lalu, aku melihat Mita mendorong tubuh Dika. Pisau itu terlempar.

Bapak melepas Ibu. Kali ini Dika yang menjadi bulan-bulanan Bapak. Meski sempat beberapa kali membalas, tetapi pada akhirnya Dika terjatuh.

”Kamu mau membunuhku, hah, B*jingan kecil?” ucap Bapak sembari mencekik leher Dika. ”Ayo lawan aku!” teriak Bapak sambil terbahak.

Dika menatap Bapak, ada kobar api di matanya. Amarah yang mungkin selama ini ia pendam, hari ini benar-benar terbakar. 18 tahun kami diam dan selalu menerima perlakuan kasar Bapak. Kami bahkan harus menerima sindiran tetangga tentang tabiat buruk Bapak.

Mungkin, hari ini adalah puncak dari kemarahan Dika. Ia berani melawan Bapak, sekali dua kali ia juga berhasil menepis pukulan dari Bapak. Namun, tenaga Bapak sangat kuat, Dika tidak bisa melepaskan tangan Bapak dari lehernya. Wajah Dika memerah, sementara Bapak tertawa dengan wajahnya yang mengerikan.

”Mamp*s kamu, ya! Kamu pikir bisa melawanku, hah? Anak laknat!” racau Bapak tanpa melepaskan tangannya dari leher Dika.

Tiba-tiba aku melihat Ibu berlari ke arah Bapak. Mita pun melakukan hal yang sama. Aku pikir, Ibu akan menarik tangan Bapak dari leher Dika, tetapi aku salah. Aku melihat dengan jelas, melihat dengan mata kepalaku sendiri Ibu menusukkan sebilah pisau dapur di punggung Bapak.

Hujan kunang-kunang kembali deras di kepalaku. Semua yang kulihat menjadi kabur. Rasa sakit di sekujur tubuh seolah hilang. Aku mendengar suara wanita hamil itu berteriak-teriak memanggil nama Bapak sambil sesekali mengumpat Ibu.

Samar aku melihat Bapak berbalik, dengan terhuyung ia berjalan menyusul Ibu yang sudah lebih dulu berjalan menjauh darinya. Wajah kesakitan itu tertawa--menyeramkan.

Pandanganku semakin kabur, telingaku berdenging, denyut di kepalaku semakin menjadi. Lalu, semua seperti hilang.

Related chapters

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 3

    Ruangan serba putih, dengan jarum infus di tangan kiri. Rasa sakit menyebar di sekujur tubuh, terutama di telapak kaki kanan yang ternyata sudah terbalut perban. Aku memegang kepala, denyutnya sudah reda. Namun, benjolan di dahi akibat terbentur menyisakan rasa sakit yang berbeda. Aku mengedarkan pandang. Dika duduk di sudut ruang memainkan ponselnya.”Dik ....” panggilku pelan.”Kamu sudah bangun?” Dika berjalan mendekat, memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket. Lalu, duduk di sebelahku.”Ini jam berapa, Dik? Ibuk di mana?””Jam 12 malam. Kalau masih pusing tidur saja!””Ibuk di mana?” Aku mengulang pertanyaan yang diabaikan oleh Dika.”Di kantor polisi.””Bapak?””Sudah jangan banyak tanya! Tidur saja biar besok boleh pulang.”Aku menghela napas. Aku memunggungi Dika yang kembali berkutat dengan ponselnya usai notifikasi pesan berbunyi lirih.’Bagaimana keadaan Ibu di kantor polisi, dengan siapa Ibu di sana?’ Pikiran itu menari-nari di otakku.Bagaimana Dika bisa setenang itu

    Last Updated : 2023-12-17
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 4

