Share

LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK
LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK
Penulis: Zia Novi Ristanti

Bab 1

last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-17 16:21:14

Aku benci ketika lelaki itu di rumah. Aroma tuak murahan selalu menguar dari mulut yang kerap mengeluarkan kata-kata kotor itu. Jika tidak mengumpatku, ia akan memaki Dika, bahkan tidak segan memukul Ibu.

Ia pulang jika uangnya sudah habis. Entah habis untuk membayar tubuh perempuan atau habis di meja judi. Aku hanya mendengar kasak-kusuk dari tetangga tentang kebiasaan buruk Bapak. Ya, lelaki bertubuh kekar dengan banyak tato di tubuhnya itu adalah lelaki yang membuatku ada di dunia ini. Namun, aku membencinya.

***

Kali ini ia pulang tanpa makian. Ia datang dengan membawa empat bungkus nasi goreng dan sepotong martabak telor berukuran jumbo. Ibu menyambutnya dengan senyum. Wajah yang biasanya menunduk takut, malam ini tampak ceria. Lelaki yang kerap membuat lebam di sekujur tubuh Ibu, malam ini bersikap manis, sangat manis.

”Ning, kemarin aku menang besar. Kita bisa makan enak malam ini. Panggil Dika dan Vio, kita makan bersama!”

Aku mendengarnya. Aku bahkan mendengar ibu berjalan ke arah pintu kamarku. Aku bergegas memalingkan tubuh, menaikkan selimut hingga dada, lalu memejamkan mata. 

”Vio, bangun, Nduk! Bapak pulang bawa nasi goreng. Yuk, makan dulu!” Ibu mengguncang tubuhku pelan, aku menggelengkan kepala tanpa membuka mata. ”Kamu nggak mau bapak marah, kan?” imbuh Ibu.

Aku membuka mata, melihat ada binar di mata Ibu. Sepertinya, bunga-bunga tengah bermekaran di dadanya. Kepulangan Bapak malam ini tidak menyulut api, tidak membuat air mata jatuh di wajahnya yang cantik. Aku beranjak, aku tidak ingin merusak suasana yang tumbuh di hati Ibu.

Dika sudah duduk di sebelah Bapak. Mungkin apa yang ia rasakan sama seperti apa yang aku rasakan. Semua demi Ibu, aku tidak ingin ada pertengkaran malam ini, tidak ada caci maki dan sumpah serapah. Begitulah, rumahku penuh sumpah. Entah sumpah yang mana yang akan dikabulkan Tuhan satu hari nanti.

”Enak?” tanya Bapak memecah hening di meja makan. 

”Iya, enak. Mas Beni beli di mana?” jawab Ibu pelan.

”Di dekat terminal. Kalau kalian suka, besok Bapak belikan lagi, tapi kalau Bapak menang, ya. Doakan Bapak menang tiap hari.”

Apa? Aku harus mendoakan Bapak menang judi setiap hari? Apakah Tuhan akan mengabulkan doaku? Doa macam apa itu? Aku bahkan tahu nasi goreng yang aku makan saat ini adalah makanan haram, hasil dari Bapak berjudi. Namun demi Ibu, aku rela menelan semuanya, termasuk menelan kenyataan bahwa aku anak dari seorang penjudi, pemabuk dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

”Kok, tidak ada yang jawab? Kalian tidak mau mendoakan bapak, hah?” Nada Bapak meninggi. Serta merta Ibu memegang tangannya, menenangkan Bapak.

”Iya, Mas. Kita doakan yang terbaik untuk, Mas,” ucap Ibu demi menjaga suasana agar tidak kacau.

Tiba-tiba Dika melempar sendoknya ke piring. Ia berdiri lalu berjalan ke kamarnya. Bapak yang tidak suka dengan sikap Dika segera berjalan menyusul Dika. Menendang kamar Dika, menarik tubuhnya hingga keluar kamar, lalu menghempaskannya hingga membentur tembok ruang makan.

