Bab 19Ujian selesai. Dua hari kulewati tanpa kabar dari Dokter Darel. Sejak kejadian tempo hari, Dokter Darel seperti memberi jarak. Ia tidak menghubungiku sama sekali. “Vi, buatkan Bapak kopi! Kopi buatan Mita terlalu manis. Ke mana lagi tuh orang? Habis bikin kopi langsung kabur.“ Bapak beranjak ke teras sambil membawa ponsel. Aku segera ke dapur, membuat kopi kesukaan Bapak. Dua sendok kecil kopi hitam ditambah satu sendok gula untuk satu cangkir. Aku membawanya ke teras. Bapak tampak sedang asik memainkan ponsel sambil tertawa sendiri. “Tunggu, Vi! Duduk dulu sebentar,“ ucap Bapak saat aku beranjak meninggalkannya. Tak ingin ribut, aku duduk di kursi berseberangan dengan Bapak. “Si Arka, kenapa nggak ke sini lagi?“ tanya Bapak. “Dia kan Dokter, Pak. Pasti sibuklah.““Kamu pacaran sama dia?““Enggak,“ jawabku singkat. “Nggak mungkin. Mana ada lelaki yang mau ngasih uang secara cuma-cuma kalau nggak pacaran,“ sangkal Bapak. “Aku dan Dokter Darel, maksudku Dokter Arka memang
“Maaf, Bu. Kalau boleh tahu berapa jumlah uang yang hilang?“ tanya Dokter Darel sopan. “Ini bukan masalah jumlah uangnya, tapi masalah kejujuran! Siapa yang mengajarimu jadi pencuri? Ibumu, hah?““Jaga mulutmu! Sudah kuperingatkan, Kamu boleh menghinaku, tapi jangan bawa-bawa Ibuk! Aku tidak mencuri, dan Ibuk tidak pernah mengajariku hal-hal buruk.““Mana ada maling ngaku!“ seru Mita. “Maaf, Bu. Berapa uangnya? Biar saya yang ganti,“ sela Dokter Darel. “Jangan, Dok! Kalau Dokter mengganti, itu sama saja Dokter menuduh saya yang mencuri uang itu. Jangankan mencuri, masuk kamarnya saja saya nggak pernah.““Bukan begitu, Vi. Aku hanya nggak mau ribut-ribut. Malu didengar tetangga.“ Dokter Darel masih berusaha menghentikan adu mulut antara aku dan Mita. “Kalau begitu, mana uangnya! Aku perlu belanja kebutuhan bayi. Bapakmu mana pernah mikir soal kebutuhan bayi.“ Mita mendekati Dokter Darel yang sedang mengeluarkan dompet dari saku celana. “Jangan, Dok! Bukan Dokter yang harus ngasih
“Di mana kalian ketemu Mahesa?“ Bapak mengulangi pertanyaannya. “Pak Mahesa direktur rumah sakit tempat saya bekerja, Pak,“ jawab Dokter Darel tanpa gugup. “Tapi, kenapa Vio memanggilnya, Om? Apa Vio pernah bertemu dengannya?“ Bapak menghempaskan tubuhnya di kursi seberang. Menatap kami bergantian. “Maaf, Pak. Kasus keluarga Bapak tempo hari viral. Kebetulan, Vio dan Bapak pasien di rumah sakit kami. Karena itu direktur rumah sakit ingin menemui Vio. Saya yang menemani beliau mengunjungi Vio, dan soal Vio memanggil beliau dengan sebutan Om, itu karena beliau sendiri yang minta.““Apa Mahesa menunjukkan gelagat aneh saat menemui Vio?“ tanya Bapak sembari menghisap rokoknya. “Tidak!“ jawab Dokter Darel singkat. Bapak diam beberapa saat. Sesekali melirikku seolah sedang mengamati bekas luka akibat pukulannya beberapa jam yang lalu. “Kalian pacaran?“ Pertanyaan Bapak membuat mukaku memerah. “Belum, Pak. Saya memang menyukai Vio, dan saya ingin serius dengannya. Kalau Bapak mengizin
