[Selamat pagi, Vio. Ada rencana apa hari minggu ini?] Sebuah chat dari Dokter Darel menghentikan sarapanku.[Pengen jenguk Ibuk, tapi kalau hari Minggu nggak ada jam Besuk. Jadi mau belajar saja, besok ujian hari pertama.] jawabku.[Anak pinter harus rajin belajar, ya. Oya, kamu punya hutang nilai yang bagus. Harus dibayar lunas, ya.] Dokter Darel mengingatkan.[Siap, Dok. Meski nggak pernah rangking satu, saya akan berusaha mendapatkan nilai yang bagus.][Ada kabar untuk kamu dan Dika.][Apa, Dok?][Besok bapak kamu sudah boleh pulang. Apapun yang terjadi, kamu harus tetap belajar, ya.][Dok ....][Iya, kenapa, Vi?][Memang pulangnya nggak bisa ditunda sampai aku selesai ujian, ya?][Nggak bisa. Dokter yang menangani Pak Beni bukan aku. Aku tidak bisa melakukannya untukmu. Apa yang kamu khawatirkan? Kamu takut apa?][Nggak ada, Dok. Cuma ....][Cuma apa? Kalau kamu merasa terganggu dengan kehadiran bapakmu, kamu bisa tinggal bersamaku.][Enggak, kok. Cuma malas berisik saja. Pengen f
”Assalamualaikum,” ucapku pelan. Tidak ada yang menjawab. Dua orang dewasa itu menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala.Aku melangkah masuk. Tanpa melihat mereka aku berjalan ke arah kamar. Namun, belum sampai di kamar Mita menghadangku.”Duduk!” perintahnya. Aku menatap matanya.”Kamu tidak ada hak memerintahku,” ketusku.”Vio!” bentak Bapak. ”Mita istriku, berarti dia ibumu juga. Turuti perintahnya. Duduk!” Bapak melotot ke arahku. Ia membuang rokok, lalu memukul meja.”Ibuku ya cuma ibu, bukan dia,” ujarku sambil mengalihkan tubuh wanita itu dari hadapanku.”Sudah berani kurang ajar kamu, ya? Duduk kataku!” Bapak kembali menggebrak meja. Beruntung mejanya terbuat dari kayu. Andai dari kaca, pasti sudah hancur berkeping-keping.Aku tidak mau Bapak benar-benar mengamuk. Aku duduk berseberangan dengan Bapak. Mita duduk di sebelah Bapak, ia menekuk wajah. Seperti ada kemarahan yang ingin ia lepaskan kepadaku.”Apa kamu tidak merasa bersalah? Kamu tidak ingin minta maaf ke Bapakmu
Aku masuk ke kamar, mendengar sumpah serapah Bapak untuk Dika entah kenapa aku menangis. Sesak rasanya. Aku tidak menduga Dika akan benar-benar pergi meninggalkan rumah ini. Namun, ke mana Dika pergi? Ia hanya punya uang lima puluh ribu yang kemarin kuberi. Ponselnya telah dirampas Om Hengki untuk biaya berobat Bapak, bagaimana cara menghubunginya? Aku bahkan tidak tahu siapa teman dekat Dika selama ini.Entah kenapa tiba-tiba yang terlintas dalam pikiranku adalah Dokter Darel. Barangkali, ia bisa membantuku mencari Dika.[Dok ....]Setelah sepuluh menit, centang dua tetap belum berubah warna. Apakah Dokter Darel sibuk? Aku menghapus pesan itu. Mungkin aku harus berusaha mencari Dika sendiri. Beberapa hari ini aku sudah terlalu merepotkannya. Padahal sebagai seorag Dokter, tentu saja ia mempunyai jam yang sangat sibuk.”Viooo!” Bapak berteriak memanggilku, padahal tanpa berteriak pun aku akan mendengar, karena rumah ini yang tidak seberapa besar.”Iya.” Aku masih berdiri di depan kama