Ibu berusaha menengahi, tapi Bapak menepis dengan keras. Ibu tersungkur. Bapak kembali menarik tubuh Dika. Mencengkeram kaos, lalu memberikan satu tamparan di pipi kanan Dika.

”Sekarang kamu merasa sudah besar, hah? Sudah berani melawan Bapakmu? Ayo lawan Bapak!” Bapak menantang Dika.

Aku melihat Dika mengepalkan tangan. Namun, belum sempat Dika mengayunkan tangannya, Bapak sudah lebih dulu memukul perut Dika. Ibu berteriak histeris, menutupi tubuh Dika dengan tubunya yang kecil. Sementara Bapak terus mengumpat, melempar piring di meja, sambil sesekali menendang apa saja yang ada di dekatnya.

Apa yang aku lakukan? Aku hanya mematung, menonton adegan demi adegan tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun, apa yang aku rasakan, apa yang aku pikirkan? Mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu.

Makan malam yang seharusnya tenang, kembali berakhir dengan sebuah kejadian menyedihkan. Apakah karena nasi goreng yang kami makan berasal dari uang haram Bapak? Entahlah.

***

Seminggu setelah kejadian malam itu Bapak tak pernah pulang. Ibu berjualan di pasar setiap hari, sementara aku bisa belajar dengan tenang tanpa harus mendengar dan melihat pertengkaran.

Aku dan Dika saudara kembar, umur kami 18 tahun. Sebentar lagi kami akan menghadapi ujian kelulusan sekolah. Namun, sejak kecil kami sudah harus menghadapi ujian hidup yang belum selesai hingga saat ini.

Ibu terlalu mencintai Bapak dengan watak tempramentalnya. Sementara Bapak terlalu mencintai dunianya sampai lupa bahwa ada kami yang juga sudah menjadi bagian dari kehidupannya

Jika Bapak di rumah, Dika sering pulang malam dengan alasan belajar kelompok di rumah teman. Bahkan terkadang izin untuk tidur di rumah temannya. Aku pernah mendengar dari teman satu sekolahnya kalau Dika suka berkumpul dengan anak-anak punk. Namun, jika aku belum melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan semudah itu percaya. Toh, selama ini Dika tidak pernah mendapat teguran dari sekolah, ia selalu mendapatkan juara kelas dan semua terlihat baik-baik saja.

Aku dan Dika memang tidak satu sekolah. Dika masuk ke sekolah kejuruan, sedangkan aku memilih sekolah umum. Meski saudara kembar, aku dan Dika tidak begitu dekat. Mungkin karena kami sudah mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing, atau mungkin karena tidak pernah terbangun kehangatan di rumah kami.

”Kenapa Ibu tidak meninggalkan Bapak?” Pertanyaan itu aku lontarkan beberapa waktu lalu. Ketika Bapak pulang dengan kondisi mabuk parah, mulutnya meracau mengeluarkan semua binatang buas yang bersarang di kepalanya.

”Suatu saat nanti, Nduk. Saat kalian sudah tidak membutuhkan Ibu. Ibu pasti meninggalkan Bapakmu.”

Jawaban Ibu membuatku sedikit lega. Setidaknya, Ibu berani mengambil sikap. Ada niatan untuk meninggalkan Bapak, meski masih menjadi tanda tanya kapan itu akan terjadi.

***

Ujian kelulusan sekolah selesai. Selama libur sekolah, aku membantu Ibu berjualan kue di pasar. Kue yang Ibu jual adalah titipan orang-orang. Ibu berjualan dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang. Hasilnya cukup untuk menghidupi kami sekeluarga.

Sedangkan Bapak? Selain seorang penjudi, Bapak seorang sopir ojek online. Namun, uang hasil dari mengojek tidak pernah sampai ke tangan Ibu. Justru Bapak sering meminta uang ke Ibu untuk modal berjudi.