“Aku boleh ikut, Dok?“ tanyaku. “Tentu. Kita jemput Kak Mahes dulu, baru ke lapas.“Kami bersiap. Meski rasa sakit masih terasa di tubuhku, tetapi aku tidak ingin melewatkan pertemuan antara Ibu dan Om Mahesa. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Siapa tahu, Om Mahesa bisa membantu Ibu. Setiba kami di rumah Dokter Darel. Om Mahesa sudah menunggu di depan rumah. Wajahnya terlihat lebih segar dari saat aku bertemu dengannya tempo hari. Beliau mengenakan sweater hitam dengan warna celana yang senada. Tampan, bahkan sangat tampan menurutku. Bisa jadi Om Mahesa juga sebaik Dokter Darel. Inikah orang yang sangat mencintai Ibu? Betapa beruntungnya Ibu jika bisa bersama dengan Om Mahesa. Om Mahesa menatapku lama, matanya berkaca. Mungkin, beliau seperti melihat Ibu ada dalam diriku. Aku memang sangat mirip dengan Ibu, hanya tinggi badan dan warna kulit saja yang berbeda. “Kak Mahes yakin hari ini mau bertemu dengan Mbak Ningsih?“ tanya Dokter Darel sebelum masuk ke dalam mobil. “I
Dokter Darel segera melarikan Om Mahesa ke mobil. Aku tahu, Ibu melihat kejadian ini dari kejauhan. Namun, ia tak mendekat. Barangkali benar, perasaan itu sudah selesai sejak lama. Air mata yang tadi jatuh, hanyalah air mata bahagia karena melihat orang yang pernah dicintainya. Bukan karena cinta. Dokter Darel membawa Om Mahesa ke rumah sakit. Tidak ada obat Om Mahesa di dalam mobil, karena memang Om Mahesa tidak pernah keluar rumah selama bertahun-tahun. Terlihat wajah panik dari Dokter Darel di sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Kudengar beberapa kali ia memanggil nama Om Mahes, berusaha untuk menyadarkannya. Hanya beberapa menit di UGD, Om Mahesa dipindahkan ke ruang ICU, kata Dokter Darel kondisinya memburuk. Aku dan Dokter Darel hanya diizinkan menunggu di depan ICU. Meski Dokter Darel seorang Dokter juga, tetapi bukan ia yang menangani sakitnya Om Mahesa. “Maafkan Ibu, Dok. Kondisi kesehatan Om Mahesa menurun, mungkin karena Ibuk,“ ucapku. “Ibuk nggak salah, Vi. Memang kes
Dokter Darel datang jam sembilan pagi. Aku sudah siap dan menunggu di teras. Wajah Dokter Darel tak lagi sembab. Ia sudah tampak seperti biasanya. Meski aku tahu, kehilangan Om Mahesa adalah pukulan berat untuknya. Namun, ia tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Ia seorang Dokter yang tidak bisa berlama-lama meninggalkan pasiennya hanya dengan alasan berduka. Ada banyak nyawa yang harus ia selamatkan. “Cantiknya,“ puji Dokter Darel saat melihatku memakai atasan berwarna peach dan celana soft jeans berwarna biru muda. Aku membiarkan rambutku yang sudah sebahu tergerai. Aku tersipu mendengar pujian Dokter Darel. “Sudah sarapan, Dok? Kalau belum, aku tadi bikin nasi goreng. Masih hangat, kok. Siapa tahu Dokter mau mencicip masakanku.““Boleh, kebetulan aku memang belum sarapan. Itung-itung mencicipi masakan calon istri?“ ucap Dokter Darel sambil tertawa. “Pagi-pagi sudah banyak sekali gombalannya,“ sahutku sambil mengajak Dokter Darel ke meja makan. Dokter Darel makan dengan laha
Sepulang dari lapas, Dokter Darel membawaku ke sebuah mall. Ia memintaku memilihkan baju untuk kesya. Kesya semakin besar, baju-baju di rumah banyak yang sudah tidak cukup. “Kalau Kesya nggak diajak, apa nggak takut salah ukuran, Dok?“ tanyaku memecah hening. “Aku sudah sangat hafal dengan tubuh Kesya. Aku merawatnya dari bayi, menjaga dan memperhatikan setiap tumbuh kembangnya sampai sekarang. Aku hanya meninggalkannya ketika aku harus bekerja di rumah sakit.““Sampai Dokter lupa untuk menikah?“ celutukku. Dokter Darel mengusap kepalaku tanpa melihatku, ia tetap fokus menyetir mobil sambil tertawa mendengar ucapanku. “Bukan lupa, tapi karena memang belum menemukan mama yang baik untuk Kesya. Memangnya, aku sudah terlihat sangat tua, ya?““Tidak, Dok! Tapi, seusia Dokter harusnya sudah punya anak. Maaf, kalau saya tidak sopan.““Kan aku sudah punya anak! Tinggal memberi adek untuk Kesya. Kamu mau, 'kan, ngasih banyak adek ke Kesya?“ “Loooh, kok, jadi saya?“Dokter Darel kembali te