    Matahari mengintip dari balik tirai yang tersingkap. Rupanya aku tertidur lagi. Dika sudah tidak ada di kursi. Jatah sarapan dari rumah sakit sudah ada di atas nakas. Jam 07.00 WIB. Aku meregangkan otot. Rasa sakit di tubuhku sudah banyak berkurang, yang masih terasa nyeri hanya telapak kaki kanan. Mungkin luka pecahan piring cukup dalam menembus kulitku.”Sarapannya dimakan dulu, Mbak.”Seorang perawat membuka pintu, memeriksa suhu tubuh dan tekanan darah. ”Mau dibantu, Mbak?” lanjutnya. Aku menggeleng. ”Apa hari ini aku sudah boleh pulang, Mbak?” tanyaku lirih.”Sepertinya sudah. Nanti kita tunggu Dokter visit dulu, ya. Untuk suhu tubuh dan tekanan darah Mbak Vio normal, kok. Apa ada keluhan lain?” terang perawat cantik itu. Lagi-lagi aku menggeleng.Aku duduk di tepi ranjang. Makanan yang disediakan oleh rumah sakit belum kusentuh. Aku mencoba berdiri dan berhasil, tetapi hanya sekian detik. Rasa nyeri menyerang hingga ke ubun-ubun. Aku duduk sebentar, lalu mencoba lagi. Percobaan

    Last Updated : 2023-12-17
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 5

    Aku masuk ke kamar. Menghidupkan ponsel yang sejak tadi malam kumatikan. Bukan tanpa sebab, aku ingin menghindari banyak pertanyaan tentang keluargaku. Seperti yang kuduga, banyak pesan masuk. Gea, Sashi, dan teman-teman sekolah lainnya. Hampir semua pesan yang masuk intinya sama--bertanya kabar. Namun, Ada satu pesan yang menarik perhatianku, dari nomor tanpa nama itu. Ada sembilan belas panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.[Aku sampai di rumah sakit, tapi kata perawat kamu sudah pulang.][Rumahmu di sebelah mana?][Aku boleh, kan, ke rumahmu?][Kenapa ponselmu mati?]Aku menghela napas. Siapa ia sebenarnya. Tidak ada foto profile, tidak ada nama. Namun, aku seperti tidak asing dengan gaya bicaranya.[Aku sudah pulang.] jawabku singkat.[Aku boleh ke rumahmu? Maaf aku lancang bertanya alamatmu di rumah sakit.][Gak usah repot-repot. Aku sudah membaik.]Tidak ada balasan lagi, padahal layar chat centangnya sudah berwarna biru. Mungkin ia sudah menyerah.Aku mengambil celengan

    Last Updated : 2023-12-17
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 6

    Orang itu membantu Dika menepikan motor, lalu berlari ke arahku. Tubuhnya juga sudah basah, kemeja putih yang ia pakai, mencetak bentuk tubuhnya yang atletis.”Kamu gakpapa, 'kan? Kakimu?””Saya gakpapa.” potongku cepat.”Tapi perban di kakimu basah,” lanjut Dokter Darel. Ya, lelaki yang mengendarai mobil tadi adalah Dokter Darel. Orang yang kemarin merawatku di rumah sakit.”Bagaimana, Vi? Bisa jalan?” ucap Dika saat sudah berada bersamaku dan Dokter Darel. Aku mengangguk.”Kita ke rumah sakit. Biar aku lihat kondisi kaki Vio,” ajak Dokter Darel.”Gak perlu, Dok. Nanti biar perbannya saya ganti di rumah,” tolakku.Dika menghidupkan motornya, aku berusaha naik ke atas motor. Namun, rasa nyeri membuatku meringis kesakitan. Dokter Darel menarik pergelangan tanganku.”Kalau tidak mau ke rumah sakit, biar aku antar kamu pulang. Lukamu tidak boleh bertambah basah. Aku takut bisa mengakibatkan infeksi. Nanti biar kuganti perbannya di rumahmu.”Aku menatap Dika, ia mengangguk. Mungkin Dika j

    Last Updated : 2023-12-22
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 7