Selepas zuhur aku dan Ibu sudah sampai di rumah. Aku terkejut melihat seorang wanita cantik duduk di teras. Perutnya buncit, seperti sedang mengandung.

”Selamat siang, Mbak,” sapa Ibu ramah. Wanita itu hanya mengangguk membalas uluran tangan Ibu. ”Maaf, mencari siapa, ya?” imbuh Ibu.

Aku ikut menyalami wanita yang kutaksir baru berusia sekitar dua puluh lima tahunan itu. Tangannya dingin. Wajahnya ketus, dan di sampingnya ada sebuah kopor berwarna merah tua.

”Aku disuruh datang dan menunggu di rumah ini oleh Mas Beni. Kamu, Mbak Ningsih, kan?”

Wanita hamil itu mengenal Ibu, ia bahkan mengenal Ibu. Siapa ia sebenarnya?

Bab terkait

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 2

    Aku dan Ibu saling melempar pandang. Banyak pertanyaan yang tersimpan dari tatapan Ibu.”Iya benar. Mana Mas Beni? Sudah hampir sebulan Mas beni nggak pulang.””Memangnya Mas Beni tidak pernah cerita tentang aku? Kamu ini, bagaimana sih jadi istri? Makanya punya suami itu diurus, dirawat. Bukan sibuk ngurus diri sendiri!”Mendengar ucapan wanita itu, aku dan Ibu kembali saling melempar pandang.”Jangan asal ngomong, ya!” Rasa kesal membuatku menaikkan nada bicara. Ibu menarik tanganku. Meredam emosiku.Suara motor Bapak menghentikan percakapan kami. Semua mata menatapnya.”Kenapa berdiri di luar? Mau jadi tontonan tetangga, hah? Masuk!” perintah Bapak dengan mendorong tubuh Ibu yang berdiri di depan pintu.Bapak, Ibu dan wanita itu duduk di ruang tamu. Sedangkan aku memilih masuk kamar. Aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dari kamar. Karena rumah kami tidak besar, hanya berukuran enam kali delapan meter persegi.”Siapa dia, Mas?” tanya ibu pelan. Sepertinya rasa penasaran Ibu

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-17
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 3

    Ruangan serba putih, dengan jarum infus di tangan kiri. Rasa sakit menyebar di sekujur tubuh, terutama di telapak kaki kanan yang ternyata sudah terbalut perban. Aku memegang kepala, denyutnya sudah reda. Namun, benjolan di dahi akibat terbentur menyisakan rasa sakit yang berbeda. Aku mengedarkan pandang. Dika duduk di sudut ruang memainkan ponselnya.”Dik ....” panggilku pelan.”Kamu sudah bangun?” Dika berjalan mendekat, memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket. Lalu, duduk di sebelahku.”Ini jam berapa, Dik? Ibuk di mana?””Jam 12 malam. Kalau masih pusing tidur saja!””Ibuk di mana?” Aku mengulang pertanyaan yang diabaikan oleh Dika.”Di kantor polisi.””Bapak?””Sudah jangan banyak tanya! Tidur saja biar besok boleh pulang.”Aku menghela napas. Aku memunggungi Dika yang kembali berkutat dengan ponselnya usai notifikasi pesan berbunyi lirih.’Bagaimana keadaan Ibu di kantor polisi, dengan siapa Ibu di sana?’ Pikiran itu menari-nari di otakku.Bagaimana Dika bisa setenang itu

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-17
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 4