“Iya benar, Pak. Saya adiknya Kak Mahesa,“ jawab Dokter Darel. Seketika wajah Bapak memerah, beliau mengepalkan tangan. Namun, tidak memukul Dokter Darel. “Pergi! Aku tidak mau melihat mukamu lagi!“ usir Bapak. Terlihat kemarahan yang Bapak pendam. Wajah yang sempat berbinar saat melihat kedatangan Dokter Darel tadi, kini berubah menjadi muram. “Kenapa Bapak begitu membenci Kak Mahesa, Pak? Dan apa salah saya?“ Dokter Darel mencoba mencari penjelasan.“Sudah pergi sana!“ Bapak mendorong tubuh Dokter Darel hingga keluar. Teman-teman Bapak hanya menonton pertunjukan itu tanpa ada satu pun yang berkomentar. Aku mengantar Dokter Darel hingga ke mobil. Aku juga bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya ingat perkataan Ibu kalau Bapak tahu Dokter Darel adalah adik dari Om Mahesa, maka Bapak tidak akan setuju dengan hubunganku dan Dokter Darel. “Maafkan Bapak, Dok!“ ucapku saat Dokter Darel membuka pintu mobil. “Iya, nggakpapa. Kita tetap harus menghadapi ini. Aku akan beru
Bab 33RUMAH SAKIT JIWA "BAHAGIA"Lelaki yang kupanggil Bapak itu duduk mendekap kedua kaki di sudut ruang. Sesekali berteriak. Sesekali memukul-mukul teralis sambil mengumpat. Pernah sekali waktu ia menangis sangat lama. Memanggil-manggil nama Ningsih--Ibuku, yang sudah berpulang beberapa hari lalu. Menurut Dokter, Bapak mengalami gangguan bipolar. Namun, sikap Bapak terkadang terlalu ekstrim. Bapak kerap mengamuk dan tidak segan menyakiti orang lain. Hari ini aku mengunjunginya, tetapi aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Bapak yang kerap menyakiti Ibu, aku dan Dika, nyatanya harus berakhir di rumah sakit jiwa usai Ibu meninggal. Seperti inikah cinta? Aku bahkan tidak bisa mengartikan perasaan Bapak kepada Ibu selama ini. Jika benar cinta, kenapa harus saling menyakiti. Namun, jika itu bukan perasaan cinta, kenapa Bapak bisa sesakit itu saat Ibu pergi? Dokter Darel merangkul bahuku. Ia juga tengah memandang Bapak.“Mungkin, aku bisa akan lebih gila jika kamu meninggalkan aku, Vi
“Pak, ayok kita pulang!“ Aku mencoba mengulangi ucapanku sekali lagi. Aku memegang tangan Bapak, tetapi Bapak menepisnya. Tatapan Bapak kepadaku semakin tajam. Mulutnya bergetar. “Kamu yang sudah bunuh Ningsih! Pasti kamu yang sudah membunuh Ningsih!“ Bapak berusaha meraih tubuhku. Namun, dengan sigap Dokter Darel menarik tubuhku ke belakang. Tidak dapat meraih tubuhku, Bapak mengambil batu di sebelahnya, lalu melempar ke arahku dan Dokter Darel. Beruntung kami dapat menghindar. Dokter Darel lantas meraih tanganku, membawaku berlari meninggalkan tanah pemakaman. Aku duduk di dalam mobil, napasku masih tersengal. Saat Dokter Darel hendak memajukan mobil, aku melarangnya. “Sebentar, Dok! Aku ingin melihat Bapak sebentar.“Aku melihat Bapak duduk di sebelah makam Ibu, tak lama, Bapak berbaring sambil memeluk makam Ibu. Entah apa yang Bapak rasakan saat ini, sebuah kehilangan atau rasa penyesalan? Karena di sepanjang usia pernikahan mereka, Bapak tidak pernah membahagiakan Ibu. “Kit