“Sudah sampai. Kerjakan ujian dengan baik, ya!“ ucap Dokter Darel memecah keheningan. “Dok, kenapa Dokter diam setelah tahu nama lengkapku dan Dika?“ tanyaku sebelum keluar dari mobil. “Kalau kamu anak yang pintar, kamu pasti bisa menebak apa yang sedang aku pikirkan. Sudah sana, fokus dengan ujianmu dulu! Nanti selesai ujian kita bahas soal ini.“Aku hanya menggaruk kepala. Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Entahlah! Dokter Darel memang senang membuat teka-teki. Aku hanya ingin ujian hari ini segera berakhir dan bertemu dengan Dika.Enam jam berlalu, ujian sekolah hari ini cukup membuatku memeras otak. Tentu saja karena aku tidak bisa belajar sedikit pun. Beruntung, aku masih tetap bisa mengerjakannya. Aku menghubungi nomor Dika. Dua kali tidak dijawab. Namun, yang ketiga kalinya aku bisa mendengar suara Dika dari seberang. “Halo.““Dik, ini aku. Aku pengen ketemu. Kamu bisa jemput ke sekolahku? Atau aku naik angkot ke sekolahmu?““Kamu tunggu saja di h
Bab 15Setengah jam berlalu. Dokter Darel benar-benar datang. Ia membawa makan siang, makanan ringan dan beberapa botol soft drink merk terkenal. ”Makasih untuk ponselnya, Dok. Ini pasti mahal,” ucap Dika begitu Dokter Darel datang. ”Pakai saja. Yang penting bisa untuk berkomunikasi dengan Vio. Kamu tinggal di sini, Dik?” tanya Dokter Darel. ”Sementara, iya, Dok. Ini kosan temen, saya cuma numpang. Nantilah sampai selesai ujian baru saya cari tempat kos sendiri.””Mau kubantu untuk mencari?” Dokter Darel kembali menawarkan bantuan. ”Nggak usah, Dok. Anak laki-laki harus mandiri. Lagian kosan ini kosong. Temanku berangkat dari jam 6 pagi pulangnya kadang sampai larut malam.””Baiklah kalau begitu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku.””Katanya, Dokter mau menunjukkan sesuatu?” aku mengingatkan tujuan Dokter Darel kemari. ”Kalau aku mengajak kalian menemui seseorang, apa kalian mau?” tanya Dokter Darel. Ia menatap kami bergantian.”Siapa, Dok?” tanyaku penasaran. ”Ayo kita ke
Dokter Darel mengajak kami duduk di taman belakang, sembari menunggu Kesya yang sedang asik bermain ayunan. Dokter Darel mulai menceritakan kehidupan masa lalunya. Ketika ia sekolah, sampai ia bisa menjadi seorang dokter. “Istri Dokter ke mana?“ pertanyaan yang sama. Karena aku sangat penasaran dengan Mama Kesya. “Sebenarnya aku belum punya istri, tepatnya aku belum menikah.““Loh, kata Dokter ...?““Benar, Mamanya Kesya adalah orang Spanyol. Tapi dia bukan istriku. Melainkan mantan istri Kak Mahes. Dan dia pergi, satu minggu setelah melahirkan Kesya.“Lagi, aku dibuat terkejut olah pengakuan Dokter Darel. Jadi, bukan Dokter Darel Papanya Kesya, tetapi Om Mahesa. “Ibuk dulu sering ke sini, Om?“ tanyaku lagi. “Iya, sering. Bahkan Ibu kalian sangat dekat dengan almarhumah Mama. Mungkin karena Mama tidak memiliki anak perempuan, dan kebetulan Ibu kalian bisa membuat Mamaku jatuh hati. Bukan hanya Kak Mahesa. Namun, semua penghuni rumah sudah dibuat jatuh hati oleh Mbak Ningsih. Terma
“Dok ....?““Aku akan menemanimu masuk.““Nggak usah, Dok. Nanti Bapak bisa memukul Dokter.“Dokter Darel tidak menghiraukanku. Ia membuka pintu mobil, aku pun ikut membuka pintu. Dokter Darel meyakinkan bahwa ia tidak akan pergi sebelum aku masuk. Aku berjalan lebih dulu. Dokter Darel di belakangku. Mita yang baru saja muncul di depan pintu, langsung memasang muka garang sambil berkacak pinggang. “Dari mana kamu, hah? Bukankah harusnya pulang awal karena sedang ujian? Tapi kenapa sampai jam segini? Siapa laki-laki ini?“ Mita memberondongku dengan banyak pertanyaan. Belum sempat aku menjawab, Dokter Darel sudah lebih dulu maju. Dokter Darel mengulurkan tangannya. “Maaf, Bu. Vio pulang terlambat karena tadi saya minta tolong untuk menemani menengok seorang teman yang sedang sakit. Perkenalkan, saya Arka. Saya temannya Viola.“ Mita menerima uluran tangan Dokter Darel. Ia mengamati Dokter Darel dari kaki sampai ujung kepala. Tak lama ia teriak memanggil Bapak. “Maaasss, lihat, nih!