    Matahari mengintip dari balik tirai yang tersingkap. Rupanya aku tertidur lagi. Dika sudah tidak ada di kursi. Jatah sarapan dari rumah sakit sudah ada di atas nakas. Jam 07.00 WIB. Aku meregangkan otot. Rasa sakit di tubuhku sudah banyak berkurang, yang masih terasa nyeri hanya telapak kaki kanan. Mungkin luka pecahan piring cukup dalam menembus kulitku.”Sarapannya dimakan dulu, Mbak.”Seorang perawat membuka pintu, memeriksa suhu tubuh dan tekanan darah. ”Mau dibantu, Mbak?” lanjutnya. Aku menggeleng. ”Apa hari ini aku sudah boleh pulang, Mbak?” tanyaku lirih.”Sepertinya sudah. Nanti kita tunggu Dokter visit dulu, ya. Untuk suhu tubuh dan tekanan darah Mbak Vio normal, kok. Apa ada keluhan lain?” terang perawat cantik itu. Lagi-lagi aku menggeleng.Aku duduk di tepi ranjang. Makanan yang disediakan oleh rumah sakit belum kusentuh. Aku mencoba berdiri dan berhasil, tetapi hanya sekian detik. Rasa nyeri menyerang hingga ke ubun-ubun. Aku duduk sebentar, lalu mencoba lagi. Percobaan

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-17
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 5

    Aku masuk ke kamar. Menghidupkan ponsel yang sejak tadi malam kumatikan. Bukan tanpa sebab, aku ingin menghindari banyak pertanyaan tentang keluargaku. Seperti yang kuduga, banyak pesan masuk. Gea, Sashi, dan teman-teman sekolah lainnya. Hampir semua pesan yang masuk intinya sama--bertanya kabar. Namun, Ada satu pesan yang menarik perhatianku, dari nomor tanpa nama itu. Ada sembilan belas panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.[Aku sampai di rumah sakit, tapi kata perawat kamu sudah pulang.][Rumahmu di sebelah mana?][Aku boleh, kan, ke rumahmu?][Kenapa ponselmu mati?]Aku menghela napas. Siapa ia sebenarnya. Tidak ada foto profile, tidak ada nama. Namun, aku seperti tidak asing dengan gaya bicaranya.[Aku sudah pulang.] jawabku singkat.[Aku boleh ke rumahmu? Maaf aku lancang bertanya alamatmu di rumah sakit.][Gak usah repot-repot. Aku sudah membaik.]Tidak ada balasan lagi, padahal layar chat centangnya sudah berwarna biru. Mungkin ia sudah menyerah.Aku mengambil celengan

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-17
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 6

    Orang itu membantu Dika menepikan motor, lalu berlari ke arahku. Tubuhnya juga sudah basah, kemeja putih yang ia pakai, mencetak bentuk tubuhnya yang atletis.”Kamu gakpapa, 'kan? Kakimu?””Saya gakpapa.” potongku cepat.”Tapi perban di kakimu basah,” lanjut Dokter Darel. Ya, lelaki yang mengendarai mobil tadi adalah Dokter Darel. Orang yang kemarin merawatku di rumah sakit.”Bagaimana, Vi? Bisa jalan?” ucap Dika saat sudah berada bersamaku dan Dokter Darel. Aku mengangguk.”Kita ke rumah sakit. Biar aku lihat kondisi kaki Vio,” ajak Dokter Darel.”Gak perlu, Dok. Nanti biar perbannya saya ganti di rumah,” tolakku.Dika menghidupkan motornya, aku berusaha naik ke atas motor. Namun, rasa nyeri membuatku meringis kesakitan. Dokter Darel menarik pergelangan tanganku.”Kalau tidak mau ke rumah sakit, biar aku antar kamu pulang. Lukamu tidak boleh bertambah basah. Aku takut bisa mengakibatkan infeksi. Nanti biar kuganti perbannya di rumahmu.”Aku menatap Dika, ia mengangguk. Mungkin Dika j

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-22
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 7