Sepekan berlalu. Aku menjalani rutinitas baru menjadi Ibu rumah tangga, memasak, mengantar Kesya ke sekolah dan menemaninya belajar. Hari ini Dokter Darel pulang awal, ia nampak tergesa dan memintaku untuk segera berganti baju. “Memangnya kita mau ke mana, Dok?“ tanyaku penasaran. “Ke rumah sakit.““Kenapa? Ada apa?“ sahutku. “Sudah, pokoknya cepat ganti baju karna kita gak punya banyak waktu.“Aku pun menuruti apa yang diperintahkan Dokter Darel. Aku tahu saat panik begitu orang tidak suka menanggapi banyak pertanyaan. Perjalanan ke rumah sakit yang biasa ditempuh dengan waktu setengah jam, kali ini hanya butuh waktu dua puluh menit. Dokter Darel benar-benar seperti dikejar setan. Wajahnya panik, dan ia tak banyak bicara. Hanya sesekali ketika ia harus menerima telepon dari rumah sakit karena ada pasien darurat. Kalau memang sedang ada pasien darurat, kenapa ia mengajakku? Sampai di lobi, Dokter Darel menarik tanganku untuk berjalan lebih cepat. Di depan pintu ICU, matanya nana
“Aku sudah dijemput, duluan, ya Ka!“Aku gegas membuka pintu mobil lalu masuk dengan dada yang berdegub luar biasa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dokter Darel langsung melajukan mobil, bahkan kali ini lebih kencang dari biasanya. “Tadi Raka, temanku. Ada motor yang ngebut dan airnya kena mukaku.“ Aku mencoba menjelaskan meski Dokter Darel tidak menanyakan apa pun. “Romantis, ya,“ sahut Dokter Darel sambil melepas senyum. Senyum yang tidak manis seperti biasanya. “Maaf, itu benar-benar tidak sengaja.““Lain kali jangan diulangi, aku nggak suka! Dan memang tidak pantas seorang istri berduaan dengan laki-laki meskipun itu teman sekolah!“ Nada bicara Dokter Darel sedikit ketus, aku hanya mengangguk mengiyakan. Apakah Dokter Darel cemburu? Wajahnya lucu sekali. Wajah yang biasa hangat dan lembut itu, sekarang berubah menjadi muram. Hampir tiga puluh menit kita menempuh perjalanan, hingga akhirnya sampai di lapas tempat Ibu ditahan. Sudah sebulan Ibu di sini, dan minggu depan kas
Bab 29Aku bangun sebelum subuh. Dokter Darel dan Kesya masih terlelap. Pelan, aku beranjak dari ranjang menuju dapur. Namun, ternyata aku kalah pagi. Bik Yem sudah lebih dulu bangun. “Mbak Vio biar saya saja. Mbak Vio siap-siap saja. Kata Mas Arka, hari ini Mbak Vio masuk sekolah, 'kan?“ ucap Bik Yem saat aku membuka kulkas dan mengambil beberapa sayuran. “Saya sudah terbiasa, Bik. Bik Yem nggak usah sungkan.““Itu kalau di rumah Mbak Vio. Kalau di sini, memasak sudah jadi pekerjaan saya,“ sahut Bik Yem. “Tapi boleh 'kan kalau saya ingin memasak untuk Dokter Darel dan Kesya.“Bik Yem diam sebentar, lalu mengangguk. “Boleh, Mbak. Asal tidak mengganggu sekolahnya Mbak Vio.““Tinggal ngambil ijazah, kok, Bik. Sudah selesai sekolahnya.“Akhirnya Bik Yem membiarkan aku memasak. Bik Yem menyelesaikan pekerjaan rumah yang lain. Beruntung dulu aku suka belajar memasak dari Ibu, jadi sekarang aku bisa memasak bermacam-macam makanan. Selesai memasak aku kembali ke kamarku, menyelesaikan s
Dokter Darel mengecup keningku, dan itu membuatku melonjak kaget. Dokter Darel tersenyum, lalu mencubit pipiku gemas. “Ayok turun. Kesya pasti sudah menunggu kita.““Dok ....“ Aku masih ragu, dan ciuman di kening tadi masih menyisakan getar aneh di dada. Dokter Darel menangkap perasaan gugup itu. “Jangan bilang itu ciuman pertamamu, ya!“ ucap Dokter Darel sambil tertawa. Aku menepuk bahunya dengan sedikit keras. Mungkin wajahku saat ini sudah memerah, dan itu memalukan. Aku berjalan mengikuti Dokter Darel. Kesya berlari menyambut kedatangan papanya. Ia memeluk lalu mencium seluruh bagian wajah Dokter Darel, seolah-olah sudah lama sekali sudah tidak bertemu. “Papa perginya lama! Kenapa Kesya nggak diajak.“ Kesya merajuk. Usai bersorak karena rindu, kini ia mengerucutkan bibir. “Yang penting sekarang Papa sudah pulang, 'kan? Oya, Papa bawa temen buat kamu.““Kak Viola, 'kan? Tadi Kesya sudah lihat. Tuh, orangnya!“ Kesya menunjukku. “Mulai sekarang, kamu panggil Kak Vio dengan sebu