Bab 18Seperti hari-hari biasanya, aku bangun sebelum subuh dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Hari itu pun Mita bangun pagi. Aku melihatnya keluar dari kamar mandi sambil bernyanyi. Perutnya makin membuncit, tetapi tingkahnya justru makin menyebalkan. “Hey anak kecil? Semalam lihat apa? Kenapa dipanggil-panggil Bapak nggak keluar?“Ingin rasanya membungkam mulut nenek sihir itu. Bagaimana ia bertanya tentang hal memalukan itu. Meski mereka sudah sah menjadi suami istri, tetapi harusnya mereka tahu tempat. Apalagi ada aku yang sudah mendapatkan edukasi tentang seks di sekolah. Dan sebentar lagi aku lulus sekolah. Aku bukan anak kecil lagi. Aku tak menjawab apa pun. Mita masih berdiri di sana mengawasiku. Aku menaruh sendok secara kasar sehingga menimbukan suara yang sedikit gaduh. “Kenapa? Marah? Nggak bisa naruh dengan bener? Atau memang sengaja mancing emosi? Mentang-mentang punya pacar kaya terus mau sok-sok gitu, hah?“Aku mengambil pisau kecil. Aku berjalan ke arah Mita. “Kam
Bab 33RUMAH SAKIT JIWA "BAHAGIA"Lelaki yang kupanggil Bapak itu duduk mendekap kedua kaki di sudut ruang. Sesekali berteriak. Sesekali memukul-mukul teralis sambil mengumpat. Pernah sekali waktu ia menangis sangat lama. Memanggil-manggil nama Ningsih--Ibuku, yang sudah berpulang beberapa hari lalu. Menurut Dokter, Bapak mengalami gangguan bipolar. Namun, sikap Bapak terkadang terlalu ekstrim. Bapak kerap mengamuk dan tidak segan menyakiti orang lain. Hari ini aku mengunjunginya, tetapi aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Bapak yang kerap menyakiti Ibu, aku dan Dika, nyatanya harus berakhir di rumah sakit jiwa usai Ibu meninggal. Seperti inikah cinta? Aku bahkan tidak bisa mengartikan perasaan Bapak kepada Ibu selama ini. Jika benar cinta, kenapa harus saling menyakiti. Namun, jika itu bukan perasaan cinta, kenapa Bapak bisa sesakit itu saat Ibu pergi? Dokter Darel merangkul bahuku. Ia juga tengah memandang Bapak.“Mungkin, aku bisa akan lebih gila jika kamu meninggalkan aku, Vi
“Pak, ayok kita pulang!“ Aku mencoba mengulangi ucapanku sekali lagi. Aku memegang tangan Bapak, tetapi Bapak menepisnya. Tatapan Bapak kepadaku semakin tajam. Mulutnya bergetar. “Kamu yang sudah bunuh Ningsih! Pasti kamu yang sudah membunuh Ningsih!“ Bapak berusaha meraih tubuhku. Namun, dengan sigap Dokter Darel menarik tubuhku ke belakang. Tidak dapat meraih tubuhku, Bapak mengambil batu di sebelahnya, lalu melempar ke arahku dan Dokter Darel. Beruntung kami dapat menghindar. Dokter Darel lantas meraih tanganku, membawaku berlari meninggalkan tanah pemakaman. Aku duduk di dalam mobil, napasku masih tersengal. Saat Dokter Darel hendak memajukan mobil, aku melarangnya. “Sebentar, Dok! Aku ingin melihat Bapak sebentar.“Aku melihat Bapak duduk di sebelah makam Ibu, tak lama, Bapak berbaring sambil memeluk makam Ibu. Entah apa yang Bapak rasakan saat ini, sebuah kehilangan atau rasa penyesalan? Karena di sepanjang usia pernikahan mereka, Bapak tidak pernah membahagiakan Ibu. “Kit