    Setelah berpikir agak lama, akhirnya aku mengambil dompet Ibu. Hanya dompet Ibu, uangku masih aman di dompetku.”Kembalikan kunci motornya Dika, baru aku kasih uang ini ke Om.” Aku meminta syarat sebelum memberikan uang itu.Om Hengki menyerahkan kunci motor ke Dika, lalu menyambar uang yang aku genggam.”Hanya segini?” tanya Om Hengki sambil membulatkan mata.”Memangnya Om kira kami orang kaya!” timpal Dika. ”Semua itu uang milik Ibu yang harusnya untuk biaya makan kami setiap hari.” Dika memicingkan mata, aku tahu, Dika tengah mati-matian meredam emosinya.”Aku tidak peduli, bahkan kalau kalian kelaparan sekali pun aku tak peduli!” Om Hengki berbalik menuju motornya. Ia pergi setelah itu.Dika mengepalkan tangan, memukul angin sambil mengumpat. Aku menarik lengan bajunya. Aku takut Dika lepas kendali, aku tidak ingin kejadian serupa terulang. Dika harus lulus sekolah. Ia tidak boleh terlibat dengan tindakan kriminal.”Harusnya kamu jangan kasihkan uang itu!” ucap Dika sambil menghid

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-23
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 8

    Dika tidak menjawab, ia menerobos masuk mendahuluiku. Aku berusaha mengejar. Namun, aku kalah cepat. Dika sudah masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarnya.”Dik, kamu kenapa?” Aku mengetuk pintu kamar Dika berulang kali. Namun, tetap tak ada jawaban. ”Diiik!””Ganti bajumu lalu makanlah! nanti aku cerita,” ucap Dika dari dalam kamar.Aku menuruti kemauan Dika tanpa bertanya lagi. Dika tidak suka diintrogasi. Dika akan cerita semua ketika ia mau, bukan dengan paksaan. Aku sangat mengenal watak Dika, ia memang keras, tetapi hatinya sangat baik. Ia bisa dengan mudah memukul, tetapi bisa dengan cepat meminta maaf. Mungkin, sifat kerasnya turun dari Bapak. Namun, hatinya sangat baik. Dan aku tahu, tidak mudah menjadi Dika yang kini juga punya tanggung jawab untuk menjagaku, meski usia kami sama.Usai mengganti baju, aku menggoreng dua telor mata sapi. Aku sudah menanak nasi tadi pagi dan membuat omlet untuk sarapan. Aku tidak punya bahan makanan lain untuk dimasak kecuali telor dan m

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-24
  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 9

    Bab 9Usai mengambil kartu ujian di sekolah aku menunggu Dika untuk pergi ke kantor polisi. Aku izin pulang lebih awal, karena tepat jam sepuluh kami harus sudah sampai di sana. Tidak kuduga, mobil silver milik Dokter Darel sudah terparkir di depan gerbang sekolah. Melihatku keluar dari sekolah, ia pun keluar dari mobilnya sambil melambaikan tangan.Persis adegan dalam drama korea yang pernah kutonton. Dokter Darel terlihat sangat tampan dengan kaos putih dan luaran kemeja bermotif kotak halus yang lengannya dilipat hampir sampai siku. Andai ia seumuranku, dan status sosial kami tidak jauh berbeda, mungkin aku sudah jatuh cinta padanya. Cinta monyet mungkin, karena sampai usiaku delapan belas tahun, aku belum penah merasakan jatuh cinta itu seperti apa. Aku hanya mendengar cerita dari Ghea yang sudah berpacaran sejak di bangku SMP.Pernah sekali waktu aku mendapat kiriman coklat di hari valentine disertai dengan ungkapan cinta dari salah satu teman sewaktu duduk di bangku SMP. Namun,