    Setelah berpikir agak lama, akhirnya aku mengambil dompet Ibu. Hanya dompet Ibu, uangku masih aman di dompetku.”Kembalikan kunci motornya Dika, baru aku kasih uang ini ke Om.” Aku meminta syarat sebelum memberikan uang itu.Om Hengki menyerahkan kunci motor ke Dika, lalu menyambar uang yang aku genggam.”Hanya segini?” tanya Om Hengki sambil membulatkan mata.”Memangnya Om kira kami orang kaya!” timpal Dika. ”Semua itu uang milik Ibu yang harusnya untuk biaya makan kami setiap hari.” Dika memicingkan mata, aku tahu, Dika tengah mati-matian meredam emosinya.”Aku tidak peduli, bahkan kalau kalian kelaparan sekali pun aku tak peduli!” Om Hengki berbalik menuju motornya. Ia pergi setelah itu.Dika mengepalkan tangan, memukul angin sambil mengumpat. Aku menarik lengan bajunya. Aku takut Dika lepas kendali, aku tidak ingin kejadian serupa terulang. Dika harus lulus sekolah. Ia tidak boleh terlibat dengan tindakan kriminal.”Harusnya kamu jangan kasihkan uang itu!” ucap Dika sambil menghid

    Last Updated : 2023-12-23
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 8

    Dika tidak menjawab, ia menerobos masuk mendahuluiku. Aku berusaha mengejar. Namun, aku kalah cepat. Dika sudah masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarnya.”Dik, kamu kenapa?” Aku mengetuk pintu kamar Dika berulang kali. Namun, tetap tak ada jawaban. ”Diiik!””Ganti bajumu lalu makanlah! nanti aku cerita,” ucap Dika dari dalam kamar.Aku menuruti kemauan Dika tanpa bertanya lagi. Dika tidak suka diintrogasi. Dika akan cerita semua ketika ia mau, bukan dengan paksaan. Aku sangat mengenal watak Dika, ia memang keras, tetapi hatinya sangat baik. Ia bisa dengan mudah memukul, tetapi bisa dengan cepat meminta maaf. Mungkin, sifat kerasnya turun dari Bapak. Namun, hatinya sangat baik. Dan aku tahu, tidak mudah menjadi Dika yang kini juga punya tanggung jawab untuk menjagaku, meski usia kami sama.Usai mengganti baju, aku menggoreng dua telor mata sapi. Aku sudah menanak nasi tadi pagi dan membuat omlet untuk sarapan. Aku tidak punya bahan makanan lain untuk dimasak kecuali telor dan m

    Last Updated : 2023-12-24
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 9

    Bab 9Usai mengambil kartu ujian di sekolah aku menunggu Dika untuk pergi ke kantor polisi. Aku izin pulang lebih awal, karena tepat jam sepuluh kami harus sudah sampai di sana. Tidak kuduga, mobil silver milik Dokter Darel sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Melihatku keluar dari sekolah, ia pun keluar dari mobilnya sambil melambaikan tangan.Persis adegan dalam drama korea yang pernah kutonton. Dokter Darel terlihat sangat tampan dengan kaos putih dan luaran kemeja bermotif kotak halus yang lengannya dilipat hampir sampai siku. Andai ia seumuranku, dan status sosial kami tidak jauh berbeda, mungkin aku sudah jatuh cinta padanya. Cinta monyet mungkin, karena sampai usiaku delapan belas tahun, aku belum penah merasakan jatuh cinta itu seperti apa. Aku hanya mendengar cerita dari Ghea yang sudah berpacaran sejak di bangku SMP.Pernah sekali waktu aku mendapat kiriman coklat di hari valentine disertai dengan ungkapan cinta dari salah satu teman sewaktu duduk di bangku SMP. Namun,

    Last Updated : 2023-12-25
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 10

    Sekian detik, Ibu menatap Dokter Darel. Lalu tiba-tiba menutup mulutnya.”Kamu ... Arka, bukan?””Iya, aku Arka, adiknya Mahesa.”Aku kembali dibuat melongo oleh pengakuan Dokter Darel. Ia mengaku sebagai Arka, dan Ibu mengenalnya.”Bagaimana kamu bisa ...?” ucap Ibu tertahan.”Kebetulan, Vio pasienku di rumah sakit. Kejadian hari itu gempar dan viral. Saat kulihat wajah pelaku tersebut aku dibuat kaget karena sangat mirip dengan Mbak Ningsih. Sampai aku mencari sumber berita yang valid untuk memastikan kalau itu Mbak Ningsih. Dan wajah Vio, sangat mirip denganmu, Mbak.”Aku melihat mata ibu berkaca-kaca. Aku semakin penasaran dengan Dokter Darel. Kalau hanya hubungan biasa, Dokter Darel tidak akan memperlakukanku sampai sebaik ini.”Kamu sudah menjadi Dokter?” tanya Ibu sambil mengusap air mata yang jatuh di pipinya.”Iya, berkat Mas Mahes. Sayangnya, sekarang Mas Mahes--””Ada apa dengan Mahes?” potong Ibu”Nanti setelah semuanya lebih baik, aku akan mengajak Mas Mahes menemui Mbak