Sepekan berlalu. Aku menjalani rutinitas baru menjadi Ibu rumah tangga, memasak, mengantar Kesya ke sekolah dan menemaninya belajar. Hari ini Dokter Darel pulang awal, ia nampak tergesa dan memintaku untuk segera berganti baju. “Memangnya kita mau ke mana, Dok?“ tanyaku penasaran. “Ke rumah sakit.““Kenapa? Ada apa?“ sahutku. “Sudah, pokoknya cepat ganti baju karna kita gak punya banyak waktu.“Aku pun menuruti apa yang diperintahkan Dokter Darel. Aku tahu saat panik begitu orang tidak suka menanggapi banyak pertanyaan. Perjalanan ke rumah sakit yang biasa ditempuh dengan waktu setengah jam, kali ini hanya butuh waktu dua puluh menit. Dokter Darel benar-benar seperti dikejar setan. Wajahnya panik, dan ia tak banyak bicara. Hanya sesekali ketika ia harus menerima telepon dari rumah sakit karena ada pasien darurat. Kalau memang sedang ada pasien darurat, kenapa ia mengajakku? Sampai di lobi, Dokter Darel menarik tanganku untuk berjalan lebih cepat. Di depan pintu ICU, matanya nana
“Aku sudah dijemput, duluan, ya Ka!“Aku gegas membuka pintu mobil lalu masuk dengan dada yang berdegub luar biasa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dokter Darel langsung melajukan mobil, bahkan kali ini lebih kencang dari biasanya. “Tadi Raka, temanku. Ada motor yang ngebut dan airnya kena mukaku.“ Aku mencoba menjelaskan meski Dokter Darel tidak menanyakan apa pun. “Romantis, ya,“ sahut Dokter Darel sambil melepas senyum. Senyum yang tidak manis seperti biasanya. “Maaf, itu benar-benar tidak sengaja.““Lain kali jangan diulangi, aku nggak suka! Dan memang tidak pantas seorang istri berduaan dengan laki-laki meskipun itu teman sekolah!“ Nada bicara Dokter Darel sedikit ketus, aku hanya mengangguk mengiyakan. Apakah Dokter Darel cemburu? Wajahnya lucu sekali. Wajah yang biasa hangat dan lembut itu, sekarang berubah menjadi muram. Hampir tiga puluh menit kita menempuh perjalanan, hingga akhirnya sampai di lapas tempat Ibu ditahan. Sudah sebulan Ibu di sini, dan minggu depan kas
Bab 29Aku bangun sebelum subuh. Dokter Darel dan Kesya masih terlelap. Pelan, aku beranjak dari ranjang menuju dapur. Namun, ternyata aku kalah pagi. Bik Yem sudah lebih dulu bangun. “Mbak Vio biar saya saja. Mbak Vio siap-siap saja. Kata Mas Arka, hari ini Mbak Vio masuk sekolah, 'kan?“ ucap Bik Yem saat aku membuka kulkas dan mengambil beberapa sayuran. “Saya sudah terbiasa, Bik. Bik Yem nggak usah sungkan.““Itu kalau di rumah Mbak Vio. Kalau di sini, memasak sudah jadi pekerjaan saya,“ sahut Bik Yem. “Tapi boleh 'kan kalau saya ingin memasak untuk Dokter Darel dan Kesya.“Bik Yem diam sebentar, lalu mengangguk. “Boleh, Mbak. Asal tidak mengganggu sekolahnya Mbak Vio.““Tinggal ngambil ijazah, kok, Bik. Sudah selesai sekolahnya.“Akhirnya Bik Yem membiarkan aku memasak. Bik Yem menyelesaikan pekerjaan rumah yang lain. Beruntung dulu aku suka belajar memasak dari Ibu, jadi sekarang aku bisa memasak bermacam-macam makanan. Selesai memasak aku kembali ke kamarku, menyelesaikan s
Dokter Darel mengecup keningku, dan itu membuatku melonjak kaget. Dokter Darel tersenyum, lalu mencubit pipiku gemas. “Ayok turun. Kesya pasti sudah menunggu kita.““Dok ....“ Aku masih ragu, dan ciuman di kening tadi masih menyisakan getar aneh di dada. Dokter Darel menangkap perasaan gugup itu. “Jangan bilang itu ciuman pertamamu, ya!“ ucap Dokter Darel sambil tertawa. Aku menepuk bahunya dengan sedikit keras. Mungkin wajahku saat ini sudah memerah, dan itu memalukan. Aku berjalan mengikuti Dokter Darel. Kesya berlari menyambut kedatangan papanya. Ia memeluk lalu mencium seluruh bagian wajah Dokter Darel, seolah-olah sudah lama sekali sudah tidak bertemu. “Papa perginya lama! Kenapa Kesya nggak diajak.“ Kesya merajuk. Usai bersorak karena rindu, kini ia mengerucutkan bibir. “Yang penting sekarang Papa sudah pulang, 'kan? Oya, Papa bawa temen buat kamu.““Kak Viola, 'kan? Tadi Kesya sudah lihat. Tuh, orangnya!“ Kesya menunjukku. “Mulai sekarang, kamu panggil Kak Vio dengan sebu