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-25

Bab terbaru

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 33

    Bab 33RUMAH SAKIT JIWA "BAHAGIA"Lelaki yang kupanggil Bapak itu duduk mendekap kedua kaki di sudut ruang. Sesekali berteriak. Sesekali memukul-mukul teralis sambil mengumpat. Pernah sekali waktu ia menangis sangat lama. Memanggil-manggil nama Ningsih--Ibuku, yang sudah berpulang beberapa hari lalu. Menurut Dokter, Bapak mengalami gangguan bipolar. Namun, sikap Bapak terkadang terlalu ekstrim. Bapak kerap mengamuk dan tidak segan menyakiti orang lain. Hari ini aku mengunjunginya, tetapi aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Bapak yang kerap menyakiti Ibu, aku dan Dika, nyatanya harus berakhir di rumah sakit jiwa usai Ibu meninggal. Seperti inikah cinta? Aku bahkan tidak bisa mengartikan perasaan Bapak kepada Ibu selama ini. Jika benar cinta, kenapa harus saling menyakiti. Namun, jika itu bukan perasaan cinta, kenapa Bapak bisa sesakit itu saat Ibu pergi? Dokter Darel merangkul bahuku. Ia juga tengah memandang Bapak.“Mungkin, aku bisa akan lebih gila jika kamu meninggalkan aku, Vi

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 32

    “Pak, ayok kita pulang!“ Aku mencoba mengulangi ucapanku sekali lagi. Aku memegang tangan Bapak, tetapi Bapak menepisnya. Tatapan Bapak kepadaku semakin tajam. Mulutnya bergetar. “Kamu yang sudah bunuh Ningsih! Pasti kamu yang sudah membunuh Ningsih!“ Bapak berusaha meraih tubuhku. Namun, dengan sigap Dokter Darel menarik tubuhku ke belakang. Tidak dapat meraih tubuhku, Bapak mengambil batu di sebelahnya, lalu melempar ke arahku dan Dokter Darel. Beruntung kami dapat menghindar. Dokter Darel lantas meraih tanganku, membawaku berlari meninggalkan tanah pemakaman. Aku duduk di dalam mobil, napasku masih tersengal. Saat Dokter Darel hendak memajukan mobil, aku melarangnya. “Sebentar, Dok! Aku ingin melihat Bapak sebentar.“Aku melihat Bapak duduk di sebelah makam Ibu, tak lama, Bapak berbaring sambil memeluk makam Ibu. Entah apa yang Bapak rasakan saat ini, sebuah kehilangan atau rasa penyesalan? Karena di sepanjang usia pernikahan mereka, Bapak tidak pernah membahagiakan Ibu. “Kit

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 31

    Sepekan berlalu. Aku menjalani rutinitas baru menjadi Ibu rumah tangga, memasak, mengantar Kesya ke sekolah dan menemaninya belajar. Hari ini Dokter Darel pulang awal, ia nampak tergesa dan memintaku untuk segera berganti baju. “Memangnya kita mau ke mana, Dok?“ tanyaku penasaran. “Ke rumah sakit.““Kenapa? Ada apa?“ sahutku. “Sudah, pokoknya cepat ganti baju karna kita gak punya banyak waktu.“Aku pun menuruti apa yang diperintahkan Dokter Darel. Aku tahu saat panik begitu orang tidak suka menanggapi banyak pertanyaan. Perjalanan ke rumah sakit yang biasa ditempuh dengan waktu setengah jam, kali ini hanya butuh waktu dua puluh menit. Dokter Darel benar-benar seperti dikejar setan. Wajahnya panik, dan ia tak banyak bicara. Hanya sesekali ketika ia harus menerima telepon dari rumah sakit karena ada pasien darurat. Kalau memang sedang ada pasien darurat, kenapa ia mengajakku? Sampai di lobi, Dokter Darel menarik tanganku untuk berjalan lebih cepat. Di depan pintu ICU, matanya nana