Pagi harinya, Dokter Darel benar-benar datang. Ia datang bersama Pak Samsul dan Bik Yem. Kesya tidak ikut karena Kesya harus sekolah. Dika datang beberapa menit setelah kedatangan Dokter Darel. Aku membangunkan Bapak yang masih tertidur di depan televisi. Melihat kedatangan mereka, Bapak terkejut. Apalagi saat melihat Dika. Bapak langsung mengepalkan tangannya. “Anak sialan! Mau apa pulang? Masih berani kamu pulang, hah?“ teriak Bapak begitu melihat Dika masuk ke rumah. “Dan kamu! Kenapa ke sini? Mau apa kalian?“ imbuh Bapak saat Dokter Darel, Pak Samsul dan Bik Yem ikut masuk ke rumah. “Begini, Pak. Maksud kedatangan kami adalah untuk melamar Neng Viola,“ ucap Pak Samsul. “Apa? Kalian gila, aku tidak akan pernah mengizinkan anakku menikah dengan adeknya Mahesa.“ Bapak menaikkan nada bicara. “Kita duduk dulu, Pak. Ada yang ingin Dokter Darel sampaikan,“ ucapku. Aku memegang tangan Bapak, lalu menuntunnya duduk. “Begini, Pak. Maksud kedatangan saya hari ini, saya ingin menikahi V
“Iya benar, Pak. Saya adiknya Kak Mahesa,“ jawab Dokter Darel. Seketika wajah Bapak memerah, beliau mengepalkan tangan. Namun, tidak memukul Dokter Darel. “Pergi! Aku tidak mau melihat mukamu lagi!“ usir Bapak. Terlihat kemarahan yang Bapak pendam. Wajah yang sempat berbinar saat melihat kedatangan Dokter Darel tadi, kini berubah menjadi muram. “Kenapa Bapak begitu membenci Kak Mahesa, Pak? Dan apa salah saya?“ Dokter Darel mencoba mencari penjelasan.“Sudah pergi sana!“ Bapak mendorong tubuh Dokter Darel hingga keluar. Teman-teman Bapak hanya menonton pertunjukan itu tanpa ada satu pun yang berkomentar. Aku mengantar Dokter Darel hingga ke mobil. Aku juga bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya ingat perkataan Ibu kalau Bapak tahu Dokter Darel adalah adik dari Om Mahesa, maka Bapak tidak akan setuju dengan hubunganku dan Dokter Darel. “Maafkan Bapak, Dok!“ ucapku saat Dokter Darel membuka pintu mobil. “Iya, nggakpapa. Kita tetap harus menghadapi ini. Aku akan beru
Sepulang dari lapas, Dokter Darel membawaku ke sebuah mall. Ia memintaku memilihkan baju untuk kesya. Kesya semakin besar, baju-baju di rumah banyak yang sudah tidak cukup. “Kalau Kesya nggak diajak, apa nggak takut salah ukuran, Dok?“ tanyaku memecah hening. “Aku sudah sangat hafal dengan tubuh Kesya. Aku merawatnya dari bayi, menjaga dan memperhatikan setiap tumbuh kembangnya sampai sekarang. Aku hanya meninggalkannya ketika aku harus bekerja di rumah sakit.““Sampai Dokter lupa untuk menikah?“ celutukku. Dokter Darel mengusap kepalaku tanpa melihatku, ia tetap fokus menyetir mobil sambil tertawa mendengar ucapanku. “Bukan lupa, tapi karena memang belum menemukan mama yang baik untuk Kesya. Memangnya, aku sudah terlihat sangat tua, ya?““Tidak, Dok! Tapi, seusia Dokter harusnya sudah punya anak. Maaf, kalau saya tidak sopan.““Kan aku sudah punya anak! Tinggal memberi adek untuk Kesya. Kamu mau, 'kan, ngasih banyak adek ke Kesya?“ “Loooh, kok, jadi saya?“Dokter Darel kembali te