Pagi harinya, Dokter Darel benar-benar datang. Ia datang bersama Pak Samsul dan Bik Yem. Kesya tidak ikut karena Kesya harus sekolah. Dika datang beberapa menit setelah kedatangan Dokter Darel. Aku membangunkan Bapak yang masih tertidur di depan televisi. Melihat kedatangan mereka, Bapak terkejut. Apalagi saat melihat Dika. Bapak langsung mengepalkan tangannya. “Anak sialan! Mau apa pulang? Masih berani kamu pulang, hah?“ teriak Bapak begitu melihat Dika masuk ke rumah. “Dan kamu! Kenapa ke sini? Mau apa kalian?“ imbuh Bapak saat Dokter Darel, Pak Samsul dan Bik Yem ikut masuk ke rumah. “Begini, Pak. Maksud kedatangan kami adalah untuk melamar Neng Viola,“ ucap Pak Samsul. “Apa? Kalian gila, aku tidak akan pernah mengizinkan anakku menikah dengan adeknya Mahesa.“ Bapak menaikkan nada bicara. “Kita duduk dulu, Pak. Ada yang ingin Dokter Darel sampaikan,“ ucapku. Aku memegang tangan Bapak, lalu menuntunnya duduk. “Begini, Pak. Maksud kedatangan saya hari ini, saya ingin menikahi V
“Iya benar, Pak. Saya adiknya Kak Mahesa,“ jawab Dokter Darel. Seketika wajah Bapak memerah, beliau mengepalkan tangan. Namun, tidak memukul Dokter Darel. “Pergi! Aku tidak mau melihat mukamu lagi!“ usir Bapak. Terlihat kemarahan yang Bapak pendam. Wajah yang sempat berbinar saat melihat kedatangan Dokter Darel tadi, kini berubah menjadi muram. “Kenapa Bapak begitu membenci Kak Mahesa, Pak? Dan apa salah saya?“ Dokter Darel mencoba mencari penjelasan.“Sudah pergi sana!“ Bapak mendorong tubuh Dokter Darel hingga keluar. Teman-teman Bapak hanya menonton pertunjukan itu tanpa ada satu pun yang berkomentar. Aku mengantar Dokter Darel hingga ke mobil. Aku juga bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya ingat perkataan Ibu kalau Bapak tahu Dokter Darel adalah adik dari Om Mahesa, maka Bapak tidak akan setuju dengan hubunganku dan Dokter Darel. “Maafkan Bapak, Dok!“ ucapku saat Dokter Darel membuka pintu mobil. “Iya, nggakpapa. Kita tetap harus menghadapi ini. Aku akan beru
Sepulang dari lapas, Dokter Darel membawaku ke sebuah mall. Ia memintaku memilihkan baju untuk kesya. Kesya semakin besar, baju-baju di rumah banyak yang sudah tidak cukup. “Kalau Kesya nggak diajak, apa nggak takut salah ukuran, Dok?“ tanyaku memecah hening. “Aku sudah sangat hafal dengan tubuh Kesya. Aku merawatnya dari bayi, menjaga dan memperhatikan setiap tumbuh kembangnya sampai sekarang. Aku hanya meninggalkannya ketika aku harus bekerja di rumah sakit.““Sampai Dokter lupa untuk menikah?“ celutukku. Dokter Darel mengusap kepalaku tanpa melihatku, ia tetap fokus menyetir mobil sambil tertawa mendengar ucapanku. “Bukan lupa, tapi karena memang belum menemukan mama yang baik untuk Kesya. Memangnya, aku sudah terlihat sangat tua, ya?““Tidak, Dok! Tapi, seusia Dokter harusnya sudah punya anak. Maaf, kalau saya tidak sopan.““Kan aku sudah punya anak! Tinggal memberi adek untuk Kesya. Kamu mau, 'kan, ngasih banyak adek ke Kesya?“ “Loooh, kok, jadi saya?“Dokter Darel kembali te