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 30

    “Aku sudah dijemput, duluan, ya Ka!“Aku gegas membuka pintu mobil lalu masuk dengan dada yang berdegub luar biasa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dokter Darel langsung melajukan mobil, bahkan kali ini lebih kencang dari biasanya. “Tadi Raka, temanku. Ada motor yang ngebut dan airnya kena mukaku.“ Aku mencoba menjelaskan meski Dokter Darel tidak menanyakan apa pun. “Romantis, ya,“ sahut Dokter Darel sambil melepas senyum. Senyum yang tidak manis seperti biasanya. “Maaf, itu benar-benar tidak sengaja.““Lain kali jangan diulangi, aku nggak suka! Dan memang tidak pantas seorang istri berduaan dengan laki-laki meskipun itu teman sekolah!“ Nada bicara Dokter Darel sedikit ketus, aku hanya mengangguk mengiyakan. Apakah Dokter Darel cemburu? Wajahnya lucu sekali. Wajah yang biasa hangat dan lembut itu, sekarang berubah menjadi muram. Hampir tiga puluh menit kita menempuh perjalanan, hingga akhirnya sampai di lapas tempat Ibu ditahan. Sudah sebulan Ibu di sini, dan minggu depan kas

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 29

    Bab 29Aku bangun sebelum subuh. Dokter Darel dan Kesya masih terlelap. Pelan, aku beranjak dari ranjang menuju dapur. Namun, ternyata aku kalah pagi. Bik Yem sudah lebih dulu bangun. “Mbak Vio biar saya saja. Mbak Vio siap-siap saja. Kata Mas Arka, hari ini Mbak Vio masuk sekolah, 'kan?“ ucap Bik Yem saat aku membuka kulkas dan mengambil beberapa sayuran. “Saya sudah terbiasa, Bik. Bik Yem nggak usah sungkan.““Itu kalau di rumah Mbak Vio. Kalau di sini, memasak sudah jadi pekerjaan saya,“ sahut Bik Yem. “Tapi boleh 'kan kalau saya ingin memasak untuk Dokter Darel dan Kesya.“Bik Yem diam sebentar, lalu mengangguk. “Boleh, Mbak. Asal tidak mengganggu sekolahnya Mbak Vio.““Tinggal ngambil ijazah, kok, Bik. Sudah selesai sekolahnya.“Akhirnya Bik Yem membiarkan aku memasak. Bik Yem menyelesaikan pekerjaan rumah yang lain. Beruntung dulu aku suka belajar memasak dari Ibu, jadi sekarang aku bisa memasak bermacam-macam makanan. Selesai memasak aku kembali ke kamarku, menyelesaikan s

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 28

    Dokter Darel mengecup keningku, dan itu membuatku melonjak kaget. Dokter Darel tersenyum, lalu mencubit pipiku gemas. “Ayok turun. Kesya pasti sudah menunggu kita.““Dok ....“ Aku masih ragu, dan ciuman di kening tadi masih menyisakan getar aneh di dada. Dokter Darel menangkap perasaan gugup itu. “Jangan bilang itu ciuman pertamamu, ya!“ ucap Dokter Darel sambil tertawa. Aku menepuk bahunya dengan sedikit keras. Mungkin wajahku saat ini sudah memerah, dan itu memalukan. Aku berjalan mengikuti Dokter Darel. Kesya berlari menyambut kedatangan papanya. Ia memeluk lalu mencium seluruh bagian wajah Dokter Darel, seolah-olah sudah lama sekali sudah tidak bertemu. “Papa perginya lama! Kenapa Kesya nggak diajak.“ Kesya merajuk. Usai bersorak karena rindu, kini ia mengerucutkan bibir. “Yang penting sekarang Papa sudah pulang, 'kan? Oya, Papa bawa temen buat kamu.““Kak Viola, 'kan? Tadi Kesya sudah lihat. Tuh, orangnya!“ Kesya menunjukku. “Mulai sekarang, kamu panggil Kak Vio dengan sebu