    Last Updated : 2023-12-25

Latest chapter

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 33

    Bab 33RUMAH SAKIT JIWA "BAHAGIA"Lelaki yang kupanggil Bapak itu duduk mendekap kedua kaki di sudut ruang. Sesekali berteriak. Sesekali memukul-mukul teralis sambil mengumpat. Pernah sekali waktu ia menangis sangat lama. Memanggil-manggil nama Ningsih--Ibuku, yang sudah berpulang beberapa hari lalu. Menurut Dokter, Bapak mengalami gangguan bipolar. Namun, sikap Bapak terkadang terlalu ekstrim. Bapak kerap mengamuk dan tidak segan menyakiti orang lain. Hari ini aku mengunjunginya, tetapi aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Bapak yang kerap menyakiti Ibu, aku dan Dika, nyatanya harus berakhir di rumah sakit jiwa usai Ibu meninggal. Seperti inikah cinta? Aku bahkan tidak bisa mengartikan perasaan Bapak kepada Ibu selama ini. Jika benar cinta, kenapa harus saling menyakiti. Namun, jika itu bukan perasaan cinta, kenapa Bapak bisa sesakit itu saat Ibu pergi? Dokter Darel merangkul bahuku. Ia juga tengah memandang Bapak.“Mungkin, aku bisa akan lebih gila jika kamu meninggalkan aku, Vi

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 32

    “Pak, ayok kita pulang!“ Aku mencoba mengulangi ucapanku sekali lagi. Aku memegang tangan Bapak, tetapi Bapak menepisnya. Tatapan Bapak kepadaku semakin tajam. Mulutnya bergetar. “Kamu yang sudah bunuh Ningsih! Pasti kamu yang sudah membunuh Ningsih!“ Bapak berusaha meraih tubuhku. Namun, dengan sigap Dokter Darel menarik tubuhku ke belakang. Tidak dapat meraih tubuhku, Bapak mengambil batu di sebelahnya, lalu melempar ke arahku dan Dokter Darel. Beruntung kami dapat menghindar. Dokter Darel lantas meraih tanganku, membawaku berlari meninggalkan tanah pemakaman. Aku duduk di dalam mobil, napasku masih tersengal. Saat Dokter Darel hendak memajukan mobil, aku melarangnya. “Sebentar, Dok! Aku ingin melihat Bapak sebentar.“Aku melihat Bapak duduk di sebelah makam Ibu, tak lama, Bapak berbaring sambil memeluk makam Ibu. Entah apa yang Bapak rasakan saat ini, sebuah kehilangan atau rasa penyesalan? Karena di sepanjang usia pernikahan mereka, Bapak tidak pernah membahagiakan Ibu. “Kit

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 31

    Sepekan berlalu. Aku menjalani rutinitas baru menjadi Ibu rumah tangga, memasak, mengantar Kesya ke sekolah dan menemaninya belajar. Hari ini Dokter Darel pulang awal, ia nampak tergesa dan memintaku untuk segera berganti baju. “Memangnya kita mau ke mana, Dok?“ tanyaku penasaran. “Ke rumah sakit.““Kenapa? Ada apa?“ sahutku. “Sudah, pokoknya cepat ganti baju karna kita gak punya banyak waktu.“Aku pun menuruti apa yang diperintahkan Dokter Darel. Aku tahu saat panik begitu orang tidak suka menanggapi banyak pertanyaan. Perjalanan ke rumah sakit yang biasa ditempuh dengan waktu setengah jam, kali ini hanya butuh waktu dua puluh menit. Dokter Darel benar-benar seperti dikejar setan. Wajahnya panik, dan ia tak banyak bicara. Hanya sesekali ketika ia harus menerima telepon dari rumah sakit karena ada pasien darurat. Kalau memang sedang ada pasien darurat, kenapa ia mengajakku? Sampai di lobi, Dokter Darel menarik tanganku untuk berjalan lebih cepat. Di depan pintu ICU, matanya nana