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 27

    Pagi harinya, Dokter Darel benar-benar datang. Ia datang bersama Pak Samsul dan Bik Yem. Kesya tidak ikut karena Kesya harus sekolah. Dika datang beberapa menit setelah kedatangan Dokter Darel. Aku membangunkan Bapak yang masih tertidur di depan televisi. Melihat kedatangan mereka, Bapak terkejut. Apalagi saat melihat Dika. Bapak langsung mengepalkan tangannya. “Anak sialan! Mau apa pulang? Masih berani kamu pulang, hah?“ teriak Bapak begitu melihat Dika masuk ke rumah. “Dan kamu! Kenapa ke sini? Mau apa kalian?“ imbuh Bapak saat Dokter Darel, Pak Samsul dan Bik Yem ikut masuk ke rumah. “Begini, Pak. Maksud kedatangan kami adalah untuk melamar Neng Viola,“ ucap Pak Samsul. “Apa? Kalian gila, aku tidak akan pernah mengizinkan anakku menikah dengan adeknya Mahesa.“ Bapak menaikkan nada bicara. “Kita duduk dulu, Pak. Ada yang ingin Dokter Darel sampaikan,“ ucapku. Aku memegang tangan Bapak, lalu menuntunnya duduk. “Begini, Pak. Maksud kedatangan saya hari ini, saya ingin menikahi V

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 26

    “Iya benar, Pak. Saya adiknya Kak Mahesa,“ jawab Dokter Darel. Seketika wajah Bapak memerah, beliau mengepalkan tangan. Namun, tidak memukul Dokter Darel. “Pergi! Aku tidak mau melihat mukamu lagi!“ usir Bapak. Terlihat kemarahan yang Bapak pendam. Wajah yang sempat berbinar saat melihat kedatangan Dokter Darel tadi, kini berubah menjadi muram. “Kenapa Bapak begitu membenci Kak Mahesa, Pak? Dan apa salah saya?“ Dokter Darel mencoba mencari penjelasan.“Sudah pergi sana!“ Bapak mendorong tubuh Dokter Darel hingga keluar. Teman-teman Bapak hanya menonton pertunjukan itu tanpa ada satu pun yang berkomentar. Aku mengantar Dokter Darel hingga ke mobil. Aku juga bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya ingat perkataan Ibu kalau Bapak tahu Dokter Darel adalah adik dari Om Mahesa, maka Bapak tidak akan setuju dengan hubunganku dan Dokter Darel. “Maafkan Bapak, Dok!“ ucapku saat Dokter Darel membuka pintu mobil. “Iya, nggakpapa. Kita tetap harus menghadapi ini. Aku akan beru

  • LELAKI YANG KUPANGGIL BAPAK   Bab 25

    Sepulang dari lapas, Dokter Darel membawaku ke sebuah mall. Ia memintaku memilihkan baju untuk kesya. Kesya semakin besar, baju-baju di rumah banyak yang sudah tidak cukup. “Kalau Kesya nggak diajak, apa nggak takut salah ukuran, Dok?“ tanyaku memecah hening. “Aku sudah sangat hafal dengan tubuh Kesya. Aku merawatnya dari bayi, menjaga dan memperhatikan setiap tumbuh kembangnya sampai sekarang. Aku hanya meninggalkannya ketika aku harus bekerja di rumah sakit.““Sampai Dokter lupa untuk menikah?“ celutukku. Dokter Darel mengusap kepalaku tanpa melihatku, ia tetap fokus menyetir mobil sambil tertawa mendengar ucapanku. “Bukan lupa, tapi karena memang belum menemukan mama yang baik untuk Kesya. Memangnya, aku sudah terlihat sangat tua, ya?““Tidak, Dok! Tapi, seusia Dokter harusnya sudah punya anak. Maaf, kalau saya tidak sopan.““Kan aku sudah punya anak! Tinggal memberi adek untuk Kesya. Kamu mau, 'kan, ngasih banyak adek ke Kesya?“ “Loooh, kok, jadi saya?“Dokter Darel kembali te

DMCA.com Protection Status