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 30

    “Aku sudah dijemput, duluan, ya Ka!“Aku gegas membuka pintu mobil lalu masuk dengan dada yang berdegub luar biasa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dokter Darel langsung melajukan mobil, bahkan kali ini lebih kencang dari biasanya. “Tadi Raka, temanku. Ada motor yang ngebut dan airnya kena mukaku.“ Aku mencoba menjelaskan meski Dokter Darel tidak menanyakan apa pun. “Romantis, ya,“ sahut Dokter Darel sambil melepas senyum. Senyum yang tidak manis seperti biasanya. “Maaf, itu benar-benar tidak sengaja.““Lain kali jangan diulangi, aku nggak suka! Dan memang tidak pantas seorang istri berduaan dengan laki-laki meskipun itu teman sekolah!“ Nada bicara Dokter Darel sedikit ketus, aku hanya mengangguk mengiyakan. Apakah Dokter Darel cemburu? Wajahnya lucu sekali. Wajah yang biasa hangat dan lembut itu, sekarang berubah menjadi muram. Hampir tiga puluh menit kita menempuh perjalanan, hingga akhirnya sampai di lapas tempat Ibu ditahan. Sudah sebulan Ibu di sini, dan minggu depan kas

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 29

    Bab 29Aku bangun sebelum subuh. Dokter Darel dan Kesya masih terlelap. Pelan, aku beranjak dari ranjang menuju dapur. Namun, ternyata aku kalah pagi. Bik Yem sudah lebih dulu bangun. “Mbak Vio biar saya saja. Mbak Vio siap-siap saja. Kata Mas Arka, hari ini Mbak Vio masuk sekolah, 'kan?“ ucap Bik Yem saat aku membuka kulkas dan mengambil beberapa sayuran. “Saya sudah terbiasa, Bik. Bik Yem nggak usah sungkan.““Itu kalau di rumah Mbak Vio. Kalau di sini, memasak sudah jadi pekerjaan saya,“ sahut Bik Yem. “Tapi boleh 'kan kalau saya ingin memasak untuk Dokter Darel dan Kesya.“Bik Yem diam sebentar, lalu mengangguk. “Boleh, Mbak. Asal tidak mengganggu sekolahnya Mbak Vio.““Tinggal ngambil ijazah, kok, Bik. Sudah selesai sekolahnya.“Akhirnya Bik Yem membiarkan aku memasak. Bik Yem menyelesaikan pekerjaan rumah yang lain. Beruntung dulu aku suka belajar memasak dari Ibu, jadi sekarang aku bisa memasak bermacam-macam makanan. Selesai memasak aku kembali ke kamarku, menyelesaikan s

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 28

    Dokter Darel mengecup keningku, dan itu membuatku melonjak kaget. Dokter Darel tersenyum, lalu mencubit pipiku gemas. “Ayok turun. Kesya pasti sudah menunggu kita.““Dok ....“ Aku masih ragu, dan ciuman di kening tadi masih menyisakan getar aneh di dada. Dokter Darel menangkap perasaan gugup itu. “Jangan bilang itu ciuman pertamamu, ya!“ ucap Dokter Darel sambil tertawa. Aku menepuk bahunya dengan sedikit keras. Mungkin wajahku saat ini sudah memerah, dan itu memalukan. Aku berjalan mengikuti Dokter Darel. Kesya berlari menyambut kedatangan papanya. Ia memeluk lalu mencium seluruh bagian wajah Dokter Darel, seolah-olah sudah lama sekali sudah tidak bertemu. “Papa perginya lama! Kenapa Kesya nggak diajak.“ Kesya merajuk. Usai bersorak karena rindu, kini ia mengerucutkan bibir. “Yang penting sekarang Papa sudah pulang, 'kan? Oya, Papa bawa temen buat kamu.““Kak Viola, 'kan? Tadi Kesya sudah lihat. Tuh, orangnya!“ Kesya menunjukku. “Mulai sekarang, kamu panggil Kak Vio dengan sebu

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 27

    Pagi harinya, Dokter Darel benar-benar datang. Ia datang bersama Pak Samsul dan Bik Yem. Kesya tidak ikut karena Kesya harus sekolah. Dika datang beberapa menit setelah kedatangan Dokter Darel. Aku membangunkan Bapak yang masih tertidur di depan televisi. Melihat kedatangan mereka, Bapak terkejut. Apalagi saat melihat Dika. Bapak langsung mengepalkan tangannya. “Anak sialan! Mau apa pulang? Masih berani kamu pulang, hah?“ teriak Bapak begitu melihat Dika masuk ke rumah. “Dan kamu! Kenapa ke sini? Mau apa kalian?“ imbuh Bapak saat Dokter Darel, Pak Samsul dan Bik Yem ikut masuk ke rumah. “Begini, Pak. Maksud kedatangan kami adalah untuk melamar Neng Viola,“ ucap Pak Samsul. “Apa? Kalian gila, aku tidak akan pernah mengizinkan anakku menikah dengan adeknya Mahesa.“ Bapak menaikkan nada bicara. “Kita duduk dulu, Pak. Ada yang ingin Dokter Darel sampaikan,“ ucapku. Aku memegang tangan Bapak, lalu menuntunnya duduk. “Begini, Pak. Maksud kedatangan saya hari ini, saya ingin menikahi V

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 26

    “Iya benar, Pak. Saya adiknya Kak Mahesa,“ jawab Dokter Darel. Seketika wajah Bapak memerah, beliau mengepalkan tangan. Namun, tidak memukul Dokter Darel. “Pergi! Aku tidak mau melihat mukamu lagi!“ usir Bapak. Terlihat kemarahan yang Bapak pendam. Wajah yang sempat berbinar saat melihat kedatangan Dokter Darel tadi, kini berubah menjadi muram. “Kenapa Bapak begitu membenci Kak Mahesa, Pak? Dan apa salah saya?“ Dokter Darel mencoba mencari penjelasan.“Sudah pergi sana!“ Bapak mendorong tubuh Dokter Darel hingga keluar. Teman-teman Bapak hanya menonton pertunjukan itu tanpa ada satu pun yang berkomentar. Aku mengantar Dokter Darel hingga ke mobil. Aku juga bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya ingat perkataan Ibu kalau Bapak tahu Dokter Darel adalah adik dari Om Mahesa, maka Bapak tidak akan setuju dengan hubunganku dan Dokter Darel. “Maafkan Bapak, Dok!“ ucapku saat Dokter Darel membuka pintu mobil. “Iya, nggakpapa. Kita tetap harus menghadapi ini. Aku akan beru

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 25

    Sepulang dari lapas, Dokter Darel membawaku ke sebuah mall. Ia memintaku memilihkan baju untuk kesya. Kesya semakin besar, baju-baju di rumah banyak yang sudah tidak cukup. “Kalau Kesya nggak diajak, apa nggak takut salah ukuran, Dok?“ tanyaku memecah hening. “Aku sudah sangat hafal dengan tubuh Kesya. Aku merawatnya dari bayi, menjaga dan memperhatikan setiap tumbuh kembangnya sampai sekarang. Aku hanya meninggalkannya ketika aku harus bekerja di rumah sakit.““Sampai Dokter lupa untuk menikah?“ celutukku. Dokter Darel mengusap kepalaku tanpa melihatku, ia tetap fokus menyetir mobil sambil tertawa mendengar ucapanku. “Bukan lupa, tapi karena memang belum menemukan mama yang baik untuk Kesya. Memangnya, aku sudah terlihat sangat tua, ya?““Tidak, Dok! Tapi, seusia Dokter harusnya sudah punya anak. Maaf, kalau saya tidak sopan.““Kan aku sudah punya anak! Tinggal memberi adek untuk Kesya. Kamu mau, 'kan, ngasih banyak adek ke Kesya?“ “Loooh, kok, jadi saya?“Dokter Darel kembali te

DMCA.com Protection Status